RECORDS -Cheolsoo-

By heyhduami

25.8K 3.2K 769

Berisi tentang kisah hidup pemuda tuna wicara bernama Hong Jisoo, dengan sosok Choi Seungcheol yang merupakan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
17
18
Bukan Update
19
20
BAD NEWS! Or.. good?

13

868 139 25
By heyhduami

Milan, 10:20

Suasana riuh menemani Jisoo yang tengah mengarahkan para staff nya untuk mengatur display. Di luar turun salju, dan Minghao juga sibuk mengeluh di sampingnya.

"Tinggal berapa lagi yang belum datang, hyung?

Jisoo melirik catatan di papan kertas, lalu membentuk angka 8 dengan jarinya. Minghao menghela nafas panjang. Udara di Milan sangat dingin, dan pilihan menggelung diri di atas ranjang hotel sangat menggodanya. "Aku ingin tidur." Rengeknya.

Jisoo tersenyum lembut, menepuk-nepuk kepala Minghao yang lebih tinggi darinya. Tangannya bergerak, membentuk kalimat. "Aku ingin menghubungi Coups-ku, bertahanlah hingga produk terakhir datang."

.

Germany, 12:32 pm

Backpacker tidak buruk karena jumlah uang sebagai penerus rumah sakit Yi Fan tidak akan membuatnya menjadi gembel di negeri orang dengan mudah.

Seungcheol baru saja tiba di bandara 15 menit yang lalu, ia tengah berusaha memberhentikan taksi saat ini. Sialnya, Jeonghan masih sama sekali tak dapat di hubungi. Jadi sekarang, hanya dengan berbekal kertas kecil pemberian Jeonghan sebelum pergi sebulan yang lalu, ia mencoba menemukan alamat yang tertera di dalamnya.

Supir taksi itu rupanya dapat berbahasa inggris fasih dengan aksen lokalnya yang kental. "Saya tahu alamatnya, tuan. Apartemen, tidak terlalu jauh dari sini."

Seungcheol mengangguk mengerti. Ia duduk di belakang taksi dengan perasaan campur aduk. Sedikit lagi ia akan bertemu dengan Jeonghan, pemuda yang sangat dicintainya selama beberapa tahun belakangan. Jika saja Jisoo selalu tahu isi hatinya, ia yakin pemuda itu akan sangat terluka.

Seungcheol memutus lamunannya ketika suara ketukan di atas jendela taksi menginterupsinya. Hujan salju, dan seketika kaca di taksi itu memburam. Mengurangi jarak pandang mereka.

"And here it is! Konrad Apartement, 20 euro." Katanya lagi.

Seungcheol sedikit memicingkan matanya, berusaha melihat bangunan tinggi di sampingnya. Ada tulisan KONRAD bercetak besar di atas pintu lobby apartement. Ia pun buru-buru memberikan ongkos taksinya dan berlari keluar. Tak peduli teriakan sopir taksi yang hendak memberikan kembalian.

Hujan sangat deras, ia tak cukup mendengar kalimat seorang bellboy di sampingnya. "Pardon?"

Sepertinya bellboy itu tidak begitu memahami bahasa inggris. Ia hanya menunjuk koper yang ada di tangan Seungcheol. Ahh— sekarang ia mengerti maksudnya. Tidak bermaksud jahat, Seungcheol menolak dengan halus tawaran bantuan itu, namun ia tetap memberikan sedikit tips untuk pemuda yang masih terlihat jauh lebih muda darinya itu. Seperti dugaan, bellboy itu tersenyum riang dan terus mengucapkan terima kasih dalam bahasa inggris sebelum pergi mencari tamu lain.

Seungcheol terkekeh. Ia berjalan ke arah lift, tak peduli dengan resepsionis karena nomor apartemen Jeonghan juga sudah tertera di dalamnya. Lantai 18 kamar 1834. Seungcheol menggeram kesal, ia tak begitu saja bangunan yang terlalu tinggi.

Ketika nomor yang tertera di layar kecil di dalam lift menunjukkan angka 18, pintu lift pjn terbuka. Seungcheol menyeret langkahnya perlahan. Maniknya meneliti satu persatu pintu-pintu hitam yang terlihat mahal itu. "1820... 1826... 1831 ... Ah! Ini dia." Pekiknya.

Seungcheol menegakkan tubuhnya dan menghirup nafas panjang. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang semakin berdebar. Sedikit lagi, dan ia akan kembali hidup. Tiba-tiba, sebuah pikiran melewati otaknya—

—apa dirinya lebih baik menetap disini dan tak kembali ke Korea? Ada Jeonghan disini, dan Seoul sudah menjadi neraka baginya.

Seungcheol menyingkirkan pikiran itu sejenak, lalu menekan bell.

Tidak ada sahutan.

Lalu menekan lagi.

Masih tidak ada.

Lalu menekan lagi.

Masih tak ada sahutan.

Sekarang Seungcheol mulai khawatir.

Ia kembali menekan yang kesekian kalinya, dan dirinya mendesah lega ketika suara interkom bergemerisik.

"Wer ist das?"

.

Kebingungan seolah menguasai Seungcheol. Ia memandang jengah sosok yang dengan santainya menuang kopi ke dalam 2 cangkir. Raut wajahnya begitu santai, tak terkejut dengan kedatangan tiba-tiba Seungcheol.

"Jelaskan padaku apa maksud dari dirimu tinggal sendiri?"

Sebuah cangkir tiba di hadapan Seungcheol, beriak kecil seolah mengejek pemuda itu.

"Aku tidak tahu alasannya memberi alamatku padamu, yang jelas aku juga tidak tahu dimana ia tinggal sekarang."

"Jangan bercanda, Lee Seokmin!"

Bentakan Seungcheol menggema di apartemen studio itu. Beruntung apartemen Seokmin bukan apartemen murah, kedap adalah salah satu fitur andalannya. "Aku tidak bercanda. Mungkin kau lupa jika bisa saja kau lah yang menyebabkan Jeonghan pergi? Perlu ku ingatkan kah tentang pernikahan bodoh mu dengan si cacat itu?" Balas Seokmin. "Apa kau tidak bisa melacaknya melalui daftar cabang rumah sakit mu? Ku pikir kau jenius, Choi." Sindirnya.

Gila. Seungcheol yakin jika teman dekat satu-satunya ini telah gila, dan Seungcheol juga yakin jika Yoon Jeonghan adalah penyebabnya. Semua orang tahu seberapa besar cintanya untuk Jeonghan, tapi menghina Hong Jisoo— Seungcheol tetap tak bisa mentolerir. Hatinya terlalu lembut untuk mengatakan hal sekeji itu pada istrinya.

"Aku akan mencarinya."

Seokmin terkekeh. "Ya, ya, ya. Aku yakin kau akan, kau adalah Choi Seungcheol."

Seungcheol tau itu memang bukan pujian. Ia mengusap wajahnya kasar, benar-benar marah dengan segala hal yang terjadi. "Lalu, kenapa— kau tak memberitahuku jika menerima promosi seperti Jeonghan?" Bisiknya tajam. Mengalihkan pandangan pada replika meja Resolute di salah satu sisi ruangan.

Nah, Seokmin membisu. Ia ikut enggan memandang Seungcheol yang terlihat gusar di hadapannya.

.

Yoojung mengerutkan alisnya heran. Di depan galeri, Jisoo berjalan bolak-balik dengan ponsel di genggaman tangannya. Ia meringis sambil terus-terusan mencubiti bawah bibirnya.

"Pakai mantelmu, oppa." Perintah Yoojung sembari menyampirkan sebuah mantel cokelat pada kedua bahu pemuda yang lebih tinggi darinya itu.

Jisoo mengangguk sembari tersenyum kecut. "Apa si idiot itu berulah lagi?" Tanya Yoojung dengan ekspresi yang dibuat kesal. Jisoo menggeleng pelan, tapi ia menggerakkan jemarinya.

"Ponselnya tidak aktif. Coups mungkin sedang bekerja."

Yoojung diam. Ia tidak berani mengatakan kebenaran jika kakak laki-lakinya itu tak pernah mematikan ponsel ketika bekerja. Tetap ada nada sambung meskipun ia harus mengumpat karena panggilannya tak kunjung dijawab.

"Lebih baik ke hotel, Minghao-oppa juga terus merengek karena udara dingin." Tawarnya. Jisoo tidak mengangguk atau pun menggeleng, namun tubuhnya terasa lemas mengikuti tarikan tangan kurus Yoojung pada jemarinya.

.

Badai salju membuat jalanan menjadi lebih licin. Seungcheol menggerutu di dalam taksi ketika mendapat pemberitahuan jika pesawatnya untuk kembali ke Korea harus delay selama 24 jam penuh.

Alhasil, 40 menit kemudian ia sudah tiba di salah satu kamar hotel dekat bandara, agar esok ia lebih mudah untuk pergi.

Hotelnya tidak ramai, mungkin karena salju. Tak ada orang yang mau menghabiskan waktu mereka di tengah badai. Menikmati cokelat panas di depan perapian terdengar lebih menggoda. Sayangnya, Seungcheol tak punya cokelat panas.

Matanya berputar malas, dan tangannya memilih menumpu pada pantry. Rasanya, kepalanya seolah akan pecah. Berdenyut-denyut nyeri dan bibirnya juga sangat kering. Ia melirik laptop yang menyala di atas kasur, menampakkan layar desktop yang tengah membuka halaman seluruh daftar cabang rumah sakit Yi Fan termasuk alamat serta nomor yang dapat dihubungi.

Seungcheol menarik rambutnya ke belakang, mendesis penuh kekesalan dan kekecewaan yang menyatu. Siapa yang tidak akan frustasi ketika kekasihmu pergi dan ternyata dia benar-benar pergi dalam artian yang sesungguhnya?

Percakapannya dengan Seokmin di apartemen pemuda itu juga sungguh tidak memuaskan. Seungcheol bahkan seolah sudah menghapus Lee Seokmin dari daftar teman dekatnya.

Bunyi ketel yang menandakan airnya telah matang, mengagetkan Seungcheol. Ia berdecak sebal sembari mematikan kompor. "Kau bahkan menghinaku karena tak mempunyai cokelat." Ia hendak kembali melanjutkan cibirannya sebelum suara dering ponsel meramaikan suasana kamar hotel itu.

Seungcheol sudah tahu. Siapa lagi jika bukan Hong Jisoo? Ia memang sengaja tidak mengaktifkan ponsel ketika sampai di apartemen Seokmin, tapi kembali diaktifkan ketika masuk ke dalam taksi menuju bandara.

Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin Jisoo khawatir jika Seungcheol tidak mengangkat panggilannya secara terang-terangan. Jika ponselnya mati, Seungcheol dapat beralasan dengan lebih mudah bukan? Tercebur, mungkin?

Seungcheol merogoh kantung jeansnya, dan mengecek layar ponsel yang terkunci itu. Panggilannya sudah berhenti, tapi notifikasi pesan teksnya begitu mengejutkan Seungcheol.

148 Messages from Jisoo-ie - istriku tercantik❤

Omong-omong, itu Jisoo sendiri yang mengetikkan namanya di nomor kontak Seungcheol.

Dengan jemari bergetar, Seungcheol mulai membacanya satu-persatu.

"Coups! 😍"

"Apa kau sibuk?"

"Datang lah kesini sebelum pameran, otte? Please 😘"

"Banyak operasi kah?"

"Ku yakin pasti sulit mengurus rumah sakit seorang diri. Mian, ehe".

"Sangat sibuk?"

"Ahh— ku yakin kau benar-benar sibuk."

"Jika ada waktu, hubungi aku! 💕"

"Aku merindukanmu, Coups."

"Matta, nama galeri ku disini adalah SlJ Vers. F!"

Seungcheol merengutkan keningnya. Pesannya begitu banyak dan ia tak mungkin membaca semuanya dengan teliti, namun ia juga penasaran dengan pesan yang satu ini. "SlJ Vers. F? Apa ini sejenis album musik?" Tanya Seungcheol pada dirinya sendiri. Ia menggeser layar untuk membaca pesan selanjutnya.

"Kau tidak bertanya 😢"

Bertanya? Seungcheol bahkan tidak tahu ibunya menelfon. Ia kembali menggeser layar.

"Aku benci pada diriku karena tidak bisa menahan diri."

"SlJ Vers. F =
.
.
.
.
Seungcheol love Jisoo-ie, Forever! Teehee❤"

Ya Tuhan, Seungcheol ingin kembali ke Daegu saja rasanya.

.

Sudah pukul 8 malam, dan Yoojung baru saja selesai membasuh tubuhnya. Dengan masih mengenakan bathrobe serta handuk yang membungkus kepalanya, ia mengetuk kamar hotel Jisoo.

Hampir 10 menit terlewati, namun pintu tak kunjung terbuka. Ketika Yoojung hendak berniat kembali ke kamarnya, tepat sekali ia melihat Jisoo di dalam lift yang baru terbuka.

"Oppa! Kau membuatku khawatir." Serunya. Jisoo terkekeh tanpa suara melihat ekspresi adik iparnya itu. "Hati-hati lah, aku tidak mau calon keponakan ku terluka."

Eh?

Tidak. Bukan kalian saja yang bingung, Jisoo juga. Jisoo mengerutkan keningnya, ia tak merasa hamil. Bagaimana bisa hamil jika malam pertamanya saja dihabiskan dengan minum kopi dan sekotak ayam keju? Seungcheol itu— benar-benar!

Yoojung menekan kedua bibirnya, lalu membentuk senyuman khas orang-orang yang tengah meledek. "Kau tahu, oppa? Aku hanya membayangkannya saja. Siapa tahu saat ini benar-benar sudah ada bayi kecil? Ku lihat kau tidak nafsu makan selama di Milan."

Jisoo memijit keningnya frustasi.

Dia memang sedang tidak nafsu makan, tapi itu karena Jisoo tidak menyukai makanan Itali. Bukan karena hamil!

"Ah, sebenarnya tujuanku menemuimu ingin menanyakan kakak ku. Apa masih belum bisa dihubungi? Ibuku khawatir, sungguh." Pelas Yoojung. Ia menggigit bibir bawahnya sembari kedua telapak tangan yang saling digosokkan.

Jisoo menggeleng pelan. Ia menggesek kartu ke dalam sistem keamanan kamar hotelnya, lalu tersenyum pada Yoojung. Kembali menggerakkan jemari tangannya.

"Kakakmu pasti sedang istirahat sekarang. Kita coba lagi esok pagi, oke?"

Lalu Yoojung dapat melihat Jisoo yang berusaha menyembunyikan raut khawatir di balik poni hitamnya. Ia membiarkan hal itu, lebih baik segera pamit dari pada membuat kakak iparnya itu merasa tak nyaman.

Setelah kepergian Yoojung, Jisoo menghela nafas panjang. Ia melirik ponsel yang berada di atas sofa, tersambung pada charger. Ia tidak berniat mengeceknya, berpikir jika hal itu percuma. Tidak akan ada panggilan atau pesan singkat dari Seungcheol, suaminya.

Rekorder kesayangannya yang tersimpan apik di dalam ransel, menggoda Jisoo. Ia ingat sejak tiba di Milan, ia belum sama sekali menyentuh benda itu. Setelah meletakkan kantung-kantung belanjaan ke atas meja, Jisoo mengarahkan langkahnya ke dalam kamar.

Tapi rencana mencurahkan isi hatinya yang penuh kecemasan pada rekorder tua itu, harus sirna ketika dering ponselnya justru menguarkan lagu dari Pentagon —salah satu boy group asuhan Jihoon— hingga memekakkan telinga.

Godaan cokelat panas di kantung belanjaan juga terpaksa tertunda, karena hasrat mengecek ponsel jauh lebih besar. Dalam sekejap saja, Jisoo sudah melompat secepat kilat hingga duduk manis di atas sofa. Menggeser layar ponsel dengan tergesa-gesa.

Oh, panggilannya sudah berhenti.

Jisoo baru saja hendak menelfon balik ketika pesan teks tiba lebih dulu.

"Kau bilang rindu padaku, tapi tidak mengangkat telefon?"

Oh? Itu adalah Seungcheol-nya. Secara otomatis, senyum Jisoo terkembang. Lalu pesan selanjutnya kembali datang.

"Makan lah dengan baik, aku sedikit tak ada waktu disini untuk sekedar makan nasi."

Jisoo berada di antara senang dan sedih. Senang karena Seungcheol perhatian dengannya, juga sedih karena suaminya itu justru tidak dalam keadaan yang baik. Apa sesibuk itu pria itu sekarang?

Jisoo membalasnya dengan ceria, mungkin akan sedikit mengurangi beban Seungcheol dengan kalimat ringannya. "Aku merindukanmu, kok. Jika nanti aku kembali ke Korea, aku akan memasak untukmu."

—tidak lupa dengan emoticon love.

Jisoo menunggu harap-harap cemas. Karena sudah 20 menit dari pesan terakhir yang ia kirim dan Seungcheol tak kunjung membalasnya. Tiba 30 menit dan Jisoo memutuskan untuk mengambil minum sejenak. Baru satu kaki memijak karpet wool di bawahnya, ponsel itu kembali berbunyi.

dan Jisoo melompat seperti tupai terbang.

"Aku menunggumu, istriku, Soo-ie."

Ya Tuhan. Jisoo jadi tidak sabar benar-benar memiliki anak dengan Seungcheol.

••••••••••

Yeayyy kembali lagiiii ehehehe

Lama ya? Heeh. Gapuas ya? Banget. Kalo sempet revisi, direvisi deh. Karena ini ngejar ujung, makanya ngerasa kayak agak miss. Ehehe

Maafkan aku yang sering gak bales komen kalian, karena aku gabaca wattpad. Buka wattpad cuma untuk nulis dan update. Apalagi pas svt kemarin comeback, duhh ah aku gakonsen ngapa2in:')

Pokoknya aku tetep makasih bangetttt buat yang tetep mau baca, nungguin lama2 sampe seminggu, terhura selalu kok :')

Wkwkwkwk

Yaudah see you laterrrr

Continue Reading

You'll Also Like

364K 22.1K 27
"I'll do everything for you." -Lian ⚠️ mengandung kata kata kasar. Entah kesialan apa yang membuat Lilian Celista terlempar ke dalam novel yang baru...
78.4K 8.5K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
207K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
210K 22.7K 43
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...