The Mahesa's

Galing kay Mayyadnan

512K 25.2K 1.7K

Ini adalah cerita pendek tentang keluarga Mahesa. Pradipta Putra Mahesa si perfeksionis yang sangat melindung... Higit pa

Brothers Day Out
Pradipta & Radisti
AIRADIT
Radit oh Radit ...
RADITYA = PURI ???
New Born Baby
Secret Operation
LOVELY RADITYA
I HATE YOU BUT I NEED YOU
LONG WEEKEND
What A Day
Boys Day Out
Paundra And Radisti
The Mahesa's
Paundra's Side
MISSION
Secret
FIGHT FOR LOVE
Good Bye, My Love
Suprise
Welcome To Our Family
Love is .....
ANOTHER SIDE

Arini and Pradipta

7.3K 811 122
Galing kay Mayyadnan

Arini menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Menarik nafas lagi,  kembali menghembuskannya. Jari-jari tangan kanannya yang lentik membuka berkas yang ada di atas meja, membacanya kalimat demi kalimat. Dahinya berkerut samar tanda ia berpikir. Bibirnya bergumam tak jelas seolah ia tak puas dengan apa yang ia baca. Lengan blus merah mudanya digulung hingga kesiku, sementara jasnya teronggok begitu saja di atas meja.

Sepi...yang terdengar hanya suara napas Arini dan kertas yang dibalik. Arini sepertinya sangat sibuk. Istri dari Pradipta Putra Mahesa itu memang memegang tanggung jawab sebagai salah satu Direktur The Mahesa's Hotel. Ia berbagi peran dengan Pradipta dan Raditya, adik iparnya.

Ruangan Arini sangat luas dengan wallpaper berwarna hijau muda dan karpet cokelat muda terhampar. Jendela-jendela besar di sebelah mejanya membuat ia dapat melihat kemacetan Jakarta dari ruang kerjanya. Foto keluarga kecilnya terpajang rapi dengan aneka ukuran pigura semakin mempercantik meja panjang yang berada di belakang kursinya. Tiga buah sofa berwarna cokelat berada di depan meja kerja dengan aneka camilan dalam toples di atas meja.

Sebagai salah satu Direktur, ruangan Arini tentunya sangat nyaman dan memenuhi keinginannya hanya dalam beberapa langkah. Arini juga memiliki sebuah kamar untuk beristirahat yang terletak di balik pintu geser yang terkamuflase sebagai rak buku.

Dua orang sekretaris dan dua asisten akan siap membantu dalam satu kali panggilan dari bel di mejanya.

Tiga jam kemudian, Arini sudah memulas bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda. Rambut panjangnya yang bergelombang ia biarkan tergerai indah melewati bahu, ia sudah berganti pakaian dengan  kemeja putih dan celana jeans berwarna biru belel. Sepasang sepatu olah raga melengkapi penampilannya yang casual. Ya, jam sembilan malam nanti ia akan terbang menuju Macau untuk mengikuti arisan kalangan jet set di Jakarta. Arini meraih tasnya yang berada di atas meja. Langkah kakinya teredam karpet nan tebal, ia membuka pintu dan spontan para asisten dan sekretarisnya mengangkat wajah.

"Bu, sudah mau berangkat?" tanya Irma Sekretaris pribadinya yang lalu bangkit dari duduk dan menyerahkan sebuah map berwarna cokelat.

Arini mengangguk. Ia membuka map tersebut lalu membacanya perlahan. "Rapat BOD senin ya? Sudah ada konfirmasi siapa saja yang akan hadir?" Arini menatap Irma.

Irma perempuan cantik dengan wajah oriental dengan rambut lurus sebahu itu menggeleng. "Saya belum dapat kabar dari Sekretaris Utama, Bu." Irma lalu menatap Arini dengan sedikit ragu.

"Ya? Ada apa?" tanya Arini sambil mengangkat alisnya heran. Ia sudah sangat hapal dengan kebiasaan Irma.

"Bapak udah ada di ruangan kerjanya," lapor Irma.

"Oh..." Senyum tipis terlihat di bibir Arini. "Saya mampir ke ruangan Bapak kalau begitu...bisa tolong kasih tahu Pak Arief kalau saya akan turun 30 menit lagi?" kata Arini. Ya, pertemuannya dengan Pradipta tidak mungkin hanya sebentar, 30 menit saja terkadang kurang.

"Ta..tapi, Bu?

"Penerbangan saya masih jam sembilan malam...ini baru jam lima," jawab Arini santai. "Kalau pun tertinggal ya nggak papa..." Ada alasan untuk nggak datang deh ke arisan...lanjut hati Arini.

Arini lalu ke luar dari kubikal tempat para Asisten dan Sekretarisnya bekerja. Ia melewati ruang kosong yang luas dengan langkah santai. Tasnya ia gantungkan di bahu. Langkahnya terhenti di depan kubikal para Asisten Pradipta bekerja. Mematut penampilannya lalu mengulas senyum...entah kenapa ia selalu ingin terlihat memesona di hadapan suaminya tercinta.

"Hai, Cor..." sapa Arini ramah di depan meja Cory, sahabatnya yang juga adalah Sekretaris Pradipta selama enam tahun terakhir.

"Astaga," Cory yang sedang menatap serius ke layar komputernya terkejut. Seruannya mengejutkan rekan kerja lainnya yang lalu melongok dari mejanya. Perempuan cantik itu memegang dadanya dengan dramatis. "Lo ngagetin gue,"

Arini tertawa kecil dan menatap sahabatnya itu dengan mata bulatnya tanpa rasa bersalah. "Hahaha..."

"Mau kemana lo?" tanya Cory dengan tatapan heran. Ya iyalah heran. Istri bosnya pukul lima sore menggunakan pakaian casual dan sudah berdiri di depan pintu ruangan suaminya. "Mas Bos udah ada agenda malam ini, makan malam dengan Menteri Perdagangan " kata Cory.

Arini mengibaskan tangan kanannya sambil menggelengkan kepala perlahan. "Nay" jawab Arini. "Gue nggak ada kencan sama Mas Bos hari ini," Mas Bos adalah panggilan mereka untuk Pradipta sedari dulu. Jaman Arini masih bekerja sebagai asisten si sulung dari Keluarga Mahesa itu.

"Lalu?" Cory menatap Arini ingin tahu. "Tumben-tumbenan lo jam segini udah mau ke luar kantor, pake jeans pula..." Tentu saja sebagai sahabat, ia tahu Arini sering kali pulang melewati jam kerjanya demi menyelesaikan project di The Mahesa's.

"Arisan," Arini tertawa pelan. Sesungguhnya ia tak merasa nyaman dengan arisan kalangan sosialita di Jakarta yang nilainya bisa mencapai hingga miliaran rupiah. Namun, demi kelangsungan pergaulan dan bisnis keluarga besarnya ehm keluarga Mahesa, ia terpaksa mengikuti arisan ini. Awalnya sang Mama lah yang memaksanya. Ya, Vivian Mahesa mengatakan bahwa arisan kalangan atas penting untuk bisnis dan pergaulan. Biasanya arisan digelar di klub eksekutif, hotel bintang lima, pulau pribadi, kapal pesiar hingga jet pribadi. Lokasinya pun mulai dari hanya di Jakarta, Bali, Lombok hingga Paris. Nah, arisan kali ini mereka akan menuju ke Macau dengan jet pribadi milik salah satu peserta arisan.

Tak sembarang orang bisa masuk ke dalam grup sosialita papan atas ini. Mereka adalah para perempuan sangat kaya dengan gaya hidup dan aktivitasnya terpampang di majalah wanita ternama di Indonesia. Ada artis terkenal yang menikah dengan pengusaha, desainer muda yang terkenal hingga ke seluruh dunia hingga istri pengusaha muda yang bergerak di industri media. Di kelompok arisan Arini ada 10 orang yang berasal dari beragam profesi. Ya persamaannya hanya satu, memiliki uang yang tak berseri.

Arini tersadar saat Cory menatapnya dengan bingung. "Ya?"

"Mau ketemu Mas Bos?"

Arini mengangguk antusias. Ia ingin berpamitan kepada Pradipta dan mengabarkan kepergiannya. Tentu saja ia pergi atas seizin suaminya, namun ia merasa perlu untuk memunculkan wajahnya sebelum pergi.

"Mas bos ada di ruangannya, lagi agak sibuk, sih. Tapi yuk aku temenin masuk ke dalam," kata Cory. Ia tahu bahwa sesibuk apa pun, Pradipta akan selalu bersedia menerima kedatangan istrinya. Dan hal itu sudah semacam SOP di keluarga Mahesa. Sesibuk apa pun, keluarga bisa masuk ke dalam ruangan mereka tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Arini lalu mengikuti langkah Cory menuju ruangan Pradipta. Sesekali ia tersenyum dan menjawab sapa pegawai yang bertemu dengannya.

Cory mengetuk perlahan pintu ruangan Pradipta lalu membuka pintu. "Ada Ibu, Pak..." terlepas dari kedekatan antara Arini dan Cory, Sekretaris Pradipta itu selalu bersikap sopan di depan para tamu dan pegawai lain.

Pradipta yang sedang menekuni berkas-berkas di atas mejanya, mengangkat wajahnya.

"Hai," sapa Arini.

"Ni, hai..." sapa Pradipta yang lalu mengulas senyum. Laki-laki itu lalu menatap ke arah Cory dengan tatapan terima kasih.

"I'll hold all the phones..." jawab Cory mengerti. Ya, ia selalu tahu bahwa jika Arini datang ia harus menunda semua telepon dan tamu yang datang minimal 15 menit karena Pradipta akan memfokuskan diri kepada istrinya.

"Maaf mengganggu...aku mau berangkat," pamit Arini yang lalu menghampiri meja tempat Pradipta bekerja.

Pradipta menutup berkas, merapikan lalu menggesernya ke samping kiri.

"Uang arisannya udah?" tanya Pradipta. "Kemarin aku udah transfer ya," lanjut Pradipta yang menggeser kursinya agar menghadap ke arah Arini.

Arini mengangguk. "Kayaknya lebih banyak deh," Perempuan itu lalu berdiri di samping Pradipta, merendahkan tubuhnya lalu mengecup pipi suami tercintanya. "Terima Kasih,"

Pradipta tertawa kecil dan meraih pinggang Arini agar duduk di pangkuannya. "Tentu saja, kamu masih belum terbiasa?" nada suara Pradipta terdengar memprotes.

Arini menggelengkan kepalanya perlahan. Jemari tangannya memainkan dasi suaminya seolah merajuk. "Aku sebenarnya malas,"

Pradipta mengusap rambut istrinya penuh kasih sayang. Arininya, masih seperti yang ia kenal 7 tahun lalu. Tak mau berlebihan dan hanya menggunakan uang seperlunya. Koleksi tasnya sebagai salah satu istri pengusaha muda justru lebih banyak dari hasil hadiah sang mertua yang tahu menantu perempuannya tak suka berbelanja tas. Menurut Vivian Mahesa  tas menjadi salah satu pelengkap fesyen yang paling penting bagi perempuan.

Tak hanya Vivian, Radisti pun memiliki pandangan yang sama. Menurut Radisti, tas tak hanya soal model, label yang menempel pun akan memperlihatkan status di mata para sosialita lain. Ya...ya tak mengherankan Radisti akhirnya menjadi salah satu desainer ternama yang lucunya malah jarang muncul di acara sosialita. Tak ada waktu katanya.
 
"Hermes?" Pradipta mencuri pandang ke arah tas yang diletakkan di atas sofa.

Arini mengangguk. "Dibeliin Mama waktu dari Eropa kemarin,"

Pradipta tertawa dan mencubit pipi Arini gemas. "Kenapa nggak beli sendiri, sih? Kesannya aku nggak bisa beliin kamu,"

Arini mengerjapkan matanya beberapa kali, bibirnya cemberut. "Kamu kayak nggak tahu Mama aja.. aku dipaksa, Mama juga beliin untuk Aira juga kok..."

"Dan Aira pasti sama sewotnya sama kamu..." Pradipta memencet hidung Arini. Ia tahu betul Aira lebih cuek akan fashion. Profesinya sebagai periset politik membuat ia lebih banyak tampil casual. Beberapa kali Mamanya melayangkan protes kepada istri dari Raditya itu namun Aira masih saja tak terlalu peduli.

"Kamu tahu Aira lah," Arini terkikik geli mengingat kejengkelan Aira saat Mama dengan senangnya membagikan tas itu.

Sore itu di kediaman keluarga Mahesa

"Ini Hermes?" Gumam Aira tak percaya. Tangannya membuka kotak besar yang ada di hadapannya perlahan seolah si kotak akan rusak karena tangannya. "Ini Hermes?"

Arini mengangguk. "Hermes Birkin Bag, pastikan kamu menggunakannya saat acara perusahaan minggu depan," kata Arini sambil mengamati tas miliknya yang berwarna hitam. Jenis yang sama dengan milik Aira namun hanya berbeda warna. Vivian Mahesa gemar sekali membeli sesuatu yang sama untuk anak dan menantu perempuannya. Biar adil, katanya.  Arini duduk bersila di atas karpet berbulu putih yang empuk dan nyaman di ruang keluarga sambil tangannya menimang tas hadiah dari sang mertua tercinta.

"Hermes Birkin Bag?" Dahi Aira mengernyit. Dengan sigap ia meraih handphonenya di atas meja lalu mulai mencari tahu.

Arini tertawa kecil melihat tingkah Aira. Perempuan itu sepertinya masih belum terbiasa dengan gaya hidup keluarga Mahesa yang luar biasa.

"230 juta? Mending beli rumah deh," gumam Aira. "Masak aku naik gojek pake hermes? Disangka KW deh ntar..."

Arini meletakkan tasnya dengan hati-hati di dalam kotak. "Hush...nanti Mama denger nggak enak,"

"Ini...Mama juga punya parfum yang pasti kalian suka.." Vivian mendadak  muncul dengan dua kantong besar belanjaan dari walking closetnya.

Arini berdecak tak percaya. "Mama...ini terlalu banyak,"

"Ah apalah ini dibandingkan kalian menantu-menantu kesayangan Mama..." jawab Vivian dengan ceria. Tangan kanan dan kirinya lalu merangkul Arini dan Aira ke dalam pelukan dan memeluk mereka dengan hangat.

Arini merasa terharu. Vivian selalu hangat dan menyenangkan sebagai Mama mertua. Sikapnya tak pernah membedakan antara ia dan Radisti. "Kalian pasti mengalami tekanan yang berat karena menjadi menantu keluarga Mahesa, ya?" kata Vivian sambil tertawa seolah mengerti apa yang dialami Arini dan Aira.

"Nggak segitunya Ma," kilah Aira sambil tertawa canggung melepaskan diri dari pelukan sang mertua. Perempuan manis itu sepertinya masih sulit membiasakan diri dengan kehidupan glamour keluarga Mahesa. Ya walau sebenarnya Aira hidup dari keluarga yang berkecukupan tapi tetap saja status keluarganya tak sebanding dengan keluarga Mahesa.

"Semua orang melihat hidup menjadi keluarga orang kaya tentunya sangat menyenangkan...tapi kita tahu bahwa sebenarnya tak demikian," Vivian tertawa sambil duduk bersila di atas karpet.

"Ma?" Arini menatap Vivian penuh tanda tanya.

"Harus mengikuti acara ini dan itu, acara penuh dengan protokoler yang mengikat, bersosialisasi dengan para petinggi dan orang ternama...ya terkadang melelahkan memang," kata Vivian dengan bibir tersenyum samar. Tangannya dengan cepat mengeluarkan isi kantong belanjaan yang membuat Aira dan Arini ternganga.

"Ma? Ini parfum?"

"Ah...ini hadiah dari teman kok...bukan gratifikasi...tenang saja," jawab Vivian. Sebagai Gubernur dengan predikat terkaya se-Indonesia Vivian sangat menjaga kredibilitasnya. Bagi Vivian pekerjaan sebagai Gubernur di tanah kelahirannya adalah ladang amal. Ia hanya mengambil gaji pokok dan tunjangan seperlunya, sisanya ia salurkan ke lembaga-lembaga sosial di daerahnya. Vivian merasa uang dari bisnis keluarga besarnya sudah lebih dari cukup.

"Bukan begitu, Ma...aku nggak meragukan Mama kok..." jawab Arini merasa bersalah. "Ah...ini parfum favorit aku...makasih Ma..." Arini berseru gembira mencoba mengalihkan perasaan tak enaknya. Ia membuka boks parfum berwarna merah muda yang mengemas apik botol parfum kesukaannya itu.

"Dan ini minatur parfum untuk nambah koleksi aku? Thank you, Ma..." mata Aira berbinar bahagia saat melihat kotak parfum yang ada di hadapannya. Perempuan itu memang mengoleksi miniatur parfum dan meletakannya dalam lemari kaca yang ada di kamarnya dan Raditya.

"Nah...kamu arisan lagi kapan? Ada gosip apa yang seru dari gank arisan kamu, Rin?" tanya Vivian penuh rasa ingin tahu dengan nada suara dipelankan khas Ibu-Ibu mengajak bergosip.

Arini dan Aira pun spontan tertawa.

Ruangan Pradipta

"Jadi, arisan kali ini di Macau ngapain? dress codenya casual aja?" goda Pradipta. Ya, tentu saja ia tahu kalau setiap bulannya Arini akan sibuk memikirkan pakaian apa yang harus dibeli demi arisan kelas atasnya itu. Kalau pakaian biasa ya tentunya sangat mudah untuk didapatkan, tapi kalau pakaian pelaut, seragam SMA hingga  princess ala disney tentu saja Arini harus mempersiapkan ekstra. Beruntung, asisten Radisti di butiknya selalu bersedia membantu.

Arini cemberut dan memukul lengan suaminya kesal. "Ini gara-gara kamu...aku harus selalu berpenampilan sempurna. Fikit-dikit difoto...disuruh gaya ini dan itu. Alasan pake dresscode pun nggak masuk akal. Hanya biar ada keseragaman dalam berbusana. Dan karena dresscode kami akan terlihat kompak dan cantik saat difoto..." cerocos Arini.

"Hmm...anggep aja itu hadiah karena kamu menjadi menantu tertua di keluarga Mahesa," Pradipta mengecup kening Arini seolah itu bisa menghibur hati istrinya yang gundah.

Arini tertawa kecil. "Maaf ya...aku masih aja nggak terbiasa...bukannya aku nggak bersyukur ya menikah sama kamu,"

"Tentu saja kamu harus bersyukur karena menikah denganku," kata Pradipta sambil mengedipkan matanya genit.

"Kamu..."

Perlahan, Pradipta mendekatkan wajahnya.  Laki-laki itu  menempelkan hidungnya dengan hidung Arini. Tersenyum manis lalu mengecup lembut bibir istrinya. Arini memejamkan mata begitu ada hangat yang lembut terasa di bibirnya. Ia pun balas mengecup, menikmatinya. Spontan kedua tangannya merangkul leher suaminya agar semakin mendekat.

Tok...tok...tok...suara ketukan di pintu menginterupsi momen mesra keduanya. Pradipta menghentikan ciumannya, Arini segera bangkit dari posisinya. Perempuan itu mengambil tisu dari laci meja dan memberikannya kepada Pradipta.

Pradipta tertawa kecil sambil menerima tisu. Mengelap bibirnya dan memperhatikan Arini yang sibuk mematut dirinya di cermin. "Ehm..." Pradipta berdehem pelan. "Ya, masuk..."

"Papaaaaaa...!!!" seorang bocah tampan berlari begitu pintu dibuka. Balita dengan polo shirt berwarna biru dan jeans birunya langsung menuju meja Pradipta. "Mamaaaa....!!!"

Mata Arini membelalak terkejut, ia tak menyangka Rangga dan Rey yang sedang digendong nannynya akan muncul dihadapan mereka. "Ranggaaaaa...sama siapa?" Arini menurunkan tubuhnya agar bisa memeluk Rangga. Ia lalu mengecup pipi putih putra pertamanya yang menggemaskan.

"Sama Teteh Mia dan Teteh Gita," Mia dan Gita adalah pengasuh Rangga dan Rey.

"Wah serunyaaa..." Arini lalu berdiri dan  meraih Rey yang sedang berada di gendongan Gita. "Hai, Rey..."

Anak berumur satu tahun itu tertawa dan mengarahkan pandangannya ke arah Pradipta yang sedang membereskan mejanya.

"Semua sudah siap, Pak..." kata Cory dari depan pintu ruangan sambil tersenyum.

"Okey, terima kasih, Cor..." senyum lebar terukir di bibir Pradipta seolah ia sangat bahagia dengan kabar yang disampaikan oleh Sekretarisnya itu.

"Kamu mau kemana?" tanya Arini bingung. "Sama anak-anak?"

Pradipta tertawa sambil meraih tangan Rangga dan menggandeng putra tercintanya itu. "Tentu saja ke Macau, kamu pikir aku akan melepaskan kesempatan melihat kamu dengan kostum sipir penjara yang sudah kamu pesan ke Radisti kemarin?" bisik Pradipta tepat di telinga istrinya membuat bulu kuduk Arini seketika meremang. "Lengkap dengan borgolnya, kan?"

Dan wajah Arini pun langsung memerah.

***

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

90.3K 13.4K 32
Jennie mengalami trauma psikologis akibat dari sebuah peristiwa traumatis yang menyebabkannya amnesia. Jennie mengingat semua keluarganya kecuali se...
241K 8.2K 59
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.
41.8K 3.6K 38
Masihkah kalian ingat dengan Alexander Maverick? Anak sambung dari Luis Maverick dan adik sambung Edgar yang pada book sebelumnya bertransmigrasi ke...
146K 8.1K 14
Tentang seorang wanita yang membawa penyesalan hingga akhir hayatnya Gadis cantik bernama Queleeza Xanderalic,gadis cantik tapi tidak dengan sikapny...