SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

26

3.2K 443 32
By SophieAntoni


Ava Argani

Jantungku berdebar begitu kencang seperti sedang meronta hendak keluar dari rogga dadaku. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya saat kepalanya bergerak mendekatiku. Aku sudah menduganya namun aku tidak menghindarinya. Ada rasa penasaran, gelisah, cemas sekaligus canggung yang menyatu dalam dadaku, namun sekali lagi aku tidak ingin menghindar atau menolak. Mataku bekerjap sebentar saat perlahan bibirnya mengecup pelan bibirku yang setengah terbuka. Hanya beberapa detik.

Perlahan dia menjauhiku dan memandangku penuh arti. Aku terlalu malu untuk kembali memandangnya. Suara deheman-nya membuat kepalaku bergerak memandangnya ragu. Kulihat ada senyum tertahan di bibirnya. Aku kembali menunduk dan menggigit bibirku kemudian berjalan cepat menghindarinya.

"Va!" Dia menarik taganku dan menghentikan langkahku. Aku masih membelakanginya saat kurasakan sebelah tangannya melingkar di pundakku.

"Aku juga deg-degan. Aku juga nervous tau!" bisiknya, namun ironisnya aksinya itu justru membuat semua bulu ditengkukku merinding. Aku jauh lebih gugup daripadanya. Aku yakin itu.

"Kamu? Nervous?" aku bertanya dengan nada tak percaya sekaligus cara untuk membuatku tidak tenggelam dalam rasa asing namun menyenangkan ini. Meski tak kupungkiri kalimatnya barusan sedikit membangkitkan rasa percaya diriku.

"Ya..."

Aku tertawa setengah mendengus tanpa berusaha melepaskan diriku dari rangkulannya.

"Ini ciuman pertama kamu kan?" Dia melirikku dan membuatku mendesis dan memukul lengannya pelan. Kedua tangannya kali ini berpindah meraih pundakku dan membawaku berhadap-hadapan dengannya.

Ia menghela napas tanpa melepaskan sedetikpun pandangannya dariku.

"Kamu jangan terlalu terbebani dengan Tania. Jangan merasa kamu merebut sesuatu darinya." Dia kembali mengingatkanku dan aku hanya bisa mengangguk kecil. Kali ini dia menarik napas lega masih sambil memandangku. Aku tersenyum tipis dengan pandangan yang tidak ragu menjelajahi setiap inci wajahnya.

"Kita makan di sini atau keluar?" Dia memberiku pilihan.

"Kita order aja? Aku nggak tahu cara menutupi pipiku yang agak bengkak ini." Katanya lirih.

"Oke." Dia mengangguk setuju dan kemudian berjalan meninggalkanku.

"Va! Berapa umur kamu?" Dia tiba-tiba bertanya dengan mata yang tidak berpindah dari layar ponselnya.

"Kamu nggak tahu berapa umurku?"

Dia mencuri pandang ke arahku sebentar kemudian tersenyum.

"Aku tahu seharusnya aku banyak tahu segala hal tentang orang yang aku sayang but...."

"But...." Aku menaikan kedua alisku. Dia masih tersenyum dan kembali melangkah mendekatiku. Ia sedikit menunduk dan mengunci pandanganku.

"Va, jatuh cinta sama kamu adalah sesuatu yang diluar dugaan." Aku menelan ludahku karena kata-kata ini sedikit menyinggung perasaanku, entahlah apakah ini sebuah hal yang luar biasa atau pengingat bahwa aku bukanlah tipe perempuan yang akan membuat ia lansung jatuh cinta.

"Semua tentang kamu yang terlihat di mataku seperti nggak memberi kesempatan padaku untuk memikirkan hal yang lain...oke aku nggak mau ini terdengar aneh...atau..." Dia terdiam. "I just don't care about anything else but you..."

"Seandainya saat ini kamu mengatakan bahwa usia kamu ternyata 50? So what?" wajahnya menampakkan ekspresi menggoda.

Aku mendesis dan tertawa kecil sekaligus mengusir pergi segala rasa raguku yang jujur masih sering mengganggu hatiku.

"Oke aku ngerti." Aku perlahan meraih tangannya. "Bulan depan tanggal 26, usia aku dua lima."

"You're still a baby." Erick merengkuh tubuhku.

"No. I am not." Protesku.

"Aku 33." Kedua alisku terangkat naik. "Kenapa? Kamu merasa aku terlalu tua?"

Aku menggeleng. Ingatanku kembali pada Desi yang saat itu sempat mengatakan bahwa ia ditugaskan untuk merayu Om-Om...Ah ada satu orang lagi yang harus aku jelaskan tentang bubunganku dengan Erick. Aku tidak bisa membayangkan apa reaksi Desi saat tahu aku akhirnya jatuh ke pelukan Om playboy ini.

Getar ponsel dari atas meja membuatku melepaskan diri dari rengkuhan Erick. Niat mematikan ponsel sejak semalam tidak jadi aku lakukan karena aku terlalu lelah dan sedikit traumatis dengan benda itu. Mengubah ke mode silent saja rasanya sudah cukup.

Aku menghentikan langkahku dan hanya menatap benda kecil itu terus bergetar tanpa berniat mengangkatnya. Ada nama Rama di sana.

"Siapa? Tania?"

Aku menggeleng cepat kemudian menyambar ponsel itu dan melemparkannya pelan ke atas sofa agar getarnya tidak lagi menimbulkan bunyi berisik.

"Oh ya kamu belum memutuskan mau order apa?" seru Erick tak jauh dariku. Aku lega karena Erick sepertinya tidak ingin lanjut menginterogasiku tentang siapa penelpon pagi ini.

"Kita makan diluar aja." Kataku tiba-tiba. "Aku bisa pake masker. " sambungku lagi mengingat lebam di pipi kiriku tidak mungkin aku pamerkan di luar sana. "Aku mau...mandi dulu." Kataku lagi sambil berjalan mencari tas ranselku.

"Ooo..kay." Erick berkata setengah memicingkan matanya sambil memperhatikanku yang berlalu di hadapannya. "Sepertinya telepon tadi sudah membuat seseorang berubah pikiran." Sambungnya dan membuatku menoleh ke arahnya sebentar tanpa ekspresi. Mungkin Erick benar, telepon Rama seperti pengingat untukku bahwa aku bukan pihak yang berdosa dalam kisah romansa abad ini. Aku tidak perlu menyembunyikan diriku karena beban rasa bersalah sebagai orang yang dianggap pelakor. Oh my God, istilah apa itu? Justru sebaliknya aku harus keluar dan menunjukkan pada dunia bahwa ada laki-laki tampan di sampingku yang bisa kubilang...memujaku?

"Why you look at me like that?" Erick menautkan kedua alisnya memandangku.

"Nggak apa-apa. Kamu punya handuk bersih?"

"Tentu saja." Jawabnya sambil melangkah ke dalam kamar.

"Yep, tentu saja kamu punya." Aku berkata refleks. Meski pelan tapi aku bisa mendengar reaksi Erick dengan helaan napas beratnya di depan pintu kamar sambil memegang sebuah lipatan handuk berwarna putih.

"Okay hon..." Erick sedikit merentangkan kedua tangannya dengan sedikit menghela napas. "I am a new person since you." Ia memandangku dalam-dalam sambil berjalan mendekatiku.

"Aku minta maaf." Sesalku. Aku sudah tahu seperti apa sosok Erick sebelum aku mengenalnya dan aku sudah menerimanya. Menerima semua kelebihan dan tentu saja masa lalunya. Tidaklah benar rasanya mengungkit semua hal yang terasa sepele yang mengingatkanku pada masa lalunya.

Aku mengangkat wajahku dan aku bisa merasakan sapuan bibir Erick di keningku.

"Percaya sama aku." Katanya. "Dan sekarang cepat mandi sana. Kita makan karena sepertinya kalau sedang lapar kata-katamu suka nggak terkontrol." Ia mengacak rambutku sambil tertawa renyah.

***

Erick Leitner

Aku berdiri di ambang pintu kamarku sambil memandang setiap sudut kamar berukuran empat kali lima meter itu dengan berbagai hal berkecamuk dalam otakku. Aku tipe laki-laki yang tidak pernah bermasalah dengan rasa percaya diri namun tidak untuk saat ini. Beberapa kali Ava membuat hatiku ciut dan nyaliku melempem. Kami sangat berbeda. Perempuan itu seperti mata air terpencil di pegunungan, pure and innocent. Sedang aku? Mungkin persis kali Ciliwung di jaman sebelum Ahok. Selain itu, tipe perempuan pure seperti Ava biasanya tidak terlalu menarik perhatianku.

Entah berapa perempuan yang pernah ada di atas ranjang itu. Kamar ini panas dan rasanya aku perlu memanggil seorang pastor untuk memerciki seluruh ruangan ini dengan air suci untuk sekadar mendinginkannya? Aku berdecak dan tertawa sendiri dengan pemikiran anehku.

Getar ponsel Ava singgah ke pendengaranku. Aku bergerak mendekati sofa, memicingkan kelopak mataku mencoba membaca nama siapa yang ada di layar. Jantungku berdesir kecil saat melihat nama dokter Rama di sana. Aku melirik ke pintu kamar mandi sebelum aku meyambar benda itu.

"Halo?"

Ada hening sesaat. Aku yakin laki-laki di ujung sana tentu tidak menduga bukan suara Ava yang menyapanya. Aku tidak peduli.

"Halo?" ulangku.

"Ummm...maaf mungkin salah..."

"Dokter Rama?" potongku.

"Iya? Maaf ini dengan siapa?" ada keterkejutan dalam nada suaranya. Aku menarik napas pelan sebelum kembali berkata.

"Saya Erick. Saya pacar Ava." Kataku dengan suara tenang dan senyum kecil tercipta di sudut bibirku. Ada rasa yang tidak bisa kugambarkan saat mengatakan hal ini, terutama pada laki-laki yang juga punya perasaan khusus pada kekasihku. Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Aku tau aku pasti terdengar seperti gadis ABG yang baru pertama kali merasakan bahagianya ditaksir cowok popular di sekolah. Kekanank-kanakan sekali!

"Ummm....saya nggak paham." Laki-laki di ujung sana sepertinya baru saja terlempar dari planet ini.

"Anda mencari Ava? Di sedang...ummm..." otakku tiba-tiba tidak bekerja. Aku tidak bisa mengatakan bahwa Ava sedang mandi di apartemenku saat ini. "Dia sedang keluar sebentar. Ponselnya tertinggal."

"Ava dimana sekarang?" suaranya terdengar menuntut dan sedikit membuatku kesal. Apakah dia amnesia? Bukannya aku sudah mengatakan dengan jelas padanya bahwa aku kekasih Ava? Dia tidak berhak betanya seperti itu kepadaku, apalagi dengan nada seperti ini.

"Hei, untuk apa mencari Ava." Aku mulai menanggalkan embel-embel dokter saat menyapanya.

"Kamu siapa sebenarnya?" ia sedikit menghardik dan membuat emosiku sedikit melesat.

Aku berdesis tak percaya mendengar pertanyaan konyolnya. Tentu saja pernyataanku tadi bukan hanya melemparkannya keluar dari planet ini dan namun sudah mengakibatkan cedera pada kepalanya yang mengakibatkannya menjadi amnesia.

"Saya Erick. Saya pacarnya Ava. Anda nggak berhak bertanya seperti itu." Tukasku kesal. Aku sedikit mengepalkan tanganku dan menghempaskan tubuhku ke sofa.

"Nggak mungkin." Dia masih berkeras. "Ava....Ava nggak mungkin..." dia tidak jadi meneruskan kata-katanya.

"Saya ingin memperingatkan Anda untuk jauhi Ava karena saya nggak mau Ava dikait-kaitkan dengan dongeng cinta Anda. Ava sangat dirugikan dan saya tentu saja nggak bisa tinggal diam."

Senyap sesaat. Aku tahu saat ini di sedang terkena syok ringan.

"Okey...baiklah saya...saya mengerti tapi saya tetap ingin bertemu dengan Ava. Saya hanya ingin meluruskan..."

"Nggak perlu. Ava sekarang sudah baik-baik saja." Aku kemudian memutuskan pembicaraan itu dengan rasa kesal yang tak terkira.

"Siapa?" suara Ava membuatku sedikit terlonjak. Ia mendekatiku dan melihat ponselnya masih berada di tanganku. Nyaliku tiba-tiba terbang melayang. Entahlah aku selalu takut salah bersikap di depan perempuan ini. Bukan karena apapun tapi karena aku takut kehilangannya.

"Maaf..." aku hanya berkata pendek tanpa memandangnya "Aku terpaksa mengangkatnya."

"Ya....?" Ava memandangku dengan pandangan yang menuntutku untuk menjelaskan yang lebih kepadanya.

"Rama meneleponmu. Dan aku nggak suka." Aku berkata tanpa memandang matanya. "Aku mengatakan padanya siapa aku." Kali ini aku memberanikan diri memandangnya sekaligus menunjukkan padanya bahwa apa yang kulakukan ini benar. Setelah beberapa detik aku bisa melihat satu sudut bibirnya bergerak kecil. Dia tersenyum.

"Emang apa yang kamu bilang sama dia?" Dia memancingku dengan nada yang sedikit manja dan membuatku berdesis lega. Aku menarik sebelah tangannya dan membuatnya terjatuh duduk di sebelahku. Penciumanku bisa menangkah harum segar sabun yang menempel di kulit lehernya. Jantungku berdegup cukup hebat hanya karena ini.

"Aku memintanya untuk menjauhi kamu karena kamu sudah punya pacar." Wajah kami sangat dekat dan aku bisa merasakan napas hangatnya di sekujur wajahku. Jakunku bergerak turun naik. Tubuhku membeku. Ava benar-benar tidak pernah tahu pesonanya begitu besar saat ini dan dia sepertinya tidak punya niat untuk menarik kepalanya menjauh dariku. Entah dia saat ini sudah menjadi perempuan yang berbeda atau memang dia sudah sepenuhnya percaya padaku.

"Oke...." Dia hanya berkata singkat dan justru membuatku hampir gila. Aku bangkit berdiri dan berjalan cepat ke kamar mandi mencoba menghindarinya. "Tunggu aku mandi sebentar ya setelah itu kita makan." Aku mencoba mengalihkan segala hal yang sudah menguasai otakku. Aku tidak pernah mengalami hal ini. Seorang perempuan dengan segala apa adanya sudah membuat napasku hampir berhenti tadi. Perempuan-perempuan sebelum Ava perlu memikatku dengan segala keseksian mereka tapi perempuan ini? Aku menoleh sekilas ke arah Ava, yang saat ini sedang terpekur menatap layar ponselnya, dan kemudian menggelengkan kepalaku tak berdaya.

***

Ava Argani

Kami berakhir sarapan di MCD yang letaknya hanya di seberang apartemen. Itu dikarenakan kami terlalu malas mencari alternatif lain mengingat Erick tidak punya waktu banyak di darat hari ini. Dua porsi big breakfast plus satu porsi hotcakes terhidang di meja kami.

"Jadi kemana rute kamu kali ini?" Aku memasukkan potongan hash brown ke dalam mulutku.

"London."

"London?" kedua kelopak mataku membesar memandangnya. Setahuku penerbangan Erick paling jauh adalah Hongkong.

"Ya. Aku memang belum sempat memberitahukan sama kamu." Ia menyesap pelan kopinya. "Tapi kali ini aku masuk dalam Enlarged Crew ke London.

Aku mengerutkan kening tidak paham.

"Itu istilah untuk pilot tambahan. Jadi akan ada empat pilot dalam penerbangan ini dan kita akan gentian nyetirnya." Jelasnya santai tapi membuat wajahku sedikit merengut. Penerbangan jauh itu artinya akan semakin lama aku kembali bertemu dengannya.

"Kenapa? Kamu nggak pengen lama-lama jauh dari aku?" ia menggodaku. Aku sedikitpun tidak memamerkan senyumku. Tentu saja aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku masih membutuhkannya saat ini. Suasana hatiku masih kacau dan sejenak bersamanya sejak pagi ini membuatku melupakan bencana yang baru saja terjadi semalam.

"Va..." sapanya lembut sambil memainkan ujung jemariku. "Aku tahu kamu sangat membutuhkan aku saat ini. Seandainya aku yang punya perusahaan tentu saja dengan senang hati aku menunjuk orang lain." ia mencoba menghiburku namun sedetik kemudian ia merasa aneh dengan kata-katanya. "Ah...kalau aku yang punya perusahaan tentu saja aku nggak perlu nyetir komersial aku pasti punya jet pribadi." Gumamnya. Kata-katanya ini membuatku akhirnya tersenyum kecil.

"Apa kamu ikut aja ke London?"

Aku tertawa tawar dan memukul pelan tangannya.

"Maaf Va." ia menampakkan wajah sesalnya. "Oke kita cepat-cepat habiskan sarapan terus kita kembali ke apartemen dan kita manfaatkan waktu kita. I am wholly yours. Aku pasrah deh apa yang mau kamu lakukan sama aku."

"Ihhhh..." aku mencubit kesal tangannya dan membuatnya menjerit kecil. Aku suka dengan becandaannya meski aku masih belum sepenuhnya lepas dari rasa cemburuku pada masa lalunya. Aku orang yang realistis. Itu benar. Aku realistis menjadi seorang perempuan yang memiliki kekasih yang punya masa lalu dengan banyak perempuan. Aku harus pintar menyimpan rasa cemburuku.

"Berapa jam emangnya terbang ke London? Harus butuh pilot tambahan ya?" aku mulai beraksi seperti seorang perempuan manja yang sedang merengek.

"Cukup lama yang mengharuskan ada pilot tambahan, sayang. Biar istirahatnya gantian karena pilot yang mendaratkan pesawat harus dalam kondisi prima."

"Okey..." kataku malas-malasan.

"Bahkan dalam penerbangan lokal aja pilot sama kopilot sering gantian istirahat. 10 sampai 15 menit." Dia mengedipkan mata ke arahku. "Harus selalu dipastikan salah satu kru dalam kokpit sehat dan prima. Bahkan kalau salah satu pilotnya ke toilet, seorang pramugari diharuskan menemani pilot yang satu di dalam kokpit." Jelas Erick dan membuatku jutsru menautkan kedua alis sedikit tidak suka dengan informasi ini. Erick tertawa melihat ekspresiku.

"Itu standar keamanan, sayang. Bukan sesuatu yang ada di pikiran kamu." Ia mengarahkan telunjuk ke keningku. "Itu karena pintu kokpit harus selalu terkunci dan pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam, jadi kalau satu pilot keluar ya satu pramugarinya harus ada di dalam untuk membantu membuka pintunya nanti atau berjaga kalau pilot yang di dalam kokpit mendadak sakit."

"Okey..." aku mencoba menghentikan aksi cemburuku yang lama-lama terdengar lebai dan sangat tidak mencerminkan diriku. Tapi tentu saja dalam hatiku aku yakin pasti ada salah satu di antara flight attendant-nya yang punya rasa pada Erick atau bahkan penah punya hubungan khusus dengannya. Ah...kalau aku terus berpkir seperti ini artinya aku selalu meragukan cinta Erick padaku.

"Kamu masih bertekad ke Magderburg kan? Residen di sana?" Erick mengalihkan topik.

"Ya tentu saja. Aku sedang kembali kursus Jerman saat ini."

"Wow...." Senyumnya sedikit beda. "Kamu nggak berpikir kita akan semakin sulit bertemu?"

"Aku tahu." Aku sedikit menunduk. Aku tentu berharap aku bisa diterima menjadi dokter residen di kota itu namun aku tidak pernah berpikir aku akan begitu lama meninggalkan Erick. Apa aku mampu? Atau apakah ia mampu jauh dariku dan tetap setia? Aku memandang laki-laki di depanku ini. Dia juga memandangku penuh arti seperti ada sesuatu yang ingin ia ucapkan namun tertahan.

"Ayo kita pulang." Ucapku sambil membereskan tasku. Aku ingin segera kembali ke apartemen dan berbagi banyak cerita dengan laki-laki ini sekaligus menjadi bekalku untuk beberapa hari ke depan saat harus menghadapi realita yang untuk sementara aku hindari ini.

"Menikahlah denganku." Kata-kata itu segera menghentikan gerakan tanganku. Aku memutar leherku cepat ke arahnya. "Menikahlah denganku sebelum kamu ke Jerman." Ucapnya lagi dengan wajah yang sangat serius.

Continue Reading

You'll Also Like

624 115 8
Lepas dari status mahasiswa alias sudah sarjana adalah kebahagiaan tak terhingga bagi Arinda, rasanya seperti kau terikat dalam lorong gelap dan akhi...
79.9K 7.5K 37
"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal...
13.2K 480 32
Gentala Indrayana terpaksa harus menikahi seorang Mentari Ranjana, Gadis yang baru di kenalnya selama kurang dari dua hari, semua itu karena insiden...
13.6K 1.7K 33
Harumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto)...