Renaissance

By kairi10969

270 89 28

((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seo... More

Maegaki (Pembuka)
Prolog
Chapter 1 (Yoana's Side)
Chapter 1 (Erik's Side)
Chapter 2 (Yoana's Side)
Chapter 2 (Erik's Side)
Chapter 3 (Yoana's Side)
Chapter 3 (Erik's Side)
Chapter 4 (Yoana's Side)
Chapter 4 (Erik's Side)
Chapter 5 (Yoana's Side)
Chapter 5 (Erik's Side)
Chapter 6 (Yoana's Side)
Chapter 6 (Erik's Side)
Chapter 7 (Yoana's Side)
Chapter 7 (Erik's Side)
Chapter 8 (Yoana's Side)
Chapter 8 (Erik's Side)
Info Hijrahnya Renaissance

Chapter 9 (Yoana's Side)

6 2 1
By kairi10969


Petikan melodi lagu Kazamidori mengembalikanku dari alam mimpi menuju kehidupan nyata.

Biasanya aku menikmati beberapa baris lagu melalui headset, alih-alih bangkit dari tempat tidur dengan tergesa-gesa. Membentuk suasana hati agar dapat memulai hari dengan pikiran yang segar dan dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan baik.

Tetapi aku tak bisa melakukannya untuk hari ini. Tugas makalah pengantar kajian budaya kelompokku belum kucetak sama sekali. Aku tak punya banyak waktu untuk membentuk mood-ku Senin pagi ini.

Sebuah renungan mengiringi gerakan tergesa-gesaku membereskan tempat tidur dan barang bawaan untuk ke kampus. Akhir-akhir ini segala sesuatunya terasa seperti diseret-seret. Baik suasana hatiku maupun setiap pekerjaan yang kulakukan. Ketika mahasiswa lain menuntun beban tugasnya seiring dengan ritme langkah, aku hanya bisa menyeretnya dengan setengah hati sampai garis finish. Alhasil tugas itu tiba dengan cacat di berbagai sisi.

Apakah setiap orang yang memilih jalan kedua memang merasakan hal seperti ini?

Sekali lagi, aku tak ada waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Makalah itu telah tercetak tanpa sempat kuperiksa kerapihan spasi dan detail lainnya. Setelah menarik dan menumpuk beberapa kertas hingga urutan halamannya telah sesuai, aku menjejalkan makalah bertema rasisme itu ke dalam clear file plastik. Lalu aku menyeret langkah cepat bersama dengan clear file di tangan kananku.

Aku hanya menyeka titik-titik keringat di hidung maupun kening ketika berdiri di samping pintu ganda bus. Tatapanku selalu menuju pada satu titik yang sama di luar sana, tak peduli penumpang di sekitarku berganti dari satu orang ke orang yang lainnya. Bus terasa semakin padat sehingga aku pun semakin terhimpit dan tak sempat merogoh headset di dalam ransel.

Kalau begini adanya, tak ada yang dapat kulakukan selain pasrah menghadapi mood yang akan semakin meluncur menuruni bukit suasana hati. Tak berbeda jauh dengan keadaan pramenstruasi.

Beberapa meter lagi bus akan tiba di depan gerbang kampusku. Aku dan beberapa mahasiswa lainnya bersiap-siap untuk turun di halte. Bersiap menghadapi segala kenyataan manis maupun pahit di dunia perkuliahan.

Mata kuliah pertama akan dimulai pada pukul setengah delapan. Langkahku menuju tempat jilid dan fotokopi terhenti. Waktu terlanjur memaksaku untuk berlari menuju gedung fakultas. Hanya ada sisa waktu 10 menit lagi. Tak apalah, toh makalahnya dikumpulkan pada mata kuliahnya di jam terakhir.

Ruang kelas yang ditempati anak-anak kelas B sudah ramai. Bahkan ada beberapa anak kelas A yang juga ikut menimbrung. Mereka berkumpul dalam satu forum berisi 5 orang, yang kesemuanya teman kelompok makalahku.

"Hey, Yoana. Sini, sini."

Salah satu dari mereka melambaikan tangan kepadaku. Lantas kudekati mereka sembari bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan.

"Kenapa?"

"Makalah yang kelompok kita udah siap dikumpulin belom?"

"Eh?" aku terkejut sekaligus merasakan debaran yang semakin cepat. Sepertinya pembicaraan ini akan mengarah pada hal yang negatif.

"Tinggal dijilid sih, abis matkul ini. Matkul pengantar kajian budayanya nanti kan?"

"Tadi aku dapet pesen WA dari dosen matkulnya, beliau bilang makalahnya harus dikumpulin sekarang banget. Soalnya nanti di jam terakhir beliau ngga bisa masuk kelas."

Seperti yang kuduga, beberapa dari teman kelompokku mulai menatapku. Sebagian besar bermakna "bagaimana ini" dan "aku tidak mau tahu, pokoknya harus dikumpulkan sekarang juga". Kedua-duanya tak mampu kujawab, dan aku hanya terpaku tanpa sedikitpun menurunkan ransel dari bahuku.

Di saat seperti inilah terkadang bayangan Papa dan pelajaran gitarnya membuat hati dan pikiranku tertawan di masa lalu.

***

"Yah, kayaknya rencana kita makan-makan di kafe baru yang di sebrang kampus batal deh. Aku harus belajar buat kuis besok pagi."

Kabar buruk dari dosen conversation merusak dua rencanaku sekaligus. Makan-makan bersama Retha dan menikmati renungan bersama lagu-lagu favoritku di rumah. Dengan adanya kuis pada matkul jam pertama besok sudah jelas takkan memberiku kesempatan untuk mendengarkan musik dengan rileks. Ada fotokopian percakapan yang baru diberikan tadi siang dan harus hapal dalam waktu kurang dari 24 jam.

"Bener juga ya. Ya udah kalo gitu aku duluan ya, Tha."

Kami berpisah di gerbang fakultas menuju arah yang berbeda. Nafasku menghela panjang, pasrah dengan mood jelek yang menguasaiku hari ini. Memulai hari tanpa musik, menghadapi hal menyebalkan, dan mengakhiri hari tanpa musik pula karena ada kuis.

Papa bilang, segala sesuatu takkan berpihak pada kita bila tak mengandung unsur ikhlas di dalamnya. Teori itu terbukti kebenarannya melalui kenyataan betapa sulitnya baris percakapan itu menempel dalam otakku. Mengeluh dan mengumpat pun sama sekali takkan memberi bantuan apapun.

Mungkin ini saatnya sang panglima perang tahu masalah ini.

"Hai kak, lagi ngapain nih?"

"Baru banget nyampe tempat bimbel, sekarang lagi nyantai aja di lobi. Kalau Yoana?"

"Lagi belajar nih, aku pusing banget besok pagi udah ada kuis percakapan," aku langsung mengarahkan pada tujuan utamaku mengirim chat di Facebook.

"Ya begitulah mahasiswa," ia membalas dengan cara yang biasa ia lakukan setiap aku menyuarakan kesulitanku. Kata-kata itu mengembalikan seberkas ingatan saat aku mengeluhkan setumpuk tugas ospek kampus kepada Kak Erik. Ia hanya mengungkapkan ketiga kata yang aku rasa seperti menyiratkan banyak hal di baliknya. Kak Erik dan tanggapannya itu telah berhasil mengungkapkan suatu bentuk empati atas kesulitanku. Lalu ia berhasil mengalihkan percakapan hingga semangatku terbentuk kembali.

Ternyata pada laman pesan muncul tanda elipsis yang bergerak-gerak, pertanda ia masih melanjutkan obrolannya. Kedua pupil mataku sama sekali tak beralih dari tanda elipsis itu.

"Makanya coba kamu minta pertolongan pada Allah. Terus minta didoain sama sama guru kamu juga biar kuisnya lancar. Kalo cuma bersandar pada kemampuan sendiri emang ngga gampang."

Tubuh lunglaiku di bangku belajar menjadi terperanjat ketika pesan itu masuk. Kini Kak Erik muncul dengan chat di luar kepribadiannya selama ini.

"Minta doa sama dosen aku??"

"Iya, sama dosen kamu yang ngasih kuis itu. Percaya ngga sih, Abu Hurairah aja bisa ngapalin ribuan hadits setelah didoain sama Rasulullah. Kamu yang cuma ngadepin satu kuis percakapan bahasa Inggris pasti lebih bisa kalo udah didoain."

Tanda elipsis muncul lagi. Aku memilih untuk mendiamkannya sejenak.

"Kamu harus tetep bersabar selama kamu ada di jalan Allah. Nyari ilmu itu jihad. Sabarnya kita dalam berjuang itu harus kayak sabarnya benda mati."

"Hah? Benda mati? Maksudnya gimana Kak?" Kak Erik semakin membuatku bingung dengan arah pembicaraannya.

"Contohnya pas Yoana lagi baca, terus tiba-tiba bosen, yang bosen Yoananya atau bukunya?"

"Aku dong yang bosen, masa bukunya hehe."

"Iya, itu maksud Kakak."

Aku hanya mengirim 3 buah tanda titik, pertanda tak tahu harus menjawab apa.

"Yaudah mending Yoana belajar dulu gih, besok kuis kan. Jangan lupa berdoa dan minta didoain juga."

"Doain juga dong sama Kak Erik biar kuisku lancar," pada akhirnya hanya itu yang kulakukan untuk mencairkan rasa canggung.

"Iya deh iya hehe. Semangat ya. Kakak mau ngajar kelas reguler dulu."

Pengajar setengah malaikat itu telah beraksi untukku. Meski aku telah merebut peluangnya untuk duduk di bangku kampus impiannya, ia tetap mau mendukungku dengan berbagai cara. Meski ia muncul dengan cara yang sangat berbeda dari biasanya. Tanpa humor, tanpa pembicaraan ngalor ngidul a la Kak Erik.

Mungkin memang sudah banyak hal yang dipelajarinya dari organisasi dakwah.

Alih-alih melanjutkan hapalan percakapan antara pelayan restoran dan tamu, aku kembali meraih ponsel yang terbaring di samping modul dan membuka Facebook. Perubahan sikap Kak Erik membuatku semakin penasaran dengan dinamika kehidupan yang telah dilaluinya. Semoga ada unggahan baru yang mewakilinya.

Unggahannya masih sama seperti beberapa hari lalu. Di bagian paling atas linimasanya hanya ada lima jepretan dengan caption berisi kutipan sahabat Rasul. Berarti ia hanya mengaktifkan akunnya tanpa mengunggah apapun. Mungkin ia sedang sibuk membaca status berisi kutipan ayat yang lainnya.

Selama itu hal yang positif baginya, kenapa tidak?

Tapi entah kenapa aku tetap gusar oleh hal yang seharusnya tak perlu kukhawatirkan itu.

Lalu penelusuran berlanjut pada kumpulan foto profil Kak Erik. Membukanya satu persatu, berurut dari yang paling baru sampai yang paling lama. Begitu juga dengan album foto lainnya. Suatu siklus stalking paling monoton namun umum di kalangan pengguna media sosial. Bayangan mengenai apa yang terjadi di balik foto itu juga mengiringi kegiatan stalking yang berlangsung cukup lama itu.

Chat masuk dari Retha telah mengingatkanku untuk kembali menghapal baris percakapan bagian sang pelayan restoran. Layar ponsel yang masih menampilkan laman obrolan dengan Retha padam perlahan. Sepotong demi sepotong kata maupun frase menyerap dalam memoriku, sambil kuberi sugesti agar tak hilang sebelum waktunya.

Nasihat Kak Erik pun datang menyela setiap hapalan yang masuk. Rasanya masih cukup menggelikan jika aku harus sengaja mengirim chat kepada dosen untuk didoakan agar kuis yang akan beliau berikan dapat kulalui dengan baik. Mungkin itu hanya salah satu strategi memberi sugesti agar aku tak gentar menghadapi kuis.

Terima kasih telah menguatkan hatiku, Kak.

***

"Tha, kamu udah liat hasil kuis yang kemaren?"

"Yang tabelnya di-share via grup angkatan? Udah kok. Mana malu banget lagi itu nilai diliat sama anak-anak satu angkatan."

"Bener banget, Tha. Ya ampun aku juga malu banget."

"Emang yang kamu hasilnya gimana, Na? Aku cuma nyari yang bagian aku doang soalnya." Retha yang membuka laptop 14 incinya bertanya dengan setengah gusar.

"Duh.. sama sekali ngga bisa dibilang bagus pokoknya," "Kayaknya C aja ngga nyampe deh."

"Seriously? Kamu harus remed berarti, biar ngga ngaruh ke nilai akhir matkulnya. Daripada nanti malah jeblok dan harus ngulang satu semester. Emang kamu kemaren ngga belajar?" Perempuan berambut ikal itu sedikit membelalakkan mata coklat tuanya. Nada bicaranya pun berubah seperti seorang ibu yang melihat anaknya terkena kecelakaan kecil.

"Aku belajar kok. Ya biasalah, ada satu dua hal yang kelupaan."

Dan itu nasihat dari pengajar setengah bule sekitar seminggu lalu.

Retha hanya menggumamkan kata "Oh" perlahan sebelum fokus mengetik makalah pengantar kajian budaya. Sementara aku membiarkan diriku melayang di antara kilas balik dan berbagai penyesalan. Langit masih memancarkan sinar matahari yang hampir tak tertutup awan, sama sekali belum ada tanda-tanda menampakkan senja. Para mahasiswa berpencar di sekitar gedung kuliah, asyik berkumpul dan menyibukkan diri dengan suatu kegiatan.

Kesulitan itu kembali muncul. Aku telah mencoba untuk memperbaiki nilai kuis dengan mengikuti remedial. Namun aku menduga hasilnya takkan berubah menjadi lebih baik. Soal baru yang dirancang oleh dosenku justru terasa lebih sulit dari sebelumnya. Entah memang sengaja dibuat demikian atau hanya perasaanku saja.

Apakah ini memang pertanda bahwa aku harus mengikuti saran Kak Erik? Apakah aku benar-benar harus datang ke ruang dosen dan meminta agar dosen conversation mendoakan kelancaran kuisku?

Jangan gila. Bahkan untuk di kelas saja aku termasuk tidak pernah mengajukan pertanyaan atau berinisiatif menjawab pertanyaan dosen. Bagaimana mungkin anak apatis sepertiku tiba-tiba meminta seorang dosen untuk mendoakanku?

Seharusnya aku tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Saat kesulitan menjerat dan meminta untuk dilepaskan oleh solusi.

Seharusnya di saat seperti inilah prajurit harus kembali menceritakan segala kesulitan di medan perang kepada panglima perang yang telah lengser itu.

Namun tak juga kulakukan. Padahal aku sudah mengetik isi pesan dan tinggal mengirimkannya pada Kak Erik. Niat itu lalu urung dan kuhapus lagi. Ketika niatan muncul, teks yang terhapus itu kutulis kembali. Lalu kembali pada siklus sebelumnya.

Aku masih belum siap untuk menghadapi perubahan drastis pada diri Kak Erik.

Tidak. Lebih tepatnya, aku masih belum siap menghadapi kenyataan bahwa aku takkan bisa menjalin jemari dengan dirinya lagi, entah sampai kapan. Dalam kepalaku tergambar bayangan Kak Erik sedang berkata bahwa ia hanya akan menyentuh wanita yang telah ia pilih untuk berlayar di bahtera rumah tangga.

Lelah dengan renungan yang seolah tak ada habisnya, lagu Evanescence berjudul Hello mengaliri pendengaranku melalui headset. Berusaha mewarnai keheningan koridor lantai satu sebelum mencoba mengubah kemuraman hatiku. Hal yang lumrah kulakukan ketika membutuhkan sarana pengubah mood. Musik itu diciptakan sebagai terapi ketenangan jiwa, begitu kata Papa dulu, sebelum penyakit merengut kebebasannya.

***

Aku terlentang di atas tempat tidur, ditemani cahaya senja yang menyusup melalui jendela yang terbuka setengahnya. Mataku menatap langit-langit dengan segala kegalauan yang menjejali. Hidupku terasa semakin tak mudah, apalagi semenjak memilih jalan yang sebenarnya tak ingin kupilih.

Lisan ini, dan jemari ini masih belum diberi keberanian untuk mengungkapkan kegalauan yang menggangguku. Bahkan sama sekali tak ingin keluar. Rasanya aku masih belum siap jika keluhanku didengar maupun dibaca oleh pengajar setengah malaikat itu.

Namun di sisi lain, hati ini terdorong untuk mencurahkannya kepada Kak Erik.

Setengah berharap ia sedang membuka akun Facebook, aku mengklik ikon huruf "F" berlatar biru di menu ponsel. Setelah beberapa detik memuat linimasa, aku mengetik nama "Erik" di laman pencarian dan muncul akun yang dimaksud di bagian paling atas.

Di samping namanya masih muncul bulatan hijau. Namun aku tak segera menuju laman pesan, melainkan menggeser layar hingga menampilkan linimasa miliknya.

Empat menit yang lalu ia baru saja membuat status baru.

"Memangnya seberapa besar kebahagiaan yang kamu dapatkan ketika berhasil menyentuh jemari pujaan hatimu, dibandingkan yang kamu dapatkan ketika hati dan pikiranmu berhasil disentuh oleh kitab suci berisi firman dari Yang Maha Penyayang.

Cinta karena Allah itu adalah cinta yang mengalir dalam darah dan ruh, terjaga kesuciannya sampai waktu yang telah ditentukan."

Dan terungkaplah sisi lain dari Kak Erik.

Aku tak tahu momen apa saja yang telah ia lalui bersama organisasi barunya. Aku tak tahu apa lagi yang telah ia pelajari di sana, hingga tanpa sadar ia telah berubah menjadi sosok yang lain.

Apakah status itu menjadi pertanda bahwa jejak sentuhan jemariku telah terhapus dari ingatannya?

Continue Reading

You'll Also Like

Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.1M 216K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
241K 23K 29
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
800K 95.8K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
3.1M 157K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...