RECORDS -Cheolsoo-

By heyhduami

25.2K 3.2K 769

Berisi tentang kisah hidup pemuda tuna wicara bernama Hong Jisoo, dengan sosok Choi Seungcheol yang merupakan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
16
17
18
Bukan Update
19
20
BAD NEWS! Or.. good?

15

908 133 19
By heyhduami

Setelah mencetak beberapa lembar berkas dari folder nya, Seungcheol menutup laptop tersebut dan menyesap kopi hitamnya dengan perlahan.

Malam ini sangat lah dingin, Seungcheol dapat melihat kepulan karbondioksida dari orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumah makan. Ia sudah berada disana selama 4 jam lamanya, mencari tanpa kenal lelah segala informasi mengenai kekasihnya. Beruntung bibi pemilik rumah makan memiliki pergantian shift demi bukanya rumah makan itu untuk 24 jam non-stop.

Ponselnya yang setia di atas meja, berkali-kali berdering memberitahukan pesan dari orang yang sama. Kim Mingyu. Ia ingat ketika melewati pintu lobby hotel, rasa bersalah menyelimutinya kala menyadari jika Jisoo telah membaca pesan yang dikirim oleh Mingyu padanya.

Seungcheol heran juga, bagaimana caranya hingga Jisoo tidak marah-marah padanya?

Dering yang kesekian kalinya membuat Seungcheol mengambil ponselnya dengan sigap. Dadanya selalu berdegup tak karuan tiap hendak membaca pesan dari Mingyu.

From: Kim Mingyu

Lee Seokmin dan Yoon Jeonghan memang terdaftar sebagai dokter promosi di cabang rumah sakit Jerman. Tidak ada yang salah dengan semua datanya, hanya saja apartemen yang ditinggali Seokmin adalah hak milik Jeonghan, namun ia memindah tangankan pada Seokmin.

Note: bagaimana kabar Tuan muda? Apa baik-baik saja?

Seungcheol seolah tidak mempedulikan isi teks tersebut, matanya fokus meneliti catatan yang berada di bawahnya hingga membuat keningnya mengerut. Catatan itu seolah Mingyu mengkhawatirkan Jisoo. Mengkhawatirkan bukan sebagai pelayan dan tuannnya.

"Dasar, ku harap kau diserang Wonwoo dimana pun kau berada!"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Seungcheol menaikkan kedua alisnya. Berpikir keras mengapa ia merasa kesal.

"Ah. Masa bodoh."

Setelah membalas pesan Mingyu, Seungcheol bersandar pada sandaran kursi dengan perasaan kalut yang masih saja menggelayuti dadanya. Ia terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Otaknya seakan sudah mati rasa. Erangan demi erangan menjadi kebiasaannya. Keluhan demi keluhan menjadi temannya.

Siapapun yang melihat kondisi Seungcheol, mungkin akan berpikir betapa mirisnya hidup pemuda satu ini. Wajah putih pucatnya berhiaskan ruam merah di hidung dan sekitar matanya. Bahkan telinganya ikut-ikutan dengan alasan lain. Dingin.

Setelah melewati malam panjangnya dengan 2 cangkir kopi hitam, 4 piring pasta, dan sebuah laptop yang terus menyala hingga pukul 8 pagi, Seungcheol masih setia membuka mata bulatnya yang menyendu di tiap menitnya.

Nihil.

Perginya ia dari hotel, mengecewakan Jisoo, hingga menempuh malam dengan dingin yang menusuk tulang, sia-sia begitu saja. Seungcheol menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana ia yang selalu dielu-elukan sebagai dokter jenius, merasa terkecoh oleh seorang Yoon Jeonghan, yang bahkan Seungcheol daoat menebak dimana pemuda cantik itu pernah menyembunyikan burung nurinya.

Hey, tapi Jeonghan bukan lah seorang nuri.

Seungcheol menghela nafas panjang ketika mendapati mentari yang telah meninggi. Orang-orang berlalu-lalang memulai aktifitas di balik kaca rumah makan yang tengah ia singgahi. Tangannya bergerak menarik surai halusnya ke belakang, lalu bersandar sepenuhnya pada kursi empuk yang didudukinya. Mencoba melepaskan segala persoalan yang tampaknya tak kunjung mampu ia selesaikan.

Dering ponsel sudah tak lagi mengejutkan Seungcheol. Ia mengambil ponselnya dengan ogah-ogahan. Mengira Mingyu yang menghubunginya, sikap yang tadinya tampak biasa saja berubah menjadi lonjakan hingga Seungcheol hampir terjungkal dari duduknya.

Itu Hong Jisoo.

Istrinya.

Seungcheol mengusak wajahnya sekali lagi. Bagaimana bisa Jisoo menggunakan telfon? Dia bisu- kan?

Batinnya ragu. Dengan jemari yang agak gemetar, ia menekan layar ponsel pintarnya sebelum kembali terlonjak karena suara khas teriakan yang dikenalnya.

"YYA! Dasar dungu! Aku tidak tahu bagaimana kau bisa melewatkan sup tomat di pagi yang dingin ini dengan selembar mantel di luar sana, hah?!"

Seungcheol menyerngitkan dahinya. "Yoo- Yoojung?"

"Jika kau menyebut nama mantan kekasihmu lagi, ku pastikan tak ada kalkun panggang dan sup tomat untuk sarapan mu. Cepat pulang!"

Seungcheol tertegun. Ingin sekali rasanya ia tergelak mendengar ocehan yang ternyata adalah adiknya sendiri. "Baik, baik. Aku pulang. Lebih baik pastikan ada 2 mangkuk sup untukku."

Terdengar suara dengusan pelan dari balik ponselnya. "Tidak bisa, karena ada Jun-ie oppa dan Hao-ge juga disini. Lalu-"

"Lalu?"

"90% kalimat-kalimat yang ku ucapkan padamu sebelumnya itu perwakilan dari Jisoo-oppa. Dia yang menyuruhku mengatakannya."

Jisoo? Kenapa Seungcheol tidak terkejut? Seungcheol justru melepaskan gelak tawa yang sedari tadi di tahannya mati-matian. "Katakan pada ipar kesayanganmu itu, aku akan tiba setengah jam lagi. Katakan juga pada si keparat Wen jangan dekati istriku!"

.

Tepat seperti ucapan Seungcheol, hampir setengah jam kemudian ia telah mengetuk kamar hotel Jisoo dengan tas laptop yang dijinjing di tangan kanannya. Jisoo menghampiri Seungcheol dengan bingkai kacamata tebal yang bertengger di wajah sumringahnya dan buku tebal di tangannya.

"Aku kembali." ucap Seungcheol. Matanya mengawasi gerak-gerik istrinya yang masih tak kunjung berhenti menunjukkan senyum kucingnya. Bukankah Hong Jisoo begitu manis? Lihat lah kedua gigi kelincinya yang lucu itu.

Tak sadar, Seungcheol mengulas senyum tipis. Celotehan Yoojung yang baru saja mematikan televisi terdengar samar-samar. Hanya deru nafas Jisoo yang dapat Seungcheol rasakan. Menerpa pinggang nya kala pemuda manis itu masuk begitu saja ke dalam rengkuhannya tanpa seizin sang pemilik.

"Kalkun mu hampir ku habiskan."

Seungcheol mendelik sebal pada asisten Jisoo yang duduk nyaman di samping Yoojung. Menyesap kopi paginya sembari melipat kedua kakinya dengan elegan. "Ku harap kau cepat kembali ke negara asalmu." geram Seungcheol. Ini pembicaraan terpanjang pertamanya dengan Jun,tapi ia yakin jika setelah ini menjadi teman baik Mingyu adalah ide yang bagus. Mereka sama-sama tidak menyukai si asisten Jisoo itu. "Aku ingin sarapan, bisakah?" tanya Seungcheol buru-buru sebelum Jun melontarkan kalimat-kalimat menyebalkannya lagi.

Jisoo mengangguk semangat. Ia menarik lengan besar Seungcheol dan mengarahkannya pada sebuah buffet. Sudah ada berbagai macam makanan khas Itali di atasnya. Terkecuali Lasagna yang baru diketahui Seungcheol jika telah habis dimakan Jisoo. Istrinya itu hanya menyukai Lasagna dari segala jenis pasta, omong-omong.

"Aku akan berangkat terlebih dahulu. Ada yang perlu ku liput sebelum galerimu di buka." Ujar Minghao. Pemuda ber-anting panjang di salah satu telinganya itu mengepak kamera DSLR nya ke dalam tas, lalu memasang bandana di atas dahi, berusaha menjauhkan poni panjangnya yang berjatuhan.

Jisoo mengangguk singkat, lalu menyambar beberapa kertas sketsa yang menumpuk di atas nakas sebelum diberikannya pada Minghao. "Ahh- ya, hampir saja lupa." katanya lagi. Pemuda imut itu mengelus lembut bahu Jisoo yang notabene lebih pendek darinya. Lalu-

-menarik paksa Wen Jun Hui yang masih duduk santai di atas sofa bersama Yoojung.

Bahkan Minghao tidak peduli semua protesan Jun padanya ketika merasakan master Wushu itu menarik lengannya dengan tidak ber-keprimanusiaan. Sebelum menyentuh pintu, sejenak Minghao menghentikan langkahnya hingga Jun menyempatkan diri untuk mengaduh ria. Mengusap-usap pembuluh darah di balik kulitnya yang baru saja terhambat.

Minghao melirik Yoojung, ia tampak tak begitu senang dengan adik kandung Choi Seungcheol itu. "Cepat lah pergi. Sekarang bukan waktunya untuk anak seumurmu di kamar ini."

.

Meskipun mereka telah mendapat waktu untuk mengobrol berdua, namun Jisoo hanya mampu mencubiti bibir bawahnya sambil menyaksikan Seungcheol yang tengah menyantap sarapannya.

Sebenarnya, banyak sekali yang ingin Jisoo katakan atau pun tanyakan. Gatal sekali lidahnya ingin memaki Seungcheol yang saat itu pergi meninggalkannya ketika tengah malam hanya untuk mencari sosok Jeonghan entah dimana.

Ingat betul ia kala mendengar debaman pintu setelah Seungcheol menghilang dari pandangannya. Jisoo terluka tentu saja. Ada perasaan tidak rela ketika ia merasakan keheningan sepeninggal Seungcheol. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Jisoo itu tidak bisa bicara. Hidupnya bergantung dengan tangan, tapi kedua tangannya malah bergetar merasakan rasa sakit di hatinya.

Jisoo merutuk. Tapi dirinya masih mencintai diri sendiri untuk sekedar kembali menyalahkan dirinya yang bisu.

Mata beningnya memperhatikan bagaimana sang suami menyendokkan suap demi suap ke dalam mulutnya. Begitu tampan meskipun kantung berlapis menghiasi matanya yang memerah karena kelelahan.

Keheningan keduanya hanya ditemani alunan musik klasik dari laptop Jisoo yang masih menyala. Menampakkan pola rumit sebuah layout berwarna-warni di layarnya. Jisoo tidak berani menyentuh Seungcheol. Pemuda itu tampak sangat berantakan. Mereka tetap berdiam diri hingga satu jam lamanya, hingga Seungcheol memutuskan untuk merapikan alat makannya dan hendak menyambar sebuah handuk putih yang telah disiapkan Jisoo di atas sofa.

"Bersiaplah, kita pergi bersama ke pembukaan galeri mu. Otte?"

Ditawarkan seperti itu, mana bisa Jisoo tolak? Tawaran Seungcheol bahkan lebih menggiurkan daripada menguasai harta kakeknya.

Ketika baru saja hendak menggeser pintu kamar mandi, Seungcheol berhenti sejenak dan kembali memutar tubuhnya menghadap Jisoo yang mengerjap lucu. "Ahh- kita naik taksi ya? Tolong pesankan."

Ini yang Jisoo tidak suka. Untuk apa uang yang ada di akun rekeningnya jika tidak digunakan? Taksi? Lupakan. Sebuah Rolls Royce beserta supir berdasinya telah dipesankan Mingyu sebelum Jisoo menginjakkan kaki di bandara Milan.

.

Sebenarnya Jisoo itu lebih menyukai mendengarkan musik dengan radio, tapi salahkan Seungcheol yang terus-terusan menyumpalkan earphone pada telinganya. Mulai dari mereka berada di dalam Rolls Royce sewaan Jisoo hingga tiba di sebuah gedung tingkat 2 bergaya Mediteranian.

Lagu dari album musik berbayar salah satu artis milik Jihoon, berputar hingga hampir habis. Ketika Jisoo melepas earphone yang terasa mengganggunya itu, matanya menangkap sosok Minghao yang tengah berada di barisan belakang para awak media, serta Jun yang menyambutnya dengan pakaian formal.

Sebaik mungkin senyum yang Jisoo coba ukir, dan Seungcheol menggenggam tangannya erat-erat. Agaknya ia menyadari tangan lentik Jisoo yang gemetar mengingat pamerannya kali ini adalah salah satu debutnya sebagai pelukis ternama setara Jenny Saville atau pun Emma Bennet idolanya.

Jisoo mengulum bibir bawahnya gugup. Sadar akan banyaknya pasang mata yang tengah memperhatikannya dari sudut tak tercela. Tanpa di sadari, ia ikut mengeratkan genggaman tangannya dengan Seungcheol, mencoba mencari ketenangan dari suaminya itu.

Seungcheol sendiri bukan lah tipe manusia yang menyukai karya seni. Ia ingat betul betapa bosan dirinya saat menjalani kencan pertama dengan Jisoo. Ke galeri untuk kencan pertama? Itu bukan pilihan yang bagus.

Dulu, Jeonghan pernah membuat croquis wajahnya hanya dalam waktu 4 menit. Perlu diakui Seungcheol, saat itu ia mulai berpikir jika hanya dirinya lah manusia di dunia ini yang tidak memiliki sense mengenai estetika.

Kan, Seungcheol benci sekali ketika harus kembali mengingat Jeonghan ketika ia harus memberi semangat pasa Jisoo. Istrinya. Duh, ia masih bisa merasakan ngilu di pangkal lidahnya ketika menyebut itu.

Dalam hitungan detik, Seungcheol melirik Jisoo yang masih berusaha menenangkan dirinya sendiri. Pemuda tampan itu tanpa sadar memperhatikan wajah manis sang istri. Mulai dari rambut hitamnya yang segelap arang, mata kucingnya yang berbinar, hingga bibir yang berbentuk bibir kucing berwarna merah seperti berry kering yang sering dimakannya waktu kecil.

Cantik.

Jisoo yang menyelipkan rambut ke balik telinga itu terlihat sangat indah. Seungcheol bahkan melupakan niatnya yang masih belum menyerah mencari Jeonghan.

"Terima kasih telah datang ke pembukaan galeri pada pagi ini."

Terdengar suara Jun yang menerjemahkan bahasa isyarat Jisoo di depan awak media. Ada Minghao juga yang terlihat duduk bersantai di belakang sambil menyeruput cokelat panas. Sedangkan Seungcheol baru merasa hilangnya kehangatan ketika Jisoo menarik tangannya untuk berkomunikasi. Ia benar-benar tidak fokus hanya karena sosok Jisoo disampingnya. Bahkan suara Jun yang terus menjadi penerjemah semakin terdengar samar.

"-disini. Lalu, nama dari pameran kali ini adalah-"

Seungcheol menengadah. Memandangi langit yang memutih di atas kepalanya.


"S.Coups."

••••••••••

Hehe. He. He. Urang lagi gabisa basa-basi di buku ini, lagi susah hahahaha

Yang penting sihh, makasih untuk semua apresiasinyaaa, makasih untuk kalian yang baca, vote, komen, pokoknya makasih banyak! Karena kalian aku punya waktu tenang di sela stress dengan baca komen kalian meskipun gabisa bales langsung 😭😭😭😭😭

Makasih sekali lagi dan see yaaaa

Loveyou jaga kesehatan semuanyaaa ❤❤❤❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

77.5K 15.7K 171
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
190K 9.3K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
60K 6.2K 21
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
60.1K 7.2K 21
Ibarat masuk isekai ala-ala series anime yang sering ia tonton. Cleaire Cornelian tercengang sendiri ketika ia memasuki dunia baru 'Cry Or Better Yet...