SO FAR AWAY

Par bloominbomnal

35.1K 3.6K 357

Bagiku, bayangan dan kenyataan seolah hanya dibatasi seutas benang. Tipis dan nyaris tak kasat mata, sampai a... Plus

TOKOH
Begin
Beautiful Night
Stay Awake
Am I dreamt?
Long Trip
Caught in a Lie
Apologize
My Brother's Sin (Jungkook spin-off)
Let Go
In The End

Who is he?

1.9K 289 11
Par bloominbomnal


Pip Pip Pip

Sebuah tangan mendadak keluar dari balik selimut saat terdengar suara nyaring, memekakkan telinga, tepat pukul 06.00 Am. Menggapai udara, berusaha menekan tombol henti--namun, yang terjadi adalah, ia menjatuhkannya.

Prak!

"Aish," mendesis agak kencang, tapi tak kunjung keluar dari gulungan selimut, tak peduli bagaimana nasib jam digitalnya yang beradu dengan lantai.

Ting!

Klek.

Ia mendengar itu, suara seseorang masuk ke kamar menggunakan cardkey khas hotel, pastilah itu sepupunya. Namun, telinganya menangkap suara lain, seperti berbisik-bisik. Apakah sepupunya berbicara sendiri? Mungkinkah, sepagi ini kebiasaan aneh sepupunya--suka bermonolog--kambuh?

"Ya, Park Jimin," Taehyung mendekat, memungut jam digital yang terjatuh, lalu menggerakkan Jimin pelan.

"Aah nanti saja,"

"Ada yang ingin kukenalkan, tidak sopan,"

Jimin bergerak, menyingkap selimutnya tak ikhlas, lalu matanya yang masih mengantuk itu menatap bingung pada seorang remaja--terlihat sepantaran--duduk di ranjang Taehyung. Wajahnya kelewat imut, mata bundarnya bertubrukan dengan mata elang Jimin, selama satu sekon, dan lelaki itu buru-buru membungkuk sapa.

"Annyeonghaseyo," suaranya pelan, nyaris berbisik.

"Siapa, Tae?" Jimin tampak tak membalas sapaannya, malah meminta penjelasan pada Taehyung.

Ini masih jam 06.00 pagi, dan dia baru bangun, wajar jika ia tidak menyambutnya dengan baik. Lagipula, siapa pula remaja di depannya sekarang? Kenapa Taehyung membawanya masuk ke kamar hotel? Jelas privasi.

"Namanya Jeon Jungkook. Dia lebih muda dari kita,"

"Bukan namanya, aku tidak peduli, tapi--dia ini siapa? Kenapa membawanya kemari, hah?"

"Dia kemari untuk mengajak kita tinggal di rumahnya, sementara,"

Rahang Jimin serasa jatuh. Sepupunya bicara seolah itu hal biasa. Dia bahkan tak tau Jungkook siapa, lalu dengan mudahnya Taehyung mengatakan itu?

"Taehyung--" Ia menarik Taehyung mendekat, berposisi memunggungi Jungkook dan berbisik penuh penekanan.

"Siapa sih dia? Kenapa kau mengajaknya kemari? Kenapa kita harus tinggal di rumahnya? Bagaimana jika dia orang jahat, huh?"

"Ah, jadi begini," Taehyung membalikkan lagi tubuhnya, mengeraskan suaranya, tak mempedulikan Jimin yang mengumpat samar karena Taehyung benar-benar sulit diajak berdiskusi.

"Jungkook-ah, bisakah kau menjelaskan alasanmu kemari padanya? Temanku ini... agak trauma dengan orang asing,"

"O-oh, ne," Jungkook agak gugup, tatapan yang dilempar Jimin sekarang tidak main tajamnya.

"Ne. Sebenarnya, Taehyung hyeong sudah menolongku. Aku hanya ingin berbalas budi, lagipula, kudengar kalian berdua kemari untuk tugas, proposal, tentang wisata pegunungan, benar? Jadi, kebetulan rumahku dekat dengan salah satu tempat wisata itu, dulu kakakku bekerja sebagai tour guide-nya, emm... jika kalian mau, kalian boleh menginap di rumahku. Aku juga bisa membantu kalian untuk mengerjakan proposal-nya. Maaf, aku baru saja bekerja sebagai pelayan, uangku tidak akan cukup untuk menggantinya."

Taehyung terus sumringah, sedangkan Jimin masih saja berwajah datar. Ia memindai sekali lagi, seorang Jungkook dari bawah ke atas. Ia tidak punya firasat apapun.

"Oh, ayolah Jimin-ah, ini akan mempermudah kita."

"Emm... baiklah. Tapi, apa tidak merepotkanmu, Jungkook-ssi?"

"Sama sekali tidak. Aku senang jika kalian mau menerima tawaranku. Lagipula..." tatapan Jungkook menyendu, "sekarang aku sendirian."

Tatapan Jimin turut melembut, ia tersenyum—pada akhirnya—lalu mengangguk mantap.

"Baiklah, aku terima tawaranmu, Jungkook-ssi,"

Dan Taehyung berteriak kegirangan.


><><><


Disinilah mereka sekarang.

Di sebuah rumah sederhana, berlantaikan kayu yang dipoles halus, dan nuansa luar-dalamnya adalah putih--furniture hampir semuanya dicat abu asap.

Jimin takjub. Rumahnya memang tidak terbilang megah, tapi kebersihannya patut diacungi jempol. 

"Nah, hyeongdeul bisa tidur di kamar ini," Jungkook menunjukkan, yang hanya diperhatikan oleh seorang, seorang lainnya malah asyik melihat ke aquarium, mengetuk-ketuk kacanya, dan tersenyum sendiri.

Jimin sudah terbiasa dengan kelakuan sepupunya itu.

"Hyeong,"

Jimin berkedip, matanya memandang ke dalam kamar yang ditunjuk Jungkook, kemudian bergeming, tak tau kemana jiwanya pergi.

"O-oh, ada apa Jungkook-ah?"

"Maaf ya, kamarnya memang kecil, dan... itu single bed, satunya lagi kasur lipat. Kalau hyeong mau, hyeong bisa pakai kamarku,"

"Tidak--tidak usah, aku disini saja,"

"Hmm, baiklah, aku mau menyiapkan sarapan dulu,"

Jungkook melenggang ke dapur, dan Jimin masuk ke kamarnya.

Bersih. Rapi. Satu single bed, satu meja, satu lemari, dan satu tempat sampah kecil. Semuanya sama, dicat abu asap, bahkan bingkai jendelanya sekalipun.

Semaniak ini kah Jungkook pada abu asap?

"Jungkook!"

"Ya, hyeong?"

"Siapa nama ikan-ikan ini?"

'Astaga, Taehyung.'

"Tidak ada, hyeong, mereka tidak punya nama,"

"Aku beri nama, ya!"

"Baiklah,"

Jimin menghela nafas, ia kadang berpikir, kenapa sepupunya bisa seaneh itu? Maksudku--hey, mereka baru saja datang ke rumah orang asing, belum terlalu jauh mengenal, dan Taehyung malah bertanya soal nama ikan-ikan peliharaan Jungkook?

"Jimin!"

Ia yang tadinya tenang merapihkan pakaian ke dalam lemari--lagi-lagi dia yang merapikannya--harus dikejutkan dengan suara nyaring nan menggelegar milik Taehyung. Sukses terlonjak layaknya orang bodoh, padahal sudah bertahun-tahun tinggal bersamanya, mengapa masih saja sering terkejut?

Entahlah.

"Tae, jangan teriak-teriak, ini rumah orang," Jimin berucap sedemikian menahan kesal.

"Wah, cuma ada 1 ranjang. Aku mau disini! Kau saja di bawah,"

"Iya, iya, terserah,"

Taehyung tersenyum, sudah lebih dulu mendudukkan diri di ranjang. Matanya menjelajah ke sekitar. Jimin yang tadinya terdiam, sontak teringat sesuatu.

"Taehyung!"

"Apa?"

"Handphoneku! Handphoneku dimana?!" Jimin seketika panik, merogoh saku celananya secara acak lalu tas berisikan baju-bajunya dikeluarkan begitu saja.

"Jimin,"

"Taehyung, tidak ada, handphoneku—" Jimin menatap Taehyung, "kau membawanya, kan?"

Taehyung sendiri memberi respon helaan napas, "maaf, tapi... sepertinya ketinggalan di rumah sakit,"

Jimin menghampiri Taehyung, mencengkram bahu sepupunya. Ada kilatan marah terpancar di kedua matanya.

"Hari ini, Jihyun dan orangtuamu datang ke rumah sakit! Aku sudah berjanji pada Jihyun, Taehyung-ah! Kenapa kau malah membawaku pergi, hanya karena kau mencurigai seseorang yang belum tentu benar dialah pelakunya! Sekarang, kau malah membawaku ke rumah seseorang, kau malah memaksaku untuk mementingkan tugas, disaat Jihyun dan orangtuamu mengkhawatirkan kita!!" Jimin mendorong Taehyung hingga jatuh berbaring, kemudian membuang napasnya kasar, menyisir rambutnya ke belakang. Ia tak pernah se-emosi ini, tapi teringat wajah khawatir adiknya, membuatnya kesal setengah mati pada ide sepupunya itu.

"Aku kembali saja. Jika kau ingin meneruskan tugas sialan itu, baiklah, lakukan saja," final Jimin, mulai memasukkan kembali baju-bajunya ke dalam tas.

Taehyung bangkit, berderap menuju pintu kamar dan menutupnya agak keras, menimbulkan bunyi berdebam yang mungkin saja didengar Jungkook.

"Tidak. Kau tidak perlu pergi. Aku sudah menghubungi Jihyun dan kedua orangtuaku untuk tidak datang hari ini."

"Huh, lalu kau pikir, aku percaya?"

"Kenapa kau jadi seperti ini, Jimin-ah? Kau tidak mempercayaiku?"

"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kau jadi seperti ini? Kau itu—terlalu ambisius, kau seperti terus mendesakku untuk pergi bersama. Kurasa itu bukan untuk tugas, kau hanya ingin jalan-jalan, kan? Menghabiskan waktu dengan bahagia, sementara disana, orangtuamu menunggu dengan khawatir! Jika itu hanya untuk memenuhi kemauan kekanakanmu, aku lebih baik pergi," Jimin menutup zipper tasnya, "Jihyun membutuhkanku."

"Aku juga,"

Tangannya yang semula menekan gagang pintu tiba-tiba tertunda di tempat. Jimin diam, mendadak hatinya bergemuruh. Kacau. Tanpa sebab pasti, Jimin ingin sekali menangis seperti gadis kecil yang direbut permennya. Mendengar tone rendah Taehyung yang menyedihkan, entah kenapa, ia merasa tidak akan mendengar lagi suara itu jika pergi saat ini juga.

"Aku takut, Jimin-ah. Aku takut sekali jika tak bisa lagi pergi bersamamu. Aku takut tak bisa lagi berbincang denganmu. Aku ketakutan, saat itu... aku merasa ada diambang kematianku. Aku melihat masa laluku bersama ayah, ibu, Namjoon hyeong, Taekwon, Taeguk, kau... dan Jihyun. Aku melihat kilasan itu, seolah menjadi kenangan terakhirku sebelum pergi. Kau tidak tau rasanya, Jimin-ah," Taehyung terisak pelan, "baiklah. Tidak apa, kau boleh pergi. Aku ini memang kekanakan, bodoh, senang sekali merepotkanmu. Tidak apa, aku akan jalan-jalan sendiri, ah... maksudku dengan Jungkook,"

Jimin menghela napas, lalu menjatuhkan tasnya ke lantai. Ia berbalik pelan guna berjalan mendekati Taehyung, memeluk sepupunya itu seraya mengusap punggungnya pelan. Ia merasa bersalah telah membentaknya, bahkan menuduhnya macam-macam. Memang, tujuan Taehyung menahannya adalah ia ingin menghabiskan waktu bersama Jimin, jalan-jalan seperti kegemarannya. Kekanakan sekali, tapi jika alasan itu didasari kuat dengan rasa takutnya—yang saat itu memang Taehyung diambang kematiannya, Jimin bisa wajar.

Sepupunya hanya perlu ditenangkan dengan cara janjinya ditepati.

"Baiklah, aku percaya padamu, Tae. Kita pergi, segera, lalu kita kembali setelah semuanya selesai." Dalam pelukannya, Jimin merasakan kepala Taehyung mengangguk.

"Nah, sudahlah, hapus air matamu. Apa-apaan kau ini, cengeng. Ayo, Jungkook pasti sudah menunggu kita untuk sarapan.

Keduanya menghampiri lelaki itu, membantunya menata meja. Jimin yang memanfaatkan keheningan diantara mereka itu, lantas bertanya pelan.

"Apa, biasanya—maksudku, mulai kapan kau memutuskan hidup sendirian di sini?"

"Hm? Ani, sebenarnya... aku punya seorang hyeong. Orangtuaku tidak selamat dalam peristiwa pengeboman—hyeong tau, tahun 2007, di pabrik tekstil Seoul,"

"Oh... tentu, ah, maaf ya,"

"Tidak apa,"

"Lalu, hyeong-mu?"

Gerakan tangan Jungkook yang tengah memindahkan sayuran ke piring terhenti sebentar, tatapannya mendadak berubah, Jimin yang menyadari itu buru-buru meralat pertanyaannya.

"Em, tidak apa jika kau tak mau mengatakannya. Ah, maafkan aku,"

Jungkook mengangkat pandangannya, tersenyum pada Jimin--senyum pedih.

"Maaf ya, hyeong. Aku... tidak bisa mengatakannya."

"Ah, iya, tidak apa. Maaf sekali lagi,"

Hening. Suasana mendadak canggung. Taehyung yang mendengarkannya dari ruang makan hanya bisa menghela napas, bisa-bisanya Jimin bertanya seperti itu. Ia pun menarik kursi di sebelah Jimin begitu keduanya meletakkan menu-menu sarapan di meja.

"Jal meokgessseumnida," Jungkook mengawali, dan mereka bertiga pun memulai sarapannya.

"Jadi... kita baru bisa pergi besok fajar, atau nanti malam, jika ingin melihat sunrise," Jungkook mengutarakan sarannya ditengah sarapan mereka.

"Wah, itu ide bagus! Aku ingin melihat sunrise!" seru Taehyung penuh antusias seperti biasa.

"Tidak perlu berkemah?" tanya Jimin.

"Em... lebih baik berjaga-jaga, hyeong. Bawa saja tenda dan perlengkapan lainnya,"

"Okay, setelah ini kita harus menyiapkan apa yang kita bawa, kau mengerti, Tae?"

"Ayay captain!"




TBC



Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

Bagaskara : Begin Again Par 月

Roman pour Adolescents

185K 36.5K 28
Dua tahun setelah kepergian Langit, tiba-tiba saja muncul seseorang yang sangat mirip dengannya, bagaikan pinang dibelah dua. Membuka kotak pandora y...
240K 21.8K 18
'Besok' adalah satu kata yang paling menakutkan bagi Taehyung. Kim Taehyung, Byun Baekhyun, Jung Daehyun Brothership fanfic
137K 19.2K 80
Angkasa tak pernah sedih atau kesal ketika ke-6 kakak laki-lakinya menjadi sibuk dan melupakannya, tapi malam itu ketika Ibu dibuat menangis; kemarah...
PERFECT Par 𝐒𝐚𝐧𝐬.

Roman pour Adolescents

17.9K 2.7K 12
❝No matter what they said, you're still the definition of my perfect.❞ ××× Rafka ingin menuli. Berusaha tak peduli dengan pandangan orang pada Xavie...