Ajisai Gakuen -Hydrangea Scho...

By IkariKeno

18.3K 1.4K 224

WARNING! Umpatan, kekerasan dan adegan berdarah! Sekolah ini mengikat simpul pertemuan kita. Dari fajar hingg... More

Intro
Hajimemashite
RIVAL
Word
The (K)Night
FiRe
Justification Not Truth
"Sayounara."
Need Help?
CLIMAX (Part I)
CLIMAX (Part II)
Untitled (Part 1)
Untitled (Part 2)
Untitled (Part 3)
DEPARTURE

#HaveFaith

836 77 34
By IkariKeno

Karet gelang karet gelang
Ini adalah saatnya untuk melepaskan
Ini adalah saatnya salah satu dari kita terluka
We gotta go

Itu telah menjadi perjalanan yang sangat indah
Kupikir akan sangat sulit untuk dilupakan
Setelah sekian banyak waktu
Kita telah menulis akhir dari cerita kita

Kita berada dalam hubungan yang baik
Aku tidak merasa melalui hal yang sia-sia
Setelah banyak musim yang kita lalui
Kita telah menulis bagaimana akhirnya

- Rubber Band

Rose menatap bingung amplop dalam genggamannya. Sempat mengira bahwa amplop itu dari Suitopi Gakuen, namun ternyata malah bercap sebuah universitas kedokteran ternama dengan alamat negri Jerman.

'Untuk apa universitas ternama diluar negri mengirim surat ke sekolah buangan? Salah alamat?' gumam Rose lancang mengeluarkan kertas dalam amplop itu.

"Surat undangan pemerimaan beasiswa." Rose tertegun membaca surat itu. Tubuh mungil itu bergetar. Rose larut dalam ketakutan luar biasa. Ribuan tanya mengobrak-abrik benaknya.

Tuk! Tuk! Tuk!

Langkah kaki Rose menggema. Berlari menyusuri lorong guna memverifikasi surat dalam genggamannya.

Denting petikan gitar mengurungkan niatnya tuk memutar kenop pintu ruang rawat June. Tertangkap pandang dari jendela pintu, June tengah bernyanyi untuk gadis bunga mataharinya.

Doushite kimi ga naku no mada boku mo naiteinai no ni
Jibun yori kanashimu kara tsurai no ga docchi ka wakaranaku naru yo
Garakuta datta hazu no kyou ga futari nara takaramono ni naru

Soba ni itai yo kimi no tame ni dekiru koto ga boku ni aru kana Itsumo kimi ni zutto kimi ni waratteite hoshikute

Himawari no you na massugu na sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kore kara wa boku mo todokete yukitai koko ni aru shiawase ni kizuita kara

Tooku de tomoru mirai moshimo bokura ga hanarete mo
Sorezore aruite yuku sono saki de mata deaeru to shinjite
Chiguhagu datta hazu no hohaba hitotsu no you ni ima kasanaru

Soba ni iru koto nanigenai kono shunkan mo wasure wa shinai yo Tabidachi no hi te wo furu toki egao de irareru you ni

Himawari no you na massugu na sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kaeshitai keredo kimi no koto dakara mou juubun da yo tte kitto iu kana

Soba ni itai yo kimi no tame ni dekiru koto ga boku ni aru kana Itsumo kimi ni zutto kimi ni waratteite hoshikute

Himawari no you na massugu na sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kore kara wa boku mo todokete yukitai hontou no shiawase no imi wo mitsuketa kara

- Himawari no yakusoku
(Motohiro Hata).

Punggung Rose jatuh tertumpu pada dinding disamping pintu. Tangannya membekap mulutnya sendiri. Manik kelamnya sontak mengabur sebab kacamatanya mengembun. Rose tak siap untuk kehilangan pangerannya.

Slutt!

Diselipkannya amplop itu dicelah bawah pintu berkawan bangau lantas kembali berlari balik kanan.

31 Maret.

"Jisoo.."

Sang boneka porselen hidup bersimpuh dihadapan gundukan tanah merah. Melirih pelan seraya mengusapnya.

"Aku merindukanmu.. Aku rindu seluruh waktu yang ku lalui bersamamu.."

Tes!

"Hiks!" Rose menitikan air matanya dengan tangan masih setia mengusapi gundukan itu.

"Akh!" Rose merintih tipis seraya memegangi kepalanya yang terasa sedikit nyeri sisa mabuk kemarin. Ya. Mabuk guna melepas gundah akan rencana kepergian pangerannya.

"Aku juga merindukanmu!" seru Rose beralih pada gundukan di samping gundukan sebelumnya. Gundukan yang berbeda dari gundukan lain sebab lebih kecil. Besarnya hanya seperempat dari gundukan lain.

Rose melepas kacamatanya.

"Kau tahu, hingga sekarang aku masih menjaga ikrarku padamu." lirih Rose menghapus air matanya. "Kau senang bukan?"

Deru angin menyapanya. Seakan menjawab 'Iya' akan tanyanya. Rose tersenyum.

Hari ke-28. Hari terakhir.

Sang gadis bakpau melangkah riang menuju Ajisai Gakuen.

Semua murid yang berpapasan dengannya melempar tatap mengintimidasi. Melecehkannya sebab menganggapnya akan segera ditendang dari sekolah. Namun Lalice yang polos jelas tak terpengaruh.

"LALLIIIIICCCCEEEE!!!" Hayi-Suhyun menjerit hingga telinganya berdenging kala ia menginjakan kaki digerbang.

"Apa?" tanya Lalice polos.

Puk!

Jitakan Hayi mendarat di pucuk kepalanya.

"Aduh! Apa maksudmu?" tanya Lalice polos.

"Kau ini bagaimana! Ini hari terakhir!" pekik Suhyun.

"Hari terakhir apa?" tanya Lalice polos.

"Kau ini kenapa innocent sekali sih?! Sebenarnya kau ini polos atau bodoh?!" kesal Hayi.

"Un? Tidak tahu. Mungkin keduanya." jawab Lalice polos.

"Ahh terserahlah! Yang penting kau jangan pergi! Aku mohon!" jerit Suhyun.

"Aku tak rela kau meninggalkanku! Aku takkan sanggup!" balas Hayi.

"Ohh ayolah! Aku tidak kemana-mana. Lihat! Aku disini." jawab Lalice polos.

"Ini hari kedua puluh delapan!" balas Hayi.

"Ini hari terakhir!" tambah Suhyun.

Lalice menghela nafas lelah dengan kelakuan berlebihan Hayi-Suhyun yang kini malah makin menggila hingga meraung-raung dengan mendekapnya luar biasa erat.

Tap! Tap! Tap!

"Bobby-san!" panggil Lalice susah payah kala Bobby melintasi gerbang.

"Butuh bantuan?"

"Ha'i! Ha'i! Aku butuh bantuanmu! Lepaskan.. Uhuk! mereka dariku! Uhuk! Aku.. Aku tidak.. Uhuk! Uhuk! Bisa.. Berna.. Fas.." paras Lalice telah memucat kekurangan oksigen mungkin sesaat lagi akan membiru.

Bobby meraih bahu Hayi dan Suhyun dengan kedua tangannya.

"Permisi." ditariknya pelan kedua bahu itu.

"Sudah." riang Bobby dengan senyum yang tak pernah lepas dari parasnya.

"Fiuhh.. Arigatou!" Lalice membungkuk pada Bobby setelah berhasil lolos dari Hayi-Suhyun. Sesaat kemudian gadis itu berbalik menghadap pasangan kembar beda ibu beda ayah yang luar biasa kompak di belakangnya.

"Sialan! Kalian bilang tidak mau aku pergi dari sekolah ini sekarang tapi malah mau membunuhku. Kalian mau aku pergi ke neraka sekarang heh?!" marah Lalice.

"Gomen ne." jawab mereka kompak.

Tap! Tap!

Bobby melanjutkan langkahnya.

"Un? Bobby-san!" Lalice kembali memblokir langkahnya.

"Butuh bantuan?"

"Tunggu."

Lalice melepas tasnya lantas mengeluarkan kantung plastik dari dalam sana.

"Ini." disodorkannya sebuah toples kaca mungil dari kantung plastik itu pada sang pemuda.

Toples kaca berisi air dengan golden fish mungil didalamnya.

"Untukku?" tanya Bobby. Lalice mengangguk.

"Kau suka?" Lalice balas bertanya. Kini Bobby yang mengangguk.

"Arigatou."

"Dengar, cobalah untuk di kursi hari ini. Sekali lagi, di kursi. Duduklah di depan jangan dibelakang kelas. Taruh toples ini diatas mejamu. Jadi mejanya tak boleh kau pukul. Dibanting juga tak boleh! Ingat, jangan di hancurkan. Sekarang, kau bisa belajar sembari melihat air, seperti yang biasa kau lakukan saat belajar denganku. Mengerti?"

"Ha'i." angguk Bobby patuh.

"Dan.. Mulai sekarang.. Cobalah memanggil orang dengan namanya." Lalice sesungguhnya ragu akan ucapannya sendiri.

"Cobalah panggil guru dengan namanya. Atau coba saja panggil June-san atau BI-san."

Bobby menatapnya ragu.

"Aku tidak bisa." jawab Bobby.

"Begini saja. Coba panggil namaku saja. Lalice."

Bobby bergeming.

"La-lice." sang gadis mencontohkan. Bobby tetap bergeming.

"Yasudah aku tidak memaksa."

Rose membeku tepat setelah memutar kenop pintu. Maniknya terpusat pada sosok pemuda dengan surai gondrong yang berdiri membelakanginya.

Maniknya terfokus pada surai pemuda itu.

"Jaewon-kun!" Rose berseru lepas menerjang punggung dihadapannya.

BRUKK!

Tubuhnya jatuh terduduk saat pemuda itu sigap berbalik dengan tangan besar mendorong bahunya.

"Ahh kau Roseanne. Aku refleks. Cepat bangun." titahnya dingin. Tanpa minta maaf.

Sempat diserang telak dari belakang pasti membuat sang pemuda lebih keras melatih refleksnya.

Suara itu. Suara gagah itu memecah khayal bertaut harap milik Rose. Sang boneka porselen hidup tertunduk, sadar bahwa sosok dalam pandangnya hanya ilusi belaka. Pemuda dihadapannya bukanlah sosok pemuda yang tadi ia panggil namanya.

"Gomen ne. Aku muncul tiba-tiba." ujar Rose segera berdiri dengan manik tetap terfokus pada surai pemuda itu.

June akan pulang dari rumah sakit dan berangkat sekolah kembali hari ini. Tubuhnya baru berbalut seragam, belum tertutup red hoodie jacket. Membuat surainya yang mulai memanjang jadi nampak jelas. Rose sadar bahwa surai pangerannya telah memanjang sekarang sebab surai itu tak pernah lepas dari hoodie.

Dengan surai seperti itu June nampak mirip dengan sosok yang namanya ia panggil tadi.

June menyadari kemana arah pandang Rose.
"Ada apa dengan suraiku? Ada yang salah?"

"I-iie. Hanya saja kau jadi nampak berbeda." jawab Rose.

"Suraiku jadi begini pasti karena aku terlalu lama berada disini. Apa terlihat buruk? Aku akan segera merapikannya." ujar June.

Rose mengangguk canggung.

Sugoi!

Kalimat itu. Kalimat terpanjang yang pernah Rose dengar dari laras June.

"Tadi kau memanggilku siapa?" tanya June.

"Ano.. Iie." Rose gelagapan. "Bukan siapa-siapa."

"Sulit dipercaya." takjub Kepala sekolah Hyunsuk menatap kertas hasil kerja Bobby.

Tanpa cacat sedikit pun.

"Aku menang." seru Rose menghempas kartu dalam genggamannya lantas mengambil alih 5000 yen yang jadi taruhan mereka. Hayi-Suhyun menghela nafas sebal sementara Mino, Jennie dan Lalice yang jadi penonton meledakan tawa.

"Nah! Minumanku kemarin lunas." Rose menyerahkan uang itu.

Ya. Alasan Hayi-Suhyun betah berdiam dipos jaga adalah sebab tempat itu menjadi salah satu sumber pendapatan mereka. Menjadi bartender dan pemasok minuman Ajisai Gakuen.

Mulai dari soda sampai vodka siap diorder. Tertarik?

"June-san."

Rose mengerjab kala tetiba Mino berdiri dari duduknya lantas membungkuk kearah gerbang diikuti Lalice dan Jennie. Hayi-Suhyun yang sigap ikut andil sontak membuatnya sontak ambil bagian.

June balas membungkukkan tubuhnya. Tertangkap pandangnya, sekilas June mengarahkan netra padanya. Rasa sakit tersirat dari manik itu. Seakan baru saja bertemu mimpi buruk.

Rose segera menundukan pandangnya dengan tanya berkecambuk dalam benaknya. Ada apa dengan pangerannya?

June menegakkan kembali tubuhnya lantas melanjutkan langkah menyusuri lorong menuju tangga sakral Ajisai Gakuen.

Tap! Tap! Tap!

June melangkah tegas meniti tangga sakral itu. Senyum simpul tersungging tanpa sadar. Sungguh ia merindukan segala hal tentang tempat ini.

PRANK!

Langkah June sempurna terhenti kala sebuah pot bunga mendarat tepat disamping pijakannya. June berbalik, empat orang pemuda muncul dan melangkah kearahnya.

Menangkap keributan, Double B beringsut keluar markas.

"Akhirnya kau menampakkan tampangmu juga. Selamat datang TUAN MUDA!" sambut Chan dengan nada bicara menantang.

Gemeretuk gigi BI tertangkap rungu June. Tempramen BI mulai terpanggil.

June melempar tatap dingin pada genk yang kembali membuat onar itu. Sangat dingin. Lantas kembali berbalik meniti anak tangga. Secara tidak langsung memberi perintah pada kawan-kawannya untuk balik kanan.

"Apa kau tak merasakan jika tempat ini semakin sunyi?!" seru Song.

June tersentak sontak melempar pandang kesegala arah. Sunyi.

"Jangan bilang bahwa kau baru menyadarinya!" balas Song.

June kembali berbalik.

"Sadarkah kau bahwa kau telah menumbalkan puluhan nyawa heh?!" tantang DK.
"Semakin lama jumlah murid Ajisai Gakuen semakin menipis sebab kau terlalu mengulur waktu dalam mengambil keputusan pelaksanaan pertarungan."

"Para pemimpin memang kebanyakan hanya memberdayakan tubuh tambunnya diatas singgasana sampai tak sanggup bergerak mengangkat tubuhnya sendiri." cibir Chan.

"Kau persis tokoh antagonis dalam film zombie yang menumbalkan tokoh lain untuk mati terlebih dulu demi melindungi dirimu sendiri!" sambung Jay.

"Kami mengajukan kudeta!" seru Chan mutlak.

"Brengsek! Tarik kata-katamu!" bentak BI naik pitam melangkah tajam menuruni tangga berniat melempar hantaman kearah Chan.

Mino sigap berlari menghalau pertumpahan darah. Hayi-Suhyun dan Blackpink mengekor.

Sekilas, BI yang menangkap nyalang manik Jennie sontak mengurungkan niatnya.

June merentangkan tangannya berniat menahan BI. Manik June membulat kala tubuh raksasa tetiba terhenti terlebih dulu sebelum ia tahan. Tubuh besar itu bergetar dengan paras memerah menahan amarah. June dibuat takjub akan BI yang kini mampu mengendalikan tempramennya sendiri. Lebih takjub lagi kala ia menatap Bobby yang mengekor seraya menggenggam aquarium mungil nampak tenang walau tak dalam rangkulan 'kakak'nya. Sontak June merasa telah melewatkan banyak hal.

"Apa yang kalian lakukan?! Kalian ingin Ajisai Gakuen semakin terpecah heh?! Pertempuran besar akan terjadi, seharusnya kita bersatu!" bentak Mino mencoba menengahi yang dibalas dengan tatap tanpa segan.

Rose membuka bukunya. Dengan halaman yang sama dan kutipan yang sama. 'Bisa aku bicara?'

Hening. Semua tak memberi respon sebab menganggap bukan ide bagus untuk Rose buka suara dalam keributan begini. Namun June menganggukan kepalanya sekali.

"Ini bukan saatnya mengedepankan ego masing-masing. Kita bicara soal keselamatan orang banyak. Jika tak bisa bersatu sebab tekad yang sama, maka bersatulah sebab lawan yang sama." ujar Rose.



"Suhyun~! Aku minta maaf! Sampai jumpa!" Hayi mendekap partnernya dengan linangan air mata.

"Hayi.." Suhyun membalas lirih menyambut dekapan itu.
"Aku juga minta maaf. Sampai jumpa. Hiks!" isakan yang lolos dari laras Suhyun membuat Hayi semakin mengeratkan dekapannya.

Pasangan anak kembar beda ibu beda ayah ini kembali memulai ke-berlebihan-an mereka.

"Huhu.. Suhyun~!"

"Hayi~!"

Jennie merundukan parasnya. Terenyuh dengan adegan sepasang partner dihadapannya. Walau kerap nampak garang, namun perasaan Jennie sesungguhnya amat lembut. Sesaat kemudian ia larut dalam isakannya sendiri lantas bergabung bersama Hayi-Suhyun.

Sang gadis bakpao nampak mengembangkan senyumnya. Melihat itu, gadis disampingnya memutar bola mata tanpa merubah raut wajahnya yang kaku bak boneka porselen itu.

Masih sempat tersenyum dalam suasana haru, masih sempat membuat lelucon ditengah ancaman, masih sempat tak serius dalam keadaan genting. Oh, gadis bakpao itu benar-benar polos.

"Lalice." Jennie beralih mendekap Lalice.
"Aku minta maaf. Sampai jumpa." ujar Jennie lembut dengan suara sedikit parau.

"Ha'i Jennie. Aku juga minta maaf. Sampai jumpa." balas Lalice sedikit bergetar.

Jennie mengelus lembut surai dan punggung Lalice. Sayang.

Lalice tak membalas, jemarinya justru bertaut mengepal dibalik punggung Jennie. Parasnya memerah berkawan lukisan cermin dimaniknya, juga bibir bawah yang ia gigit kuat-kuat tertangkap pandang sang boneka porselen. Nampak sesungguhnya Lalice mati-matian menahan air matanya.

Gadis porselen itu mengalihkan netranya, sebab tetiba maniknya terasa pedih. Rose benci hari lelulusan dan ucapan selamat tinggal.

"Roseanne.. Hiks!" Jennie beralih mendekapnya.

"Jennie cukup. Jangan menangis." ujar Rose.

"Maafkan aku.. Sampai jumpa Roseanne."

"Ha'i. Aku juga." balas Rose tanpa berniat membalas ucapan perpisahan Jennie.

Lalice dan Rose masih saling bergeming. Sesaat manik kedua rival abadi itu bertaut lantas berpisah kembali. Lalu bertaut dan berpisah lagi.

BUGH!

Gadis bakpao melempar hantaman pada paras gadis porselen disampingnya.
"Aku minta maaf." ujar Lalice buka suara. Jika bukan ia yang memulai, maka gadis itu akan tetap membisu layaknya boneka porselen sungguhan.

BUGH!

Rose balas mendaratkan hantaman diparas Lalice.
"Aku juga minta maaf."

'Entahlah. Rasanya aku begitu takut tuk mendekapmu. Aku takut nantinya aku tak sanggup melepas langkahmu. Bukan sahabatku, namun kau adalah rivalku. Sosok yang memberitahuku makna sebuah persaingan. Aku yang kerap merasa kemampuanku berada dibawahmu. Yang diam-diam selalu bertekad melampauimu. Sungguh terima kasih untuk tiga tahun ini. Lalice. Rival abadiku.'



Malam menyapa. Gedung tua ini mulai sunyi ditinggal penghuninya seiring gulita yang perlahan menaunginya. Bersaksi rinai mutiara langit, tangis bermula di puncaknya. Tangis pangeran yang tengah terduduk dengan kamera dalam genggamannya. Menatap potret empat orang ksatria dengan senyum kemenangan berlatar puncak itu.

Sang boneka porselen meniti tangga sakral seraya menaikan hoodie vestnya. Sekenanya melindungi kepala dari rebas yang walau tak terlampau besar namun cukup untuk mencipta riuh menutup derap langkahnya.

Kala tepat tiba di puncak, benda berlensa melayang kearahnya.

Sang gadis mengerjap lekas menghindar sebelum benda itu sempurna mendarat manis dipucuk kepalanya. Akibatnya, benda itu menghantam pagar pembatas lantas terjun hingga terberai bersaksi lantai dasar.

Sang gadis menatap sang pemuda. Sang pemuda balas menatapnya. Sang gadis menundukkan parasnya. Sang pemuda buang muka menyeka kasar air matanya.

"Apa yang terjadi June-san?"

Rebas yang mulai bergeming membuat suara sang gadis yang bertanya lirih jadi terdengar.

June menghiraukan sang gadis. Menyibukan diri dengan minumannya. Padahal disekelilingnya telah berserakan sampah-sampah botol terkutuk itu.

"Cukup June.." lirih Rose dengan suara bergetar. Merasa sakit melihat June merusak tubuhnya sendiri dengan cairan terkutuk. Jika bisa, ingin ia rengkuh tubuh yang nampak ringkih itu.

"June-san cukup." Rose menaikan intensitas suaranya seraya berlutut menyelaraskan tingginya dengan June.
"Kau sudah minum terlalu banyak. Bicara padaku. Minuman takkan mendengarkan keluhanmu. Mabuk takkan menyelesaikan masalahmu."

Sedikit munafik, sebab kemarin pun Rose mabuk kala mendapat masalah. Tapi ayolah, ia hanya kalut. Lagipula hanya beberapa gelas tak sampai satu botol. Tepatnya belum sempat habis sebotol, Jennie menemukannya lantas menyeretnya pulang.

"Kubilang cukup!" bentak Rose yang merasa dihiraukan akan kebergemingan June yang malah sibuk dengan minumannya.

PRANK!

Dirampasnya botol terkutuk itu dari genggaman June lantas ia hempas hingga membentur pagar pembatas lalu hancur dan isinya menyaru dengan sisa rebas.

"Apa maumu heh?!" June berteriak dihadapannya.

Bugh!

Rose melempar hantaman pada paras June. Tak terima pemuda itu berteriak dihadapan parasnya. Rose bukan gadis berhati lemah yang akan menangis hanya karena diteriaki.

"Kau jenius. Kau punya iq 200. Tapi kau bodoh dalam berkata-kata. Kau memang berjiwa kepemimpinan tapi bukan berarti semua harus kau tanggung sendiri."

"Hiks!" isakan June menunjukkan bahwa kewarasannya telah ia peroleh kembali.

"Jika kau mencintai orang yang sama dengan sahabatmu dan orang itu menginginkanmu, apa kau akan menerimanya?" tanya June.

"Aku tak seegois itu." jawab Rose.

"Jika sebaliknya, orang itu menginginkan sahabatmu, apa yang akan kau katakan?"

"Aku akan berkata, "Jika tak dapat bersamaku, maka berbahagialah bersama sahabatku.""

"Jika-"

"Katakan saja apa yang terjadi padamu! Jangan mengulur waktu-" Rose membekap mulutnya sendiri.
"Gomen ne-"

"Aku bertemu dengan Jungkook."

Flashback On

"Apa salahku hingga kau melakukan ini, heh?!" tantang June menggenggam kerah Jungkook.

"Kau masih bertanya apa salahmu setelah kau miliki wanita yang kupuja heh?!" Jungkook menepis tangan June.

"Tzuyu?" June menurunkan nada bicaranya, tak percaya.

"Lantas siapa, heh?! Tzuyu memintaku memilih dia atau dirimu. Dan memilihnya. Sebab aku sudah tak membutuhkanmu lagi. Aku lelah selalu berada balik bayanganmu. Aku bisa menjadi petinggi sekolah yankee dengan tanganku sendiri."

Flashback Off

Sungguh Rose ingin merengkuh tubuh rapuh itu. Ingin ia salurkan keteduhan bagi hati yang terguncang itu.

"Sesungguhnya didunia ini tak seorang pun dapat benar-benar kita percayai seutuhnya. Bayangan kita sendiri bahkan meninggalkan kita ketika dalam kegelapan." ujar Rose.

Hening.

TRANG!

Tetiba June berdiri lantas menendang pagar pembatas.

"Sebenarnya aku ini dianggap apa?! Anak buahku mengajukan kudeta, sahabatku mengkhianatiku, wanitaku mempermainkanku. Apa aku benar-benar tak dibutuhkan?! Lebih baik saat itu aku mati saja!" jerit June.

Sang pangeran balik kanan meniti turun tangga sakral seraya bergumam lirih pada deru angin. Deru yang merambatkan bunyi sampai koklea sang boneka porselen.

"Aku bukanlah orang yang hebat, tetapi aku ingin belajar dari orang yang hebat.
Aku adalah orang biasa, tetapi aku ingin menjadi orang yang luar biasa.
Dan aku bukanlah orang yang istimewa, tetapi aku ingin membuat seseorang menjadi istimewa."



Flashback On

Jaewon.

Pemuda berkacamata dan bersurai gondrong itu adalah anak dari tangan kanan tuan Taeyang yang turut menjadi korban dalam pembantaian malam itu.

Pemuda keturunan klan yang secara turun temurun mengabdi pada klan keluarga tuan Taeyang.

Pemuda yang lahir untuk mengabdi pada Roseanne, putri mahkota keluarga itu.

Pemuda yang menjadi sosok satu-satunya insan yang mengetahui fakta bahwa sesungguhnya Roseanne lolos dari maut malam itu.

Pemuda yang memperkenalkan sekolah yankee pada Roseanne sebagai satu-satunya tempat mengenyam pendidikan dimana identitasnya takkan terbongkar.

Juga pemuda yang menguak makna persahabatan, pengkhianatan, kekuasaan hingga kehidupan bagi Roseanne.

Pun cinta pertama.

"Roseanne.. Doumo arigatou gozaimasu. Sayounara." ujar gadis pucat yang terbaring lemah diranjang rumah sakit seraya tersenyum semampu yang ia masih sanggup. Jisoo.

"Kau bicara apa?! Jaga bicaramu Jisoo!" bentak Rose. Sang gadis porselen yang kala itu surainya diwarnai abu-abu pada pangkalnya dan indigo sebagai terusannya.

Jisoo mendudukan tubuh sekenanya lantas menarik Rose dalam dekapnya.

"Kini kau bisa memiliki Jaewon seutuhnya. Tanpa aku diantara kalian." lirih Jisoo.

Tubuh Rose menegang. Lantas ia longgarkan dekapannya guna menatap Jisoo.

"Apa maksudmu Jisoo?" tanya Jaewon yang berada di belakang Rose. Dihadapan Jisoo.

Jisoo tak menjawab Jaewon, malah menatap Rose seraya tersenyum.

"Kita mencintai pemuda yang sama kan Rose? Tapi kau selalu mengalah demi aku. Sebab aku sakit." ujar Jisoo.

"Iie. Kau pantas untuk Jaewon." sangkal Rose.

"Gomen ne. Aku mengkhianatimu. Aku memiliki Jaewon padahal sahabatku sendiri juga menginginkannya. Gomen nasai aku berkhianat. Mulai sekarang ia milikmu." ujar Jisoo meletakkan dagunya dibahu kanan Rose.
"Tolong jaga Roseanne, Jaewon." pintanya.

"Kau bicara apa?!" Jaewon meninggikan suaranya. Tubuhnya beranjak mendekat, tangan kirinya ia gunakan untuk menggenggam jemari tangan kanan Jisoo yang tersampir dibahu kiri Rose sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk membelai surai Jisoo.
"Aku mencintaimu Jisoo."

Hati Rose bak dilempar menghantam dinding. Sakit sekali.

"Aku juga mencintaimu Jaewon. Sebab itu aku titipkan sahabatku padamu. Tolong Jaewon. Apapun yang terjadi, jaga Roseanne. Jaga Rose demi aku. Lindungi Rose layaknya kau melindungiku."

"Jisoo-" sanggahan Jaewon terputus oleh senggalan nafas Jisoo.

"A-Aku.. Mo-hon!" desak Jisoo dengan nafas putus-putus.

Jaewon menjambak surainya sendiri.

"Ha'i Jisoo. Ha'i." mantap Jaewon.

Rose mengatupkan erat kelopak matanya seraya menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan sakit kala ia merasakan Jaewon mendekatkan tubuhnya hingga punggung Rose nyaris bersentuhan dengan dadanya guna mendaratkan kecupan dipucuk kepala Jisoo.

Detik berikutnya, tubuh Jisoo terlepas dengan sendirinya dari dekapan Rose.

Jisoo meninggal.



Sepasang insan berkejaran dalam gelap malam. Bukan dimabuk asmara namun menghindar dari kejaran gerombolan.

Jaewon menarik Rose bersembunyi dibalik bangunan.

"Kenapa mereka mengejar kita Jaewon? Aku tidak melakukan apa-apa." ujar Rose.

"Mereka mengejarku." balas Jaewon.

"Nani?"

Jaewon merogoh saku dan menunjukan selembar kertas bergambar paras dirinya. Tertulis 'Dicari hidup atau mati.'
"Aku buronan Roseanne."

"Apa yang kau lakukan?" Rose mengambil alih kertas itu. Membacanya baik-baik.

"Aku merampok orang berdasi beberapa waktu lalu. Aku menghabisinya untuk 20.000 yen." aku Jaewon.

Rose merobek kertas itu.

"Aku takkan melepaskanmu! Aku tidak terima pemasang iklan itu berkata akan menghargai jasad tubuhmu 75.000 yen dan 182.000 yen untuk kepalamu. Kau memang salah. Tapi mereka lebih salah! Mereka mengejarmu hanya untuk bayaran bukan untuk menegakkan keadilan." ujar Rose.
"Aku memang mengenal hukum hanya dari anekdot, tapi itu sudah cukup lucu untukku mengerti sebagaimana 'adil'nya negri ini. Aku tidak terima! Orang biasa yang menghabisi satu nyawa orang berdasi guna mengambil secuil hartanya akan jadi penjahat. Tapi orang berdasi yang menghabisi ribuan nyawa orang biasa guna mengeruk seluruh hartanya malah jadi konglomerat." sambung Rose menarik katana yang tersampir dipunggungnya.
"Aku tak sudi mereka melukaimu. Akan kulawan mereka bersamamu. Sebab aku-"

"Sebab kau mencintaiku. Iya Roseanne?" Rose hanya mampu bergeming. "Tolong katakan, apa artinya aku untukmu? Jawab aku Rose."

"Kau adalah cinta pertamaku. Kau adalah sosok yang mengajarkanku apa itu rasa. Iya, aku mencintaimu." aku Rose dengan manik berkaca-kaca.

"Jika kau mencintaiku, maka akhiri hidupku. Daripada aku mati ditangan mereka lebih baik aku mati ditanganmu."

PLAKK!

Rose menampar pipi Jaewon.
"Kau bicara apa Jaewon?!"

"Keluargaku secara turun temurun mengabdi pada keluargamu. Aku lahir untuk menjagamu. Keselamatanmu adalah tanggung jawabku. Aku tak mau kau terluka. Biar aku mati sendirian."

Tes!

Mutiara suci dari manik Rose menetes dikatananya.

"Berikrarlah untukku, bahwa kepalaku akan menjadi kepala terakhir yang kau tebas." pinta Jaewon.

"A-aku.. Aku berikrar." jawab Rose.

"Jangan buat pengorbananku sia-sia, kau harus melanjutkan hidupmu." Rose mengangguk.

"Lakukan Roseanne!" titah Jaewon tegas seraya menutup matanya.

CRAKKH!! BLUGH! BRUKK!

Tangan bergetar itu, mengarahkan mata katananya pada leher sang pemuda. Cairan kental merah pekat menodai paras porselen Rose. Benda bulat itu terlepas lantas limbung seketika disusul dengan robohnya tubuh tegap Jaewon.

Rose jatuh terduduk dengan tangis pecah. Tangan bergetarnya menggapai kepala Jaewon. Ditangkupnya kedua pipi pemuda itu. Maniknya memang telah tertutup sempurna namun bibir yang mulai membiru itu tergerak mengembangkan senyumnya. Didekap lantas diesapnya surai Jaewon.

Derap langkah yang mengejarnya terdengar kembali, Rose segera berdiri meraih katananya lantas segera berlari. Dalam hati ia berucap maaf harus meninggalkan jasad tubuh Jaewon.

Langkah kaki membawa Rose sampai dipemakaman. Direngkuhnya kepala Jaewon kembali. Dingin.

Rose melepas kacamata Jaewon lantas mengais tanah dengan jemarinya sendiri guna menguburkan jasab itu.

Itulah alasan gundukan makam Jaewon lebih lecil dari pada gundukan lain.

"Akan ku jaga ikrarku padamu." tegas Rose menggenggam surainya lantas mengarahkan katananya untuk memangkasnya. Helaian surai indigo itu bertebaran, menyisakan helaian surai abu-abu dikepalanya.

Rose beranjak menggapai kacamata Jaewon lantas mengenakannya.

Flashback Off

TBC.

Continue Reading

You'll Also Like

121K 9.7K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
368K 4K 82
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...