Renaissance

By kairi10969

270 89 28

((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seo... More

Maegaki (Pembuka)
Prolog
Chapter 1 (Yoana's Side)
Chapter 1 (Erik's Side)
Chapter 2 (Yoana's Side)
Chapter 2 (Erik's Side)
Chapter 3 (Yoana's Side)
Chapter 4 (Yoana's Side)
Chapter 4 (Erik's Side)
Chapter 5 (Yoana's Side)
Chapter 5 (Erik's Side)
Chapter 6 (Yoana's Side)
Chapter 6 (Erik's Side)
Chapter 7 (Yoana's Side)
Chapter 7 (Erik's Side)
Chapter 8 (Yoana's Side)
Chapter 8 (Erik's Side)
Chapter 9 (Yoana's Side)
Info Hijrahnya Renaissance

Chapter 3 (Erik's Side)

10 5 0
By kairi10969

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Sebentar lagi jam pelajaran tambahan ini selesai. Mau tidak mau aku harus mengakhiri percakapan dengan Yoana. Aku harus segera ke bagian front untuk mengonfirmasi selesainya kelas hari ini. Sedangkan sosok Yoana sudah membaur di antara murid-murid yang hendak pulang.

Sejak kerja sampingan menjadi guru bimbingan belajar, aku semakin banyak berinteraksi dengan orang baru dari berbagai kalangan. Mulai dari anak SD sampai staf yang rata-rata sudah jenjang S2 ataupun menikah.

Sejak dibukanya pendaftaran ujian masuk universitas, aku pun sering dituntut untuk memberi motivasi kepada beberapa murid dan beberapa tips belajar efektif.
Namun tak biasanya aku mengajak murid mengobrol lama-lama seperti barusan. Apalagi aku hanya mengenal Yoana sepintas. Entah kenapa saat mengobrol dengannya, mengalir rasa nyaman yang sudah lama tak kurasakan. Dan tanpa sadar bayangan Ibu muncul ketika ia ada di hadapanku.

Ketika bayangan Yoana masih bersemayam dalam pikiran, sedikit terbersit olehku untuk menghapus segala kesedihan yang membuat wajah manisnya menjadi muram. Entah kenapa aku ingin mengukir senyumnya dengan apapun yang dapat kulakukan. Seperti dengan kelas tambahan secara sukarela, bila yang membuatnya muram itu dari minimnya persiapan ujian.

"Loh? Kelas privatnya Yoana kok baru beres jam segini? Bukannya cuma sampe jam 2 ya?"

Bibirku mengulas senyuman. Itu biasa kulakukan sebelum memberikan suatu alasan. Tidak, lebih tepatnya pembelaan dari segala tindakanku. Senyuman itu berguna untuk mengurangi beban sehingga aku tak merasa gugup sama sekali.

"Harusnya cuma sampe jam segitu sih. Tapi aku yang ngasih waktu tambahan ke dia, soalnya Yoana keliatan masih bingung."

"Tapi masalahnya jatahmu cuma dua jam aja kan?" aku tahu maksud Mba Fera pasti kepada jatah bayaranku.

"Ngga apa-apa, Mba. Erik juga tahu itu kok. Lagian ini kan sukarela"

"Oh, ya udah ngga apa-apa kalo kamu emang sukarela. Saya khawatirnya kamu setelah ini malah minta uang tambahan dari kelas privat yang tadi."

Aku hanya tertawa menanggapi Mba Fera yang sifat apik terhadap uangnya mulai keluar. Maklum saja, ia memang bagian administrasi yang memegang tanggung jawab pengaturan jadwal maupun keuangan. Untunglah perempuan yang sebentar lagi akan menikah itu tak mencecarku lebih lanjut.

Menjelang pukul 6 sore, aku sudah menyelesaikan laporan harian mengenai perkembangan kelas reguler dan privat yang kupegang hari ini. Setelah tak ada lagi yang harus kukerjakan, aku pun pamit pulang pada staf administrasi maupun pengajar lain yang masih di dalam ruko. Langkah lebar kedua kakiku dengan mantap menuju ke tempat parkir tempat motor bebekku berada.

Tepat pada saat memakai helm, sesuatu yang abstrak tiba-tiba mengganjal di pikiranku. Rasanya seperti ada sesuatu yang lupa untuk kukerjakan. Saat perasaan itu muncul, segera kukeluarkan buku catatan kecil dari saku kemeja. Seluruh kegiatan hari ini sudah kutandai dengan tanda centang. Lalu apa lagi yang terlupakan?

Rupanya yang terlupakan itu memang tidak tertulis dalam buku. Aku baru sadar bahwa aku lupa menanyakan kepada Yoana apakah ia akan mengambil kelas IPS lagi atau tidak. Atau jangan-jangan ia telah memutuskan untuk belajar mandiri setelah mengikuti pembelajaran denganku yang membosankan? Sial, kenapa aku lupa untuk memastikannya?

Namun mengapa aku menyesali hal sekecil itu?

***

"Rik! Erik!"

Langkahku ke arah pujasera depan ruko terhenti oleh panggilan cukup nyaring yang tak terinterupsi keramaian lobby. Pemilik suara melengking namun tetap terdengar dewasa itu memberi isyarat kepadaku agar menghampirinya.

"Kenapa Mba Fera?"

"Kelas yang reguler udah beres Rik?" tanya Mba Fera sambil membetulkan posisi duduk di atas kursi kerja.

"Udah kok, Mba. Kira-kira ada kelas lain lagi ngga?"

"Nah kebetulan banget," tangan kanannya menggulir mouse dan mengklik kiri beberapa kali, "Untung Erik langsung dateng ke sini, kalo ngga saya bisa lupa ngasih tau. Nanti jam 12 ada kelas privat IPS yang buat ujian masuk universitas itu."

Aku mengingat-ingat apakah setelah ini memang ada kelas privat atau tidak. Lantas kubuka buku catatan kecil dari saku dan mengecek apakah ada tulisan 'privat IPS' yang berwarna biru. Tidak ada. Apakah murid yang bersangkutan baru mengonfirmasi pagi ini?

Kalau benar begitu, mau tidak mau aku harus menunda jam makan siangku hingga pukul 2 nanti. Itu artinya aku tak akan dapat diskon makan siang tepat waktu. Tetapi tak apalah. Lagipula di pertengahan bulan ini uangku belum banyak terpakai.

Sesuai informasi Mba Fera, aku mengarah ke bangku nomor 10 untuk menunggu murid privat yang akan mengambil kelas IPS. Bangku itu langsung mengingatkanku pada sosok Yoana dengan kaus turtleneck merah yang ia kenakan saat pertama kali kami berjumpa hingga ketika mengerjakan soal latihan bersamaku.

Setelah menempati bangku yang menghadap ke pintu ruang belajar, mataku menelusuri setiap sudut untuk memindai siapa saja yang mengarah ke sini. Bangku di ruang belajar sudah terisi lebih dari setengahnya hingga membuat suasana lebih ramai dari biasanya.

Di antara beberapa murid yang mengenakan seragam putih abu, mataku kemudian menangkap bayangan seseorang yang semakin mendekati bangku nomor 10. Rambut hitam legam yang tergerai melewati bahu rampingnya begitu kontras dengan kaus turtleneck berwarna coklat muda.

Murid itu ternyata Yoana.

Perempuan yang sempat menghiasi benakku sejak hari kemarin itu sempat tertegun melihatku. Dari balik mata sayu yang kini agak membelalak itu mungkin terkejut dengan pertemuan kami yang kedua kali. Kedua mata yang tadinya menatap mataku tampak mulai dialihkan ke sudut lain dari wajahku.

"Hai Yoana, selamat siang. Ngga nyangka ya kita ketemu lagi"
Ia hanya bergumam sedikit menanggapi basa-basiku yang garing. Kini perempuan itu duduk di hadapanku setelah menaruh ransel yang agak kecil di atas meja. Gumam kecil darinya dilanjut oleh senyum simpul sebelum akhirnya ia mengeluarkan buku latihan soal dan alat tulisnya.

"Hari ini mo belajar apa dulu? Langsung latihan soal atau materi?"

Yoana menatapku lurus sebelum ia menggulirkan pandangannya ke arah buku latihan. Keningnya yang berkerut semakin memperlihatkan bahwa ia belum menentukan rencana belajarnya dengan matang. Aku mengerti, mungkin karena di pertemuan kedua ini masih belum ada bayangan pasti mengenai kisi-kisi soal ujian. Rasanya aku pun pernah mengalami hal yang sama. Jadi aku menunggu jawabannya dengan sabar.

"Mungkin langsung soal latihan aja," jawab Yoana dengan aliran suara yang cukup lirih. Kedua tangannya membuka lembaran buku dan mencari soal yang dimaksud.

Saat mengajar, sesekali mataku dan matanya saling bertemu, tak sengaja bertatapan. Setiap hal itu terjadi, aku selalu berusaha mengalihkan atensi pada lembar soal geografi. Bila hal itu masih belum berhasil, aku memilih lebih banyak menulis di papan tulis meski hal itu sudah tertulis jelas dalam buku soal.

Kami tak banyak membicarakan hal di luar pelajaran. Yoana baru akan mengeluarkan suara lirihnya saat bingung dengan teori ekonomi. Dan aku hanya menjawab pertanyaannya sebisaku. Hal itu terus berlanjut hingga waktu dua jam pelajaran hampir selesai. Namun lama kelamaan aku merasa tersiksa dengan suasana yang semakin dingin. Mau tidak mau aku berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan sebagai penutup pelajaran hari ini.

"Oh iya, Yoana", aku mengeluarkan upaya pertama untuk memecah kesunyian setelah buku latihan milik Yoana sudah ditutup, "By the way, Kakak belum tanya, sebenernya kamu punya rencana mau masuk ke jurusan mana nih?"

"Eh? Um...," Yoana bergumam sejenak sebelum ia melanjutkan, "Sebenernya gimana ya.... Sampe sekarang aku masih bingung sih Kak..."

Selama seminggu mengajar kelas reguler maupun privat untuk persiapan ujian masuk universitas, ini pertama kalinya bagiku menghadapi murid yang masih kebingungan menentukan pilihannya sendiri. Biasanya murid yang kuhadapi adalah orang-orang dengan ambisi tinggi terhadap satu bidang yang tentu saja sudah memantapkan pilihannya dalam berkuliah. Sekarang aku sudah mengerti, selama ini ia bukan hanya kurang belajar, tetapi ia juga masih belum tahu akan mengarahkan masa depannya ke mana.

"Loh kok bingung? Jadi masih belum daftar dong sampe sekarang??" Yoana hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban. Seingatku batas akhir pendaftaran ujian kurang dari seminggu lagi.

"Hm.... Kira-kira, kamu punya minat sama bakat di bidang apa?"

"Um...," lagi-lagi perempuan berambut sebahu itu bergumam. Ingatanku terus menggali pada hal-hal yang selama ini kudapatkan mengenai rekomendasi jurusan sesuai minat dan bakat murid bimbingan belajar. Lalu aku teringat akan metode yang pernah digunakan untuk mengetahui jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatku.

"Oke, kalo kamu masih bingung gini aja deh," ujarku sembari menaruh spidol hitam yang selama pelajaran berada di genggaman tangan kananku, "Kakak coba bantu kerucutkan minat jurusan kamu di universitas"

Yoana mencondongkan tubuhnya saat aku menuliskan beberapa kata di atas kertas A4 kosong yang kebetulan terlipat di antara lembaran buku catatan kecil. Sial, mengapa di saat-saat seperti ini aku tak bisa menulis dengan rapi? Goresan-goresan tangan yang tak terlalu bagus ini kuharap masih terbaca.

"Di kertas ini udah langsung Kakak tulis peminatan soshum, dan setelah ini bakal ada peta konsep yang cukup rumit," keningnya berkerut tepat pada saat aku menyebut kata 'rumit'. Mungkin dari kata tersebut lantas terbayang olehnya sebuah peta konsep teori fisika yang pernah diberikan oleh guru SMA-nya dulu.

"Tapi ngga akan serumit yang kamu bayangin kok, liat aja hehe," cepat-cepat aku menepis kebingungannya itu sambil tertawa. Untunglah berhasil dan ia sudah terlihat rileks kembali.
Dari tulisan "Soshum", aku menggoreskan dua garis yang bercabang untuk melanjutkan peta konsep.

"Dari soshum ini, kamu lebih suka sesuatu yang lebih banyak teori atau praktek di luar?"

"Hm... kayaknya lebih ke teori," jawab Yoana setelah kuberi ia kesempatan untuk berpikir.

"Oke, selanjutnya," jawabannya mendorongku untuk menarik garis baru di bawah tulisan "Teori".

"Dari teori itu, kamu lebih suka yang sifatnya ilmu pasti kayak akuntansi atau lebih banyak baca dan analisisnya?"

"Kalo ilmu pasti, aku ngga begitu yakin. Jadi aku lebih pilih yang banyak baca," sepintas aku sudah menduga jawabannya. Sejak pertama mengambil kelas IPS ia sudah memperlihatkan bahwa minatnya jauh dari bidang ekonomi.

"Misalnya kayak yang berhubungan sama hukum atau sastra gitu ya," kubetulkan posisi kacamata setelah berhasil mempersempit peta konsep, "Ngomong soal ilmu hukum, kamu terbilang orang yang kritis dan suka berargumen ngga?"
Yoana cepat-cepat menggelengkan kepala. Mungkin ia memang benci adu argumen alias perdebatan.

"Minat kamu kemungkinan di bidang sastra," ujarnya mantap, "Coba persempit lagi, kamu suka belajar budaya dari mana? Indonesia? Barat? atau Asia Timur?"

Detik demi detik bergulir mengantarkan Yoana pada suatu perenungan yang kini tampak lebih berisi. Meski raut wajahnya masih muram, setidaknya ini lebih baik karena aku lebih sering melihat ia merenung tanpa kuketahui isinya dengan baik.

"Hmm... mungkin budaya Barat"

"Kenapa?"

"Itu mungkin berawal dari kesukaanku ngedengerin dan nyanyi lagu-lagu Barat. Filmnya juga lumayan sih walau aku ngga sering-sering banget nontonnya"
Aku tidak tahu apakah itu jawaban sungguh-sungguh atau tidak, tetapi yang jelas dengan selangkah lagi aku akan berhasil menemukan jawabannya.

"Ooh... kalo gitu kamu masuk Sastra Inggris aja, gimana? Kuliah itu yang penting kamu ada minat dulu kan? Kalo masalah kemampuan, selama kuliah 'kan bisa diasah tuh"

"Gimana?" tanyaku sekali lagi untuk memancing respon Yoana selanjutnya.

"Bukan ide buruk, menurutku."

Perempuan itu menghela napas lega. Begitu juga dengan aku. Akhirnya peta konsep yang cukup panjang dan banyak cabang itu berakhir pada satu titik bertuliskan "Sastra Inggris". Semoga saja upayaku untuk mengarahkan minat terhadap jurusan berhasil menjadi pertimbangan Yoana untuk ke depannya.

"Oh ya, ngomong-ngomong besok ambil privat apa lagi?", tanyaku sedikit penasaran. Padahal sebenarnya untuk mengalihkan hanyutnya suasana hatiku.

"Hm.. hari ini terakhir Kak, jadi sampe hari H ujian aku belajar sendiri di rumah."

"Loh kenapa? Padahal lanjutin aja, lumayan loh sampe sehari sebelum ujian," aku menyayangkan keputusannya. Mataku sekilas menangkap tatapan setengah menyesal dari mata Yoana. Tetapi entahlah, aku tak tahu apa yang menjadi pertimbangannya menyudahi kelas privat. Apa jangan-jangan dugaanku sebelumnya benar?

"Atau kalo mo belajar bareng saya di luar juga bisa, Kakak sukarela aja kok."

Sial. Keberanian dari mana yang bisa mendorongku sampai sejauh ini? Aku tahu ia memang masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam memahami materi. Tetapi aku tak menyangka akan ada dorongan misterius yang membuatku semakin berani menawarkan kelas sukarela kepadanya.

Kata-kataku barusan telah membuat wajah Yoana memunculkan semburat merah. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?
Menghadapi perempuan bagiku malah lebih sulit daripada mengerjakan soal mengenai kasus pembagian warisan. Menghadapi perempuan itu harus banyak improvisasi tanpa undang-undang yang mengaturnya.

Kini kasus yang kuhadapi adalah kebingungan seorang perempuan berambut sebahu dengan poni menutupi kening. Perempuan itu sensitif, apalagi yang tak banyak berekspresi seperti Yoana. Dengan aura melankolis yang ia pancarkan, aku merasa Yoana tak cocok dengan kaus berwarna cerah yang dikenakannya. Apalagi turtleneck merah terang itu.

Namun tanpa kusangka sama sekali, Yoana mengangguk mantap dengan senyum manisnya. Untuk pertama kalinya, ia mengubah auranya yang abu-abu menjadi merah terang. Penuh keceriaan, dan siap mengantarkan kami pada pertemuan selanjutnya. Dan senyum itu pula yang membuat perasaanku semakin tak dapat dideskripsikan dengan mudah.

Seandainya Ibu masih ada, mungkin Erik bisa nanya sebenernya perasaan apa yang lagi Erik alami sekarang ini.

Continue Reading

You'll Also Like

Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.5M 232K 39
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
1.1M 45.7K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
579K 44.9K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...