CLAIRVOYANCE [COMP.]

Af heliostellar

93.5K 13.1K 2.2K

Hidup, bagi sebagian orang adalah sebuah enigma. Begitu juga dengan Mark Lee dan beberapa hal di sekitarnya... Mere

Chapter I : Prolog
Chapter II : Valedictorian
Chapter III : Stranger "Intro to Your World"
Chapter IV : Segno
Chapter V : Fantaisie Impromptu
Chapter VI : le dΓ©but de la pandora
Chapter VII : Pusara
Chapter IX : Clairvoyance 2
Chapter X : Persona non Grata
Tag thing
Chapter XI : Edge of Reality
Chapter XII : Edge of Reality 2
XIII : Segno II
XIV : Two Can Play This Game
XV : The Black Casket
XVI : In Flagrante Delicto
XVII : Caged
XVIII : Revelio, Nightin(gale)
XIX: The Fallen
XX: The Fallen 2
XXI : End
XXII: New Ending Is A Different Beginning
Clairvoyance Q&A
Promosi 🌻🌻
Sequel

Chapter VIII : Clairvoyance

3.4K 593 90
Af heliostellar

Haechan berusaha menepati janjinya. Hidup dengan bahagia dan menjalani hari-harinya seperti yang sudah-sudah. Nyatanya tidak semudah itu untuk melakukannya. Berlaku seolah kejadian yang menabrak laju pendulumnya yang tenang tidak pernah terjadi. Seolah godam raksasa dirantai di kaki, tiap langkah yang diambilnya terasa berat. Senyumnya kaku. Matanya tidak menampakkan binar khasnya.

Bukan berarti dia tidak berusaha. Berminggu-minggu ia berusaha mengikhlaskan kepergian ibunya. Namun memori itu bagai mimpi buruk yang terukir permanen di benaknya. Dia tidak bisa menghilangkan bayang-bayang tubuh ibunya yang berlumur darah ketika ia melihat setiap inchi sudut rumahnya. Dapur seolah menjadi tempat terlarang untuk dilewatinya. Jangankan makan, untuk menenggak segelas air pun ia tak sanggup. Ia selalu membawa makanannya ke kamar. Mengharuskan Taeyong sarapan dan makan malam sendirian di dapur yang kesunyiannya memekakan telinga.

Taeyong mengerti dan mencoba memahami perubahan perangai Haechan. Yang hari demi hari makin dingin dan tak tersentuh. Taeyong bukannya tidak sadar kalau Haechan berusaha menghindari rumah--dan dirinya. Ia membiarkannya, memberi Haechan ruang untuk menata pikiran dan jiwanya. Lambat laun Taeyong jengah juga ketika Haechan tidak repot-repot menutupi usahanya. Ia bersikap seolah Taeyong adalah orang asing. Tak jarang Taeyong merasa seperti makhluk gaib saat Haechan melenggang melaluinya tanpa mengatakan apa-apa.

Jauh di lubuk hatinya, ia tahu kenapa Haechan bersikap seperti itu. Dan Taeyong tahu ia tidak bisa menyalahkan Haechan sepenuhnya. Tapi diperlakukan bagai angin lalu seperti itu membuatnya mendesah frustasi juga. Rasanya ia ingin menyeret Haechan duduk manis di hadapannya, lalu mengkonfrontasinya. Bukan pilihan yang tepat. Taeyong tahu benar itu tidak ada gunanya.

"Memangnya seberapa penting pekerjaan itu sampai-sampai tidak datang ke pemakaman ibu?"

"Jangan berbicara seperti itu," Taeyong menghardik pelan.

"Lalu aku harus berbicara apa lagi!? Demi tuhan ini tentang ibu!" Haechan berdiri tiba-tiba. Membuat kursi yang didudukinya hampir terjungkal.

"Kau tidak mengerti. Pekerjaan itu tidak sesederhana yang kau kira."

"Bagaimana aku bisa mengerti!? Ayah pindah begitu saja tanpa mengatakan apapun dan tidak tercium jejaknya sejak saat itu! Bahkan seminggu setelah pemakaman ibu!?" Haechan berseru nyaring.

"Ada urusan mendadak yang tidak diduga Haechan. Kalau bisa memilih ayah pasti sudah datang--"

"--berhenti mengulang hal yang sama! Kenapa aku harus peduli!? Ayah saja tidak peduli!! Aku sudah tidak peduli lagi. Dia bisa menghilang sesuka hati dan aku tidak akan peduli!!"

Pipi Haechan memerah. Rasa panas  menjalari wajah kirinya. Ia tercenung selepas menerima ayunan tangan Taeyong yang lumayan keras. Tulang pipinya perih, namun entah kenapa hatinya lebih terasa perih.

"Lee Haechan! Jaga ucapanmu!" Taeyong membentak Haechan tajam. Suaranya menggelegar di penjuru ruang. Di dapur. Tempat yang paling dibencinya.

Tanpa mengucap sepatah katapun dia beranjak dari dapur. Taeyong mencekal sikunya, menahannya yang hendak berlari menaiki tangga. Haechan menatap Taeyong sengit. Matanya memicing.

"Kita belum selesai berbicara."

Haechan menepis tangan Taeyong kasar. "Aku membencimu."

Taeyong memijit pelipisnya pelan mengingat percakapannya dengan Haechan seminggu sebelumnya.

Aku membencimu.

Kalimat itu sukses menarik sebuah erangan frustasi dari bibir Taeyong. Terngiang-ngiang di telinga. Sampai saat ini ia mengumpati dirinya yang kala itu tidak bisa mengontrol emosinya. Sejak saat itu hubungannya dengan Haechan benar-benar memburuk. Ia kini hanya bisa bergantung pada Renjun atau Jaemin untuk mengabarinya mengenai keadaan Haechan.

π

"Si brengsek satu itu!!"

Jaemin menggebrak meja kafeteria dengan ganas. Ia membuang nafasnya kasar. Matanya berkilat nyalang dan sengit, seolah ingin menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Rahangnya mengeras. Ini bukan pertanda baik.

"Kenapa dia?" Haechan berbisik pada Renjun yang ada di depannya.

Renjun bergerak tidak nyaman sebelum menjawab ragu. "Itu... tentang seseorang di salah satu kelas psikologinya. Lee Jeno."

"Siapa?"

"Lee Jeno!!" Jaemin menyela Renjun yang sekarang terlihat pasrah.

"Kenapa dengan si Jeno-Jeno ini?" Haechan bertanya polos.

"Bukan apa-apa," Renjun menyahut cepat. Jaemin melotot tidak percaya ke arahnya. Uh-oh.

"Bukan apa-apa apanya!? Jelas-jelas ia tadi menggodamu!"

"Astaga--dia hanya membantuku mengambilkan buku di rak!"

"Dengan jarak sedekat itu!? Dan menaruh tangannya di pinggangmu!? Dan tersenyum kepadamu!? Dan sepanjang itu pula tidak melepaskan pandangannya darimu!?"

"Dia memang murah senyum, Jaemin! Jangan berlebihan," Renjun menghela nafas lelah.

"Aku tahu benar arti tatapan dan senyuman itu Renjun. Itu bukan senyuman ramah yang biasa ditujukan untuk orang asing. Dan lagi, kenapa harus dia yang membantumu!? Apa pula yang dilakukan anak jurusan kriminologi di deretan rak buku ilmu kedokteran!? Aku berani bertaruh ia menaruh nomornya di buku itu," Jaemin menjawab menggebu-gebu.

"Kau-arrgh," Renjun tidak melanjutkan kalimatnya. Pening. Jaemin menatapnya menantang.

Haechan memandang dua orang yang sedang beradu mulut di depannya bergantian. Ia seharusnya tidak terkejut dengan hal ini. Jaemin memang terkenal posesif terhadap Renjun. Tapi ia tidak tahu akan separah dan sekonyol ini. Ia tersenyum perlahan. Sangat bersyukur dari sekian banyak gelombang hidupnya yang belakangan kacau halauannya, Jaemin dan Renjun tetap sama. Mengalir seperti semestinya. Mereka berdua secara tidak langsung menjadi pegangan dan pengingat Haechan akan bagian dirinya yang terancam punah.

Senyum tidak perlu ia paksakan di sekitar mereka. Mereka dapat menjaga perasaan Haechan tanpa membuatnya risih. Haechan sangat bersyukur akan hal itu.

"Dasar pasangan rumit," Haechan mengejek sambil memutar mata.

Jaemin dan Renjun yang saling mendelik saling menembakkan laser sontak memutus kontak mata. Renjun memberengut tidak terima. Lain halnya Jaemin yang menaikan satu alisnya menantang. Dan bangga?

"Bilang saja kau iri. Makanya cepat cari pacar. Jangan hanya berkencan dengan esaimu."

"Siapa yang iri?" Haechan membalas dongkol.

Jaemin menyeringai. "Kenapa? Mau kucarikan? Aku tahu satu-dua orang, atau lebih, yang tergila-gila padamu."

"Omong kosong," Haechan mendengus tidak percaya.

Seringai Jaemin bertambah lebar nyaris merobek wajahnya. Ia mencondongkan tubuhnya mendekati Haechan. Renjun menatap Jaemin was-was. Apapun yang dikatakannya pasti bukan hal yang menyenangkan.

"Kau pikir aku berbohong? Sebutan apa yang mereka berikan untukmu? Si Tudung Merah naif yang membuat mereka tergila-gila. Kau tidak akan menyangka apa yang akan mereka lakukan, korbankan kalau berhasil memilikimu. Atau bahkan sekedar mengelus ujung rambutmu."

Jaemin berbisik tepat di samping telinga Haechan dengan suara rendah. Haechan bergidik ngeri. Dengan senang hati ia menusuk dada Jaemin dengan sumpit alumunium yang dipegangnya. Pemuda jangkung itu mengaduh kesakitan. Haechan menerjang ke depan hendak menyambar leher Jaemin kalau saja tangannya tidak dicekal lebih dulu olehnya. Gesit juga dia.

"Si bodoh mesum satu ini!! Kau ini kenapa sih!?" Tangan Haechan mengais-ngais di udara ingin mencakar wajah Jaemin.

"Aku hanya menyampaikan fakta--aduh!! Memang benar adanya seperti itu, tanya saja pada Renjun!"

Renjun menatap datar. Sudah kebal. Biarkan saja dua curut itu bertengkar sampai kelaparan. Walaupun dalam hati ia membenarkan kata-kata Jaemin. Haechan memang bukan bad boy populer seperti di kebanyakan drama atau film beken kesukaan remaja tanggung. Tapi dibilang tidak populer salah juga. Reputasinya tinggi diantara teman seangkatan dan senior--laki-laki, jadi tidak terlalu kentara. Lebih tepatnya tipe anak berandalan yang memandang anak baik-baik bagai daging segar.

Darimana Jaemin memperoleh informasi itu di atas sepengetahuan Renjun--kecuali kalau Jaemin bergaul dengan mereka, Renjun mulai curiga. Namun ia tersadar kalau Jaemin tidak bisa dibilang anak baik-baik. Dasar sama-sama serigala. Batin Renjun sinis. Mungkin dia tidak sadar sudah menyebut pacarnya serigala.

Renjun kembali mengamati Haechan--masih berusaha mencekik dan menjambak Jaemin. Tapi Haechan itu memang kelewat naif. Tidak awas terhadap tatapan lapar yang kadang diarahkan padanya.

"Mau sampai kapan kalian bertengkar!? cepat makan!" Renjun berujar galak setelah menggeplak bahu Jaemin keras.

Diam-diam Renjun dan Jaemin tersenyum. Akhir-akhir ini Haechan seperti mayat berjalan. Melihatnya mencak-mencak seperti tadi agak membuatnya lega, walaupun Jaemin harus mengorbankan bahunya.

π

10.30 PM

Haechan memutuskan waktu pada jam itu terkutuk. Selain mengingatkan Haechan akan mimpi terburuknya, angka itu seolah membawa kesialan baginya. Entah kesambet setan apa ia menghabiskan waktu di game arcade sampai malam. Setelah menggerutu dan memekik tertahan karena kalah, ingatan akan esai analisis sastra barat terlintas di benaknya. Ia mengumpat pelan sebelum menyambar tasnya dan berlari secepat kilat menuju perpustakaan.

Hujan deras yang turun di tengah perjalanannya menambah daftar kesialannya. Haechan nyaris menendang daun pintu bangunan tua itu saat mendapati papan 'CLOSED' terpajang memandang balik ke wajahnya yang tercengang bercampur kesal. Ia berjalan lunglai menuju halte--di bawah guyuran hujan karena ia tidak membawa payung. Sesampainya di halte, ia menggigil kedinginan. Memang apa yang diharapkannya dari hujan di musim gugur? Air yang tiba-tiba jadi hangat?

Ia lama memandang kosong ke jalanan. Beberapa mobil berlalu-lalang menembus hujan yang kian lebat. Dingin merayap sampai ke tulangnya. Bajunya yang basah kuyup bagai selimut es. Apa aku jalan kaki saja?

Sebuah mobil yang familier menepi di halte sebelum Haechan melakukan aksi nekatnya. Seorang pria dengan mantel hitam keluar dari pintu kemudi. Haechan hampir mendengus saat gelombang deja vu menerpanya. Bukankah ini terlalu klise?

"Masuk."

Dasar manusia es. Anehnya Haechan langsung menurut tanpa perlawanan. Alih-alih ia duduk manis di kursi penumpang tanpa mengatakan apapun. Tidak ada protes yang keluar dari mulutnya. Sampai--

"Ini bukan jalan menuju rumahku," celetuk Haechan.

"Memang bukan," jawab Mark kelewat santai. Membuat Haechan kesal.

"Tapi ini bukan jalan menuju rumahku, hyeongsa-nim."

"Aku tidak bilang akan mengantarmu pulang. Kita ke apartemenku," Mark berujar sarat akan finitas. Haechan tercengang kehabisan kata-kata. Begitu ia sadar kegelapan basement sudah menyelimutinya.

π

Dada Haechan terasa sesak menghirup udara lembab ketika ia keluar dari mobil yang terparkir di basement. Dia ingin memacu kaki keluar dan berlari menuju rumah. Ia memilih menghadapi Taeyong daripada memasuki apartemen Mark. Namun ia harus menepis jauh-jauh niatnya ketika mendapati dirinya berada di elevator. Lagipula aku tidak kenal daerah ini.

Haechan menatap nanar pintu besi kokoh dengan pengaman sandi di depannya. Dia berpikir dia sudah gila ketika menginjakkan kaki di foyer apaertemen yang luas itu. Mengikuti Mark seperti boneka kayu yang dikendalikan oleh tali. Tali tak kasat mata yang menariknya sampai ke kamar mandi.

Selama apapun Haechan menenggelamkan kepalanya di bawah air hangat, keinginan untuk berteriak frustasi tidak dapat dimusnahkan. Semakin menggunung iya. Haechan ingin menarik rambutnya sampai terlepas dari akar. Ia mendang-nendang air di bathtub untuk melampiaskan perasaannya yang campur aduk. Ia bingung dan frustasi setengah mati.

Mark adalah orang yang objektif dan sangat menghargai estetika. Dia tahu mana barang yang estetis saat melihatnya. Hal itu juga berlaku untuk manusia. Jadi wajar saja ketika kerongkongan Mark mengering saat melihat Haechan yang duduk terduduk kikuk di ujung sofa, mengenakan kemeja putih miliknya. Jelas kebesaran. Ujung kemenya menutupi setengah celana pendek selutut berwarna hitam. Tulang selangkanya mengintip malu-malu walau kemeja sudah dikancingkan dengan benar.

Aku di neraka. Batin Mark nelangsa. Atau malah sebaliknya--tidak ada yang tahu. Ia melangkah mendekati Haechan, menatapnya lurus-lurus dengan sorot mata yang misterius. Haechan agak berjingkat saat rangan Mark duduk dan meraih handuk yang tersampir di bahunya lalu mengusak pelan kepalanya.

"Kau lapar?" Mark bergumam rendah masih sambil mengeringkan rambut Haechan. Poni coklatnya jatuh menutupi matanya yang memandang ke lantai. Mark menurunkan handuk sehingga memblokade garis pandangnya. Haechan menarik nafas tajam.

"Tidak," cicit Haechan lirih. Mark mengikuti gerakan bibir merah itu yang sedikit bergetar. Darahnya berdesir kencang kala lidah itu terjulur keluar membasahi bibir yang kering. Entah berapa kali ia tergoda untuk merasakannya.

"Benarkah? Selamat tidur kalau begitu," Mark sudah mengambil dua langkah dari sofa ketika jari-jari rapuh menahan lengannya. Ia membalik tubuh dan Haechan segera melepas genggamannya.

"Detektif--tidak, Mark hyung tidak akan memberitahuku juga?" Haechan bertanya getir. Ia melanjutkan ketika Mark tak kunjung menjawab.

"Kenapa aku ada di sini? Bagaimana Mark hyung menemukanku? Apakah Taeyong hyung menyuruhmu? Hyung tidak akan mengatakannya padaku?"

"Taeyong pergi bertugas di Gangwon-do. Ia menitipkanmu padaku."

Haechan ingin tertawa. Alasan ini lagi? Menitipkan? Memangnya dia benda mati?

"Aku bukan hewan peliharaan yang perlu dititipkan," ujar Haechan pahit.

"Apa yang Taeyong dan ayah sembunyikan dariku?" selidik Haechan saat Mark hanya menatapnya diam. Kesadaran akan sesuatu menghampiri dirinya.

"Tidak. Apa yang orang-orang sembunyikan dariku? Apakah--apakah Mark hyung tahu dimana Ayahku?" Haechan memohon pada detik ini.

"Sudah larut, tidurlah," Mark menepuk pundaknya pelan.

Seketika itu juga segala emosi yang ia pendam selama berminggu-minggu menyeruak mengaliri nadinya. Amarah bergemuruh seperti hujan yang turun di luar. Ia menepis tangan Mark kasar.

"Tidak," desis Haechan dingin. "Anda jelas tahu sesuatu, detektif. Apakah selama ini kalian melacakku? Mengintaiku? Begitu?"

Mark kembali memandangnya tajam. Tidak memberinya jawaban. Hanya suara petir menyambar yang ia dengar. Haechan mengerang frustasi.

"Sekarang katakan. Dimana ayah? Dimana Taeyong hyung?"

"Profesor Lee berada di Pyeongchang. Taeyong bertugas di Mokpo."

Pria itu terlalu tenang. Kontras dengan badai yang kini mengamuk. Kepal Haechan serasa akan pecah dibuatnya.

"Aku pergi," sulut Haechan. Ia berbalik hendak mengambil tasnya.

"Kau akan pergi kemana di cuaca dan jam seperti ini? Kau bahkan tidak mengenali daerah ini," sergah Mark. Ia tidak menduga keputusan ekstrem yang diambil Haechan.

"Masa bodoh. Aku tidak bisa tidur di tempat orang asing yang menyembunyikan sesuatu dariku!" Sembur Haechan berang sambil mendekap ranselnya.

"Jangan bertindak seenaknya," peringat Mark.

"Aku kenal dua orang yang bertindak sesuka hatinya, mereka entah dimana saat ini. Termasuk anda. Anda bebas melakukan apapun aku tidak akan menyangsikannya. Selamat malam, detektif."

Sarkasme menjalar di kata-kata terakhir Haechan. Ia hendak meninggalkan ruang tengah namun badannya dibalik dengan kasar. Ranselnya terjatuh karena gerakan yang tiba-tiba menyentak tubuhnya. Haechan meringis berusaha melepaskan cengkraman besi dari kedua lengan atasnya. Alih-alih terlepas, ia ditarik maju.

Haechan terkesiap. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Mark. Mata kelam itu menyorot tajam menembus retinanya, pupil hitamnya bagai labirin gelap tak berujung yang menyesatkan Haechan di dalamnya. Menjebaknya di keabadian. Tubuhnya tersihir mata itu. Mematung kehilangan mobilitasnya. Syaraf motoriknya seolah mati.

Mark mengikis jarak membuat hidungnya hampir bersentuhan. Haechan tercekat. Dia dapat merasakan hembusan nafas Mark yang memburu menyapu bibirnya. Wangi bunga lavender dan hutan pinus menusuk kelenjar olfaktorinya.

"Kau benar. Kau harus berhati-hati pada orang asing," Mark berbisik rendah di depan bibirnya yang hanya berjarak beberapa mili.

Ia menelengkan kepalanya, mendekatkan bibirnya ke telinga Haechan lalu berbisik lagi. Suaranya bagai desisan ular. "Seperti yang kau katakan. Aku dapat berbuat sesuka hatiku."

Jantung Haechan serasa akan meledak. Aliran darah bergemuruh di telinganya mengakahkan gemuruh hujan. Udara di sekitarnya serasa mencekiknya. Tangannya yang bergetar terangkat mendorong dada Mark menjauh. Begitu ujung jarinya menyentuh serat baju Mark, tubuhnya dibanting mundur.

Punggungnya menyentuh permukaan empuk sofa dengan keras. Tubuhnya terpantul. Matanya membelalak melihat Mark yang berlengah di atasnya, hampir menindihnya kalau bukan karena tangannya yang bertumpu di samping kepala Haechan. Pupilnya bergetar melihat senyum miring yang terpatri di wajah Mark.

"Sesuka hatiku kau bilang? Bagaimana kalau aku benar-benar membuatmu tidak bisa berjalan?"

Tepat ketika Mark menyelesaikan kalimatnya cahaya disedot mati dari apartemen. Meninggalkan mereka dalam selubung kegelapan. Mata Mark bergerak liar dalam kegelapan.  Satu-satunya sumber cahaya adalah kilatan biru yang masuk melalui dinding kaca apartemen.

Haechan ditarik bangun dengan cepat. Tiba-tiba dirinya sudah berada di dalam kamar yang sama yang ditempatinya berminggu-minggu lalu. Pintu dibanting terkunci dari luar setelah Mark mengatakan perintahnya.

"Tunggu di sini."

Setelah itu yang terdengar adalah kegaduhan yang membunuh malam. Suara benda yang pecah berjatuhan, dan desing peluru yang menari di udara. Haechan menutup telinganya rapat-rapat.

π

A/N: hehe(???) Mark muncul lumayan banyak nih di chap ini. Ditunggu kritik dan sarannya. Makasih yang sudah mau baca.
Ciao~~ 💕💕










Fortsæt med at læse

You'll Also Like

1M 57.6K 36
It's the 2nd season of " My Heaven's Flower " The most thrilling love triangle story in which Mohammad Abdullah ( Jeon Junghoon's ) daughter Mishel...
268K 6.4K 52
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ ΰͺœβ€βž΄ 𝐅𝐄𝐄𝐋𝐒 π‹πˆπŠπ„ .ᐟ ❛ & i need you sometimes, we'll be alright. ❜ IN WHICH; kate martin's crush on the basketball photographer is...
1M 34.2K 61
π’π“π€π‘π†πˆπ‘π‹ ──── ❝i just wanna see you shine, 'cause i know you are a stargirl!❞ 𝐈𝐍 π–π‡πˆπ‚π‡ jude bellingham finally manages to shoot...
1.2M 50.8K 97
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC