Soul Reaper [✔]

By AoraSky

12.2K 1.8K 325

[Fantasy-Paranormal] Bayangkan, hari ini kau masih menjalani kehidupan dengan normal layaknya manusia pada u... More

Prologue
[01] New Brother
[02] Goodbye Dad
[03] Goodbye Mom
[04] Empath
[05] Ridicule
[06] Worry
[07] Friend
[08] Go Away
[09] Help
[10] Hug
[11] I Can Help You
[12] Big problem
[13] Attack
[14] She Has
[15] Sure
[16] Unknown Moment
[17] Who?
[18] A Meatball
[19] Find
[21] Lonely
[22] Close
[23] Suspicious
[24] A Story
[25] A Story (2)
[26] Emguide
[27] Gone
[28] Lost Memories
[29] Request
[30] Ice
[31] Prestige
[32] Dream Again
[33] Bracelet
[34] Bracelet (2)
[35] Both
[36] Protect
[37] Kidnapped
[38] Emotion
[39] Feint
[40] Torture
[41] Fierce
[42] Advocacy
[43] Decision
[43] End Of All
Epilog : THE LAST

[20] Special

187 36 6
By AoraSky

"Emang sejak kecil lo udah bisa lihat setan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Ray.

Claressa mengangguk.

"Dan  yang pertama kali tahu lo ngomong-ngomong sendiri sama salah satu setan itu nenek lo?"

Claressa mengangguk lagi.

"Jadi, nenek lo kasih gelang itu ke lo, biar gak ada setan jahat yang deketin lo?"

Claressa mengangguk lagi dan kali ini diliputi perasaan kesal, karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan Ray kepadanya.

"Oh gitu toh." Ray membiarkan suaranya berhenti dengan nada menggantung, membuat suasana disana menjadi hening. Lalu ia melanjutkan lagi, "Gue juga mau dong gelang kayak gitu."

Claressa terbelalak kaget. "Lo masih waras? Lo kan cowok."

Ray memasang wajah memelas, sambil mengedip-ngedipkan matanya, bak seorang kucing kecil yang kawai. Lalu dengan cepat wajahnya berubah menjadi datar, sedatar papan triplek. "Bukan buat gue, bego. Gue mau kasih ke kakak gue."

"Emang kakak lo kayak gimana sampai lo minta gelang itu ke gue?" Claressa menaikkan sebelah alisnya.

"Kakak gue itu cantik, baik,manis, putih, tinggi, perhatian sama gue, sayang sama gue," balas Ray sambil senyum-senyum sendiri layaknya orang tidak waras.

Claressa menatap pongah. "Lo udah SMA tapi kayak anak SD, childish banget. Emang mama papa lo ga sayang sampai segitunya sama lo apa?"

Senyum Ray mereda pelan-pelan, digantikan dengan senyum miris dengan pandangan kosong menerawang kedepan. Sejenak sosoknya langsung berganti menjadi sebuah sosok yang nampak rapuh.

"Mama, papa gue udah gak ada. Papa meninggal waktu gue masih kecil, dan mama meninggal waktu gue SD. Selama ini cuma ada kakak. Walaupun semuanya menjauh dari gue, dia masih mau sempetin kasih perhatian, peluk, bahkan cium sekalipun ke gue, pas gue lagi butuh penyemangat. Jadi, lo pasti tau seberapa sayang gue ke dia."

Claressa jadi merasa bersalah karena mengungkit hal yang merupakan masa suram bagi Ray. "Maaf, gue gak maksud—"

"Gak papa kok, gak perlu merasa bersalah gitu dong. Gue ini cowok, jangan anggap gue lemah cuma gara-gara gue gak punya mama papa lagi. Kan gue masih punya kakak gue." Ray menampilkan senyum lebarnya, memamerkan deretan gigi putih dan ratanya. Matanya juga melengkung, indah, seperti lengkungan milik bulan sabit.

Hal itu membuat Claressa tersenyum tipis, senyum yang bukan seperti yang ia tunjukkan biasanya.

"Oh jadi lo bisa senyum juga toh. Gak kaya biasanya," sahut Ray sambil menunjuk Claressa dan tersenyum jahil.

Claressa menampar pelan pipi Ray, membuat laki-laki itu langsung mengelus pipinya setelah mendapat tamparan itu.

"Jahat banget, jadi baik dikit napa? Belum juga selesai omongan gue. Gue mau bilang kalo lo senyum gitu cantik lo nambah tau, maen asal tampar aja."

Entah kenapa ia merasa aneh karena mendengar pujian dari Ray, tiba-tiba pipinya merasa panas seperti di setrika, diikuti jantungnya berdegup kencang. "Udah diem aja, bentar lagi sampai ke rumah lo, kan?"

Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana hening sampai tiba di rumah Ray. Saat sampai disana, mereka berhenti sejenak. "Mampir dulu yuk," ajak Ray.

"Gak ah, palingan gak ada siapa-siapa dirumah lo. Nanti ujung-ujungnya lo males, dan gue jadi bikin minum buat gue sendiri."

Ray menggeleng. "Kakak gue udah pulang." Ia menyambar tangan Claressa, menarik gadis itu menuju rumahnya.

"Kakaak, Ray pulang," ujarnya dengan girang sembari membuka pintu.

Ia tidak mendapati siapa-siapa di ruang tamu, akhirnya ia masuk, masih dengan keadaan menggandeng tangan Claressa. Ray berjalan dengan hati-hati, entah kenapa berkesan seperti mengendap-endap, begitu juga Claressa yang mengikuti gaya melangkah Ray.

"Yaampun Ray, kamu bawa pacar kamu pulang?" sahut Vanza dari arah dapur dengan nada senang.

Mereka berdua spontan menoleh ke sumber suara dengan kompak, dan mendapati Vanza sedang duduk di meja makan. Bersama dengan seorang Pria berperawakan tinggi yang sering Ray lihat mampir ke rumah.

"Kakak apaan sih? Ini cuma temen Ray, malah kakak yang bawa pacar ke rumah. Itu siapa?"

Vanza mengedipkan matanya polos. "Dio bukan pacar kakak, lagian kalau bukan pacar, kenapa kamu gandeng gitu coba?" ucapan Vanza sukses membuat Ray terpojok dan salah tingkah mendengarnya.

Ray dan Claressa menatap pada arah yang sama, yaitu tangan mereka. Langsung saja Ray melepas gandengan tangannya, Claressa juga menjauhkan tangannya sambil masing-masing membuang muka. Rona merah muncul di pipi mereka.

Vanza tertawa kecil melihat suasana canggung yang di rasakan adiknya itu sekarang. Ia beranjak berdiri. "Yaudah suruh temen kamu duduk, Kakak buatin minum dulu."

"Sono duduk di sofa, gue mau ganti baju." Ray mengusir dengan tangannya. "Sana cepetan!"

"Raayy," panggil Vanza dengan nada memperingatkan.

Ray menoleh lalu terkekeh. "Hehehe iya." Ia menoleh kembali ke Claressa, mendapati gadis itu sudah duduk manis di sofa sambil fokus pada ponselnya. "Nah bagus udah duduk. Ya gitu dong," gumamnya. Lalu ia berjalan masuk ke kamar.

"Mereka lucu kalau sedang canggung."

Vanza yang sedang membuat minuman tertawa kecil. "Iya, sebelumnya tidak pernah begitu. Sempat kukira mungkin Ray tidak bisa seperti itu karena ia nampak sangat menutup diri. "

"Itu sama persis sepertimu."

Vanza menoleh, melempar tatapan tajam pada Dio, ia tidak suka disamakan dengan sikap lucu adiknya barusan. "Apa kau bilang barusan, Dio?"

Dio menggeleng. "Bukan apa-apa, kau terlihat cantik jika sedang marah."

Gerakan Vanza terhenti, ia tertawa pelan melihat tingkah lucu Dio sekarang ini, tapi disisi lain, jantungnya malah tidak bisa di ajak berkompromi, dan malah berdegup kencang karena di lempari ucapan seperti itu.

Sementara Ray yang sudah masuk kedalam kamarnya, melemparkan tasnya ke pojok kamar dan masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ia bersenandung pelan sambil menikmati hangatnya air.

Hanya butuh beberapa menit untuk menghabiskan waktu di kamar mandi oleh Ray, hari ini ia tidak sedang ingin berlama-lama menyapa air. Ia langsung memakai kaos oblong berwarna hitam dan satu celana pendek sebawah lutut berwarna hitam juga. Warna itu kontras dengan kulitnya yang putih, ia keluar dari kamar lalu mendapati Vanza, Claressa dan teman kakaknya itu. Sedang bergurau di atas sofa sambil tertawa riang.

"Ray, udah selesai mandi? Sini gabung," ajak Vanza usai meredam tawanya.

Ray berjalan menghampiri mereka lalu mengambil tempat di sebelah Claressa, karena hanya tempat itulah yang tersisa disana.

"Kalian berdua Indigo, bukan?" tanya Dio sesaat setelah Ray baru saja menemukan posisi nyaman di sofa.

Semua mata langsung menoleh pada Dio dengan tatapan heran, terkecuali Vanza. Ia malah menikmati minumannya seperti tak mendengar apa apa barusan.

"Tunggu, kau—maksudku bagaimana kau bisa tahu?" tanya Claressa dengan nada curiga dan dahinya yang mengernyit.

Ray melirik pada Vanza, Vanza menatapnya dengan tatapan yang bermakna 'apa?'. "Sebenarnya siapa dia?" bisik Ray. Jarak antara Ray dan Vanza cukup dekat, jadi Ray pikir jika Dio tidak akan bisa mendengarnya jika ia berbisik. Tapi Ray salah.

"Aku? Oh ya aku lupa memperkenalkan diri padamu, Ray. Perkenalkan namaku Dio, Vanza memanggilku begitu."

Ray hanya manggut-manggut paham. "Jadi kau juga bisa melihat apa yang aku dan Claressa lihat?"

"Tidak, aku berbeda dari kalian berdua. Aku lebih istimewa, dan kalian berada jauh di bawahku."

Claressa menatap Dio dari atas sampai bawah dengan tatapan mengintimidasi. "Lalu, kau ini bagaimana sampai kau menyebut dirimu spesial dariku?" ia nampak tak terima.

"Jangan kalap woy," bisik Ray.

Claressa menatap Ray dengan tajam, menyuruhnya untuk diam. Ray langsung mengerti dan menutup mulutnya, pura-pura mengalihkan pandangannya. Saat Claresa kembali ke topiknya, Ray juga kembali menatap arah yang ditatap Claressa, yaitu Dio.

"Aku tidak bisa menjelaskannya, kalian tidak akan mengerti. Kalian masih terlalu dini, untuk mengerti seluk beluk dunia yang bisa kalian lihat."

Ray nampak terima-terima saja, tapi tidak dengan Claresa. Sejak kecil ia punya potensi rasa penasaran tinggi, jadi ia tidak terima jika pertanyaan nya tidak dijawab sama sekali dengan begitu saja. Bahkan jika seseorang mengelak dari pertanyaannya sekalipun, itu adalah salah satu hal yang tidak ia sukainya.

"Kalau kau seistimewa seperti ucapanmu itu, bisa kau jelaskan apa hubungan sosok yang menyerang Ray, sampai bisa menyerangku juga?"

***TBC***

Published at : Monday, 25 June 2018|| 14.51
Has been revised : 17 Nov 2018

Continue Reading

You'll Also Like

20.5K 2.2K 27
Sebuah kekeliruan kecil yang membawa Myristi pada Delonix Regia, ternyata juga menuntunnya pada sebuah sejarah paling kelam yang pernah menghantam Er...
14.4M 1.6M 67
Ini kisah Clarissa si Queen Racing yang memasuki Novel My Ice Boy, dia bukan memasuki tokoh Antagonis maupun Protagonis tapi dia memasuki tokoh Figur...
636K 50.7K 30
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
720K 42.8K 68
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...