Dylana

By yoophorina

62.1K 1.9K 175

Ana yang seorang Bad Girl di sekolahnya harus mau merelakan waktunya yang berharga untuk Dylan, seorang Most... More

Dylan
First Meet
Satu langkah lebih dekat
Andriana Caroline Enderson
What Makes You Beautiful
Live While We're Young
Bad Reputation
Bad Stalker
Bad Stalker part 2
Stalker
Bad Side
Senyuman yang Hilang
First Date
Senyuman yang Sempat Hilang
Berkencan
Sweet Talk
Overdose
Kisah Manis
Dilla
The Name is Called Best Friend
We're Best Friend
Relation-sweet
The Name is Called Kencan
Triple Date
The Storm is begin
Kehilangan Sebelah Sayap
Kecewa?
Axel si Moodboster
The Darkest Side
Senang dan Sedih Satu Paket
For the First Time
Perubahan Besar Ana

Rapuh

997 30 8
By yoophorina

Di bawah senja, kita berdua duduk di hamparan rumput yang hijau dengan pemandangan matahari terbenam. Aku selalu berfikir, apakah kebersamaan kita seperti matahari yang akan terbenam saat waktunya? -Ana

•••

"Kamu egois!" bentak Dylan dengan Ana di hadapannya yang duduk dengan pikiran kosongnya. "Kenapa ngelakuin hal bodoh itu?!"

Ana terdiam sejenak saat mendengar ucapan Dylan, darimana ia mengetahui hal itu? Pikir Ana.

"Hal bodoh?" Ana tertawa meremehkan dengan senyuman sinisnya dan menengadahkan kepala melihat semburat orange matahari di ufuk Barat.

"Ya! Kamu mau bunuh diri?! Gak mikirin perasaan kita di sini?! Gak mikirin perasaan kedua orang tuamu?!"

"Tau apa aku soal perasaan." Ana tertawa sinis melihat Dylan berdiri di hadapannya dengan wajah yang mengerikan saat marah, namun ia tak terpengaruh dengan semua itu. "Aku memang gak punya perasaan. Perasaanku terkubur bersama seseorang yang meninggalkanku di sini sendiri."

"Siapa?! Siapa bajingan itu?! Dia yang buat kamu kayak gini?!" teriak Dylan sampai wajahnya memerah karena amarah.

"Bukannya kalian semua yang buat gue kayak gini?!" balas Ana dengan berteriak saat Dylan selalu berteriak padanya dan itu membuat Ana muak dengan semuanya.

"Oh great. Sekarang kamu salahin kita semua yang nyatanya itu kesalahan kamu!"

"Ya!"

Dylan menghela napas dengan gusar sebelum mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia marah atas sikap Ana yang membahayakan dirinya namun sang kekasih tak merasakan apa yang ia rasa. Gusar. Kecewa. Marah.

"Kamu masih punya aku untuk cerita masalah kamu, kamu juga masih punya Key dan Nara untuk berbagi kisahmu, dan sekarang, kenapa kamu ngelakuin hal bodoh seperti ini daripada berbicara dengan kita!"

"Hal bodoh yang kamu katakan itu adalah pelarian dari semua rasa sakitku." Ana berjalan meninggalkan Dylan yang diam mematung mencerna ucapan sang kekasih. Ya, seharusnya Dylan tak menyalahkan Ana atas semua hal yang telah terjadi.

•••

Pada akhirnya, Ana kembali ke sini. Ke tempat yang selalu ia kunjungi saat sedang sakit hati atas semua hal yang ia lalui atau saat ia merasa putus asa seperti sekarang. Ana kembali ke benda favoritnya. Benda yang selalu ia genggam saat perasaan itu muncul kembali. Perasaan ditolak, putus asa, perasaan yang kosong dan tentu saja depresi.

Lagi lagi Ana duduk bersandar di pinggir ranjang dengan sebuah benda yang jika terkena cahaya akan mengkilat. Benda favoritnya yang selalu ada saat ia sedang depresi seperti ini. Pisau.

Ana terdiam. Ia memutar kembali momen hangat yang ia miliki bersama keluarganya, tentunya dengan Radit. Ia menitikan air mata saat kembali memutar momen manis itu, momen yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Sekarang, saat ia telah mendapatkan sandaran baru yang nyata berdiri di hadapannya, orang itu perlahan menjauh dari jangkauannya. Bahkan, saat ia memanggil namanya pun ia tak menoleh seakan memang tidak ada yang memanggilnya.

Ia ditolak. Perasaan ini lebih buruk daripada perasaan ditolak oleh kedua orangtuanya. Ia ditolak oleh cinta pertamanya.

"Kak Radit, aku mohon bawa aku ke sana." pinta Ana dengan suara lirihnya. Ia memandangi sekitar ruangan dan tersenyum sedih melihat banyak foto orang yang ia sayangi. Kamar Radit.

"Apa aku harus berakhir seperti ini?"

"Aku merindukanmu. Selalu."

Ana memandang pisau di genggamannya dengan pandangan kosong. Pikirannya berlayar ke beberapa bulan belakangan yang menampilkan sosok bahagianya saat bersama Dylan. Ia menjadi pribadi yang ceria lagi, namun itu tak berlangsung lama.

Ia ditolak. Lagi.

Cukup sudah penderitaannya selama ini. Ana hanya ingin bahagia. Mungkin, saat ia menyusul sang kakak mereka akan bahagia. Pasti.

Dengan perlahan namun pasti, Ana mengarahkan pisau itu ke pergelangan tangannya, atau yang lebih tepat ke arah denyut nadinya berada. Akankah ini akhir dari semuanya?

Satu goresan ia layangkan ke lengannya, sedikit darah yang keluar dari sayatan itu. Ana tersenyum kecil.

Satu goresan ia sematkan di lengannya dengan cukup dalam yang menimbulkan banyak darah yang keluar dari sayatan itu. Ana tersenyum.

Satu sayatan ia hadiahkan untuk lengannya yang selama ini selalu menahan dirinya di sini dengan cukup dalam dan aliran darah yang terus keluar akibat tindakannya. Ana tersenyum lebar.

Satu langkah lagi, maka semuanya akan berakhir.

Seperti biasanya, ia tak mengalami rasa sakit itu. Ia biasa saja. Tak ada ringisan kesakitan akibat sayatan-sayatan yang ia timbulkan.

Saat ia akan melayangkan satu goreskan akhir di pergelangan tangannya, sekelebat bayangan muncul di benaknya. Membuatnya teringat dengan momen indah itu. Dylan. Saat ia tersenyum dan menggodanya.

Ana menangis. Apakah ia harus mengakhiri semua kenangan indah bersama Dylan?

"Apakah aku harus menemui Dylan atau Kak Radit?" tanyanya dengan sedih. Dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Ana teringat dengan kenangannya bersama Radit di saat ia masih berumur 5 tahun. Ia mengikuti Radit kemanapun Radit melangkah. Bahkan, saat Radit memasuki Taman Kanak-Kanak, Ana selalu mengikuti sang kakak hingga ke sekolahnya yang membuat kedua orangtuanya ikut menemani Ana dan Radit. Radit yang menjaga Ana dengan sangat luar biasanya, ia seakan tak membiarkan Ana terluka sedikitpun.

Ana menangis. Memori itu terus menghantuinya seakan tidak terima dengan keputusan yang Ana buat.

Ana mendekatkan pisau itu ke arah pergelangan tangannya. Memori itu berputar kembali, namun bukan Radit melainkan Dylan yang menjaganya bagaikan anak kecil yang perlu perlindungan. Bahkan, di saat ia tak berada di dekat Dylan, Dylan selalu melindunginya dari jauh oleh semua hal jahat yang mengincarnya setiap saat.

Ana kembali menangis. Menangisi keputusannya.

•••

Ana terbangun dengan pandangan kosong. Ia mengangkat kedua lengannya dan tak menampakkan segores lukapun. Jadi, ia terkalahkan oleh bayangan itu, Ana tertawa lirih sembari memasuki kamar mandi dan bersiap menuju tempat yang akan ia datangi.

Setelah siap dengan perlengkapan yang akan ia bawa, suara ponsel membuat langkahnya menuju pintu terhenti.

"Ya?"

"Lo di mana? Bel udah bunyi."

"Ke tempat biasa."

"Tapi, kan...."

"Ini hari penting buat gue."

"Lo pikir, pendidikan gak penting buat lo?"

"Lo tau jawabannya,"

"Gue kira lo udah berubah, tapi kayaknya gak akan pernah bisa berubah, ya?"

"Ya, inilah aku."

"Gue kecewa sama lo,"

"Tau ap--"

"Sekarang kita tanding basket, kalau Lo lupa, kapten."

Panggilan itu terputus secara sepihak oleh Key yang tak Ana tanggapi dengan melenggang meninggalkan rumahnya tanpa beban. Dia baru ingat hari ini masih sekolah, biarkan saja. Toh, sekolah bukan prioritasnya lagi, jadi untuk apa ia kembali ke sekolah? Dan jika basket, toh pelatih basket terbaiknya kini menunggunya.

Semilir angin pagi menerpa wajahnya dengan lembut. Jalanan tampak lenggang karena jam anak sekolah dan orang kantoran telah berakhir. Toko demi toko ia lewati sampai akhirnya ia berhenti di sebuah toko yang dipenuhi dengan corak-corak bunga, toko langganannya.

Denting lonceng menyambutnya ketika membuka pintu yang disambut dengan senyum ramah Vio dan hamparan bunga yang mampu membuatnya tersenyum.

"Ada yang bisa saya bantu, Na?" tanya Vio dengan ramah yang dibalas dengan senyuman oleh Ana.

"Seperti biasa, ya." Vio melangkahkan kakinya ke hamparan bunga baby breath. Bunga favorit seseorang yang tengah menunggunya kini. Vio berjalan mendekati Ana dengan sebuket bunga baby breath putih yang disambut Ana dengan riang. Ia memberikan sejumlah uang dan melanggang meninggalkan toko dengan Vio yang memandang punggungnya dengan lirih. Setitik air mata jatuh dari mata Vio menyaksikan Ana saat ini, ia membekap mulutnya untuk menahan tangisannya.

Tak berselang lama, Ana sampai ke tempat yang ingin dituju. Diambilnya buket bunga yang ia beli di toko Vio dengan penuh hati-hati dan berjalan dengan senyum manis yang terukir di bibirnya. Sampai ia bertemu seseorang yang akan ia temui.

Ana berlutut dan mengerahkan bunga itu kepada Radit, sang pelatih basket favoritnya. Tangisan Ana seketika pecah karena bayangan itu selalu menghiasi pikirannya. Ia dapat merasakan jika Radit kini tengah memeluknya dengan erat.

Continue Reading

You'll Also Like

14.3M 1.1M 68
[BAB MASIH LENGKAP] Kayla mengalami ketakutan paling besar yaitu hamil saat masih duduk di bangku SMA. Dan hidupnya seketika tak berarti ketika menge...
199K 11.6K 28
"Apa yang kau inginkan?" "Kau," "Huh?" "Yang aku inginkan adalah kau My Love Greysha," ******* Sejak awal Greysha tahu, ada yang aneh dengan Axel. Di...
3.3M 102K 11
"Menikah dengan saya, atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan anak kita lagi," desis Pandu tegas dan mengintimidasi. Bintang menatap Pandu dengan...
8.4M 673K 71
Kanesa Alfira hanya berencana berlibur usai resign dari Tano Group setelah bekerja selama 6 tahun. Memilih pulau Komodo sebagai destinasi liburan 2 m...