Come Back Home

By liarasati

1.4M 85K 3.5K

[Tersedia di Google Playbook] Sekuel False Hope Sepenggal kisah. Bahwa menikah karena cinta pun tak lantas me... More

Prolog
Satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
empat belas
lima belas
enam belas
Epilog
Tes Ombak [delete soon]
Open Pre Order
Ebook

tiga belas

34.6K 4.4K 126
By liarasati

Aji POV

“Mau ambil nasi yang di buka kulkas! Mau ambil minum yang di buka rice cooker. Kamu tau Ji, parahnya, Kakak minta dibikinin teh buat Bang Gandi, eh dia bawa cangkir kosong! Istri kamu itu memang bener-bener... untung kamu nongol juga akhirnya, kalo lewat minggu ini, Kakak rencana ajak ke Haji Husein buat di Rukyah.”

Aku sama sekali nggak bisa tahan senyum saat Kak Dhina berbicara dengan gaya berlebihan, mungkin ini memang tabiat sekeluarga, tapi menyenangkan. Rame, lucu.   

Sementara Dhini menyembunyikan kepalanya di belakang bahuku. Berpura nggak mendengar ledekan Kak Dhina. Sementara di pangkuanku Nayla mengikuti Ibunya berceloteh.

“Hiya... sayang...” Kak Dhina menyahuti Nayla. “Bunda kacau banget ya kan... jelek... hiya?”

“Enak aja!” seru Dhini menarik wajahnya menyoroti tak terima. “Nay, Mama kamu tuh yang jelek. Cantiknya cuma ketolong sama lipstik.”

“Nih aku tanya ya. Ji, kalo nggak mandang, Dhini mau nyuci baju, nyuci piring, beres-beres rumah  dan sebagainya itu. Menurutmu dia cantik nggak?”

Pertanyaan sulit. Wajah Dhini sudah mendekat, hanya berjarak sekian senti, dengan mata setajam... silet kalah. “Jawab, cantik nggak?” tanyanya dengan nada penuh ancaman. “Kalo nggak jawab cantik, entar malem tidur diluar,” bisiknya.

Aku kontan tertawa. Tawa yang sedikit lepas. Setelah satu harian kemarin nggak keluar kamar, Dhini bahkan beralasan ke Ibu dan Bapak kalau aku sedang sakit karena kecapekan. Sementara Dhini menungguiku sambil menonton drama di laptopnya. Padahal biasanya dia paling berisik.

“Hmm... cantik.” Kataku. Dhini tersenyum semringah sementara Kak Dhina mencibir. “Kalau di rumah asrama. Iya. Dia paling cantik.”

Kak Dhina terbahak. “Ya jelaslah, nggak ada cewek lain.”

Dhini spontan melepaskan dekapan tangannya di lenganku dan beranjak, mengambil cangkir tehku yang telah kosong ke dapur.

“Hmm... ngambek tuh,” Kak Dhina mengambil Nayla yang menjulur-julurkan tangannya. “Eh, Ji. Kami minggu depan mau jalan-jalan ke Sabang. Mau ikut sekalian nggak? Tapi, ini bareng keluarganya Bang Gandi sih. Tadinya, niat mau traveling sendiri, eh, pada mau ikutan, ya udah.”

Aku terdiam sesaat. Jalan-jalan? “Aku nggak mungkin dapat libur. Tapi, kalau Dhini ingin ikut sendiri aku nggak masalah.”

“Nggak ah,” sahut Dhini langsung. “Bukan seneng-seneng malah kepikiran yang di rumah.”

“Iyaa... deh iya... yang udah punya suami sekarang.” Kak Dhina melenggang ke kamarnya. Nayla mulai rewel, sebentar lagi mungkin waktunya dia tidur siang.  

“Kamu masih kepikiran?”  Jangan kira Dhini akan melakukan aksi membelai-belai, yang ada dia kembali menyudutkan tangannya ke dadaku yang memar, membuatku menahan ringisan. “Musibah itu bisa terjadi kapan aja, Ji. Tadi pagi aku pancing-pancing Ibu, ngobrol gitu, katanya dulu pas awal-awal rumah tangga Ibu pernah ditipu orang, motornya dibawa kabur, terus gitu usahanya pernah bangkrut kehabisan modal. Mobil Bapak juga pernah nabrak pagar masjid.”

Dhini menghela napas. “Aku juga pernah nabrak kucing sampe mati, terus aku kuburin di belakang rumah. Intinya kita nggak pernah tau kan apa yang terjadi di depan kita. Cuma Yang Maha Kuasa yang bisa menentukan. Eh, si ini bakal mati ditabrak si Polan. Atau si Anu bakal sekarat nabrak tiang listrik.”

Aku mengerti maksud Dhini, sampai detik di mana aku bertemu kembali dengan Dhini, aku rasa perlahan ketakutanku mulai berkurang. Dhini, dia bahkan enggan mengorek soal tabrakan itu sehari pertama aku di sini. Mungkin, karena melihatku sudah agak biasa baru dia berani membahasnya lagi.

“Tumben kamu bijak,” kataku mengecupi rahangnya. Menariknya ke pangkuan.

“Kalo Kak Dhina liat dia bisa heboh,” ucap Dhini tapi nggak menghentikan aksiku. “Bentar lagi Bapak pulang ngajar,” imbuhnya lagi, tapi malah membalas pangutanku yang beralih ke bibirnya.

Aku merasa dia adalah utuh milikku saat dalam posisi memangku dengan kepala menyuruk ke lehernya, perasaan intim yang ingin kulakukan setiap saat. Baru kusadari satu hal, aku butuh Dhini untuk menyeimbangkan caraku berpikir.

Dhini menarik wajahnya. “Iya, soalnya aku jadi mikir juga. Inget-inget lagi guru agama ceramah pas ngaji. Kan memang gitu Ji, semuanya udah digariskan. Kamu mau korek-korek kuburan anak itu sambil sujud-sujud minta maaf juga nggak ada gunanya kan? Manusia memang diciptakan untuk lalai, dan belajar dari kelalaiannya.”

Sejujurnya, aku nggak mau ingat-ingat lagi. Bayangan anak kecil berlari tepat di depan mobil yang kukendarai disertai deritan ban dan tubuh yang terpental jauh membuat kepalaku berputar-putar. Rasa bersalah yang sulit dihilangkan dalam hitungan jam. Tapi, yang dikatakan Dhini semuanya benar. Aku yakin nggak akan menghilang dalam waktu singkat. Namun, Dhini, terlalu berharga untuk kutunjukkan sisi diriku yang lemah dihadapannya. Dan aku akan mencoba melupakan kejadian naas itu.

“Kamu cocok jadi ustadzah.”

“Ngeledek?” sunggut Dhini menyipit kesal.

Aku mempererat lingkaran lenganku di perut Dhini. “Nggak. Cara kamu ngingetin antimainstream. Jadi gampang di terima akal. Oh ya! Aku inget sesuatu—“

“Apa?” potongnya cepat.

“Kamu nggak bilang kalau kamu anterin papa makan siang. Papa yang cerita.”

Dhini mengulum habis bibirnya, semburat merah menghiasi pipinya. “Papa kamu ada cerita apa lagi?” tanyanya dengan mata binar, tersenyum malu-malu. “Dia nggak bilang aku mantu idaman gitu, Ji?”   

Salahkah aku gembira berada di situasi ini dengan Dhini dan mengabaikan musibah yang baru kualami kemarin? Jika boleh, maka saat ini senyum pun susah buat nggak terukir. “Nggak. Dia malah bilang kamu niat mau goda dia ya?”

“Ih!” seru Dhini langsung membeliakkan matanya. “Kalo liat harta sih iya aku lebih milih Papa kamu. Tapi... Ih... nggak-nggak. Serius papa kamu keganjenan gitu?”

Aku menyengir, mana mungkin papa ngomong gitu, dia malah cuma komen, “Bilangin Dhini nggak perlu repot-repot, nanti rumah makan Ibunya bangkrut. Papa lagi nggak makan minyak, dia setiap hari bawa rendang.”

Kalau aku bilang apa yang Papa katakan pasti Dhini malu, lebih parahnya lagi besok-besok dia jadi semakin antipati sama Papa, padahal aku tahu maksud Papa nggak gitu. Aku yang pengalaman hari-hari mendengar ucapan Papa yang sedikit tapi pedas, dan rata-rata pekerja yang bertahan dengan Papa adalah orang-orang yang sudah sangat mengerti tabiat Papa.

Hanya, kata terakhir Papa membuatku menyadari satu hal, dia tetaplah seorang Ayah. Yang punya sedikit kata nasihat, “Jangan drop hanya karena satu musibah, ada istrimu yang butuh pria kuat.”

“Kamu bohong kan?” tuding Dhini menyadarkan lamunanku. “Mana mungkin papa kamu bilang gitu kan? pas, aku dateng aja papa kamu cuma lirik-lirik tanya kabar Ibu-Bapak singkat, terus bilang terima kasih. Itu juga atas saran Ibu sih. Ibu bilang mumpung aku di Medan, jadi ada baiknya nyamperin mertua.”

Aku menatap Dhini dalam. Nggak akan kutemukan wanita lain seperti Dhini, dia komplit, mengisi seluruh akal pikiranku.

“Hm, iya, papa bilang makasih,”

Dhini menaikkan alisnya. “Cuma gitu aja?”

“Nggak ikhlas ngasih makanannya?”

Bibir Dhini langsung mengerucut. “Ikhlas lah...” lalu dia memicing. “Eh, Ji.”

“Hm.”

“Kamu udah dapet kabar belum, kalau Bang El dimajuin tunangannya, jadinya minggu ini. Mamanya udah nggak sabaran bener.”

Keningku mengerut sebelum bergeleng, semenjak jarak jauh, komunikasiku dengan Bang El pun nyaris terputus, hanya sesekali dia menyapa dan kubalas. Aku nggak bermaksud menjauh hanya karena Dhini. Tapi, memang waktu yang nggak memungkinkan.

“Kamu tau dari Mona?”

“Nggak. Eh—“ Dhini mengatupkan bibirnya, alisku langsung bertaut.

“Bukan dari Mona, jadi dari siapa?”

“Um... semalem aku chat sama dia, pas kamu tidur,” ucap Dhini sepelan mungkin.

“Dia? Dia Bang El?”

Dhini mengangguk perlahan.

Lipatan di dahiku dijamin bertambah banyak. “Jam berapa?”

“Hm.. jam, sampe—jam tigaan kayaknya,” jawabnya sambil meringis. “Jangan marah ya, aku nggak bisa tidur semalem.”

“Coba liat isi chatnya?” kataku menengadahkan tangan.

“Eh, ngapain? Cuma ngobrol gitu-gitu doang. Nggak penting-penting amat. Bahas-bahas usaha dia aja, katanya mau buka cabang lagi.”

“Ya, kalau memang nggak penting-penting amat, kenapa aku nggak boleh liat?” tantangku.

Dhini menyengir. “Kamu taukan Ji, aku kalo udah chat suka kelepasan. Jadi, ya...”

Aku menggeser tubuh Dhini dan mengambil ponselnya dari atas meja. “Berani cerita berani bertanggung jawab,” kataku sambil membuka kunci ponsel Dhini yang hanya rentetan angka 4444, dia males ribet katanya, jadi biar nggak lupa itu jadi kunci ponselnya, meski udah beberapa kali ganti ponsel.

Ya, memang isi chatnya nggak ada apa-apa, cuma di penuhi emoticon.

Sampai tanganku men-scroll lebih lanjut. “Itu cuma candaan doang, katanya sambil menggigiti kukunya.”

Candaan yang sama sekali nggak lucu menurutku.

Bang El : Mama takut Abang udah tua, anak masih nyusu.

Me : Ahahah, Abang udah keriput, anak masih ABG.

Me : Kalo dulu jadi sama Abang anak kita udah jalan kali ya. Wkwkkwk.

Bang El : Bukan. Udah naik sepeda-sepedaan.

Me : Ahaha.. kereta dorong. Malamnya naik odong-odong.

Bang El : Ada-ada aja kamu Dhin. Terus anaknya nggak mau udah, besoknya beli odong-odong sendir di rumah.

Aku menoleh, menatap Dhini lurus. Dan, dia, terlihat semakin menciut di tempatnya.

“Kalo kamu marah tandanya cemburu, ya kan?” katanya sambil meringis, mencolek daguku. Tatapanku masih belum enggan bergeser. “Jangan gitu ah Ji, aku serem diliatin kayak gitu.”  

Dhini menarik ponselnya. “Ini, aku ada bales gini.”

Bang El : Aji kemana? masih on aja jam segini?

Me : Aji bobo. Kecapekan.

Bang El : Kecapekan??

Me : Kecapekan beneran... bukan yg lain-lain.

Bang El : Oh... kirain.

Me : Dia baru pulang, aku belum puas mandangin wajahnya, makanya belum tidur-tidur dari tadi. Hehe.

Bang El : Hmm.. iya deh.  Yg pengantin baru.

“Ji, hm, panas-panas, jadi pengin es krim.” Dhini sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Memang harus sampe bahas-bahas anak gitu ya? Nggak ada pembahasan normal lain?”

Wajah Dhini berubah lesu, dagunya tertambat di bahuku. “Cuma lucu-lucuan lho... kamu kan juga gitu, suka lucu-lucuan.”

“Lucu-lucuan aku sama kamu, sama temen-temen. Bukan ke cewek lain.”

Ya, aku biasa lucu-lucuan sama siapa aja. Yang penting bisa buat beban terangkat. Tapi herannya, candaannya Dhini ke Bang El nggak bisa kuanggap biasa aja. Aku nggak suka.

Dhini menarik tubuhnya. “Jadi, mau marah sama aku cuma gara-gara ini?” Ini aneh, kenapa dia yang balik menekan? “Mau diemin aku? Mau larang-larang aku chat sama Bang El, padahal aku cuma anggap dia Abang? Dia mau tunangan lho Ji—“

“Aku nggak larang. Aku cuma nggak suka sama pembahasan kalian.”

Air muka Dhini semakin masam. “Nggak lagi. Suer, tapi—“

“Tapi apa?”

“Malam ini bobonya peluk aku,” katanya mendekap tubuhku sambil memicing mata. Dhini itu begini, bisa banget buat aku nggak marah lama-lama.

“Hmm,” gumamku, mengambil ponselnya dan menghapus semua chatnya dengan Bang El.

“Lho kok—“

“Kan nggak penting. Bagus dihapus,” potongku cepat.

-TBC-

26/02/2018 Liarasati

Sorry for typo.

Senengkan aku update lagi...

Next agak lamaan yaa...

Continue Reading

You'll Also Like

1M 102K 34
[Tersedia di Google Playbook] [Sekuel After We Don't Talk Anymore] Setelah hubungan jarak jauh dan penantian yang terasa begitu lama Nina justru meme...
52.4K 9.8K 26
Nirbita Btari tak tahu apa itu jatuh cinta. Perempuan yang hampir seluruh masa mudanya dihabiskan untuk bekerja dan merangkai mimpi ini tak tahu rasa...
187K 23.3K 23
Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentang siapa yang datang dan tidak pernah Per...
271K 49.3K 11
"Setiap kali Bapak merasa dunia nggak berpihak pada Bapak, ingat putri cantik Bapak. Dia butuh ayah yang tegar, bukan yang cengeng dan cuma bisa prot...