Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
3rdbeats
4thbeats
5thbeats
6thbeats
7thbeats
8thbeats
28thbeats
detak ke-31
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

2ndBeats

213K 8.9K 214
By jealoucy

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊Heart ✽ Beat✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

Terpeleset dan mendarat dengan posisi aneh sampai celana dalammu terlihat di hadapan sejuta umat itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Mengesampingkan tawaan orang-orang dan cemoohan mereka, aku berusaha bangun namun tidak berhasil mengingat aku memakai sepatu roda.

Eric, salah satu cowok populer di sini, tertawa terbahak-bahak sambil mengacungkan jari telunjuknya kearahku. Merasa kesal, aku mengacungkan jari tengahku padanya.

Seseorang mengulurkan tangan di depan wajahku. Aku mendongak dan tersenyum menerima uluran tangan Vee. "Thanks," kataku.

"Ugh. Tangan dan sikumu berdarah," kata Vee , mengernyitkan dahi.

Aku membuka telapak tanganku dan melihat goresan-goresan kerikil kecil dengan beberapa kerikilnya masih menempel disana. Kondisi siku kananku tidak jauh berbeda.

"Ewh!" Aku mengernyit. "Arga!!!" teriakku saat melihat sepupuku pergi untuk menngoda Marina. Dia mengacungkan tanda V ke udara.

Tiba-tiba Vee mencengkeram lenganku. "Jangan melihat keatas. Tapi Elang Skarsgard sedang memandang kearah sini," bisiknya lalu dia menggigit bibir bawahnya dan memutar-mutar sejumput rambut pada bahunya.

Aku mendongak dan menemukan Elang dilantai tiga memandang kebawah, kearahku. Aku kira dia akan langsung memalingkan wajahnya begitu dia bertemu pandang denganku, tetapi diluar dugaan dia menatapku balik. Vee memarahiku karena tidak menuruti perkataannya tetapi aku tidak mendengarkannya. Rasanya sulit untuk berkonsentrasi pada hal lain disaat sepasang mata tajam setajam mata rajawali yang sedang mengamati mangsanya memandangku dengan sangat intens.

Aku terus menatapnya, menantangnya berharap dia memalingkan wajah lebih dulu namun dia tidak melakukannya. Dia justru sepertinya menantangku balik. Entah berapa lama kami bertatapan. Mungkin hanya beberapa detik tetapi aku merasakannya sangatlah lama. Walau aku meyakinkan diri bahwa ini cuma kontes tatapan mata, tetapi aku tetap merasakan sesuatu yang aneh merambat dalam darahku. Sama seperti saat dia memojokanku beberapa hari lalu.

Tarikan keras pada lenganku membawa serta suara-suara dan kebisingan kembali. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan menoleh pada Vee.

"Apa?" tanyaku kesal.

Vee tersenyum jahil. "Aku minta maaf merusak intimasi kalian, tapi bel sudah berbunyi dua menit yang lalu, honey."

Aku mengerutkan dahi dan melihat ke sekelilingku, anak-anak berlarian menuju gedung sekolah.

"Sial! Bagaimana aku tidak mendengarnya?" makiku lebih pada diri sendiri.

"Tidak ada yang menyalahkanmu," ujar Vee menenangkan. "Percayalah, siapapun akan kehilangan semua indra kalau bertatapan dengan seorang Elang Skarsgard."

Dia tersenyum penuh pengertian, membuatku penasaran apakah Vee ataupun cewek yang lain pernah ditatap oleh Elang seperti cara dia menatapku.

Aku mendongak lagi, tapi Elang sudah tidak ada disana. Aku menurut saat Vee menarikku ke bangunan sekolah.

"Caramu berbicara seperti sudah pernah mengalaminya saja," kataku ringan menutupi penasaranku yang terlalu besar dari seharusnya. Itu menggangguku.

Tetapi sebenarnya yang paling menggangguku adalah kenyataan bahwa aku tidak bisa mengeluarkan orang itu dari kepalaku sejak menyiramnya waktu itu.

"Oh aku pernah," kata Vee, membawaku kembali ke masa sekarang.

Kami menaiki tangga dan aku harus berhati hati karena aku masih memakai rollerblade merahku. Barangkat sekolah tanpa tumpangan membuatku terburu-buru dan lupa membawa sepatu ganti, jadi beginilah.

"Oh?" Aku memusatkan perhatianku pada langkahku, menekan perasaan tidak enak yang muncul disebabkan jawaban Vee. "Kapan?"

"Kamu tahu 'kan kalau aku berada satu kelas dengannya tahun lalu?" Aku mengangguk. "Nah waktu pelajaran olah raga dia mendatangiku, berdiri didepanku dan menatapku. Tatapan matanya sangat tajam! Aku melihat mulutnya bergerak tetapi aku tidak tahu kata apa yang keluar dari sana karena aku tersihir." Vee bergidig.

"Terus?"

"Karena aku tidak bergerak, dia menjentikkan jarinya didepan wajahku. Mengetahui kalau aku sudah sadar dia lalu berbicara dengan pelan namun jelas setiap kata seperti bicara pada bayi." Vee berbalik menghadapku, kedua tangannya ia letakkan pada bahuku dan menatapku serius. "'Be-ri-kan bo-la-nya pa-da-ku'" tambahnya mengakhiri reka ulangnya.

Aku tertawa. "Jadi maksudmu, kamu berdelusional bahwa dia memandangmu dengan penuh arti?"

"Hey jangan mengejekku karena aku naïve."

Aku cuma menggelengkan kepala sambil tersenyum. Masuk kelas, aku menemukan teman sebangkuku sedang memukul-mukul tasnya.

"Rally! Happy birthday!!" seru Vee, seraya menghambur ke arah Rally dan memeluknya.

"Oh-oh. Kenapa dengan raut wajahmu itu?" tanyaku begitu aku mendekat.

"Gue kesal banget!"

"Kenapa? Ini harusnya jadi hari yang membahagiakan. Sweet seventeen!! Yeay!" seru Vee bersemangat.

"Raymond tidak memberimu kado?"

Rally menggeleng. "Aku sudah putus sama dia semalam."

"Oh Rally, aku menyesal mendengarnya." Tapi aku tersenyum saat mengucapkannya.

"Aku juga menyesal," ucap Vee. Senyumnya lebih lebar dari aku.

"Ngga, kalian ngga menyesal. Jadi diam saja," gerutu Rally.

Siapa juga yang menyesal kalau sahabatmu putus hubungan dengan cowok pelit, egois dan narsisnya minta ampun?

"Aku bisa mengatakan hal yang sama padamu," kataku sambil tertawa. Rally menghendikkan bahu. "Jadi ini bukan karena Ray. Kenapa wajahmu seperti pancake gosong begitu?"

Rally menghela nafas. "Pernah nggak kalian mendapat hadiah yang membuat kalian ingin bunuh diri?"

Vee menggeleng.

"Ingin bunuh diri sih nggak, tapi ingin melemparkannya kembali ke orang yang memberikan sangat sering," kataku.

Vee tertawa. "Pasti tidak enak yah sudah sebesar ini hadiah kalian masih sama terus setiap tahun."

Aku mengangguk dengan cepat. "Jadi apa nasibmu sama denganku?"

Rally bukan anak kembar akan tetapi dia punya banyak saudara dan keluarganya punya tradisi membuat baju dengan motif yang sama pada kesempatan tertentu. Misalnya saat tahun baru.

Rally menggeleng. "Lebih parah."

"Oh? Apa itu?"

"Aku minta dibelikan laptop baru, eh malah mereka memberikan SIT dan parasut," gerutunya.

Aku dan Vee tertawa dan mendapat pukulan dari Rally. Namun itu tidak menghentikan tawa kami. Kami teman yang sangat baik, jadi begitulah.

Aku mengenal Rally sejak SMP. Seperti yang lain, aku juga tertawa begitu mengetahui nama lengkapnya ; Paralayang Sejati. That sucks, really. Awalnya aku memanggilnya Par atau terkadang nama lengkapnya, tapi dia selalu berubah menjadi kingkong overdosis setiap aku melalukan itu. Kemudian aku mengikuti panggilan dari teman satu SDnya yaitu Ayang, tapi panggilang itu terasa janggal saat keluar dari mulutku.

Lalu Vee datang dan dia memanggilnya Rally. Alih-alih memanggiku Fina seperti yang lainnya, Vee memanggilku Anna. Vee punya selera yang bagus kalau soal nickname.

By the way, sebagai seseorang dengan nama Paralayang, Rally punya fobia pada ketinggian dan mabuk udara.

Teoriku? Mungkin karena dia sangat membenci namanya, jadi dia dikutuk. Well, aku tidak menyalahkannya kalau dia membenci namanya sendiri. Bahkan aku akan sangat memaklumi kalau dia membenci orang tuanya juga. Lagian orang tua mana yang begitu kejam memberikan nama hobi mereka pada anak perempuan sulung dan kandung mereka? Cuma orang tua Rally. Entah mereka old-fashioned , aksentrik atau seperti yang aku bilang tadi, mereka kejam.

Aku pasti sudah bunuh diri kalau namaku Suntikan Palu.

Aku bersyukur bahwa orangtuaku bukan orang yang mengikuti gaya lama dan menamai anak kembar mereka dengan nama seirama semacam Stavana dan Stevani. Yah walau pada akhirnya kami tetap saja dipanggil Fani dan Fina, tapi itu masih lumayan.

"Eh tunggu," kataku begitu bisa menghentikan tawa. "Apa itu SIT?" Melihat wajah Rally, aku tahu dia tidak mau menjawabnya.

"Aku tahu, aku tahu!" Vee mangacungkan Jari telunjuknya ke udara. Mengetahui dia sudah mendapat perhatian kami, dia menjawab, "Surat Ijin Terbang!"

Aku dan Vee tertawa lagi, kali ini lebih keras sementara Rally melototi kami dan membuang tas ku ke sisi lain ruang kelas.

Bel istirahat telah berbunyi 15 menit yang lalu. Vee dan Rally sedang ke kantin membeli makan untuk dibawa kekelas karena aku tidak diijinkan turun. Sepatuku merepotkan ,katanya. Aku hendak ke kamar kecil saat mereka masuk.

"Ral, pinjem sepatu donk. Alam memanggil nih," kataku sambil melepas sepatuku.

Rally melepaskan sepatunya setelah meletakkan makanan yang dibawa oleh kedua tangannya. "Jangan berdiri yah, nanti nyiprat kemana-mana." Dia berseru dan bersama Vee tertawa . Aku cuma menyibakkan rambutku sambil berjalan mengacuhkan mereka.

Langkahku terhenti diambang pintu saat melihat Fani bersama Elang sedang berbicara di depan kelas mereka. Jantungku langsung mencelos melihat bagaimana mereka mengobrol. Fani tertawa dan tersenyum sedangkan sudut bibir Elang sedikit terangkat mengindikasikan tanda-tanda senyum disana.

Ah ya ampun! Ada apa denganku? Wajar saja bukan kalau mereka akrab, mereka 'kan sekelas. Ini juga bukan pertama kalinya aku melihat mereka bersama.

Serius deh! Aku cuma pernah berinteraksi dengan Elang beberapa menit, itupun bukan sebuah percakapan yang manis, tapi kenapa melihat cara mereka berinteraksi membuatku ... iri? Mengklaim kalau saling mengenal saja tidak.

Elang brengsek! Dasar penyihir! Hey! Stupid Elang!

Elang mendongak, menatapku dengan dahi berkerut. Aku langsung memutar badanku.

Omyagad! Apa dia bisa mendengar pikiran orang? Vee melambai dari mejaku.

"Katanya mau ke kamar kecil?!" Seru Rally. "Awas yah kalau kencing di sepatu gue!" tambahnya, mengundang tawa dari beberapa anak. Aku hanya melototinya.

Ugh! Ngomong-ngomong soal kamar kecil, aku sudah kebelet! Aku lari saja.

"Fina!!" Aku mendengar Fani memanggil.

"Later!" Seruku sambil melambai tanpa menoleh.

Saat aku keluar dari kamar kecil, Elang sendirian bersandar pada pagar dengan buku Fisika ditangannya.

Okeh. Acuhkan. Santai. Jalan lihat kedepan.

Dari sudut mataku aku melihat dia mendongak dari buku dan mengamatiku sampai aku melewatinya. Bahkan setelah itu aku bisa merasakan kalau dia masih mengamatiku, rasanya seperti ada lava yang merayapi punggungku.

"Fina!"

Ah sial! Padahal dua langkah lagi aku sampai di kelas. Aku memutar badan.Kakakku berjalan menghampiri dengan senyum dan... sepasang sepaatuku di tangan kanannya.

"You're my savior," ucapku, memberinya senyum penuh syukur. "Thank you."

"You're welcome," balasnya.

Kenalkan, dia kembaranku, Staphanie Anggita. Dia lahir sepuluh menit mendahuluiku dan dia membawa semua gen baik dari ayah dan ibuku. Dia anak baik. Ketua Osis, fashionable, selalu peringkat satu, mengikuti banyak kegiatan di sekolah dan menjadi relawan regular di rumah sakit anak tempat mama bekerja. Dan pacarnya luar biasa. Sedangkan aku berlawanan dari itu semua.

Kami memang kembar identik, tetapi hanya rupa kami yang sama persis. Sifat dan cara kerja otak benar-benar berbeda 180˚.

"Kamu nanti ke arcade nggak?" tanya Fani.

Sambil memakai sepatuku sendiri, aku mengingat-ingat. Ah Johan nantangin main Asphalt. "Iya. Kenapa?"

"Tolong sekalian antarkan ini kerumah Daud." Dia menyerahkan buku dan beberapa lembar kertas didalamnya.

"Apa ini?" tanyaku walaupun sebenarnya tidak terlalu tertarik.

"PR dan rincian rapat tadi pagi."

"Ok. Kalau aku ngga lupa," kataku menghendikkan bahu. Dia memaerkan wajah paling memelasnya. "Grrrh. Fine."

Satu lirikan ke arah Elang membuat dadaku sesak melihat dia tersenyum. Padahal dia tidak tersenyum padaku, dia tersenyum pada suatu halaman pada teksbook fisika di tangannya. Aku segera berlari menghampiri teman-temanku.

Menerima sepatu yang ku serahkan, Rally melihat ke belakang punggungku. "Masih berusaha menebus dosa?" tanyanya sambil mengangguk ke arah pintu.

Sebelum aku sempat menjawab, Vee mendahuluiku. "Tentu saja harus begitu . Kesalahannya nggak akan terhapuskan walau seratus tahun penebusan."

Mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Vee yang penuh racun membuatku mengernyit. Vee selalu sepenuh hati kalau melakukan sesuatu. Saat membenci, dia akan membenci sepenuh hati sampai tidak ada celah untuk maaf. Dan dia akan memberikan sepenuh hatinya ketika mencinta.

"Kamu tentu sadar 'kan kalau kami seperti cermin? Kalau kamu membencinya sama saja kamu membenciku."

"Aku ngga pernah bilang aku membenci wajahnya. Yang aku benci itu kepribadiannya. Ular."

Vee tidak akan memaafkan Fani entah bagaimanapun aku meyakinkannya kalau aku sudah memaafkan sodaraku itu. Jadi aku hanya bisa menghela nafas.

_.._

May 26, 2014

Continue Reading

You'll Also Like

27.9K 2K 74
A little secret With little lies In little note From little heart Ketika bibir enggan terbuka, tapi hati tetap merasa. Ketika senyum terukir, tapi lu...
6.3K 2.3K 30
[ NEW VERSION‼️] #shskartikatamaseries [R15+] "Lo pasti suka sama gue, Mos." "Enggak." sautan pendek tersebut membuat Bintang menghela napas panjang...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 71.1K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
86.5K 13.2K 25
[COMPLETED] Pt. 1 - 7 : PUBLIC Pt. 8 - END : PRIVATE =========================================== ET DILECTIO [Bittersweet Stories #1...