Jessica POV.
A...apa?
Apa-apaan ini? Lelucon macam apa ini?
Seorang Lee Donghae... Ingin menikahiku?
"Percayalah bahwa aku tidak sedang main-main sekarang" ujar Donghae dari sebrang telpon.
"..."
Nafasku terasa berat. Ingin sekali aku mempercayai kata-katanya, walau kali ini saja. Ingin sekali aku pergi kemanapun ia berada sekarang, dan menamparnya tepat di pipinya, dan berakhir dengan meluapkan tangisanku dalam pelukannya
"Jessie..?"
Hentikan.
"Jessie.. Kumohon... Jawab aku"
Jangan panggil nama panggilan yang kau beri itu.
"Jess-"
"Hentikan"
Donghae terdiam dari sebrang telpon. Aku dapat mendengar dengan jelas suara hembusan nafas yang ia keluarkan.
"Ini berat, Donghae" ujarku
"Aku menyesali semuanya... Jessie" ujar Donghae
"Terakhir kali kau bilang seperti itu, kau masih melakukannya" ujarku berusaha tegar
"Aku janji ini penyesalan terakhirku" ujar Donghae
"Tidak ada penyesalan terakhir. Semua manusia baru akan merasakan penyesalan akhir, ketika ia sudah tergeletak tak bernyawa, memendam didalam tanah. Bagiku, manusia akan selalu berbuat semua hal yang akan disesalinya nanti" jelasku panjang sambil mencoba mengatur nafasku sebelum melanjutkan kalimat terakhirku
"Seperti aku, yang masih mencintaimu setelah penyesalan penyesalan yang kau buat"
Donghae POV.
"Seperti aku, yang masih mencintaimu setelah penyesalan penyesalan yang kau buat"
Aku membatu setelah kalimat terakhir yang Jessie ucapkan sebelum memutuskan hubungan telponku. Mataku terasa panas, hingga akhirnya bendungan air mataku yang sudah tak bisa kupendam lagi. Aku menangisi segala kebodohanku. Perlakuanku terhadapnya.
Awalnya, Jessie hanya kuanggap sebagai salah satu dari mainanku. Ya, di masa mudaku aku adalah orang yang benar benar bodoh. Kata orang-orang, aku memiliki segalanya. Fisik rupawan, Harta yang melimpah, Masa depanku yang menjanjikan..
Aku memiliki banyak gadis dibelakang Jessie. Tapi entah apa yang membuatku selalu kembali padanya. Setiap gadis yang kusetubuhi, setiap gadis yang kuberi harapan harapan manis akan masa depan, selalu ada hal yang akan membuatku kembali pada Jessie. Aku ingat, dimalam dimana aku ketahuan menghabiskan ATM ku yang berisikan 100 juta won yang kupakai untuk taruhan judi, yang membuatku mendapat ancaman aku tidak akan mendapatkan sepeser pun uang dari Ayahku dan juga Kakek, aku marah besar dan entah aku tidak ingat kenapa aku bisa berakhir di depan Jessie, menamparnya hingga wajahnya membiru dan bengkak, aku masih ingat betul matanya yang penuh airmata.. Dan aku meninggalkannya begitu saja. Penuh dengan luka yang kubuat.
Aku tidak diperbolehkan pulang ke rumah keluarga besar. ATM ku diblokir. Segala fasilitasku semua disita oleh Ayah dan Kakek. Segala aset yang seharusnya jadi milikku, dihibahkan ke saudaraku dan aku benar benar tidak memiliki apa-apa. Hingga akhirnya aku mengucilkan diriku, mengajar anak anak yang kurang mampu dengan menerima bayaran dalam bentuk apapun, dan menabung sebisa mungkin agar aku bisa menghidupi diriku sendiri hingga sekarang..
Dan Jessie adalah orang yang selalu lewat di pikiranku. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Tapi aku juga malu untuk menghadapi nya lagi. Terkadang saat tengah malam, aku mengawasi rumahnya dari jauh, memastikan ia pulang dengan selamat.. Aku benar benar sudah gila
Atau inikah yang dinamakan, karma?
Aku benar benar tak menyangka, Soojung, adiknya akan bersekolah di sekolah ini. Tapi, apakah ia masih mengingatku? Selama ini aku selalu berpura pura seperti aku tidak mengenalinya, padahal sesungguhnya, hatiku sakit melihat wajahnya. Bahkan aku pernah berhalusinasi Soojung adalah Jessie. Aku benar benar gila setiap melihat Soojung, rasa bersalahku terhadap Jessie selalu terpampang jelas didepan mataku.
Kai POV.
Lagi lagi aku menemukan diriku tertidur di atap sekolah. Entah sudah berapa lama aku tertidur, tapi anehnya, aku tidak merasa dingin sama sekali. Bintang di langit hari ini sangat cantik. Tapi entah mengapa sinar bulan seakan ragu ragu untuk menerangi sang malam. Pikiranku mengambang di tengah hamparan langit, yang selalu berisi satu orang yang sama, Soojung.
Dapatkah aku bersamanya?
Dapatkah aku menggantikan Sehun untuk berada di sisinya?
Seberapa pantas aku untuk berada di sisi Soojung?
Begitu banyak pertanyaanku untuk ditanyakan kepada sang semesta. Ingin sekali aku memutar waktu, waktu dimana aku bertemu pertama kali dengannya. Seandainya aku lebih akrab, seandainya, seandainya, seandainya....
Begitu banyak 'seandainya' yang lewat, dan begitu banyak penyesalan.
I wish i had known her sooner, so i would claimed her as mine.
Aku pun bangkit dan merapihkan jaketku, memakai tudung jaketku dan pergi menuju lift. Tak lupa menekan tombol menuju lantai ke Dormitory. Sebelum pintu lift terbuka, aku menekan tombol menuju lantai yang di Cafetaria. Sepertinya aku tidak akan kembali ke dorm.. Persetan dimana aku akan tidur. Aku hanya tidak ingin melihat Soojung, untuk hari ini saja- atau mungkin esok. Sampai aku bisa berdamai dengan pikiranku sendiri. Setelah aku sampai di Cafetaria, kupikir pada dini hari ini tidak akan ada siapa-siapa. Ada beberapa murid- atau guru yang duduk entah menikmati secangkir kopi hangat, atau mungkin minuman hangat lainnya. Akupun memesan secangkir kopi hangat, dan mencari sudut tepat untukku bersembunyi. Aku mengambil handphoneku, ada beberapa pesan masuk yang kuanggap tidak penting, tapi ada satu nama... yang membuatku terdiam
Jung Soojung
JUNG SOOJUNG
Kau dimana?
Kalau kau diluar, boleh aku titip sesuatu?
Aku ingin mocha...
Tapi kalau kau sibuk, tidak perlu repot repot mencarinya untukku! Hehe
Aku tidak ingin membebanimu
"Kau tidak pernah membebaniku sedikitpun, bodoh.." ujarku sambil tersenyum dan segera bangkit dari kursiku dan pergi membeli mocha di vending machine
Aku hanya menghela nafas panjang. Memikirkan kenapa aku melakukan ini. Bukankah aku baru saja berjanji tidak akan pulang ke dorm malam ini? Namun nampaknya, ada sesuatu yang memicuku untuk pulang ke dorm. Bukan, bukan karna pesanan mocha ini. Tapi karna rindu. Aku rindu sesuatu- bukan, seseorang yang bahkan bukan milikku. Kalau saja mencintainya adalah suatu kesalahan, maka aku tidak ingin menjadi benar. Dan aku yakin, aku tidak akan menyesalinya. Aku tersenyum lebar sepanjang perjalanan menuju Dormku. Sambil mengantongi satu kaleng mocha untuk gadisku, atau kuharap aku bisa memanggilnya seperti itu. Aku mengetuk pintu, dan Soojung dengan senyuman khasnya, seakan mengobati rasa rindu itu. Dengan refleks, aku menarik lengannya dan memeluknya erat.
"Jongin? Ada apa?" desis Soojung pelan
Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan
"Izinkan aku sebentar saja untuk melakukan ini"