..lima..

43.5K 5.4K 301
                                    

Kemi: "Kalau lo lihat cewek lagi nangis ngamuk-ngamuk, itu bukan gue. Itu Anabelle!"


Gue selalu benci bandara.

Entah kenapa gue merasa bandara lebih sering menjadi tempat berpisahnya seseorang ketimbang pertemuan kembali. Gue percaya itu sejak menonton film Ada Apa dengan Cinta seri pertama—film demenan sohib gue si Saga, omong-omong dia masih sering menjadikan emak-emak beranak dua itu sebagai fantasi nganu-nganunya—ketika Cinta dan Sang Pujangga kepisah empat belas tahun lamanya. Bandara yang berperan menjadi jarak dalam hubungan mereka. Di seri berikutnya? Sama! Hampir aja bandara memisahkan mereka lagi gara-gara ketololan menyadari perasaan. Gue bilang tolol karena dari kok mau-maunya si Cinta ninggalin pacarnya yang udah mapan itu? Gue enggak bilang Rangga enggak berduit, ya. Secara di mata gue, lelaki berkemeja slimfit lebih menjamin masa depan. Terserah pendapat lo, gue enggak peduli.

Tapi bukan berarti cowok sales panci berpakaian rapi juga, kali.

Ah... gue melantur kan.

Ini gara-gara gue dipaksa melek jam empat subuh untuk mengejar penerbangan ke Bali. Fix lah otak gue ketinggalan di kamar mandi. Gue belum boker dan jadi macet gara-gara diterpa angin ac subuh-subuh dari mobil Saga.

Makanya gue jadi meriang. Dikit.

Anjir! Kok dia ada?

Meriang gue kayaknya naik ke level empat puluh derajat.

Kok ikut sih? Kemarin kan gue udah berdoa banyak-banyak biar makh—

"Arga sesubuh ini masih cakep juga, ya," celetuk Lanti.

"Menurut lo gue enggak?" tanya Saga retoris. Sohib gue itu baru masukin ponsel ke sakunya, paling juga habis dengerin curhatan Si Perfeksionis yang lagi kambuh gilanya. Nyamperin calon mertua sendirian ke Surabaya. Gue bisa tebak sih, paling juga ditolak.

"Kalau kamu kan udah sering lihat, Ga," jawab Lanti. "Cakep ya, Kem?"

"Enggak," tukas gue pendek.

"You're my girl, Kem. Cakepan gue ke mana-mana, ya?"

Gue enggan mengiyakan. Jadi gue pura-pura menyalakan ponsel gue charge semalam.

Ah... jantung gue rasanya mencelus.

Mama calling...

"Halo, Ma?"

[Kemilau, lagi di mana? Kok dari kemarin Mama telepon enggak bisa? Hape kamu rusak? Kamu enggak sakit, kan?]

Khas nyokap gue, kalau ngomong pertanyaannya bejibun.

"Di bandara, Ma."

[Ah... kamu pulang, Kem?] Suara nyokap gue benar-benar bersemangat.

"Eng... enggak, Ma. Ini mau ke Bali. Dinas," ucap gue. Enggak bakal gue bilang kalau ke Bali cuma main-main doang, yang ada gue pasti disuruh re-rute ke Solo.

[Padahal long weekend.] Suara nyokap gue memelan. Gue merem. Ada perih yang gue rasain tiba-tiba.

Kemudian terdengar keresak lagi. [Kemilau, Rania pulang lho, Nduk.] Gue melengos saat mendengar suara itu. Suara Bapak. Tepatnya bokap tiri gue.

"Aku enggak bisa pulang, Pak. Banyak kerjaan. Sudah dulu, ya," pamit gue. Tanpa menunggu jawaban, ponsel gue tutup dan langsung matikan.

"Kem," panggil Saga. Suaranya waspada. Gue melambaikan tangan. Kebetulan bersamaan dengan panggilan agar kami memasuki pesawat.

MAGNITUDO (Stagnasi #2) - CompletedNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ