Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
2ndBeats
4thbeats
5thbeats
6thbeats
7thbeats
8thbeats
28thbeats
detak ke-31
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

3rdbeats

166K 8.4K 323
By jealoucy

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊Heart ✽ Beat✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

Dalam peringkat hari terburuk dalam hidupku, hari ini mungkin tidak menempati peringkat pertama. Tapi jelas hari ini masuk peringkat tiga besar.

Memandang pria paruh baya berseragam di depanku membuatku kesal , melihat semua isi ranselku dituangkan keatas meja dan diacak-acak membuatku murka. Serius deh, ini para polisi sangat tidak menghargai yang namanya privasi.

"Nama?" Petugas yang bertagname Joko Bramanto bertanya. Dia punya cara yang aneh dalam menginterogasi. Dia memintaku bercerita lebih dulu baru kemudian menanyakan namaku.

"Lara Croft," sisi kesalku menjawab sambil menatap tumpukan uang cash Rp. 500.000 didepanku.

Aku tidak membawa ID ataupun barang-barang berharga lainnya , termasuk hp kalau main ke arcade. Itu perlu dilakukan untuk menghindari dijadikannya barang-barang itu sebagai taruhan. Didalam ranselku 'hanya' ada 10 batang Harvey's , permen (banyak), 3 buah beef burger, 2 kaleng soft drink, Lay's beragam ukuran dan rasa serta 3 toples kecil kwaci.

Apa? Jangan bermuka seperti kalian baru saja melihat alien pemakan otak manusia. Aku hanya mempunyai hubungan yang sangat baik dengan snack dan junk food jadi aku membawa mereka kemana-mana.

"Nama ayahmu dan nomor yang bisa dihubungi?" tanya Pak Joko.

"Robin Thicke. Dan dia sedang di luar negeri jadi saya tidak tahu nomornya," kataku mengangkat bahu.

Dia mengetik lagi. "Bagaimana dengan ibumu?"

"Dia juga di luar negeri."

"Namanya?"

"Jenifer Lopez."

Dia menekan keypad sambil bergumam, "Jenifer Lop-" Dia berhenti. Sambil menatap layar komputernya , dia mengerutkan dahi. "Kenapa nama ini terdengar tidak asing yah?"

"Er.. Pak, itu nama seorang penyanyi luar negeri," kata petugas muda yang mengacak-acak ranselku .

Mendengar itu, Pak Joko marah dan menggebrak meja. "Mempermainkan polisi bisa membuatmu masuk penjara , anak nakal!" bentaknya, anehnya tidak membuatku takut.

Aku mendengar dengusan dari sisi kiriku. Saat aku menoleh aku menemukan seseorang dengan hoodie menutupi kepala sedang tertawa. Memang dia tidak bersuara, tapi aku tahu dari getaran pada bahu dan hampir seluruh bagian atas tubuhnya kalau dia tertawa. Dasar orang jahat.

"Berikan identidas ASLImu kali ini dan ceritakan kembali dari awal," bentak Pak Joko

Aku mendengus kesal dan hampir mencabut setiap helai rambut yang tumbuh di kepalaku. Entah polisi ini budeg atau menikmati kemenangannya menangkap sekelompok remaja yang sedang pesta narkoba.

Aku sudah menceritakan bagianku tiga kali dan tidak satu paragrafpun yang dia ketik pada komputernya.

Mau tahu kenapa aku bisa mendarat di kantor polisi?

Tadi sore, aku mengalahkan Johan main Asphalt, dia tidak terima dan mendorongku. Dia menuduhku curang dan merebut kembali uang taruhan yang aku menangkan. Seriously? Bagaimana kau bisa curang kalau main Asphalt?

Untunglah Bang Arya, pemilik arcade memihak padaku, dan uangkupun  kembali. Nah, sekarang aku aku tidak tahu harus bersyukur atau mengutuknya mengingat uang itu bertumpuk di depanku dan dijadikan bukti.

Pergi dari arcade, aku kemudian menepati janjiku pada Fani. Rumah Daud hanya satu blok dari arcade jadi aku memang sekalian lewat.

Berdiri didepan pintu pagar sambil membenturkan gembok besar yang masih menggantung disana aku pun menunggu. Rumah itu terlihat sepi, tapi dari lampu remang-remang dan bebarapa bayangan dari sebuah jendela dilantai dua memberitahuku kalau ada orang didalam. Aku mengetuk lagi sambil memanggil Daud kali ini, namun tetap saja tidak ada orang yang menghampiriku.

Melihat pintu pagar tidak di kunci, aku berinisiatif masuk dan bermaksud menyelipkan buku ini dari bawah pintu. Baru juga aku menaiki teras rumah, tiba-tiba aku mendengar sirine dan tidak lama kemudian lebih dari lima mobil polisi berhenti didepan rumah. Hal selanjutnya yang terjadi adalah beberapa polisi keluar dari mobil lalu menodongkan pistol padaku sambil berteriak agar aku jangan bergerak dan angkat tangan.

So yeah, itu lah yang aku ceritakan pada orang-orang keras kepala ini. Tapi mereka tidak percaya.

"Entah Bapak mengidap alzeimer atau bapak sedang membully saya karena saya minor dan terlihat seperti orang yang gampang dibodohi," ujarku.

Wajah Pak Joko cemberut marah. Dia membuka mulutnya tapi aku mengangkat tangan menghentikannya. "Saya tidak akan memberi keterangan apapun lagi sampai bapak menyuruh orang memeriksa alibi saya di arcade Somoron . Sampai bapak melakukan itu bibir saya terkunci."

Aku memberi mereka pertunjukan pantonim mengunci mulut dan membuang kuncinya ke sisi lain ruangan sebelum duduk dengan dramatisnya di kursi yang tidak nyaman itu.

Kini giliran Pak Joko yang ingin mencabut semua rambutnya sambil menggeram. Hah! Rasakan itu. Aku membuang muka dan melihat orang-orang teler yang ditangkap dari dalam rumah Daud. Daud tidak ada di antara mereka, hanya Daud versi lebih tua yang ada, kakaknya mungkin.

"Ada kesulitan?"

Suara dalam dan serak itu membawa perhatianku kepada pemiliknya. Seorang berbadan besar dan sangat tinggi berdiri menghadap Pak Joko dan rekannya yang sekarang berdiri tegak ala militer.

"Tidak Pak Komandan," jawab Pak Joko dan rekannya tegas pula.

Aku mendengus, membuat Pak Komandan menunduk menatapku. "Kamu mendapat kesulitan, Nona muda?"

Sungguh, orang lain dan aku dalam keadaan normal pasti ketakutan mendengar nada ancaman di dalam suara Pak Komandan ini. Tapi aku yang terlalu kesal atau marah biasanya tidak takut pada apapun.

"Ya sangat," jawabku sambil menatap Pak Joko dan rekannya.

Pak Komandan kengikuti arah pandanganku. "Pak Joko?" Kedua alisnya terangkat.

Pak Joko menyeka keringat pada keningnya sebelum membuka mulut dan mengeluarkan serangkaian kata-kata, menggambarkan situsi dari sudut pandangnya dan mengedit beberapa bagian. Aku memotongnya sebelum dia selesai dan melanjutkannya serta meralat beberapa bagian yang dia 'edit' dari sudut pandangku.

Aku mengambil satu kaleng soda dari atas meja dan meneguknya begitu aku selesai bercerita. Aku mendengar suara tawa tertahan. Huh! Si pria berhoodie lagi.

Pak Komandan batuk beberapa kali untuk membersihkan tenggorokannya. "Begini saja, bagaimana kalau kamu memberikan namamu lebih dulu? Bagaimana kami akan memeriksa alibimu kalau kami tidak mengetahui identitasmu?"

"Itulah yang saya berusaha beritahu padanya sejak tadi Pak," keluh Pak Joko.

"Saya sudah mengatakannya pada Pak Joko."

"Nama aslimu," ucap Pak Komandan dengan lembut sembari menatapku tajam.

Aku menggeleng. "Karena pada akhirnya nama saya akan disejajarkan dengan orang-orang teler itu, saya menolak untuk merusak nama baik saya sendiri."

"Kamu tentu tahu, kami bisa menyelidiki dan mendapatkan informasi tentangmu dengan mudah."

"Wuah Bapak hebat bisa berpikir seperti itu, tapi kenapa tidak melakukannya dari tadi?"

Aku tahu aku bisa memasukkan diriku sendiri ke penjara kalau terus menentang petugas seperti itu, tapi aku paling sebal kalau diperlakukan seperti seorang kriminal dan sampah masyarakat yang tidak penting.

Pak Komandan membuka mulutnya dan suara tawa terdengar. Suara tawa yang renyah dan lepas, terdengar seperti lagu pengantar tidurku. Tapi kemudian aku sadar suara itu bukan berasal dari mulutnya saat dia menutup mulutnya dan menoleh ke arah kiriku dimana suara tawa itu berasal.

Pria berhoodie yang sekarang tidak lagi menutupi kepalanya tertawa terbahak-bahak. Melihat wajahnya membuatku ingin melakukan beberapa hal sekaligus. Entah aku harus memukulnya, menjejalkan kaleng cola ke mulutnya, atau lari keluar dari sana secepatnya.

Seriusly! Aku berhasil mengeluarkan dia dari kepalaku dengan menyibukkan diri main game dan juga disibukkan dengan masalah ini tapi dia harus muncul di tempat ini, disaat-saat memalukan ini.

"Elang, diam!" Kata Pak komandan, tegas.

Elang memang diam, tapi senyumnya masih lebar. Dia lalu memandangku. "Kamu harus tahu dimana kamu harus berhenti," katanya.

"Dan kamu harusnya tahu dimana kamu harus ikut campur," balasku sengit. "Puas melihatku dibully sama orang-orang dewasa ini?"

"Yap. Aku sangat menikmatinya."

Ok, aku sudah putuskan bahwa aku ingin menjejalkan kaleng soda ke mulutnya saja. Tapi aku ingin mengecup bibirnya yang kissable itu terlebih dulu.

"Kalian saling mengenal?" tanya Pak Komandan.

"Satu sekolah," jawab Elang tanpa mengalihkan matanya dariku. "Kamu tahu? Kalau saja kamu memberikan buku yang dititipkan kakakmu, itu akan lebih mudah."

"Seseorang mengambilnya saat mereka menyergapku," ujarku emosi. "Pasti dikiranya buku kasbon hutang narkoba orang-orang itu." Elang tertawa lagi.

Hanya karena aku memakai leather pants , leather jaket, kupluk hitam dan sepatu roda serta uang cash banyak, aku dikira bandar narkoba.

Dasar orang-orang berpikiran sempit.

"Ada yang mengambil buku dari Nona ini?!" Seru Pak Komandang sembari menyapu pandangannya ke seluruh ruangan.

Seseorang mengacungkannya lalu menyerahkan buku itu pada si Komandan. Setelah membaca isi buku kemudian dia kembali menatapku.

"Kami tetap memerlukan identitasmu." Aku memandangnya dengan curiga. "Tidak akan dijajarkan dengan mereka, hanya sebagai saksi dan untuk kelengkapan administrasi saja."

Aku menyilangkan lengan didepan dada dan diam seribu bahasa. Pak Komandan mendesah.

"Seraphine Alana, 16, 0817220498."

Aku menoleh pada Elang dengan mulut terbuka. "Siapa yang memberimu hak untuk membeberkan namaku!!!" bentakku.

Elang bangkit berdiri. "Aku memberimu kemudahan. Kalau kamu mau berkerjasama dan berhenti keras kepala, pasti kamu sudah bisa pulang dari tadi."

Aku tahu , tapi aku menolak menyerah pada orang yang tidak tahu bagaimana memperlakukan warga sipil tanpa merendahkan. "Aku berhenti berkerja sama karena orang-orang dewasa ini tidak menghargaiku!"

"Nah. Sekarang kamu boleh pulang," kata Pak Komandan dengan senyum dan nada kebapakan.

Aku bangkit berdiri dengan wajah masam. Dan semakin masam saat melihat isi ranselku masih berserakan diatas meja.

"Ayah saya bilang 'kalau kau membuat kekacauan, bereskan'."

Pak Komandan, Pak Joko dan partnernya memandangku seolah aku baru saja berbicara bahasa alien. Aku memutar bola mata dan menunjuk makanan serta ranselku. Elang tertawa kecil, tapi segera diam saat aku melototinya. Partner Pak Joko segera memasukan barang-barangku ke dalam tas dan begitu selesai dia menyerahkannya padaku.

Aku hendak melangkah pergi saat Pak komandang menahan lenganku. "Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik anak gadis pulang sendirian," ujarnya. Dia lalu menoleh pada partner Pak Joko. "Anton, antarkan Nona ini."

Anton mengangguk. "Siap, Pak."

"Naik mobil polisi yang ada sirinenya?" Aku menggeleng. Pak Komandan tertawa melihat raut wajahku. "Tidak perlu. Terima kasih."

"Biar saya yang mengantarnya pulang," ujar Elang tiba-tiba.

Aku menoleh padanya , terkejut. Sejauh pengetahuanku, dia bukan fans beratku. Yang paling penting adalah apa aku akan menerima tumpangannya atau tidak. Karena disatu sisi aku ingin menjauhinya dan disisi lain dia menarik perhatianku, aku ingin mengetahui lebih banyak tentangnya.

"Bagaimana aku yakin kamu akan membawaku pulang utuh dan bernafas?"

"Karena aku baru saja menawarimu di depan enambelas pasang mata polisi?"

"Pulanglah sama Elang kalau tidak mau naik mobil polisi bersirine."

Sebelum aku mengatakan apa-apa lagi, Elang sudah menarik lenganku dan berjalan kearah pintu. Aku yang memakai sepatu roda sangatlah mudah ditarik dan sangat sulit untuk bertahan diam ditempat.

"Memangnya interogasimu sudah selesai yah? Bukankah pelaku pembunuhan berantai lama proses investigasinya?" ocehku, berusaha mengacuhkan rasa panas dimana tangannya menyentuh kulit telanjangku.

"Ah aku sudah pernah mendengar yang itu. Ngga bisa cari yang lebih orisinil?"

"Hm. Ah aku tahu, pasti kamu cuma membantai sapi-sapi yang sedang digembalakan orang di halaman belakang rumah mereka, makanya tidak terlalu lama proses investigasinya. Iya'kan?"

Elang menoleh. "Kamu sedang melucu yah? Aneh banget aku ngga ingin tertawa."

Dia terus menarikku yang cemberut sampai kemudian berhenti didepan sebuah sepeda motor alien. Maksudku aku payah dalam mendeskripsikan sesuatu jadi aku sebut alien saja. Aku ambil garis besarnya saja, motor itu gede.

Elang lalu memberikan sebuah helm padaku. Melihat helm ditanganku kemudian pada Elang yang sedang menaiki motornya , aku mengerutkan dahi.

"Cuma satu helm. Bagaimana denganmu?"

Dia memandangku dengan aneh. "Aku baik-baik saja."

Well, ya sudahlah. Mungkin itu bisa membuatnya berkendara dengan hati-hati. Asal jangan menyalahkanku kalau-kalau kepalanya membentur sesuatu.

Aku hendak mengatakannya ketika tiba-tiba Elang merebut helm dari tanganku dan langsung memakaikannya ke kepalaku.

"Well, seseorang tidak punya kesabaran," ujarku saat setengah kepalaku sudah berada dalam helm.

"Well, itu hanya karena seseorang terlalu banyak berpikir dan membuat berbagai macam ekspresi aneh di wajahnya," balasnya sembari menurunkan helm sampai seluruh kepalaku terlindungi.

Seketika aroma mint bercampur lemon dan stroberi menyerang indra penciumanku.

Dang! Siapa yang pernah menyangka aroma helm pria bisa begitu enak dan bikin ngiler. Eh mungkin saja sih, toh satu-satunya helm pria yang pernah ku pakai hanya milik Arga yang berbau sabun cuci motor.

"Habis makan stroberi yah?" cetusku asal.

Elang sedang menguncikan helm dan tangannya seperti menggoda leherku dan membuatnya terasa sesak. Wajahnya yang begitu dekat denganku semakin memperburuk keadaan.

"Atau helmmu habis kamu pakai sebagai keranjang stroberi?"

Dia memandangku dengan dahi berkerut. "Huh?"

"Helm, bau stroberi."

Dia menelengkan kepalanya kesamping. "Benarkah?"

Tanpa aku duga, Elang lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sangat dekat sampai hidungnya menyentuh pipiku terasa bagai sentuhan bulu halus yang menggelitik.

Elang mengendus. "Ngga ah," bisiknya tepat ditelingaku.

Sumpah yah. Seseorang perlu membuat jenis hukum untuk tindak kriminalitas baru. Misalnya ; cowok tampan, tinggi dan beraroma memabukkan dilarang mendekati dan melakukan kontak dengan cewek yang mempunyai kecenderungan lemah jantung karena bisa menyebabkan serangan jantung dan kematian. Nah, cowok tampan , tinggi dan beraroma memabukan bisa di cap sebagai pria sempurna. Karena kata orang tidak ada yang sempurna, cowok-cowok seperti itu harusnya dikategorikan sebagai kriminal. Harus ada hukum yang mengatur para kriminal itu. Tidak seharusnya mereka berkeliaran seenak hati seperti dunia ini milik mereka sendiri, iya kan?

Elang melangkah mundur, memberiku ruang untuk bernafas lega. Saat aku mendongak ke wajahnya, dia sedang menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa ku baca. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tunggu tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa, dia berbalik badan dan menunggangi motornya kembali.

"Naik."

Ingin cepat-cepat mengakhiri kecanggungan ini, aku pun segera naik tanpa disuruh untuk kedua kalinya.

Woops. Sial. Jok belakangnya curam. Kalau tadi kedekatan kami hanya membuat bulu romaku berdiri, sekarang darahku mendidih.

Ya ampun. Mungkin aku sebaiknya naik mobil bersirine saja.

"Jadi , motor apa ini? Ninja?" Mungkin ini bukan pilihan yang bijak untuk dijadikan obrolan kecil , tapi biarlah. Aku masih ingin mendengar suaranya dan melupakan hasratku untuk bersandar pada punggungnya.

Gah! Ini gila.

Aku gila.

"Bukan," jawabnya singkat sambil keluar dari parkiran kantor polisi.

Aku menoleh kesekitarku. Sebuah Vespa dengan bunyi mirip bajaj ditumpangi tiga orang melaju dengan lambat tidak dariku.

"Mungkin kah ini keluaran terbaru Vespa?"

"Apa ini terlihat seperti skuter untukmu?" katanya sembari menepuk tangki bensin didepannya. "Ouch."

"Kan aku bilang ini keluaran terbaru. Siapa tahu Vespa sedang mencoba inovasi baru." Elang geleng-geleng kepala. "Dan lagi, kamu ngga boleh menyebut Vespa itu sekuter. Vespa ya Vespa, itu kata Arga."

"Aku pikir Arga itu idiot," ucapnya ringan.

Aku memukul punggungnya. "Jaga bicaramu. Dia itu sepupuku."

"Kamu ini aneh atau memang baik hati?"

"Kenapa memangnya?"

"Kamu masih saja membela orang yang selalu membuatmu terkena masalah."

"Dia sepupuku."

Elang mendengus. "Ngga ada alasan lain selain mengatakan dia sepupumu?"

"Dia satu-satunya orang yang bisa ku andalkan," ujarku mengangkat bahu.

Elang tidak mengatakan apa-apa lagi. Perhatiannya fokus pada jalanan didepannya. Kendati sudah lewat tengah malam, bukan berarti jalanan ibu kota langsung sepi.

"Kalau bukan Ninja atau Vespa, ini apa donk?" ujarku , memancingnya untuk bicara.

Kami sedang melaju di jalanan yang sepi , hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Dan rasanya semakin sepi kalau tidak mengobrol.

"Harley Davidson? Ducati? Kura-kura Ninja atau Honda sensei?" sergahku sebelum Elang menjawab.

Elang melirikku. "Kamu sedang pamer pengetahuanmu tentang merek motor atau tokoh dalam film?"

"Dua-duanya," jawabku mengangkat bahu. "Sayangnya keduanya gagal total membuat orang terkesan karena aku cuma mengenal empat merek motor dan nama-nama tokoh dalam film yang bahkan anak kecil pun tahu. Aku bahkan nggak inget dimana pernah lihat nama Honda sensei."

Aku melihat dia tersenyum dari sudut bibirnya yang sedikit terangkat.

"Wow. Aku tersanjung menjadi orang yang ingin kamu buat terkesan," ujarnya melirikku sekilas.

"Jangan terlalu senang. Membuat orang asing terkesan itu sudah menjadi sifat alami setiap manusia," ujarku ringan.

"Oh? Jadi kita masih orang asing?" Dia membelokkan motornya. "Aku pikir setelah kamu menyiramku dengan air kotor dan aksi heroikku menyelamatkanmu dari hukuman pernjara membuat hubungan kita sudah sampai level sangat akrab."

Aku berkacak pinggang sambil melototi kepala belakangnya. "Aku sudah minta maaf dan dihukum sama pakepsekol soal tidak sengaja menyirammu. Dan aku jelas-jelas ngga minta pertolonganmu waktu di kantor polisi tadi. Jadi aku tidak berhutang apapun padamu." Aku mengakhirinya dengan dengusan sebal.

Elang menjentikan jari didepan wajahku. "Nggak ada yang mengungkit soal hutang piutang denganmu."

"Sindiranmu ke arah situ."

Dia memutar bola matanya sambil tertawa kecil. "Sorry, kalau kamu mendapat kesan bahwa aku menyindirmu. Tapi aku cuma mengungkit soal bagian 'orang asing'."

"Well, kita belum berkenalan secara resmi. Jadi yah, kamu masih orang asing," ujarku.

Tiba-tiba Elang menghentikan laju motornya dan menurunkan kaca helmku dengan kasar. Aku hendak bertanya ada apa, tapi aku mengurungkan niatku saat kulihat sekitar delapan motor mengelilingi kami.

Oh my god. Perampokan?

Aku segera memindahkan pegangan tanganku ke pinggangnya.

"Dengar," bisik Elang tanpa menoleh. "Apapun yang terjadi, jangan buka helmmu."

Matanya tertuju pada cowok berpotongan rambut spike, memakai jaket hijau neon dengan jersey Juventus didalamnya sedang turun dari motor setannya. Wow. Dia besar, sangat.

"Kurang kerjaan, Brong?" kata Elang.

Brong sampai didepan motor Elang. "Elo tau, Elo harus berterimakasih sama Bos. Kalau bukan dia, gue udah bunuh elo jauh-jauh hari."

Elang mengangkat kedua bahunya. "Gue kirimi dia kue cucur nanti."

"Sebenarnya bos mau sekarang-"

"Apa elo lihat ada yang jualan kue cucur disini," potong Elang.

Seketika wajah Brong langsung nampak seperti beruang grizli marah. Lalu dia menendang roda depan motor membuat seluruh badan motor bergetar. Reflek karena terkejut, aku melingkarkan tanganku pada pinggang Elang sementara tubuhnya menegang waspada menahan berat motornya agar tidak jatuh.

Oh God! Seberapa kuat sih si Brong itu kalau mau? Hebat banget tendangannya bisa menggoyangkan motor berpenumpang dua orang. Nama macam apa pula 'Brong' itu?

"Bos mau ketemu elo. Sekarang," kata si Brong geram.

"Sorry, walau ngga bener-bener sorry. Tapi Gue ngga bisa. Gue ada urusan," ujar Elang santai.

Ternyata kesantaian Elang menimbulkan reaksi yang sama sekali tidak membuat santai. Ketujuh teman si Brong mengegas motor dan sekarang benar-benar mengurung kami tanpa celah.

Jujur saja, selama ini aku mengategorikan diriku sebagai anak nakal sedangkan mama bilang aku pemberontak. Walau begitu aku belum pernah bertemu atau bertatap muka dengan preman yang sebenarnya. Preman-preman yang ku temui ya semacam preman penunggu gang yang hobinya malak orang, atau preman gila judi game di Somoron. Dan tatapan mereka jauh berbeda dari preman-preman yang memerangkapku ini. Ini membuatku sedikit takut.

"Elo ngga bakal kemana-mana kecuali ketemu bos," kata Brong puas.

Elang memaki, mengeluarkan sumpah serapah kemudian menghela nafas. "Baiklah. Tapi gue mau ngaterin dia dulu," ujarnya menunjukku.

"Pacar baru yah?" kata Brong menyeringai. Lalu dia menggeleng. "Bawa saja. Elo bakal butuh dia lagi buat tetep nangkring dibelakang lu."

"Dia gagu, gue udah bilang sama orang tuanya bakal nganterin dia pulang. Kalau lima menit lagi belum sampai rumah, mereka bakal lapor polisi," ujar Elang.

"Bukan urusan kita," cetus pria ceking berwajah lonjong dengan tulang pipi tinggi dan sangat menonjol. Dia lalu tertawa bersama yang lain.

Tidak ada pilihan lain. Pada akhirnya Elang menyerah. Well, aku tidak menyalahkannya. Hanya melawan Brong saja dia pasti akan kalah, apalagi ditambah tujuh orang lainnya.

Elang menoleh padaku. "Jangan bicara sepatah katapun," bisiknya saat orang-orangnya Brong mengambil posisi.

"Aku sudah tau apa maksudnya saat kamu menyebutku gagu, Rider!" desisku sambil melotot padanya melalui kaca helm.

Aku yakin seharusnya dia tidak mendengarku, tapi seringaian di bibirnya mengatakan iya, dia mendengarku.

Dan kami digiring, ke tempat yang tidak mau dan tidak pernah aku bayangkan.

⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝⇝

Hi fellas,

Heartbeat cepet yah updatenya, yang lain malah kayak siput.

Emergency!!!

Gue stuck nih , ga bisa lanjut nulis gara-gara itu.

Bantuan sangat diperlukan!

Segala ke-error-an dalam tulisan ini sepenuhnya salah yang nulis. Mohon dimaklumi karena kemalasannya.

With a shame..

-Jealoucy.

Continue Reading

You'll Also Like

69.4K 10K 24
Bagi Kang Yoo Ra, kesempurnaan itu tidak ada. Jika bahagia muncul, maka ia harus siap kehilangan. Meski hidupnya berubah, Yoora tetaplah yang dulu...
7.9K 2.8K 37
Romance & Thriller/action [18+] Description: Seorang pria terpaksa melibatkan seorang gadis magang untuk mendapatkan informasi rahasia, dan memb...
27.9K 2K 74
A little secret With little lies In little note From little heart Ketika bibir enggan terbuka, tapi hati tetap merasa. Ketika senyum terukir, tapi lu...
Two Times By fly

Teen Fiction

26.2K 4.1K 37
Kenanga yang pendiam, pemalu, lemah, selalu dirundung oleh teman sebangkunya yang bernama Sheila tiba-tiba menjadi sosok yang tak tahu malu, pembuat...