MAGNITUDO (Stagnasi #2) - Com...

By verbacrania

1.4M 221K 12.7K

Namanya Kemilau. Boros. Ceplas-ceplos. Ia hanya salah satu dari sekian gadis biasa di muka bumi ini yang ter... More

..sebakul kata..
..prolog..
..satu..
..dua..
..tiga..
..empat..
..enam..
..tujuh..
..delapan..
..sembilan..
..sepuluh..
..sebelas..
..dua belas..
..tiga belas..
..empat belas..
..lima belas..
..enam belas..
..tujuh belas..
..delapan belas..
..sembilan belas..
..dua puluh..
..dua puluh satu..
..dua puluh dua..
..dua puluh tiga..
..dua puluh empat..
..dua puluh lima..
..dua puluh enam..
..dua puluh tujuh..
..dua puluh delapan..
..dua puluh sembilan
..tiga puluh..
..tiga puluh satu..
..tiga puluh dua..
..tiga puluh tiga..
..tiga puluh empat..
..tiga puluh lima..
..tiga puluh enam..
..tiga puluh tujuh..
..tiga puluh delapan..
..tiga puluh sembilan..
..empat puluh..
..epilog..

..lima..

43.6K 5.4K 301
By verbacrania

Kemi: "Kalau lo lihat cewek lagi nangis ngamuk-ngamuk, itu bukan gue. Itu Anabelle!"


Gue selalu benci bandara.

Entah kenapa gue merasa bandara lebih sering menjadi tempat berpisahnya seseorang ketimbang pertemuan kembali. Gue percaya itu sejak menonton film Ada Apa dengan Cinta seri pertama—film demenan sohib gue si Saga, omong-omong dia masih sering menjadikan emak-emak beranak dua itu sebagai fantasi nganu-nganunya—ketika Cinta dan Sang Pujangga kepisah empat belas tahun lamanya. Bandara yang berperan menjadi jarak dalam hubungan mereka. Di seri berikutnya? Sama! Hampir aja bandara memisahkan mereka lagi gara-gara ketololan menyadari perasaan. Gue bilang tolol karena dari kok mau-maunya si Cinta ninggalin pacarnya yang udah mapan itu? Gue enggak bilang Rangga enggak berduit, ya. Secara di mata gue, lelaki berkemeja slimfit lebih menjamin masa depan. Terserah pendapat lo, gue enggak peduli.

Tapi bukan berarti cowok sales panci berpakaian rapi juga, kali.

Ah... gue melantur kan.

Ini gara-gara gue dipaksa melek jam empat subuh untuk mengejar penerbangan ke Bali. Fix lah otak gue ketinggalan di kamar mandi. Gue belum boker dan jadi macet gara-gara diterpa angin ac subuh-subuh dari mobil Saga.

Makanya gue jadi meriang. Dikit.

Anjir! Kok dia ada?

Meriang gue kayaknya naik ke level empat puluh derajat.

Kok ikut sih? Kemarin kan gue udah berdoa banyak-banyak biar makh—

"Arga sesubuh ini masih cakep juga, ya," celetuk Lanti.

"Menurut lo gue enggak?" tanya Saga retoris. Sohib gue itu baru masukin ponsel ke sakunya, paling juga habis dengerin curhatan Si Perfeksionis yang lagi kambuh gilanya. Nyamperin calon mertua sendirian ke Surabaya. Gue bisa tebak sih, paling juga ditolak.

"Kalau kamu kan udah sering lihat, Ga," jawab Lanti. "Cakep ya, Kem?"

"Enggak," tukas gue pendek.

"You're my girl, Kem. Cakepan gue ke mana-mana, ya?"

Gue enggan mengiyakan. Jadi gue pura-pura menyalakan ponsel gue charge semalam.

Ah... jantung gue rasanya mencelus.

Mama calling...

"Halo, Ma?"

[Kemilau, lagi di mana? Kok dari kemarin Mama telepon enggak bisa? Hape kamu rusak? Kamu enggak sakit, kan?]

Khas nyokap gue, kalau ngomong pertanyaannya bejibun.

"Di bandara, Ma."

[Ah... kamu pulang, Kem?] Suara nyokap gue benar-benar bersemangat.

"Eng... enggak, Ma. Ini mau ke Bali. Dinas," ucap gue. Enggak bakal gue bilang kalau ke Bali cuma main-main doang, yang ada gue pasti disuruh re-rute ke Solo.

[Padahal long weekend.] Suara nyokap gue memelan. Gue merem. Ada perih yang gue rasain tiba-tiba.

Kemudian terdengar keresak lagi. [Kemilau, Rania pulang lho, Nduk.] Gue melengos saat mendengar suara itu. Suara Bapak. Tepatnya bokap tiri gue.

"Aku enggak bisa pulang, Pak. Banyak kerjaan. Sudah dulu, ya," pamit gue. Tanpa menunggu jawaban, ponsel gue tutup dan langsung matikan.

"Kem," panggil Saga. Suaranya waspada. Gue melambaikan tangan. Kebetulan bersamaan dengan panggilan agar kami memasuki pesawat.

Gue benar-benar enggak mau merusak holiday ini dengan mengingat percakapan barusan.

[Magnitudo]

Semua orang kayaknya senang banget.

Bahkan seseibuk bernama Mona yang awalnya protes mulu soal gathering akhirnya juga ikutan gila. Yah... meskipun level kegilaan Mona dan Lanti paling banter sampai semprot-semprotan pake pistol air. Cemen banget.

Cuma gue sama Saga yang cocok dalam urusan ini. Tadi siang kami sudah mencoba berbagai macam tantangan. Dari flying fox, arung jeram, sampai yang paling ekstrem itu gue ikutan bungee jumping.

Sumpah... raga gue kayaknya lepas dari tempatnya.

Tapi, abisannya gue lega banget. Kayak baru ngelunasin hutang aja gimana. Meskipun abisannya cape, gue puas banget.

Itulah kenapa gue milih mojok di kursi bambu. Angkat kaki gue yang kedinginan sambil sayup-sayup dengerin teman-teman sekantor ngobrol. Gue... ngantuk banget, tapi ogah mendekam di kamar.

"Masih menikmati rasanya dibayari kantor?"

Mata gue membuka seketika.

Di hadapan gue, menjulang sosok yang seminggu lebih ini bener-bener gue hindari. King, biasa dengan alisnya yang berkerut itu, lho.

"Maksud Bapak apa?"

"Otak kamu masih bisa mencerna pertanyaan saya, kan?" Dia melempar tatapan meremehkan. "Atau—"

"Kalau mau ngoceh soal kekurangajaran saya kemarin, ngomong aja," sela gue.

Anjir... ni mulut minta ditabok. Kenapa ngomong gitu, Kemilau? Lo oon atau apa sih? Kalau King beneran membahasnya, yang paling duluan semaput pasti lo!

King berdeham dua kali. Sekilas gue lihat, sudut-sudut bibirnya ketarik.

"Hampir saja lupa. Tapi, iya. Kamu benar-benar beranggapan Pak Arven sejahat itu?"

Suara-suara di sekitar gue terasa semakin jauh. Sepertinya orang-orang sudah mulai beranjak ke cottage masing-masing.

"Saya sebenarnya enggak bermasuk ngomong begitu," kilah gue. "Tapi—"

"Tapi apa?"

"Ya... seharusnya Bapak enggak boleh dengar bagian itu, dong."

Gue bisa merasakan King terkekeh. "Seingat saya, saya enggak pernah nanya. Kamu yang nyerocos di depan saya."

Sumpah, gue keki. Banget!

"Ya... seharusnya Bapak tutup kuping!" sembur gue.

Anjing!

Gue bentak-bentak anak bos. Dan... untungnya King malah tertawa, hingga matanya segaris. Emangnya gue lucu?

Sudahlah, Kemi. Tutup mulut saja, daripada tambah runyam.

"Bagaimana caranya saya tutup kuping, sementara kamu berkhotbah dari jarak setengah meter? Kamu pikir saya tuli?"

"Tulikan saja telinga, Bapak!" bentak gue. "Atau langsung bilang kalau Bapak itu anaknya Pak Bos. Atau langsung berdiri menjauh."

Kemilau! Stop! Semua suara yang lo keluarin pas lo panik itu pasti beracun!

"Yakin kamu enggak ngejar saya dan tetap melanjutkan petuah kamu?" sindirnya lagi.

"Enggak. Kalau saya tahu Bapak itu anaknya Pak Bos, saya akan—"

"Bersikap pura-pura dan menjilat?"

Ini orang kok beneran bikin mulut gue susah mingkem banget, kenapa sih?

"Enggak kayak gitu. Setidaknya saya bakal lebih hati-hati," tutur gue. "Aslinya saya enggak sekurang ajar itu," dalih gue. Gue silangkan telunjuk di belakang punggung. Gue boong, gue tahu.

"Justru karena kamu enggak tahu dan main nyerocos saja, saya yakin kamu jujur."

Gue jujur sih, tapi itu gara-gara gue kesal. Hampir aja gue melontarkan kata maaf, tapi bersamaan dengan itu gue mendengar tawa ketiga sohib gue. Entah kelakar apa yang mereka omongkan. Bukan soal gue kan?

"Bukan jujur, sih. Penilaian saya subjektif, mungkin gara-gara saya kesal," aku gue.

King mengangguk-angguk. "Akhirnya saya paham."

"Apanya?"

"Emosi masih dangkal, pikiran masih labil begitu, mau naik jabatan?"

Heh!

"Ditambah lagi dengan enggak bisa menyimpan rahasia."

"Maksud lo apa?" Mata gue menyipit.

"Saya cuma berpikir, mungkin saya orang kesekian yang kamu ocehin tentang keburukan atasan kamu sendiri?" Lagi-lagi King mengangkat alisnya. Dia lima kali lebih menyebalkan.

"Saya benar, kan?" ulangnya.

Gue menolak menjawab. Sisi kepala gue beneran berdenyut kencang. Mata gue memanas. Gue gigit bibir gue kencang-kencang.

"Enggak bisa jawab?" tantangnya lagi. "Saya benar, kan?"

Gue menahan napas. "Terus? Lo mau ngadu? Sono! Bilang ke Bokap lo tentang apa yang gue omongin! Biar kelar sekalian! Biar gue dipecat sekalian! Puas lo?"

Anjir... Kem! Stop ngoceh, Kem! Stop! Lo bakal kehilangan penghas—

"Buat apa ngadu?" jawabnya santai. "Lalu, saya kehilangan tontonan menarik seperti seseorang yang bersembunyi di sudut, celingukan melihat sekitar baru berani melangkah, dan yang pertama kali lari saat berpapasan?" sindirnya tepat sasaran.

"Kampret!" desis gue.

"Kamu persis seperti maling kutang yang mengendap-ngendap di jemuran."

Di detik itu juga, gue menyerbu King danmenjambak-jambak rambutnya!    


Note:

Dari usulan cast kemarin, enggak ada yang bikin saya berpaling dari cast saya. Muahahaha... udahlah, kalau enggak setuju, bayangin masing-masing aja gimana. Gitu aja kok rempong. Wkwkwkwk..

Mari kenalan sama Kemi:

Ps. Si Neng lagi galau-galaunya, ketakutan dipanggil si Bos atau anaknya. Wahahaha

Continue Reading

You'll Also Like

198K 13.3K 21
Mama, Airin tahu, hidup kita harus terus berjalan meski semua tak sama lagi. Pertama karena dia, kedua karena Papa. Tapi Ma, Airin beruntung karena M...
108K 7.8K 55
Siapa sangka seseorang yang mampu membuatnya bahagia adalah seseorang yang tak mungkin ia gapai. Jika cinta itu tak mungkin bisa bersatu, mengapa Tuh...
1.8M 118K 22
[[CERITA DIPRIVASI]] "Kamu tahu nggak, Bhoo, selain sebagai buah, pisang berfungsi sebagai apa?" Aku cuma diam kayak orang bego. Tautan jariku semaki...
635 109 8
Pemenang 8 Days Challenge with Chicklit Indonesia. Aku bukan apa-apa, jika aku tidak bergerak maju. Aku juga bukan siapa-siapa jika aku tidak mencar...