𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓�...

By honeymenu

208K 35.3K 6.9K

[Pemenang Wattys 2020 Kategori Fanfiksi] ⭐ Follow dahulu sebelum membaca ⭐ Menjadi idola yang dicintai publik... More

the note
1 - The Scribble
2 - The Anxiety
3 - The Clue
4 - The Pressure
5 - The Mannequin
6 - The Fragments [1]
6 - The Fragments [2]
7 - The Hidden
8 - The Regret
9 - The Collision
10 - The Delusion
11 - The Vision
12 - The Accusation
13 - The Shot
14 - The Hesitation
15 - The Fault
16 - The Investigation [1]
16 - The Investigation [2]
17 - The Blow
18 - The Trust
20 - The Informant
21 - The Illegality
22 - The Resolve
23 - The Suddenness
24 - The Portal
25 - The Death
26 - The Promise
27 - The Rescue
28 - The Oblivion
29 - The Ending
The Truth [part 1]
The Truth [part 2]
The Last Note

19 - The Nirvana

4K 880 339
By honeymenu

Nirwana


.

.

.

Awan hitam membubung tinggi diselingi guntur dan kilat yang menyambar pepohonan berkilo-kilo meter dibawahnya.

Pepohonan itu berdiri acak di sepanjang tepian sungai berkelok yang memancarkan riak berwarna hitam dan seakan menggelak seperti lautan lava beku. Sampah-sampah daun kering yang tergilas air berserakan di antara semak dan rerumputan tinggi, membawa aroma tanah lembab yang tajam. Menyusur sekian meter ke selatan, sebuah bangunan besar berwarna kelabu berdiri menjulang di tepi jalan bebatuan sempit. Dalam cengkeraman kegelapan total badai, tempat itu tampak seperti bayangan yang mengerikan.

Di balik celah pagar berkarat yang dibangun mengelilingi bangunan itu, pada sebidang dinding di lantai kedua, kusen-kusen jendelanya telah rusak, ditutup oleh bilah-bilah kayu yang dipaku sembarangan. Kelihatan sia-sia sebab air hujan masih bisa memercik masuk lewat celah-celah yang bolong. Bilamana celah tersebut diintip, akan tampak sebuah ruangan kecil yang suram, mirip sel tahanan terbengkalai―nyaris kosong tanpa perkakas apapun. Hanya ada sebuah dipan yang dihampar di salah satu ujung tembok, dan seorang lelaki yang berbaring diatasnya menggenakan selimut.

Jimin telah terjaga cukup lama, walau pada kenyataannya dia ragu tentang hitungan waktu yang dia gunakan―hanya berdasarkan insting, dia menduga sudah berlalu sekitar tiga puluh atau empat puluh menit semenjak dirinya sadar dari pingsan. Satu-satunya yang menjawab pertanyaan terbesarnya tentang waktu adalah kondisi cuaca yang bisa dilihatnya dari tempatnya berbaring. Langit di luar sana gelap gulita, hujan turun bak air yang ditumpahkan dari ember. Bumi mengamuk, seakan-akan ikut gempar atas nasib dirinya.

Lelaki itu nyaris berpikir dirinya akan mati membeku dalam kecamuk badai, sebab selimut yang menutup sampai dagunya tidak cukup berguna untuk melindungi tubuhnya dari suhu rendah cuaca. Akan tetapi Jimin tahu bila dirinya tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan hangat yang cukup. Dia sudah terlanjur lemah dan tidak berdaya―walau nyeri di leher dan kepalanya entah bagaimana terasa berkurang. Namun, hal tersebut rupanya tidak banyak membantunya untuk lolos.

Kendati tidak berbuat apa-apa, bukan berarti Jimin pasrah dengan nasibnya. Dia berulang kali meyakinkan dirinya bahwa orang-orang itu―yang bersekongkol menculikya―barangkali tidak punya niat untuk membunuh―belum, masih belum.

Sebab, bila niat kejam itu ada, mengapa Jimin masih bisa terbangun di semesta yang sama dan mendapati dirinya terselimuti dengan baik? Mereka bisa saja membunuhnya saat dirinya masih tidak sadarkan diri.

Ada sesuatu. Pasti ada sebuah rencana di balik penyekapannya, Jimin berpikir demikian. Dia mendadak teringat dengan pembicaraan yang didengarnya sebelum dia tergelincir ke dalam kegelapan sekali lagi. Suara seorang wanita dan seorang pria yang tengah adu mulut, bertengkar mengenai alasan di balik penculikannya. Jimin begitu ingat ketika suara berat pria itu menyerukan nama Gong Joo.

Gong Joo ....

Jimin tidak bisa membayangkan apa yang menyebabkan rententan kejadian buruk ini terjadi kepadanya. Dia sulit mempercayai bila wanita itu adalah dalang di balik semua insiden ini. Gong Joo benar-benar tidak terduga. Dan yang paling dibenci Jimin adalah kenyataan bahwa selama ini dia mengenalnya ....

Apapun yang menimpa dirinya, baginya terdengar seolah hal terjauh yang pernah dilaluinya adalah mengetahui hubungan pertemanan di antara Gong Joo dan Mijin―seorang Noona di agensinya yang dia kenal dengan baik. Benak Jimin langsung dibanjiri oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin dia dengar jawabannya. Bila kenyataannya semiris itu, apakah selama ini Gong Joo bersekongkol dengan Mijin untuk mendapatkannya? Apakah selama ini Mijin sengaja menutupi rahasia Gong Joo? Apakah selama ini Jimin telah tertipu dengan kebaikan Mijin?

Jimin ingin sekali menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh karena rasanya terlalu menyakitkan memikirkan hal itu tanpa membuatnya kehilangan pegangan yang membuatnya rapuh. Dia merasa takut, terancam dan sendiri. Apa yang harus dia lakukan dalam situasi seperti ini?

Pilihan yang dia miliki hanyalah berbaring istirahat sampai kondisinya membaik, kemudian mencari jalan keluar. Dia telah memikirkan pelariannya matang-matang. Jendela bobrok itu tampaknya cukup rapuh untuk dipatahkan menggunakan pukulan atau tendangan. Jimin bisa menyelinap keluar, lalu mencari bantuan. Meski dia tak tahu di mana tepatnya dirinya berada sekarang, akan tetapi berpikir tentang melarikan diri dari ruangan ini bisa membantu meredakan gelisahnya. Setidaknya dia tidak dirantai atau diikat.

Beberapa lama kemudian, keadaan di luar mulai melunak. Gerimis lembut terdengar. Jimin tidak meragukannya lagi. Dia mendengar dengan jelas suara-suara lain―yang semenjak tadi tertutup oleh kencangnya deru angin dan badai yang mengamuk―membaur di dalam udara di sekitarnya, Suara rintik hujan yang memercik lantai, keresak selimut yang menggesek tubuhnya, desah napasnya yang berat, bahkan gumam sayup-sayup seperti sekelompok orang yang tertawa.

Jimin menyipitkan matanya ketika menyadari hal itu.

Dia mengawasi sekeliling, kemudian fokusnya terpancang pada pintu coklat yang berdiri beberapa meter tepat di depannya. Suara itu. Suara gumam cekikik orang-orang, pasti berasal dari ruangan lain di luar tempatnya berbaring, tidak terlalu jauh sehingga Jimin bisa menduga mereka hanya berjarak beberapa meter saja.

Siapa mereka? Jimin menajamkan pendengarannya. Kemudian, ada gemuruh tawa yang meledak―suara seorang perempuan, parau dan melengking, seakan tawanya menyembur seperti jarum yang menusuk kuping. Jimin terkesiap karena suara itu mencerminkan aktivitas yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya.

Apakah itu Gong Joo?

Jimin tidak yakin. Seperti ada lebih dari tiga atau empat orang yang saling tertawa dan ... bercakap-cakap?

Dia memaksa dirinya untuk bangkit duduk saat gejolak penasaran menambat lebih dalam di benaknya, lalu rasa sakit langsung menyerang kepala, tengkuk serta kedua bahunya. Lebih dari itu, sengatan perih yang jauh lebih parah juga berdenyut di sekujur kakinya, seakan ada luka basah yang terbuka di pahanya―sumber rasa perih itu. Punggungnya dia sandarkan di tembok. Suhu dinginnya membuat Jimin menggigil. Sepertinya dia agak demam―namun Jimin tidak terlalu peduli, sebab ada sesuatu yang jauh lebih penting untuk menjadi perhatiannya kini.

Jimin menyibak selimutnya perlahan, dan menemukan―di kaki kanannya―celana training hitamnya telah dirobek hingga hanya menyisakan bagian paha saja. Ada bebatan perban di atas lututnya yang dipasang amburadul.

Perut Jimin serasa dipelintir ketika melihatnya.

Dia merenung sejenak, memikirkan bagaimana luka ini terjadi kepadanya. Apakah ini dia dapat ketika tengah melawan keras dari sergapan Gong Joo? Jimin tidak terlalu ingat. Hal terakhir yang diingatnya adalah ketika dia menekan nomor password di pintu belakang dorm―hendak berlari meminta pertolongan sebelum kegelapan lebih dulu menyergapnya. Dia dirobohkan dari belakang oleh tenaga yang tidak main-main.

Gong Joo. Gong Joo memukulnya, lalu sepertinya kepalanya terbentur lantai dan dia pingsan. Pintu dorm itu pasti telah terlanjur terbuka karena sebelumnya dia menekan kode password-nya. Jadi, sudah pasti Gong Joo tidak bertindak repot dengan menyeretnya keluar lewat lubang ventilasi.

Lantas, bila semudah itu Gong Joo membawanya pergi ... luka ini diakibatkan oleh apa?

Jimin menatap balutan perban yang tampak asal itu dengan berlapis-lapis perasaan sedih. Ada sedikit bercak darah yang menembus perbannya. Dia tidak siap untuk melihat luka dibaliknya. Bagaimana bila itu adalah luka meradang yang penuh darah dan nanah? Bagaimana bila lukanya telah membusuk lebih cepat dari yang dia perkirakan? Namun, yang jauh lebih tidak nyaman untuk diutarakan ... bagaimana bila Jimin tidak bisa menggunakan kakinya lagi?

Jimin merasakan kepingan-kepingan harapan yang tersisa di dalam dirinya mulai rontok. Dadanya serasa ditinju ketika dia membayangkan akan seperti apa dirinya nanti ketika Tuhan memberinya kesempatan untuk lolos dari penyekapan ini. Apakah Tuhan juga akan berbaik hati untuk menyembuhkan luka di kakinya? Apakah dia masih bisa menjalani kehidupan normal seperti dulu? Apakah dia masih bisa menari bersama para anggota yang lain?

Jimin tidak bisa menemukan jawaban untuk seluruh pertanyaan di dalam kepalanya. Rasanya terlalu pedih untuk memikirkan kehidupannya di masa mendatang sementara sekarang dia masih terjebak di sini dan tidak bisa mengetahui apakah dia masih akan hidup dalam dua puluh menit ke depan. Luka di pahanya amat perih, dan itu semakin membuatnya kesulitan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Keriat pintu yang dibuka tahu-tahu mengalihkan perhatian Jimin. Dia cepat-cepat mendongak. Tubuh seorang wanita yang dikenalnya menyelinap masuk melewati celah, bergeming di ambang pintu sebentar ketika melihat Jimin yang seharusnya berbaring kini telah duduk dan menghadap kepadanya.

Dia adalah Gong Joo.

Jimin memberanikan diri untuk menatap sepasang mata wanita itu.

"Kau sudah bangun, Jim?" kata suara parau itu.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanya Jimin. Suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar bukan seperti suaranya.

Gong Joo tampak kebingungan untuk menjawab. Dia mengulur waktu dengan menutup pintu secara perlahan, sehingga gumam suara cakap-cakap dan tawa yang tadi didengar Jimin kembali teredam. Kemudian, Gong Joo menghampirinya. Jimin menyadari wanita itu tengah membawa sesuatu saat suara keresak bungkus plastik terdengar bersamaan dengan langkahnya.

"Kau mau makan?" tanyanya. "Aku membawakanmu nasi."

"Kenapa kau membawaku kemari?" Jimin mengulang pertanyaannya, merasa marah karena tidak diacuhkan. Gong Joo sengaja tidak menjawabnya. Oh, bila kakinya tidak sesakit sekarang, Jimin mungkin sudah menghambur maju dan melawan wanita itu, memaksanya untuk bicara. Tiba-tiba saja Jimin menyadari alasan mengapa dirinya dibiarkan berbaring di ruangan ini tanpa diikat ataupun dirantai. Pasti mereka tahu bila Jimin tidak bisa berbuat apa-apa dengan kakinya yang terluka. Pikiran itu membuat Jimin semakin dibelit oleh amarah.

Gong Joo mendudukkan dirinya di atas lantai, di samping dipan yang ditempati Jimin. Dia membiarkan jarak satu meter tercipta di antara keduanya, barangkali menghindari kemungkinan Jimin yang tiba-tiba menyambarnya dengan sabetan lengan.

"Aku hanya ingin bertemu denganmu sejak lama," kata Gong Joo sembari mengusap balutan plester-plester di jemari kanannya, seakan itu adalah kebiasaannya.

Orang ini sudah tidak waras, ya? Pikir Jimin. Dia memperhatikan jalinan rambut hitam yang terjurai lepek melewati bahu, membingkai wajah pucatnya yang agak menunduk. Dalam keremangan ruangan, Gong Joo tampak mengerikan. Cahaya suram bohlam menyinari separo wajahnya hingga dia tampak sangat tua, menyerupai tengkorak yang dipasangi wig.

"Ini terasa bodoh," kata Jimin, kembali bersandar di tembok sebab kepalanya mendadak pusing. "Untuk apa kau bertindak sejauh ini hanya untuk bertemu denganku?"

Gong Joo menatap jauh ke dalam mata Jimin, seakan-akan dia sedang berusaha menggali sesuatu di dalamnya, atau barangkali mencoba memberitahu Jimin sesuatu yang tidak bisa diungkapnya dengan kata-kata. Sebab, untuk suatu alasan, Jimin bisa melihat kesedihan dalam mata Gong Joo. Akan tetapi dia sudah tidak memiliki simpati lagi saat tersadar bahwa wanita itulah yang mendorongnya dalam situasi ini.

"Yah, aku ingin sekali saja melakukan hal yang bisa membuatku betul-betul bahagia," kata Gong Joo, diselingi senyum tipis yang mirip sebuah seringai di mata Jimin.

Jimin mengernyitkan dahinya, berpikir barangkali wanita ini memang benar sudah kehilangan kewarasannya.

"Kenapa kau berkata seolah tidak memiliki pilihan lain yang bisa membuatmu betul-betul bahagia?" tanya Jimin. Dia merendahkan suaranya saat dentum di kepalanya makin parah. "Kau bisa dijebak oleh pasal penculikan. Kau bisa masuk ke sel tahanan dan barangkali menghabiskan sisa umurmu di sana. Sebesar apapun rasa bahagiamu ketika menculikku, kau tidak akan lepas dari jeratan hukum yang akan menunggumu di depan sana. Untuk apa merasakan bahagia bila pada akhirnya kau tersiksa?"

"Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya sebelum benar-benar pergi dari dunia ini." Gong Joo menyela. "Aku tak peduli bila pada akhirnya harus membusuk di penjara, yang paling penting, keinginan terakhirku untuk bisa berdua bersamamu tercapai."

Kengerian menjalar di tengkuk Jimin. Dia dibiarkan hidup setelah diculik, apa yang akan Gong Joo lakukan setelahnya? Jimin tidak berani memikirkan kemungkinan atas pencerminan jawaban Gong Joo yang mengatakan bahwa dia ingin berdua saja dengannya.

Lalu, tahu-tahu sebuah pertanyaan muncul di benaknya.

"Ini di mana?" tanya Jimin sengit. Dia melempar pandang sekilas ke arah pintu. "Jangan bohong. Kita tidak berdua. Aku mendengar banyak suara―orang-orang yang tertawa dan mengobrol. Bahkan sebelumnya aku ingat ada seorang laki-laki yang bicara kepadamu. Pasti ada alasan yang jauh lebih masuk akal di balik keberadaanku di sini!"

"Mereka teman-temanku," kata Gong Joo. "Mereka juga sama sepertiku, ingin merasakan kebahagiaan sebelum mati. Satu-persatu sedang menunggu giliran sebelum ritualnya tiba. Aku akan maju paling akhir. Sang Dewa akan membebaskan nyawaku ke dalam nirwana yang indah. Oh, aku tidak sabar menunggu hari itu!"

Jimin merasakan bulu kuduknya meremang.

"Kau tahu, Jim?" Gong Joo mendekatkan dirinya. Jimin secara reflek beringsut ke sudut tembok. Napas wanita itu mendadak berubah pendek-pendek, seakan dia tidak bisa menahan ledakan kegembiraan di dalam benaknya.

"A―ada yang bilang, manusia yang sengsara di dunia pasti akan mendapat kebahagiaan di akhirat bila mereka mau bersabar," katanya. Seringai itu muncul lagi. "La―lalu mereka datang! O―orang-orang itu, mereka bilang aku bisa mendapatkan kebahagiaan abadi bila mengikuti aturan mereka ... ha―hanya bersabar menunggu giliran, katanya! Mereka .... akan membawaku ke altar persembahan, lalu tubuhku akan dibuka, dibebaskan! Itu sangat menguntungkan, andai kau tahu betapa beruntungnya aku bertemu mereka. Tuan Kwon sungguh berbaik hati, dia memperlakukanku seperti seorang putri. Dia bilang akan mengabulkan satu permintaan terakhirku. Jadi ... jadi aku bilang kepadanya untuk bisa memilikimu!"

Gong Joo kemudian terkekeh. Bukan tersenyum atau tergelak, melainkan terkekeh parau seperti orang sinting. Jimin mati-matian menahan dirinya untuk tidak merengek, sebab tidak ada satupun yang dia mengerti dari penjelasan wanita itu. Sialan, sialan, sialan! Jimin membatin frustrasi. Apa yang sebetulnya terjadi kepadanya? Siapa wanita di depannya itu? Dia nyaris kehilangan kontrol dengan menjambak rambutnya sendiri dan berguling-guling marah di atas dipan.

"Kau ... sinting ...." Jimin hanya sanggup mengutarakan kata itu di tengah kebingungan yang melanda.

"Aku tidak sinting, Sayang," kata Gong Joo, bergerak menghampiri Jimin. Jemari tangannya yang kurus dan panjang menyentuh pipinya yang telah basah oleh air mata. Jimin merasakan tubuhnya bergetar karena dilanda rasa takut.

"Aku melakukan semuanya demi dirimu."

"HENTIKAN OMONG KOSONGMU!" Jimin menepis tangan itu dengan kasar. Rasa sakit seperti jilatan api membara di kakinya. Ekspresi mengerikan di wajah Gong Joo hanya membuat ketakutan Jimin semakin parah.

"PULANGKAN AKU DASAR KEPARAT! AKU TIDAK INGIN BERADA DI SINI! KEMBALIKAN AKU PADA KELUARGAKU! JANGAN SAKITI AKU!"

Jeritan Jimin telah berubah menjadi erangan yang mengerikan. Dia meronta-ronta saat Gong Joo berusaha meraih kedua bahunya. Jimin ingin pergi, kembali pulang ke pelukan keluarganya. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin terkurung di dalam ruangan sempit bersama seorang wanita asing yang bicara aneh.

Bahunya berhasil dicekal dengan kuat. Gong Joo berada sangat dekat dengannya, sehingga Jimin bisa mencium aroma apak dari rambut dan keringat menjijikkan dari tubuhnya. Raut wajahnya menggelap. Gong Joo menatapnya tegang. Dua mata besarnya yang berwarna hitam seperti menarik Jimin ke dalam kematian. Tidak, tidak, tidak! Jimin tidak mau seperti ini. Dentum mengerikan di kepalanya membuat Jimin kesulitan untuk bernapas. Dadanya serasa dibelit oleh besi.

"Jangan berteriak!" Gong Joo mendesis marah. Dalam kemarahannya itu dia tampak dua kali lipat lebih sinting dan mengerikan. "Jangan lakukan apapun, Jim, kumohon! Mereka bisa mendengarmu! Mereka akan kemari kalau kau berteriak seperti itu! Kalau ... kalau mereka tahu kau sudah sesehat ini, mereka tidak akan ragu untuk membuatmu terluka lebih parah! Mereka akan menyiksamu seperti wartawan itu!"

"LEPASKAN AKU BRENGSEK!" Jimin menyentak lengan Gong Joo. Wanita itu terlempar ke lantai setelahnya. Rambut lepeknya berantakan, menutup seluruh wajahnya. Jimin tidak membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja. Dia menyibak selimutnya sepenuhnya, memaksa diri bernapas dengan mulut. Pada hitungan ketiga, Jimin meyakinkan dirinya. Pada hitungan ketiga dia akan bangkit dan melarikan diri. Satu. Dua.

Tiga.

Rasa sakit yang segar menyerang kakinya. Pandangan Jimin menggelap beberapa detik. Dia berkedip-kedip dengan panik dan melempar langkah ke depan. Akan tetapi saat tubuhnya hampir mencapai pintu, pinggangnya dicekal dengan kuat. Gong Joo menariknya, lalu membalik tubuhnya dengan paksa. Embusan napas panas Gong Joo menerpa leher Jimin sesaat sebelum wanita itu menghempas punggungnya ke tembok.

"Maafkan aku, Jim," lirihnya parau. "Tetapi kau harus mengikuti aturanku kalau ingin selamat."

Kemudian, Jimin merasakan rambut depannya ditarik, lalu kepalanya dihantamkan dengan keras pada tembok di belakangnya.

Segalanya pun menjadi gelap.[]



























a/n

[edited]
14/11/2018

hari ini kosong, tanpa catatan. tapi, aku ingin dengar tanggapan kalian mengenai pertanyaan ini.

lebih suka ff bts yg mencerminkan rl mereka seperti the stalker, ato yg au?

Continue Reading

You'll Also Like

336K 40.4K 33
[COMPLETED] Jeongwoo menyatakan akan menerima ajakan balikan dari seorang Watanabe Haruto; dengan syarat dan ketentuan berlaku. - Bahasa lumayan baku...
BTS OUTCAST By 💜

Mystery / Thriller

63.1K 6.2K 18
BTS OUTCAST - Permainan yang mengontrol kehidupan. Story by: @Flirtaus (Twitter) Translate by: @forjungs (Twitter) Cover by: kingtantae #447 in Myste...
71.9K 11.4K 16
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
34K 7.9K 25
[Tersedia di Shopee] [ Namseok Local AU ] [COMPLETE] . . . "Kak." "Ya?" "Wicak itu penyihir ya?" Karena Ardan selalu berpikir bahwa semua penyihir ak...