Naya's POV
Aku mengerjap beberapa kali saat cahaya lampu jingga menusuk mataku. Aku mencoba bangkit dan mendudukkan diriku lantas bersandar pada bantalan yang ada di belakangku.
Aku kembali memijat pelipisku saat rasa pusing kembali menyerang. Kupandangi seluruh ruangan ini.
"Gue dimana?" Gumamku.
Seluruh isi ruangan ini sangat asing bagiku. Paduan warna abu-abu gelap, hitam dan putih tampak menghiasi ruangan yang seperti kamar tidur ini.
Pintu kamar terbuka dan menampilkan wujud Sehun di sana. Ia menatapku sesaat lalu berjalan mendekat dengan aku yang masih setia dengan posisiku. Ia kemudian duduk di tepi ranjang.
"Kamu udah bangun?" Tanya Sehun padaku.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya tajam. "Saya ada dimana bos?" Tanyaku tak suka dengan penuh penekanan pada kata 'bos'.
"Kamu pingsan di mobil saya, jadi saya bawa kamu ke rumah saya," jelas Sehun lalu beranjak dari duduknya dan mengambil sesuatu di nakas.
Ia pun memberikanku beberapa obat pil dan segelas air putih.
"Untuk apa ini?" Tanyaku tak paham.
"Ini, minum dulu. Obat dari dokter yang saya panggil kesini," ujarnya menjawab pertanyaanku.
Aku menatap obat ditangannya itu ragu lantas melirik obat dan wajah Sehun bergantian. Tampaknya ia sadar kalau aku tak percaya padanya.
Sehun mendengus pelan lalu meminum semua pil yang ia pegang tadi, ditelannya dengan sekali tenggak. "See," ujar Sehun menatapku meyakinkan kalau obat itu aman untukku.
Sehun kembali mengambil beberapa pil dari bungkusnya lagi dan memberikannya padaku. "Minum, dan cepat sembuh," seru Sehun.
Aku masih bergeming.
"Ini cuma obat demam," katanya, kembali meyakinkan.
Aku menatap Sehun beberapa detik lalu meraih obat yang ia pegang juga gelas yang airnya tersisa separuh. Kutelan obat tersebut sembari menutup mata takut sesuatu terjadi pada diriku.
Aku masih memejam selama beberapa detik hingga suara deheman Sehun menyadarkanku. Aku membuka sebelah mataku, lalu setelahnya membuka lebar kedua mataku.
Tidak ada yang terjadi padaku.
Kulirik Sehun yang masih menatapku datar. Aku jadi merasa bersalah karena mencurigai niat baiknya. Sungguh bodoh aku malah menyangka yang tidak-tidak.
"Maaf bos," cicitku seraya menunduk tak kuasa menatap orang yang ada di hadapanku.
Tanpa membalas ucapanku, Sehun beranjak lantas berkata,
"Kamu istirahat, saya akan tidur di sofa. Asisten rumah tangga saya sudah pulang. Kalau kamu perlu sesuatu kamu bisa bilang ke saya. Saya ada di ruang TV," ujar Sehun panjang lebar lalu beranjak dan menghilang saat pintu tertutup.
Aku mengangguk. Aku mengangguk padahal Sehun tak melihatku. Tunggu, jadi sekarang aku menginap disini?!
Kurogoh saku rokku, tempat aku meletakkan handphone-ku tadi. Tanpa babibu aku langsung menelepon Putri. Untung saja dia dengan cepat menjawab panggilanku.
"Put gawat!" Teriakku dengan berbisik.
Baru saja aku hendak menjelaskan segala yang terjadi. Namun, Putri langsung menhujaniku pertanyaan yang bertubi-tubi
"Na, lo dimana sekarang?! Kenapa belum pulang?! Lo gak kenapa napa kan Na?! Na lo gak papa kan?! Lo dimana sekarang?! Ini udah jam setengah satu malam tau!"
Aku sedikit menjauhkan handphone-ku saat Putri terus berbicara dengan berteriak disebrang sana. Aku tau dia pasti sangat khawatir melihatku tidak pulang dan tak memberi kabar.
"Aduh! Ini baru mau gue jelasin tau!" Pekikku.
"Duh iya iya! Cepetan deh jelasin lo dimana?!"
Aku pun menceritakan kronologi kejadian yang kualami hingga aku bisa berakhir dirumah Sehun. Putri memahami kondisiku sekarang dan menyarankan agar aku beristirahat dirumah Sehun untuk malam ini. Karena, malam sudah terlalu larut dan kondisi kesehatanku juga belum pulih betul.
Setelah berpisah-pisah ria, Putri memutuskan sambungan teleponnya. Tinggal lah aku disini dengan kesunyian. Kamar ini sungguh asing sampai membuatku tak nyaman untuk tidur.
Ini sudah sejam sejak aku meminum obat pemberian Sehun tadi. Suhu tubuhku berangsur-angsur membaik dan kepalaku juga tidak terlalu pusing lagi.
Sekarang yang menjadi masalahku adalah aku tidak bisa tidur lagi! Kalau dipikir-pikir, aku pingsan pada saat jam makan siang lalu baru terbangun jam dua belas malam lewat.
"Ya ampun! Gue tidur lama banget!" Aku memekik saat sadar betapa lamanya aku terlelap. Pantas saja aku tidak merasa mengantuk lagi.
Detik terus berlalu hingga kini berganti menit. Namun, aku masih tetap terjaga dan tak bisa tertidur. Aku sama sekali tak mengantuk.
Kucoba menggulingkan tubuhku kesisi lain ranjang berukuran king size ini. Nihil, rasanya sama saja. Aku pun beranjak dan mencoba merebahkan tubuhku pada sofa yang ada di ujung ruangan. Sama saja! Aku tak bisa tidur lagi!
Dirasa belum cukup deritaku tak bisa tidur lagi, kini cacing-cacing perutku menari-nari memohon agar aku memberi mereka makan. Kutahankan rasa laparku karena takut untuk keluar dan bertemu Sehun. Dua menit usahaku berhasil tapi dimenit berikutnya cacing-cacing diperutku bukan lagi menari namun sudah berdemo.
Aku benar-benar lapar!
Kumantapkan keberanianku dan meraih knop pintu. Sekali lagi aku bersiap dengan mantap lantas membuka pintu tersebut.
Baru selangkah aku keluar dari kamar, suara berisik acara televisi langsung menusuk telingaku.
Si bos belum tidur? Pikirku lantas berjalan mendekati sumber suara. Kulirik Televisi yang menyala dengan Sehun yang sudah terlelap di sofa. Kualihkan perhatianku pada Sehun. Ia tak menggunakan selimut padahal suhu ruangan cukup dingin.
Tak tahu angin apa yang membawaku hingga aku kembali kekamarnya dan mengambil selimut yang ada disana. Setelahnya aku kembali keruang TV dan kurentangkan selimut tersebut diatas tubuh Sehun agar menutupi seluruh tubuhnya. Kembali kulirik Televisi yang masih menyala. Aku pun meraih remot TV-nya dan mematikannya.
Tanpa sadar aku memperhatikan Sehun. Wajahnya sangat damai jika sedang tidur seperti ini, tidak seperti saat ia menatapku dingin.
Tanganku bergerak tanpa kuperintah. Rasanya ingin sekali ku letakkan jemariku dan menelusuri wajahnya. Namun, kuurungkan niatku saat suara gemuruh kembali terdengar dari perutku.
Aku hendak berlalu mencari ruangan yang disebut dapur. Baru selangkah kakiku berjalan, suara bariton Sehun mengintrupsiku.
"Naya?"