AUTHOR: Kho Ping Hoo (bag1)
TITLE: Pendekar Bodoh
Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon
cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan
warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis di dinding dan
bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih
dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu
luar dan berbunyi“Ban Hok Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”
Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah suara orang mengajar ilmu
membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca
liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan merupakan hal aneh lagi,
maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan
kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak
sabar.
“Tahu, tahu...” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di
empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”
“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)?? Tentu bukan kita, karena kau dan aku
bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang
berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan
perikemanusiaan, tahu?”
Suara anak itu menandakan bahwa ia masih sangat kecil, mana bisa ia
menikmati “makanan rohani” yang berat ini. Maka terdengar jawabannya
takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sian-seng.”
“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa
dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!”
Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi sedikit pun tidak terdengar pekik
kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang
anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah
pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.
“Nah, sekarang kausebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.
” “Ujar-ujar yang mana, Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali
ujar-ujar,” jawab murid itu.
“Ujar-ujar yang ke tiga.”
Sunyi sebentar, lalu terdengar suara anak itu lantang, “Janganlah kau
perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat
kepadamu!”
“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan
kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat
memasuki batok kepalamu yang keras itu.”
“Memang hak-seng paling suka kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak
itu yang tiba-tiba menjadi berani.
“Mengapa begitu?”
“Harap Sian-seng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu
baik dan betul?”
“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang
sedunia.”
“Kalau begitu, apakah Sian-seng suka kalau kutampar mukamu?”
“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”
“Sian-seng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah
itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”
Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu
tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di
luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.
Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang
mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana
datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar
sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil
melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu
kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama
To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat
ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh karena yang seorang tinggi kurus
bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya,
sedangkan yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke
sana-sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan
halus.
Hwesio gundul tinggi besar itu ketika melihat tiga tosu ini keluar dari
pintu kuil, tampak terkejut karena memang ia tidak menduga sama sekali akan
melihat mereka di situ. Sebaliknya, ketiga orang tosu itu ketika melihat hwesio,
juga kaget sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh loncat menghampiri.
Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga
telah melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak
(setombak kira-kira dua meter)!
“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu
jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas
tanah.
Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara
ketawanya ini aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar
merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat
jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil
itu menjadi terkejut. Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, maka
sambil membawa suling bambunya ia berlari keluar dan dari kamar itu. Gurunya
marah dan mengejarnya sambil berteriak,
“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada
Pamanmu!”
Karena dikejar-kejar, Cin Hai lari ke tempat yang rendah di pinggir kuil
lalu memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali seperti
orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng! Ternyata
Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di
sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan
bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!
Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar
pintu, tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang
hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Ia menjadi takut dan
buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil! Cin Hai kini duduk di atas genteng
dan memandang ke bawah. Juga ia heran sekali melihat tiga orang itu yang kini
siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar. Sementara itu, setelah tertawa
keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan
kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat
sambil berkata, “Ha, ha, ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu,
jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang
lalu di Heng-san! Apakah kaukira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga
Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha, ha, ha! Kalian maju bertiga baru
mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kautambah tiga belas lagi akan
kutewaskan semua, ha, ha!”
Kemudian hwesio gundul itu menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat
sekali. Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebet dan
gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja bergerak
menyerang ketiga lawannya!
Tapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama
disohorkan orang. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan
Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki
kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing. Giok Im Cu yang tertua
memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok
Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan memiliki tenaga gwakang (tenaga luar,
kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu
adalah ahli mempergunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di
samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.
Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu
berpencar dan menghadapi hwesio dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata
luar biasa, karena gerak-geriknya aneh seperti menari berlenggak-lenggok, sama
sekali bukan seperti gerakan silat, tapi kedua tangannya bagaikan dua ekor ular
yang hidup dan sepuluh jari tangannya pun hidup bergerak-gerak dan tiap jari
selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan
disebut Jian-coa-kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular
dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan
datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali! Baiknya ketiga tosu yang
menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di
puncak Heng-san hingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula keganasan ilmu silat
ini hingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak
kalah hebatnya.
Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran
dan gembira sekali. Memang ia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali
di kota diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia
selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biarpun
sudah dilarang. Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar tentu saja ia senang
sekali. Apalagi adu silat kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang
dilakukan di atas panggung. Ia melihat, betapa empat orang yang berkelahi itu
bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau
ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti oleh bayang-bayang
hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tak dapat membedakan
lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya
kadang-kadang saja, warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan
ternyata ia terkurung di tengah-tengah. Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan
dan menegangkan hati, apalagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu
dikeroyok tiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda
dengan segala pibu (adu kepandaian silat) maka dengan tak terasa pula saking
tegangnya Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup
suling.
Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang makin lama
makin terdesak oleh Jian-coa-kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut
sekali karena betul-betul kepandaian Si Gundul ini telah maju hebat dan jauh
bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu. Karena tahu bahwa jika
terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu
berseru keras,
“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”
Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu
mencabut ranting kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan di ikat
pinggangnya. Biarpun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam
tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang
lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang ia salurkan ke dalamnya. Kedua
kawannya lalu meniru perbuatan ini, Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan
sangat gesit itu lalu mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia
putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi
besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok)
lalu mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!
Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya
bagaikan serangan badai mengamuk.
“Ha, ha, ha! Hayo kalian keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan
kumampuskan seorang demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu
mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam
jubahnya hingga tidak kelihatan. Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti
sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok tapi kalau dilihat
dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang telah kering!
Biarpun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap,
bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang terjulur itu membuat ia
seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga berbahaya sekali karena
ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa
jahatnya. Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya hingga
kalau ia mainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam
itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah, sedangkan mulut bergigi ular itu
dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang penuh
di mulut ular itu yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat
menyeretnya ke lubang kuburan!
Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih
hebat karena kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang
bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap
dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk
dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan serem, tapi yang membuat
pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin
gembira lagi.
Hampir saja ia bersorak dan bertepuk tangan, tapi tiba-tiba kakinya yang
menginjak genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan
pindah duduk di tempat yang lebih rendah. Sementara itu, gurunya yang tadi
bersembunyi di balik pintu, ketika mencoba untuk menjenguk keluar dan
menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur
dengan senjata tajam, maka segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke
belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus
kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!
Biarpun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan
silatnya yang berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang
Seribu Ular) lihai dan berbahaya, namun menghadapi tiga macam permainan senjata
dari Kang-lam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga, gerakannya
mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.
“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil
pendek menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.
“Ha, ha ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku,
ha, ha!” Biarpun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa.
Kemudian terdengarlah bunyi melengking yang aneh dari mulutnya. Suara ini
menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.
Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini
terletak di atas tanah, lalu bergoyang-goyang dan tubuhnya terangkat naik
seperti ada apa-apa di dalamnya yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika
bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, terbukalah tutup
keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali!
Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar, lidahnya yang merah dan
tajam itu menusuk-nusuk keluar dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Sepasang
matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya. Kemudian ia
keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu
terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari
dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut hingga semua isi keranjang
yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.
Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang, terkejut sekali
melihat betapa lima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung
dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit,
sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu
berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa
gerakan-gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong
Hosiang!
Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan
sekali menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang
berada di depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang
menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga
batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang
ternyata gerakannya gesit sekali itu!
Biarpun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta
keberanian luar biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima
ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang
keadaan di bawah dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang
keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan
perasaannya tak enak sekali. Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh
menggigil, ketika mendengai bunyi lengking yang aneh itu, tak dapat menahan
keinginan hatinya untuk melihat. Biarpun masih menggigil ketakutan, ia
memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya
sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya. Jantungnya terasa
berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya
kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan
roboh pingsan bagaikan sehelai kain yang dilepaskan, sedangkan di bawah tubuhnya
tiba-tiba menjadi basah!
Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas
desakan bunyi lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka.
Sedikit demi sedikit kurungan mereka makin rapat dan ketiga tosu yang bergerak
di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin
sempit. Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata
mereka, tapi lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan tiap
serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal
diam, tapi juga menyerang dengan tak kurang hebatnya!
Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan
tertolong lagi. Tapi pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih
tinggi nadanya daripada bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh!
Mendengar bunyi lengking yang lain ini kelima ular itu agaknya menjadi bingung
sekali. Gerakan mereka kacau-balau dan mereka berlima mengangkat-angkat kepala
tinggi-tinggi seakan-akan tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka
mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat mendengar
“perintah” itu lebih nyata dan jelas lagi! Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang
lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua
tangannya untuk memperkuat perintahnya dan lengking yang keluar dari mulutnya
makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan
tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya
seekor yang terkecil kena sabet oleh ranting di tangan Giok Im Cu hingga
berkelojotan!
Sebenarnya apakah yang terjadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang
dengan enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya
meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama makin tak
tertahan mendenar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosian dan
suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk
hatinya. Maka ia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang sejak tadi
telah dimasukkan di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia
meniru-niru segala macam lagu yang didengarnya. Kini mendengar nada lengking
hwesio gundul yang aneh itu, ia mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya
pula. Tapi, biarpun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat
meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang
dan lebih menyakitkan telinga daripada suara Hai Kong Hosiang!
Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, makin tinggi nada yang
ditiupnya, makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara
yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras
bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah kegembiraannya bertambah karena ia
melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu
tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan
gerakannya.
Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal
meniup nada yang tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tidak mengira bahwa karena
perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah
menolong tiga orang itu.
Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang
nakal itu ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya,
padahal tadi ia telah merasa pasti sekali bahwa tak lama lagi ketiga tosu itu
tentu akan dapat ia robohkan. Sebaliknya, tiga orang tosu itu ketika melihat
betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya telah kacau, segera menggunakan
kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan
keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.
“Hai Kong, kau makin tua makin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji,
lalu ia mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin. Ia tahu bahwa biarpun
seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang
lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sukar dilawan.
Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa disengaja telah menolong jiwa
mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.
Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Ia tak mau
mengejar, karena sungguhpun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi
kalau dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya
ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu. Ia marah sekali
karena gagal membunuh tiga orang musuh lamanya bahkan seekor ularnya masih
berkelojotan kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung
ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.
Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya.
Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam
menyambar, Cin Hai sama sekali tidak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu
suling yang terpegang di tangannya dan sedang ditiup itu telah terbang bagaikan
direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah,
kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang
menuju arah kepala Cin Hai! Hai Kong Hosiang dengan muka merah karena gemas
telah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul seperti kepalanya
sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan
menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan
kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja mencong arahnya dan sebaliknya
menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!
Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran
menegur.
“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?” Dan
tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua berpakaian penuh
tambalan. Kakek ini tubuhnya sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku,
bajunya tambal-tambalan, kesemuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga
agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu
keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!
Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa
banyak cakap lagi ia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka
ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi
secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.
“Setan alas benar-benar! Tak seperti hari ini sialnya diriku. Gagal
membasmi Kang-lam Sam-lojin, bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya ia
tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya
aku melelahkan diri?”
Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu
berlaku murah padanya karena pada saat itu juga ia merasa betapa keranjang yang
dipanggulnya menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah
ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya.
Apa yang dilihatnya? Kelima ularnya telah mati semua dan di kepala kelima ular
itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah. Ia tahu bahwa ini adalah akibat
dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam
(jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.
Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang telah dipelihara dan
dididik bertahun-tahun sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua
tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio
gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu
melampiaskan rasa mendongkol dan marahnya.
Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia
berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”
Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang
berdiri di belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek
tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”
Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali
suara ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus.
“Eh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si
tua renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah
mendengar di luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari
keluar dan memanggil-manggil.
“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”
Tapi Cin Hai tak mempedulikannya bahkan lalu bertanya kepada kakek yang
menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”
“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.
“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.
“Cin Hai... Cin Hai...” terdengar gurunya memanggil lagi.
“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang
lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.
“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat ia menyelinap
lagi ke belakang daun pintu. Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek
jembel itu,
“Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat padaku.”
Bu Pun Su tertawa dan berkata,
“Kalau kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”
“Boleh, boleh, mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh
menghafal ujar-ujar yang sulit, dan membingungkan.”
“Lebih dari itu, anak bodoh. Kau harus tunduk dan taat padaku serta menurut
segala perintahku.”
Tiba-tiba Cin Hai merengut. “Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon
guruku juga! Lama-lama aku bisa percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”
“Ha, ha, memang kau bodoh. Bagaimana kau mau mentaati segala perintahku?”
“Tentu, tentu saja. Ada ujar-ujar yang berkata bahwa apapun juga kata guru,
murid harus taat dan menurut.”
“Nah, kalau begitu, kau loncatlah ke bawah!”
“Lo... lo... loncat ke bawah?” Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan
matanya yang bundar terbelalak. “Tapi, tapi... begini tinggi...”
Mata kakek jembel yang lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri.
“Ingat, apapun juga kata guru, murid harus...”
“Iya, dah! Aku loncat!!” kata Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan
mengayun tubuh ke bawah! Tapi ia tidak terbanting dan kakinya tidak patah-patah
sebagaimana yang ia khawatirkan, karena pada saat ia terjun, sebuah tangan yang
kuat telah memegang leher bajunya dan membawanya turun dengan ringan.
“Bagus, kau harus turuti segala perintahku. Kau pulanglah dengan gurumu itu
dan setahun kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!” Cin Hai
yang kini maklum akan kelihaian kakek jembel ini, mengangguk-anggukkan kepalanya
yang gundul! Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak
itu!
Cin Hai lalu mencari gurunya di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai
menjumbul karena kaget ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil
berteriak keras, “Sianseng!”
Melihat anak kecil itu, ia mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia
hendak menjiwir telinga Cin Hai, tapi anak itu mengangkat kedua lengan ke atas
melindungi telinganya sambil berkata,
“Sianseng, jangan kau berbuat sesuatu kepada lain orang apa yang kau
sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu
menjadi makin marah dan hendak menjatuhkan tamparan kepadanya, ia buru-buru
berkata lagi, “Sianseng, bukankah kau tadi mengajarkan
Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Mengapa Sianseng selalu memukul hakseng tanpa ingat
perikemanusiaan?”
Dihujani ujar-ujar yang sering ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru
menjadi bohwat (habis daya) dan tangan yang sudah diangkat naik itu diturunkan
kembali.
“Hayo kita lekas pulang, takut kalau siluman-siluman itu datang lagi” ia
lalu memegang lengan muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke
kota yang tak berapa jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu.
Anak kecil yang bernama Cin Hai itu adalah seorang anak yatim piatu.
Semenjak berusia empat tahun, ia telah ditinggal mati kedua orang tuanya dan ia
lalu dipelihara oleh ie-ienya (bibi adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari
Kwee In Liang, seorang pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di
Tiang- an. Karena ketika ditinggal mati kedua orang tuanya ia masih kecil
sekali, maka Cin Hai tak dapat ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan
tidak tahu pula bagaimana matinya.
Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) telah ditinggal mati oleh isterinya yang
pertama hingga ia kawin lagi dengan ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama
ia mempunyai enam orang anak, lima orang laki-laki dan seorang anak perempuan.
Anak laki-laki yang sulung berusia sepuluh tahun dan tiap tahun tambah seorang
anak hingga anak perempuan yang bungsu itu kini telah berusia lima tahun!
Mungkin karena setiap tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri
Kwee-ciangkun menjadi lemah dan jatuh sakit sampai matinya.
Kwee-ciangkun sangat memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata
bersifat manja dan nakal. Tapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang
anak-anak itu ditinggal mati ibunya ketika usia mereka masih belum dewasa.
Ketika itu Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee,
dan ia memang telah bekerja di situ semenjak masih kanak-kanak hingga dewasa.
Boleh dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun ketika kecilnya diasuh oleh gadis
ini sehingga mereka menjadi suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka, setelah ibu
anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang
manis dari gadis itu, Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.
Memang boleh dipuji tindakan panglima yang masih muda ini, karena
pilihannya memang tepat dan bijaksana, tidak semata-mata terdorong oleh nafsu
ingin senang sendiri, tapi sebagian besar didasarkan untuk kepentingan
anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio menjadi seorang isteri panglima dan
sekaligus menjadi ibu enam orang anak, seorang ibu yang baik karena di dalam
hatinya memang ia mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak yang semenjak
kecil diasuhnya itu.
Cuma sayangnya, anak-anak itu telah terlampau manja dan karena mereka pun
tahu bahwa ibunya yang sekarang ini bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu
berbeda dan kadang-kadang terasa sesuatu ganjalan yang tak menyenangkan. Apalagi
ketika Loan Nio mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin
Hai, maka sering terjadi hal-hal yang menyakiti hati Cin Hai dan Loan Nio,
sungguhpun kejadian-kejadian itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.
Kwee In Liang adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian
silat tinggi, karena ia adalah seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka
tidak heran bila ia mendidik kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping
mendidik mereka dalam ilmu surat. Ketika isterinya membawa Cin Hai ke dalam
gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun dengan tangan terbuka dan senang
hati, karena ia yang berhati baik juga merasa kasihan kepada Cin Hai. Melihat
bahwa Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya yang ke lima, maka ia lalu
sekalian menyuruh Cin Hai belajar sama-sama dengan putera-puteranya, di bawah
pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar silat, untuk tingkat permulaan
ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she Tan yang terkenal di kota itu.
Tapi ternyata bahwa Cin Hai menjadi korban dari segala ejekan dan
kebencian. Anak ini kepalanya sengaja digundul plontos karena dulu sering
mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula, mukanya yang membayangkan kebodohan
mungkin karena bingung dan banyak menangis ketika ditinggal mati oleh kedua
orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan semua orang. Kalau sedang belajar
bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, jika ia tidak menghafal dan tak
dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh bahkan si guru tak
segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul itu. Tapi kalau ia rajin
menghafal hingga pengertiannya melebihi kelima anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu
dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang di luar tahunya
orang-orang tua, ia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh kelima anak
laki-laki Kwee-ciangkun itu.
Juga guru silat she Tan yang mengajar mereka agaknya sengaja menghina Cin
Hai. Entah mengapa, mungkin karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari
dusun, atau karena hendak menyenangkan hati tuan-tuan muda yakni putera-putera
Kwee-ciangkun, atau memang ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin
Hai, tapi nyatanya ia tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai bahkan
seringkali ia menyuruh Cin Hai menghadapi Kwee Tiong putera tertua yang telah
berusia sepuluh tahun itu untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat
gebukan-gebukan dalam latihan itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga
dan kalah kepandaian!
Baiknya, sikap yang tahu diri dan agung dari Loan Nio yang telah menjadi
“nai-nai” (nyonya) itu membuat semua orang tak berani menghina Cin Hai secara
berterang di muka nyonya muda itu. Dan Loan Nio menjadi tempat Cin Hai
menumpahkan segala kesedihannya. Kalau ia sedang digoda atau dipukul, tak
sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari kedua matanya yang bundar, tapi
kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala yang gundul rebah di pangkuan
nyonya muda itu, barulah air mata membanjir keluar. Betapapun juga, tak pernah
satu kalipun ia mengadu kepada bibinya mengapa ia menangis, mengapa kepalanya
benjol-benjol dan mukanya biru-biru. Bibinya hanya menganggap bahwa lazim bagi
seorang anak laki-laki untuk kadang-kadang berkelahi sampai kepalanya benjol!
Dan ia mengira bahwa kesedihan anak itu karena teringat akan orang tuanya, maka
ia tak pernah bertanya karena tak mau menambah kesedihan anak itu.
Akan tetapi, tidak semua orang berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang
pelayan yang merasa kasihan melihat nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan
kepada Loan Nio tentang perlakuan guru itu kepada Cin Hai. Biarpun hatinya
sangat panas, tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak
menimbulkan ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar
silat lagi dan sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar
Cin Hai. Cita-citanya hanya agar supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai
yang dapat menempuh ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia sengaja menyewa
sebuah kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat itu
untuk tempat Cin Hai belajar.
Nyonya muda yang bijak mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu
bahwa Cin Hai memang tak begitu rajin belajar dan guru kurus kering ini pun
berlaku sewenang-wenang dan main ketok kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang
gundul plontos itu memang mempunyai daya penarik kepada orang untuk mengulurkan
tangan dan mengetoknya!
Kelima putera Kwee-ciangkun semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung
bernama Kwee Tiong, ke dua Kwee Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke
lima Kwee An. Sedangkan anak ke enam yang perempuan adalah seorang anak mungil
dan manis, bermuka bundar dengan mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin
dan biasa disebut Lin Lin. Karena hanya mempunyai seorang saja anak perempuan,
tak heran bila Kwee-ciangkun sangat cinta kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar
tahu orang lain, setelah Lin Lin berusia lima tahun, ia mulai menurunkan
kepandaian silat yang tinggi kepada anak perempuannya ini! Biarpun orang luar
tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak dapat
menyimpan rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya
merasa iri hati, tapi mereka tak berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa
sayangnya ayah mereka kepada anak yang bungsu lagi perempuan ini.
Guru Cin Hai yang kurus kering itu adalah seorang she Kui. Setelah
mengalami peristiwa aneh yang menyeramkan di luar kuil tempat ia mengajar itu,
ia lari ke gedung Kwee-ciangkun sambil menarik tangan muridnya bagaikan dikejar
setan. Ia tak mempedulikan celananya yang telah menjadi basah karena tak tahan
lagi saking kagetnya ketika melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat
ular-ular yang mengerikan itu.
Ketika memasuki pekarangan gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee
Tiong.
“Eh, Kui-sianseng, mengapa kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya
anak itu.
“Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)... celaka... ada... ada... siluman...”
jawab kakek kurus kering itu gagap.
Kwee Tiong terbelalak memandang. “Apa katamu? Siluman?”
Cin Hai memotong, “Ya, siluman menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...”
ia lalu menggunakan kedua tangan untuk menarik mata dan mulutnya sambil
mengeluarkan suara “hii... hii... hi...”
Kwee Tiong menggerakkan hidungnya ke atas mengejek, “Ah, betapapun
buruknya, kukira siluman itu tidak lebih buruk daripada mukamu!”
Cin Hai hanya tertawa ha-ha-hi-hi dan ia menurut saja ketika gurunya terus
menarik tangannya dibawa ke dalam gedung menghadap bibinya.
Tentu saja nona muda itu terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak
seperti biasanya, apalagi melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya
gemetar.
“Eh, Kui-sianseng, mengapa masih begini, siang sudah pulang? Apakah yang
terjadi? Cin Hai, apakah kau berlaku nakal tadi?” Cin Hai tersenyum kepada
bibinya dan menggelengkan kepala.
“Maaf... saya... saya tidak sanggup mengajar di kuil itu... ada...
siluman...” Kui-sianseng itu masih saja gugup, bingung dan takut.
“Sabarlah, Kui-sianseng, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”
Dengan suara terputus-putus, sasterawan tua kurus kering itu lalu
menceritakan segala peristiwa yang dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu
yang timbul dari khayalan pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin
Hai tertawa geli.
Akhirnya tanpa dapat ditahan lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan
filsafat semua nabi tapi yang satu pun tak pernah terbukti dalam segala
perbuatannya itu lalu berpamit dan minta berhenti, kemudian pergi dari situ.
Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin Hai bersorak karena girang hati
bahwa akhirnya ia terlepas jua dari siksaan dan godaan guru she Kui yang memaksa
ia “makan” segala ujar-ujar di dalam buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!
Nyonya muda itu menghela napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk?
Agaknya tidak ada seorang guru yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau
akan menjadi apakah kelak? Biarlah, mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu
membaca dan menulis, tapi pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak.
Apakah terpaksa aku harus memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”
Cin Hai menggunakan tangan kiri untuk menutup mulutnya agar tidak tertawa
geli. Ia belajar menyulam? Tapi ia menjawab,
“Ie-ie, kalau memang kauanggap perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan
menyulam.”
Bibinya melerok. “Anak tolol, masak anak lelaki belajar menyulam?”
“Ie-ie, mengapa semua orang menyebutku bodoh dan tolol, bahkan ie-ie
sendiri juga menyebutku tolol? Apakah benar-benar aku tolol? Ah... tentu saja
aku bodoh dan tolol, kalau tidak masak semua guru membenciku.” Bibinya menjadi
terharu dan menariknya dekat-dekat.
“Tidak, Cin Hai, kau tidak bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.”
Nyonya muda yang murah hati itu mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul
plontos.
“Itulah sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat
dan meniup suling.”
“Anak tolol...”
Cin Hai mengangkat telunjuk ke atas.
“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”
“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus
belajar ilmu surat agar kelak menjadi seorang pandai yang memegang jabatan
penting dan menjadi seorang pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku
kelak bila kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di
sini suara nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia
terisak.
Cin Hai memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku
akan belajar ilmu membaca dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku
teringat bahwa sulingku telah lenyap dan aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan
sebelah utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat
dibuat suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”
“Baru saja datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thiomu sewaktu-waktu
bertanya tentang kau?”
“Kalau le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beritahukan saja, ie-ie, dan
lagi, untuk apa le-thio menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”
“Kau suka benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ienya.
“Ie-ie, suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak
menyatakan segala perasaan hatiku, aku nyatakan kepada seorang kawan baikku,
sedangkan aku tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi
selain suling bambu yang dapat kutiup-tiup sesuka hatiku...”
Nyonya muda itu menghela napas dan menggunakan saputangan untuk menahan air
matanya. “Pergilah, Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.
”
Cin Hai dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.
“Engko Hai. Kau mau ke mana?” tiba-tiba terdengar suara halus menegur dari
sebelah kiri dan seorang anak perempuan muncul dengan rambutnya yang di kuncir
bergantungan di kanan-kiri lehernya.
“Eh, Lin Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, setelah bertemu dengan para
siluman dan setan itu, aku menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”
Anak perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tapi matanya yang
lebar terbelalak, tanda bahwa ia tertarik sekali.
“Apa? Kau tadi melihat siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu
sekali.
“Ah, nanti saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”
“Engko Hai, kau mau ke manakah?”
“Mau ke hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”
“Aneh benar, itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari
jauh-jauh?”
“Ah, kau tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”
“Engko Hai, aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”
“Jangan!”
“Aku mau! Aku tidak minta kaugendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak
perempuan itu berkeras hingga dengan muka “apa boleh buat”, Cin Hai lalu
bertindak keluar, diikuti oleh Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan
topi kakeknya dan memakainya hingga dari belakang dan dari jauh ia kelihatan
seperti seorang laki-laki. Memang anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan
bebas hingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.
Kedua anak itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat
menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu mengarah ke utara, menuju ke luar kota di
mana terdapat sebuah hutan besar juga. Di sepanjang jalan Cin Hai bercerita
tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan betapa dengan suara
sulingnya ia mengusir semua ular siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya dan
menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan
matanya yang bagus itu setengah percaya dan kagum!
Memang di antara anak-ahak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci kepada Cin
Hai hanya Lin Lin seorang. Ini bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena
kalau mereka berdua dekat, sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau
sendiri, tapi tidak sampai saling pukul atau saling membenci. Lin Lin memang
sejak kecil telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta mempunyai
perangai yang halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu
silat hingga pada saat itu biarpun usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah
mempelajari dasar-dasar ilmu silat.
“Engko Hai, itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke
sana!”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga,
“Boleh, hayo kita mulai. Satu… dua... ti...ga!” Dan larilah ia secepatnya untuk
mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin jauh-jauh agar ia dapat sampai
di hutan lebih dulu dan menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!
Tidak tahunya ketika ia menengok, ternyata Lin Lin telah lari di
sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat
ia heran adalah kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar
dan tinggi! Kini Lin Lin telah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok
sambil tersenyum manis tapi yang menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya
senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan gigi dan mempercepat larinya hingga
benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan mereka lari berendeng.
Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu bukanlah
dekat, tidak kurang dari setengah li jauhnya hingga ketika mereka tiba di hutan
dengan berbareng Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia
terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya
mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja! Ini tidak
mengherankan, karena anak perempuan itu sejak kecil telah dilatih oleh
Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya
sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya
tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tidak pernah diberi latihan
dasar pelajaran silat.
Biarpun merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai
terhindar dari rasa malu karena mereka tiba di hutan berbareng.
“Tidak kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya
pulih kembali.
Lin Lin tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.
“Di mana tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil
memandang ke sekelilingnya takut-takut karena di hutan itu memang besar dan agak
gelap karena matahari telah mulai turun.
“Di sebelah kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.
Betul saja, tidak jauh dari situ terdapat rumpun bambu kuning gading yang
bagus dan kecil-kecil serta lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat
bahwa ia tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus
mengambil itu? Sementara itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan
makin gelap hingga mereka menjadi cemas dan menyangka bahwa senja telah tiba.
Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan memegang batang bambu yang
diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.
Tapi sia-sia saja, karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula.
Jangankan tenaga seorang kanak-kanak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa
sekalipun belum tentu akan dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya.
Betapapun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba
dan mencoba lagi sampai akhirnya ia berteriak kesakitan karena tangannya penuh
bulu bambu yang gatal!
“Biarkan aku mencobanya,” kata Lin Lin. Ia ingat ketika ayahnya pernah
memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang dan ayahnya
pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon hingga
pohon itu jebol berikut akar-akarnya.
Karena tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin
mencoba. Ia menyangka bahwa anak perempuan itu tentu akar mencoba untuk mencabut
seperti yang dilakukannya tadi, maka ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin
Lin, banyak bulu-bulu gatal!”
Tapi alangkah herannya ketika Lit Lin tidak mencabut, tapi memasang
kuda-kuda, lalu dengan berseru, “Haih!” anak itu menggunakan kaki kanan menyapu
sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua helai daunnya rontok, tapi
batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak
itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.
Tiba-tiba terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui,
di belakang mereka telah berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah
buruk sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan
pipinya telah kisut berkerut-kerut dan mata sebelah kanan buta. Tokouw itu
pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan di tangan kanannya terdapat
sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di
punggungnya tampak gagang sebilah pedang.
Lin Lin dan Cin Hai terkejut melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan
Lin Lin merasa agak takut.
“Bagus, anak yang manis. Siapakah yang mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan
Menyapu Ribuan Tiang itu tadi?”
Biarpun agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”
“Bagus! Sekarang kaulihat ini!” Tokouw itu menggerakkan hudtim yang
dipegangnya hingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa lembar itu, yaitu bulu
yang terpanjang membelit beberapa batang bambu.
“Naik!” Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang
lebih lima belas batang bambu itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut
akar-akarnya. Tokouw itu mengerakkan hudtimnya lagi dan rumpun bambu itu
bagaikan dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali terlempar beberapa tombak
jauhnya lalu roboh ke arah lain hingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!
Lin Lin melongo, dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tak dapat ditahan
lagi bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Bagus!” Ia tidak saja girang
menyaksikan kehebatan tenaga ini, tapi juga girang karena bambu yang dikehendaki
telah berada di situ, tinggal ambil saja!
“Nah, anak baik, sekarang kauturutlah padaku dan menjadi muridku!”
“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur
ketakutan.
Tokouw itu mengedikkan kepalanya dan mukanya yang buruk itu makin tampak
mengerikan.
“Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan memohon-mohon di
depanku untuk minta menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu saja!”
Lin Lin sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa
rambut tokouw itu dikuncir panjang dan membelit-belit di lehernya bagaikan
seekor ular yang menambah keburukan rupanya, anak itu melangkah mundur dan
berkata lagi.
“Tidak, aku tidak mau...!”
Tapi tokouw itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi.
“Kau berjodoh dengan aku, betapapun juga kau harus menjadi muridku!” dan ia
bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.
Tapi pada saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih,
tidak tahu malu, orang tidak sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”
Tokouw itu menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam,
tapi mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga tapi tak berjodoh
dengan aku.”
Lin Lin yang merasa ketakutan hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan
ketika tokouw itu mendekat dan mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang
kecil lalu memukul tangan itu. Biarpun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia
telah terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik.
Tokouw buruk rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik...
kau mau main-main? Boleh coba kau serang terus padaku agar kuketahui sampai di
mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari
pukulan-pukulan Lin Lin.
Tiba-tiba Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau menggangu orang saja,
apakah itu baik?” Ia lalu menyerang, tapi karena Cin Hai belum pernah belajar
silat dengan baik, pukulannya ngawur dan sekenanya saja! Melihat kenekatan Cin
Hai, tokouw itu lalu menangkap tangan anak itu, tapi tiba-tiba tokouw itu
meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu
telah menggunakan giginya menggigit tangan itu! Dengan gerakan perlahan tokouw
itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulang-tulang
punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya
tokouw itu hanya ingin melampiaskan kemendongkolan hatinya saja dan tidak
membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit di luar saja. Tapi
dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil maju
terpincang-pincang ia menyerang lagi!
Untuk kedua kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel
pundaknya oleh jari telunjuk tokouw itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang
sejak tadi dan selalu memukul dan menendang angin, telah mulai lelah dan
berpeluh.
Kebetulan sekali pada saat itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan)
lewat di situ, hendak kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalan. Ia kaget
dan heran sekali melihat betapa Lin Lin menyerang seorang tokouw yang bermuka
seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.
“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera
menghadapinya. “Kau seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”
Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak
membawa anak perempuan ini untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.
Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”
“Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal
kepada pinni? Sungguh aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”
Tan-kawsu makin terkejut karena ia teringat akan seorang pertapa wanita
yang disebut Biauw Suthai dan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan,
“ah, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”
“Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu
senang.
Tan-kauwsu tak berani berkata kasar lagi dan setelah menjura, ia berkata,
“Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte
adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja
saya tidak merasa keberatan bila Siankouw sudi memungut ia sebagai murid, akan
tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya
persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”
“Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Kalau
kita menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak
rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan rundingan dengan segala ciangkun?
Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”
“Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”
“Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”
“Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”
TOKOUW yang buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh
ejekan. Melihat sikap pendeta perempuan itu Tan-kauwsu lalu mencabut pedangnya.
Suara ketawa Biauw Suthai makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan
Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru
silat itu! Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi,
maka ia tidak berani berlaku sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat
membalas serangan, ternyata ujung kebutan tokauw itu telah menyambar kembali dan
telah mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu
mengarah jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.
Tan-kauwsu lalu menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, tapi
tiba-tiba hudtim itu bagaikan bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan
sekali tokouw itu menggerakkan tangannya, pedangnya telah terampas tanpa ia
dapat bertahan pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim telah
menyambar pundaknya. Tan-kauwsu merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan karena
urat darahnya tersentuh hingga tidak ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak
bertenaga.
Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu telah lenyap, begitupun
Lin Lin telah hilang pula! Biarpun merasa benci kepada tokouw berwajah buruk
itu, tapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja guru silat Tan Hok itu
jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas sekali. Ia memang
sangat benci kepada guru silat ini yang tak pernah mengajar silat kepadanya,
sebaliknya seringkali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia
sering dipukul matang biru. Maka untuk menyatakan kepuasan hatinya, ia
tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.
“Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”
Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa makin gemas dan mendongkol
sekali. Segala perasaan ini dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi
kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.
“Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kauajak Nona Lin
Lin? Tahukah kau bahwa kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali?
Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu
pasti akan diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”
“Bukan aku yang membawa Lin Lin, tapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut.
Aku hendak mencari bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah
itu?”
“Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”
“Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tapi engkau adalah guru
silat yang katanya memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau biarkan saja Lin Lin
diculik olehnya? Mengapa baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”
Baru saja bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang
gundul itu ditempeleng hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa
berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan
tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya,
sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.
Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan
segala rasa sakit di tubuhnya. Ia cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak
sedangkan sepasang matanya memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jerih.
“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” kata Tan
Hok uring-uringan.
“Tan-suhu memang beraninya hanya kepada anak kecil yang tak berdaya.
Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kauperlihatkan ketika menghadapi Biauw
Suthai tadi, hingga Lin Lin tidak sampai terculik.”
“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu melangkah maju dengan
sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.
“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati, sayang Bibiku tak melihat
kelakuanmu ini.”
Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi
kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas
untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil
membentak,
“Hayo pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin
Lin dengan mati-matian. Harus kau terangkan duduknya perkara yang sebenarnya di
hadapan Kwee-ciangkun!”
Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok
menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari
cepat!
Alangkah kaget dan marahnya Kwee In Liang mendengar laporan Tan Hok.
Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,
“Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tetapi
ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas
dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin
telah dibawa pergi cepat sekali.”
Karena marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di depannya sambil
membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kauajak Lin Lin ke hutan tanpa
memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”
Cin Hai merasa hatinya tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali
terhadapnya, tak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu
atau mengajaknya bicara. Sekarang ie-thionya membentak dan memakinya, sungguh
menyakitkan hati.
“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang.
Biarlah aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat...” Hampir saja Cin Hai
mengeluarkan air mata karena kepiluan hatinya. Ia meraba-raba kepala gundulnya
yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.
Melihat betapa kepala anak itu merah dan bibirnya pecah-pecah, berkuranglah
kemarahan Kwee In Liang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”
Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu
mengadu, cepat berkata,
“Kalau tidak hamba lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan
mendapat celaka pula.”
Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.
“Ya, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang
lihai ini telah terampas pedangnya dan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung
kebutan tokouw siluman itu!”
“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.
“Memang dia lihai sekali, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku
dengan muka merah karena malu dan kebenciannya terhadap Cin Hai bertambah.
Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin, yang
diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlari keluar dan sambil
menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta
sekali kepada Lin Lin dan menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita
ini benar-benar menghancurkan hatinya.
“Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak
Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, engkau tidak menyatakan
hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.
“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan
mengajak Lin Lin, tapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan
bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa hendak mencari bambu kuning di hutan
dan ia memaksa hendak ikut.”
Sementara itu, Tan Hok melihat bahwa nyonya muda itu keluar, segera
mengundurkan diri. Kwee In Liang lalu memerintahkan para pengawalnya untuk
mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam
hutan.
Biarpun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak menceritakan tentang
perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tidak suka
mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada
sendiri saja. Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud : Balaslah kebaikan
dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang
adil kalau ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan halnya kepada
ie-ie atau ie-thionya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati,
maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu
kelak akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu. Hatinya
telah merupakan buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan
buruk yang dijatuhkan orang kepadanya dan yang ia anggap sudah menjadi
kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat
maupun yang baik.
Ketika Ie-thionya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya
itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya menangisi nasib
Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di
kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu menghilangi bulu-bulu bambu dan
mencabut daun dan cabang-cabangnya.
Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu. “Nah, itu dia Si
Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata. Yang masuk adalah lima orang
anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajah nya dan
indah-indah pakaiannya. Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke
dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke
empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee An berusia enam
tahun. Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul,
karena selain Kwee An mempunyai perangai yang baik dan halus, juga mereka ini
sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul
atau memaki Cin Hai.
Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya
ikut Cin Hai ke hutan, marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih kehilangan
adiknya, juga marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang
diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya! Kwee Tiong
lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai
di situ dengan tali tadi.
Cin Hai tak dapat melawan karena ia sudah lelah sekali bahkan tubuhnya
masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan
Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, ia sama
sekali tidak melawan, walaupun andaikata ia melawan juga takkan berguna.
“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara lenyapnya Lin Lin!”
Kwee Tiong membentak.
“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandangan Kwee Tiong
dengan berani.
“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang
gundul itu.
“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.
Kelima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng
kepala Cin Hai yang gundut, tetapi biarpun merasa kesakitan dan kepalanya
pening, anak ini tetap berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”
Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya makin
parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.
“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala
hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita ikat Cin Hai dan memukulinya
tanpa ia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani
seperti yang dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini
tentu kita mendapat marah.”
“Eh, pengecut, apakah kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah
kepada adiknya.
“Bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru
mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini telah
banyak mempunyai kegagahan dari pada kamu berempat yang terhadap seorang anak
lebih kecil saja melakukan pengeroyokan secara pengecut.”
“Plok!!” tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir
yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya
terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.
“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah
secara ujur. Lepaskan dia lebih dulu dan berkelahi dengan adil!” Kwee An berkata
marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan
Cin Hai.
“Baik, baik! Kaubukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata
Kwee Tiong gembira. Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tak bertenaga maka
biarpun ia sudah dilepaskan dari ikatan, tetap saja ia tak berdaya. Sebaliknya,
Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki
kepandaian silat yang sudah lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang
kepalan dan tendangan kakinya. Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi
anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong
tepat mengenai lambungnya hingga ia tersungkur lagi.
“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang
menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!” Sambil
menunggangi tubuh Cin Hai di punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada
seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu
meramkan mata dan menggunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tak
dapat memukul, tapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap. Karena kebingungan
dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi
nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya
tertelungkup itu sehingga menjadi miring.
Tangan kanannya menyerang ke depan dan mencengkeram dan seketika itu juga
terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat
mencengkeram anggauta rahasia Kwee Tiong.
Mendengar jerit ini baru Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat.
Alangkah senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul
niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggauta tubuh yang dicengkeramnya
itu agar anak jahat yang telah cukup banyak menghina dan cukup sering
menyiksanya itu mampus seketika itu juga. Tetapi, entah mengapa, di dalam
pikirannya yang sudah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang
dipelajarinya. Betapa hebatnya Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, tetapi
anak itu tidak sampai membunuhnya, kalau sekarang ia membalas dengan membunuh,
itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi
yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya hanya untuk
melampiaskan marah dan memuaskan perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba
cengkeraman tangannya mengendur.
Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia
mengeluarkan kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...” tetapi
yang agaknya tidak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin
Hai mengendur, kesempatan ini tak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera
merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.
“Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong
memaki-maki sambil gunakan kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai. Tapi
anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.
“Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat
berlutut.
“Hahh?? Mati...??” Kwee Tiong terkejut sekali dan wajahnya berubah pucat
seketika itu juga. Juga adik-adiknya yang tadi ikut memaki-maki menjadi terkejut
sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa tubuh Cin
Hai.
Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja tetapi karena banyak mengeluarkan
darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat. Pada
saat itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena
yang datang bukan lain ialah Loan Nio bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan
Nio menyangka bahwa kemenakannya itu telah mati, maka ia berteriak kaget. Dua
orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar,
sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.
“An-ji, coba kauceritakan, apakah yang telah terjadi tadi?” Loan Nio atau
Kwee-hujin itu sengaja bertanya kepada Kwee An, karena dia yang telah mengenal
perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia
percaya.
“Cin Hai telah berkelahi dengan Eng-ko Tiong,” kata Kwee An terus terang,
lalu ia menceritakan tentang sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah
sekali karena menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin
Lin.
Loan Nio menghela napas, lalu berkata dengan suara keren, “Anak-anak,
memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan
tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin
Hai sudah cukup terhukum apalagi kalau diingat bahwa dia biarpun kecil juga
telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya
dapat memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu,
sekarang kalian tambahi kepusingan orang-orang tua dengan
perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”
Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu.
Wajahnya muram dan tampak lelah sekali.
“Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.
Kwee-ciangkun menggeleng-geleng kepala dan menghela napas, nampaknya susah
sekali. Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang
ketakutan.
“Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar
dan belajar?”
Terpaksa Loan Nio yang tak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia
baru saja menegur mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak
itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang makin muram mendengar ini, lalu ia
membentak mereka supaya pergi ke kamar masing-masing. Melihat kemarahan dan
kesedihan suaminya, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya. Tetapi ayah
yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi
mukanya dan berkali-kali menghela napas.
“Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang
wanita gagah dan tokoh yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak
mempunyai maksud buruk. Barangkali dia memang benar-benar suka kepada Lin Lin
dan hanya bermaksud menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya kepada
anak kita.” Kwee hujin menghibur.
Setelah menghela napas berulang-ulang Kwee In Liang hanya menjawab
perlahan, “Mudah-mudahan begitu. Karena kalau sampai siluman wanita itu berani
mengganggu selembar rambut saja dari anakku, harus ia ganti dengan selembar
jiwanya!” Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi dan mengepal-ngepal
tinju tangannya, sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar mengancam.
Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak suaminya yang bersedih itu
masuk ke dalam gedung karena di luar telah mulai gelap. Malam itu keadaan di
gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara
anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang
mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi
tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.
Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke
langit-langit kamar dan pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa
sakit, tapi hatinya telah terhibur karena tadi bibinya datang dan menghiburnya,
serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan, bahkan dengan kedua
tangannya sendiri bibi yang baik itu membaluri seluruh tubuhnya yang
bengkak-bengkak dan matang biru dengan minyak gosok.
Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa
terharu dan diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya.
“Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.
Tangan bibinya yang menggosok-gosok puggungnya itu tiba-tiba menggigil dan
untuk sesaat berhenti menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa
kau berkali-kali tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa
kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”
“Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam
orang tuaku.”
”Aku tidak tahu, Cin Hai.”
“Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”
“Sudah berapa kali kukatakan, bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah,
jangan kau mendesak terus. Kau harus mengaso, aku akan kembali ke kamar,
ie-thiomu masih sangat bersedih.” Nyonya muda itu lalu mengelus-elus kepala
kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum melangkah ke luar
pintu, Cin Hai menegur,
“Ie-ie yang baik!” Nyonya muda itu berhenti lalu menengok dan Cin Hai
melihat betapa Ie-ienya telah mengalirkan air mata!
“Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”
“Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”
“She... Kwee...? Ah, tak mungkin... ah, mengapa kau membohongi Ie-ie yang
baik? Aku bukan she Kwee...”
Tapi Ie-ienya telah melangkah keluar dari pintu dan Cin I Hai mendengar
suara sandal bibinya itu makin menjauhi kamarnya.
Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai tak dapat
meramkan matanya. Bibinya telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa ia
she Kwee! Juga bibinya telah membohong ketika bilang bahwa ia tidak mengetahui
makam kedua orang tuanya.
Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara
tentang hal kedua orang tuanya, selalu nyonya muda itu tiba-tiba menjadi sedih
dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang
tuaku, aku harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.
Cin Hai turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya
dan mendesak keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan
sepatu agar tindakan kakinya tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau
membangunkan orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba dekat kamar bibinya
tiba-tiba ia mendengar suara bibinya terisak menangis dan suara pamannya yang
besar itu seakan-akan sedang memarahi bibinya, Cin Hai bergerak hati-hati sekali
ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia
mendekati jendela dan mengintai.
Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan sambil menutup muka dengan
selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.
“Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus
dosa itu dan semua dihukum penggal leher. Sekarang janganlah kauikut-ikutkan
anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.
“Kaukira aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku
memperbolehkan anak pemberontak itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun?
Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu telah dihukum mati berikut semua
keluarganya, dan aku sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”
“Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata
Loan Nio.
“Apa salahnya? Bukanklah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she
Sie itu yang tiada hubungan apa-apa dengan aku, biarpun andaikata adikku sendiri
yang menjadi pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang
gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang tiap
hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh
menerima hasil saja tanpa memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia
dihukum, tetapi perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan
dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong kesedihan
hatinya kehilangan Lin Lin.
Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan elahan napas Kwee In Liang,
kemudian terdengar nyonya muda itu berkata agak sabar,
“Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini,
Cin Hai yang malang... kau berlakulah murah hati sekali.”
“Istriku, betapapun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih
sayang Cin Hai daripada suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan
dia dengan orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin Lin hilang... (sampai di sini
suaranya sember dan sedih)... aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapapun
juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini
takkan pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak
baik kiranya kalau anak itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan
tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah kepada
keluarga lain...”
Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun
bagaikan hujan membasahi kedua pipinya.
Orang tuanya, semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah
hebatnya! Ayahnya yang she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah
pemberontak? Perasaannya yang terasa perih itu makin hancur mendengar betapa
bibinya sampai bertengkar dengan Ie-thionya karena dia! Pula, hatinya sakit
sekali mendengar betapa ie-thionya membencinya karena hilangnya Lin Lin dan
ie-thionya telah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!
Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan
angkuh di dalam kepalanya yang gundul. Orang tak menghendaki dia di situ, untuk
apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar
diperkenankan tinggal terus di situ. Ia harus pergi karena ia bukan keluarga
Kwee! Hanya ie-ienyalah yang menahan ia berada di tempat itu selama ini karena
ia amat mencinta ie-ienya yang berbudi baik itu.
Dengan pikiran kacau balau, Cin Hai lalu pergi dari situ dan dengan
hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat dari gedung keluarga Kwee. Ia
benci sekali kepada Kwee In Liang, karena dari mulut pamannya itu sendiri ia
mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri. Ia
memasuki kamarnya dan mengambil semua-pakaiannya lalu dibuntal, tetapi tiba-tiba
ia teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian
yang dipakai adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian
kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh
keluarga Sie. Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua
pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Ia
takkan membawa pakaian pemberian pamannya. Lalu ia teringat akan pakaiannya
sendiri, yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti
pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan
semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar. Tetapi dari mana
ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin
Hai yang gundul dan telanjang itu lalu berlari ke belakang dan memasuki kebun.
Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi
dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang
ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah
saja ia dapat memanjat dinding menggunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan
yang terdapat pada beberapa bagian dinding.
“He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa lagi?”
Itu adalah suara Tan-kauwsu! Cin Hai terkejut sekali dan ia memegang
sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak membawa bekal
apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak
ia lupakan. Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai
dengan bertelanjang bulat berada di atas dinding, ia merasa heran sekali dan
untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah gilakah anak ini?
Demikian ia berpikir, kemudian timbul maksudnya hendak menangkap dan
menyerahkannya kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan
juga bibinya merasa malu!
“Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.
Tapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Ia
meloncat di sebelah luar dan untung sekali ia jatuh ke dalam semak-semak hingga
kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet.
Ia lalu berdiri dan lari dalam malam gelap secepat mungkin. Tan Hok, guru silat
yang membenci Cin Hai itu menjadi penagaran dan marah. Sekali loncat saja ia
sudah berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak
melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki. Tiba-tiba ia mendengar
suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu
tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya
yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga
terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat turun dari tembok dan mengejar
ke arah suara itu sambil memaki,
“Anak totol, apakah kau sudah gila?”
Cin Hai makin takut dan ia berdiri lagi lalu memaksa kakinya yang terasa
sakit karena jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah
malam hingga keadaan gelap sekali. Tetapi dari suara kaki Cin Hai yang
berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan
yang sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tak mungkin dapat berlari cepat, takut
kalau-kalau ia akan menabrak pohon atau terjeblos dalam tanah berlubang.
Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini
dan ia lari sekerasnya. Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya agar dapat
menghindarkan diri dari tangan guru silat yang jahat dan yang pasti akan
membawanya kembali ke tempat yang tak disukainya itu. Oleh karena berlari dengan
nekad membuta ini, tiba-tiba ia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali
tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya
mendengarnya.
Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke
dalam tanah lumpur yang lembek berair. Setelah berpikir-pikir sejenak dapatlah
ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa digunakan
oleh para penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di
situ. Anehnya, kalau tadi ia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang
meniup-niup tubuhnya, kini setelah masuk ke dalam lumpur itu, ia merasa hangat!
Agaknya seperti ada hawa yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.
Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar
suara makian guru silat yang masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi
gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan guru silat itu pasti ia akan
menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang
gundul itu, mencari akal.
Tan Hok si guru silat merasa mendongkol sekali. Biarpun ia lari tidak
cepat, tetapi telah dua kali ia menabrak pohon hingga tabrakan yang ke dua kali
membuat hidungnya berdarah! Ia tidak menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang
itu, tetapi menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada
Cin Hai.
“Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram! Kalau kau sampai terpegang
olehku, tentu akan kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju
terus, tetapi kini dengan kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk
pada pohon lagi.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia
mendengar jelas betapa napas anak itu terengah-engah dan beberapa kali
mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.
“Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana sekarang?” bentaknya dan ia
mempercepat larinya, karena ia pun mendengar suara kaki anak itu berlari makin
cepat. Ia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak
tiba-tiba ia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu jatuh
terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya ia jatuh telungkup hingga mukannya
penuh tertutup lumpur.
“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat
itu. Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri
di seberang kolam lumpur, lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan
suara napas terengah-engah. Tan kauwsu telungkup di dalam lumpur bagaikan seekor
kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan
Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir
terganti fajar hingga samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna
gelap hitam menjadi abu-abu.
Sudah tentu Tan Hok meluap rasa marahnya. Untuk beberapa lama ia tak
berdaya karena selain merasa pengap lubang hidungnya tertutup lumpur, juga ia
merasa bingung bagaimana harus membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!
Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan
bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk
membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan matanya. Biarpun mata kirinya masih
terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan ia dapat memandang ke depan.
Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia
segera lari mengejar.
Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat
berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang,
karena ia sebentar lagi pasti akan dapat memuaskan hati membalas dendam kepada
setan cilik itu! Ia memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara ia dan Cin
Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!
“Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di
tanganku!” teriak Tan Hok dengan girang sekali dan ia sudah siap mengulurkan
tangan untuk menangkap.
Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari
sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan tetap bahwa bilamana ia tertangkap,
sebelum mati ia hendak melawan dulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan
dan giginya untuk melawan. Ia ingat bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata
bahwa lebih baik mati sebagai harimau daripada mati sebagai babi!
Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas
Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang
berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk
di atas lengan seorang tua yang pendek. Cin Hai menjadi terkejut, heran dan
bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya dan
bagaimana maka ia tahu-tahu sudah melayang ke atas dan duduk di atas lengan
kanan orang tua itu yang bertubuh pendek, dan mulutnya selalu menyeringai,
memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini
bukan lain ialah seorang di antara tiga orang yang belum lama ini bertempur
melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!
Sementara itu, Tan Hok ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu
menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya, menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu
itu yang bukan lain ialah Giok Keng Cu, orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin
(Tiga Orang Tua dari Kanglam) tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan
Hok. Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian
lumpur yang telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang
juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang
sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.
Tan-kauwsu ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang
berpakaian sebagai seorang pendeta menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja
berada di situ, maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh
kemarahan,
“Totiang, kauberikan anak tolol itu kepadaku!”
Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya.
“Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”
“Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia ini... adalah bujang dari
keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas
lepaskan dia!”
“Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak
ini bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan mengapa pula kau juga agaknya mandi
lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”
Tiba-tiba Cin Hai tertawa geli. Ia menganggap tosu ini lucu dan ia merasa
senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Ia pun maklum bahwa tosu pendek
ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.
“Totiang, kau harus menonton ketika kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam
lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, ia mengejarku dari malam tadi
dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”
“Bangsat kecil!”, Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta
merampasnya dari tangan tosu itu tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja
tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok,
lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!
“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak
bodoh, coba, kau ceritakan padaku hal yang sebenarnya telah terjadi.” Diam-diam
tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran mengapa
bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan tubuhnya penuh
lumpur.
Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung
keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama gekali tidak mau menceritakan tentang
sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan bahwa ia
sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong barang
dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan
ia dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.
“Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.
“Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak
ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu.
Jangan kau mencari penyakit!” Tan Hok membentak marah.
Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya
lalu bertanya sambil tertawa, “Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh
Kauwsu ini?”
“Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu akan dibunuhnya!”
jawab Cin Hai terus terang.
“Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?”
“Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini
akan kuhajar kepalanya sampai benjut!”
“Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.
“Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!”
kata Giok Keng Cu sambil tertawa.
Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu, ia yakin bahwa tosu ini
bermaksud membantunya, maka ia mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan
kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”
“Pukullah!” kata Giok Keng Cu sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin
Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah
kepala guru silat itu. Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul, ia mengangkat
tangan kiri menangkis dan tangan kanannya memukul ke arah muka Cin Hai,
maksudnya hendak sekali pukul menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu.
Tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke
lengan kiri!
“Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau
bawa dia!” Giok Keng Cu mengejek. Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang,
tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dengan cepat menghindari
setiap serangannya, bahkan tangan anak itu balas menghantam!
Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu
Cin-jip-houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang hebat sekali
karena dilakukan dengan dua tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena
pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang
pecah! Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan
menggerakkan lengannya dengan cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa dirinya
terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan
kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi
marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di
atasnya itu, tetapi tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga
tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.
Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat melebihi angin, Cin Hai
dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali
kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu
sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena
anggauta tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan, kuat, sedangkan kepalan
tangannya lemah tak terlatih.
“Totiang, tanganku sakit.” Cin Hai berbisik.
“Anak tolol, kaupukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.
Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun
telinga Tan Hok hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol.
Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit
lagi. Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tak dapat
dilatih dan terasa sekali hingga biarpun pukulan seorang anak kecil juga
mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam
telinganya! Cin Hai merasa gembira sekali karena ia mendapat kesempatan untuk
membalas dendam. Kini ia tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram,
menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan
Hok merasa mata gelap dan kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!
Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat ketika guru silat itu menyerang lagi,
Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,
“Masih belum cukupkah?”
Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan
kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan
sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,
“Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah
Totiang dan apa hubungannya dengan anak tolol ini hingga Totiang membantunya
serta tak segan-segan memberi pukulan kepada siauwte.”
Pada saat itu, matahati telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan
kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Ketika mendengar ucapan guru silat
itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.
“Eh, kau?” tanyanya dan Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata,
“Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?” tanyanya. Giok
Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan
daun-daun pohon.
“Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau
kalau nama ini tidak kaukenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang
termuda dari Kanglam Sam-lojin. Adapun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin
(penolong) kami!”
Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa ia berhadapan dengan seorang
daripada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah
menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih
heran lagi ketika mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap
sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura
dalam-dalam sambil berkata,
“Maaf, siauwte yang tak mengenal Gunung Thai-san menghalang di depan mata
(Orang Gagah berdiri di depan mata) dan berani berlancang tangan. Biarlah
siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol... (ia menahan
makiannya) anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”
Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan lagi bertemu dengan “tuan penolong”
itu, tak mempedulikan lagi guru silat dan sekali berkelebat, ia telah lenyap
dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama. Tan
Hok menghela napas berulang-ulang dan hatinya penasaran, malu dan gemas.
Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan
Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam
tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja
berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai! Semua ini
gara-gara Cin Hai si setan kecil. Kemudian ia pergi ke gedung Kwee-ciangkun
untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin
mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tidak mau menceritakan pengalamannya
memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu agak
miring otaknya, sedangkan Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang
bulat seperti anak gila.
Kwee In Liang tidak sangat memperdulikan peristiwa ini, tetapi Loan Nio
lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa
anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, ia
menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali.
Giok Keng Cu yang lari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuhnya
karena angin besar menderu-deru di kedua telinganya hingga ia menutup matanya,
membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.
Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke
Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!”
Baru saja ucapan itu habis dikatakan dari dalam kuil rusak itu berkelebat
dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus, dan Giok Yang Cu si
tinggi besar brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil
berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka
cepat ia berkata girang.
“In-kongcu (tuan penolong muda)!”
Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada
ketiga tosu itu dengan muka bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa
menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan
kenyataan? Sebenarnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut
penolong, bagaimanakah ini?”
Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa
bergelak.
“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong
Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh
ular-ularnya yang berbahaya dan lihai. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau
penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu,
tentu sekarang sudah tidak ada lagi Kanglam Sam-lojin! Kepada Hai Kong si hwesio
itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”
Barulah Cin Hai mengerti ia disebut tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa
dan berkata.
“Sungguh aku girang sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi
sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara
melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit dan kugunakan
suling untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu dapat menolong Sam-wi,
maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku seharusnya kepada suling ini!” Ia
lalu mengangkat dan mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.
“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang
tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara
tinggi nyaring,
“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”
Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi adalah syair dari kitab
To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabi para
penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,
Berlakulah sopan jujur seperti balok, Berwataklah sunyi agung seperti
jurang dalam, Dan bersikaplah seperti air keruh!
Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari
ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan
lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, ia hanya hafal
seperti burung beo saja, dapat mengucap tanpa mengerti isi dan maksudnya.
Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa
pun takkan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biarpun singkat
jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin dalam. Oleh
karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab
ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang
dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab
To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan
atau lanjutan daripada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.
“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng!
(Siapa bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa
berlaku sabar, lambat laun memetik buahnya)”
Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin
Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sangat
tekun mempelajari ujar- ujar Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal
akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung
dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil
itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,
“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”
Setelah cukup memuji-muji Cin Hai ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya,
“Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan
pembesar she Kwee itu?”
Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin
Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya.
Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali
Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan pergi
saja!” Juga kepada ketiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan
menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi
baru-baru ini.
“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong
kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang
pandai? Bagaimana kau menjadi murid kami bertiga?”
Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali
belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang
berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai
murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali. Kedua matanya telah bersinar
dan mukanya berseri, tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada seorang
jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhunya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak
Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,
“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi
kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid
Sam-wi.”
“Eh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena
heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku dan jujur. “Apa kau anggap kami
bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”
“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang
guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”
“Siapa? Siapa suhunya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.
Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku.
Tetapi keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia
mengangkat mukanya dan berkata gagah, “Guruku itu adalah seorang jembel tua yang
tidak berkepandaian apa-apa!”
Di luar dugaannya, biarpun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu
tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke
kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.
“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh
orang tua aneh itu!”' kata Giok Im Cu menyesal.
“Jadi, Samwi Totiang sudah kenal kepada suhuku. Di mana dia sekarang?”
tanya Cin Hai dengan girang, tetapi ketiga tosu itu menggeleng-geleng kepala
menyatakan bahwa mereka pun tidak tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini
tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya
lebih jauh.
”Dan sekarang, kalau kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau ajukan
sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada
seorang di antara kami hingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk
pembalas jasamu yang telah menolong kami.”
“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa
pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan
namanya, tetapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!
”
Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang telah
paham akan ilmu batin, padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal
belaka dan ia selalu menggunakan ujar-ujar hafalannya itu untuk diucapkan pada
saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!
“Biarpun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, namun kami
akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,”
jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga
permintaan.
“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore
kemarin!”
Ketiga tosu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk
mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa seji
(sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa ia tidak
berpakaian ia menggunakan lengan tangan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak
setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.
“Permintaan teecu yang ke dua ialah minta diberi seperangkat pakaian karena
teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”
Sekali lagi ketiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka
berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan
menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak
ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu
kesaktian? Tetapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan,
terpaksa mereka mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang
mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu
lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian
warna putih. Ketika dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik
celana maupun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta
hwesio yang besar sekali hingga tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam
lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu. Sambil tertawa-tawa ketiga
tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian
itu dapat juga dipakai, walaupun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya
melompong terbuka hingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya! Betapapun
juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu
bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah
kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?
Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi
mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,
“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tidak keberatan teecu
mohon diperbolehkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!”
Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang dan mereka merasa puas karena
ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.
“KALAU begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada
kami!” kata Giok Keng Cu.
Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala.
Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,
“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat
lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin
mengangkat guru!”
“He?? Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan
bahwa teecu tidak ingin minta balasan dan tidak ingin apa-apa? Mengapa Sam-wi
Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat
dikabulkan, padahal tak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar
yang berkata bahwa satu kali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor
kuda pun takkan mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu
kali seorang budiman berludah, takkan ia jilat kembali?”
“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah
kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke gua kami dan
belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”
Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam
suntuk ia tidak tidur dan berlari-larian hingga ia sangat lelah dan mengantuk.
Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak ia berbantahan saja itu, membuat ia
makin lelah dan makin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke
tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega hingga tiba-tiba saja kedua
matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!
“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kaupondonglah dia dan
mari kita berangkat.”
Sambil mengomel, “Anak yang tolol!” Giok Yang Cu yang tinggi besar segera
memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu, kemudian ketiga tosu itu lalu
meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena
tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak
menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.
Karena tidur nyenyak dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan
kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Ketika
ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan
karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk
berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam
jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi.
Cepat ia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan
memandang keluar.
Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang
tinggi. Tak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai
merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat
dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang
bertempur seru!
Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai
melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat,
tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.
“Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara menyatakan
bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.
Cin Hai merasa heran akan tetapi ia tidak berani banyak ribut melihat sikap
ketiga tosu demikian tegang, maka ia lalu duduk di atas rumput dan menonton
orang yang sedang bertempur.
Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki.
Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak
dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang
memenuhi punggungnya. Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia
memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui
keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya
hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung
kepinis. Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya seperti
seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua
puluh lima tahun dari mukanya putih agak kepucat-pucatan.
Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang
hebat daripada kalau orang bertempur bersenjata tajam. Buktinya
serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu
merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Kepandaian mereka berimbang dan
tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan kedua kakinya lalu bergerak seperti
kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi
dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling
susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!
“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira
tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak
kautolong dia?”
Tetapi Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Sst! Jangan
berisik, kaulihat saja!”
Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia
tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring
dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis
mengharukan.
“Hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa
mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan
Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kausohorkan itu? Hi-hi, orang
she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!” Sambil
menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari
dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi tiap
gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!
Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari,
tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang lemas
sekali sambil mengelit serangan lawan, kini dia menggerakkan kedua tangannya ke
depan dan belakang, jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi
sebenarnya ini merupakan serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya
dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya laki-laki yang
dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.
“Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru dan benar saja,
pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biarpun
kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh!
Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil
tertawa ha-ha-hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan
perasaan. Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang
masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar
tajam, lalu mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.
“Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku
terpaksa merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada
diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua
kawannya.
Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti
kepada diri sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang
usilan.”
Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu
pergilah ia turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu
berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam dan juga berkibar-kibar
tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia seperti seekor kupu-kupu
besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.
Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?”
katanya perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.
“Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?”
Giok Yang Cu tertawa mendengar kata-kata ini. “Dasar kau tolol! Sehari
penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kauanggap dia
itu menari-nari? Ha-ha-ha!”
Giok Im Cu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu
justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan.
Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaian ini maka
dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Intan) dan namanya menggemparkan
seluruh permukaan bumi.”
“Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.
“Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya
saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur
dengannya?”
Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu ingat akan laki-laki
yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka lalu menghampiri. Laki-
laki yang rebah terlentang dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin
kuning dan kedua matanya meram. Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang
itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam yang cukup hebat,
walaupun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu
menggunakan kepandaiannya menotok dan mengurut pundak yang terluka oleh tangan
Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!
Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat
tiga orang tosu itu.
“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.
Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan
dia?”
Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh
tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona
Bermata Intan), sungguh tak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap
pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu maklum bahwa orang tak suka
menceritakan sebab pertempurannya.
“Untung bagimu ia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” ia
berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan
tempat itu.
“Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat
ia hanya seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,”
kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa seorang perempuan
seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.
“Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu dan Cin Hai segera
berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan
bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu
selalu berterus terang kepadanya.
“Perempuan yang kauanggap lemah-lembut itu, yang disebut orang-orang
kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan
seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang
berandal The Kok, membinasakan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal
dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang
seorang diri saja telah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk
dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali
saja ia tidak dapat merobohkan orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat
mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan
untuk berurusan dengan dia!”
“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kaulihat yang
seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka
jerih.
“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sutenya. “Yang dimaksudkan
oleh Sute tadi ialah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan
Piok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoinya (Adik Perempuan Seperguruan) yang
berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona
ini masih muda dan kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Sucinya
(Kakak Perempuan Seperguruannya) itu! Ang I Niocu pernah seorang diri naik ke
Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-san dan ternyata
ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”
Mendengar kelihaian-kelihaian demikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan
lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya
oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tak menginjak tanah, tetapi ia
maju cepat sekali, hingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya.
Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga tosu itu
hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke
bawah. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang
pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian
hebatnya, apalagi tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji
kepandaian orang lain, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian
orang-orang yang mereka puji itu! Maka timbullah keinginan di dalam hatinya
untuk belajar keras agar ia pun bisa memiliki kepandaian itu sehingga kelak
tiada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai tertawa geli karena di
dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu
dan aneh sekali.
“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.
“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata
orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan
pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Tetapi dengan keras hati dan
bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan anjing-anjing itu menggonggong, mereka
tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan
mereka!” Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan dan
ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tidak
peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling
bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan
beberapa lagu merdu!
Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai
ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu,
berbeda dengan tempat yang penuh alang-alang, rumput dan pohon-pohon tua dan
liar, terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai. Dan di
tengah-tengahnya terdapat sebuah gunung kecil kecil yang ditumbuhi pohon-pohon
liu, sedangkan bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri
terdapat mulut gua yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam
Sam-lojin. Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat guha terdapat
sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai
kecil yang airnya berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang
hitam dan halus. Burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biarpun mulut gua itu
tampak gelap, tetapi setelah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang
masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan
dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar
dari situ dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang
yang pergi, kadang-kadang berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal
seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu adalah saudara-saudara
seperguruan, maka kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan yakni
cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan
khusus, yakni seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka
bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu. Giok Im Cu
yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang telah mencap tingkat
tinggi hingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam
tangannya berubah menjadi senjata ampuh, hingga karena mengandalkan tenaga
lweekangnya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulupun di waktu menghadapi
Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu. Sebaliknya daripada
suhengnya Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga
luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa
sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, ia mahir sekali memainkan
pedang yang digerakkan olehnya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja
ilmu pedangnya adalah Liong-san-kiam-hoat yang memang terkenal mempunyai
gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga kalau dipandang begitu memang dapat menimbulkan pandangan
rendah karena tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tetapi janganlah
orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah
oleh kedua suhengnya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang
bersayap di kanan kiri sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Selain
ini, ia memiliki ginkang yang paling sempurna di antara kedua suhengnya sehingga
gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.
Biarpun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan
hebat, namun ia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki
ketekunan kepada sesuatu yang disukainya. Justeru ia suka ilmu silat dan
semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apalagi ketika ia sering menerima
pukulan dan hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi. Kini
sekaligus ia mendapat didikan dari tiga orang lihai tentu saja ia tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah ia menerima pelajaran
dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka
memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi
dan hendak membalasnya bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap
murid, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai
peraturan lagi! Mereka berganti-ganti memberi pelajaran silat Liong-san-kun-hoat
dengan cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus
delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam,
hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara
bertubi-tubi mana dapat mengingatnya? Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai
bukanlah ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang.
Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan
latihan-latihan keras berhari-hari. Memang ketiga tosu itu karena penolakan Cin
Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat mereka menjadi kurang
perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu
diberi kepandaian aseli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid
Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tak berhak
melarangnya, karena ia bukan anak murid Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga tosu ini Cin Hai menjadi bingung sekali dan ia
tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja ia mempelajari beberapa jurus dan
sama sekali belum sempurna, lain tosu telah memberi pelajaran pula jurus-jurus
berikutnya! Dengan demikian, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya
benar-benar telah terlupa lagi!
Biarpun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan
ahli filsafat yang dipelajarinya dulu, ia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga
tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera
melakukan hal yang cerdik juga. Dengan diam-diam ia menggunakan kepandaiannya
menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya
itu di atas kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, ia segera mengingat
baik-baik dan malamnya ketika berada seorang diri dalam kamarnya di gua itu, ia
segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan
oleh tosu yang mengajarnya tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat
Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan
puluh jurus oleh Cin Hai. Tetapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat,
paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum
sempurna betul. Ketiga tosu melihat ketololan anak itu, diam-diam merasa girang
karena mereka tak perlu khawatir lagi, tetapi di luar mereka memperlihatkan muka
tak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh.
Kelambatan ini sebetulnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol tetapi adalah
karena waktunya banyak ia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya
yang disimpannya baik-baik secara rahasia.
Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai
masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari
kawan-kawan untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk
menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di
dalam gua dan kalau ia keluar dari gua, yang ada hanya hutan betantara yang
penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.
Pernah terjadi ketika ia pada beberapa bulan yang latu pergi agak jauh dari
gua dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar
menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali dan kedua kakinya gemetar
dan dadanya berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku
waspada. Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada
waktu itu Cin Hai telah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Melihat
datangnya terkaman harimau otomatis kakinya bergerak dengan tipuan
Lo-wan-tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang hingga ia terhindar dari
terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi
dari situ, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Biarpun matanya tidak melihat, namun ternyata latihan-latihan silat yang
dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh
harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan
membalik, ketika harimau itu lewat di sampingnya, ia memukul dengan telapak
tangan terbuka ke arah lambung harimau!
Tetapi apakah arti pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja
berlatih silat kurang dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit
dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat
menubruk lagi! Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya menggunakan segala
kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa biarpun baru mempelajari beberapa belas jurus dari
Liong-san-kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai
beberapa lama! Kalau ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk
saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.
Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari
Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula
akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lalu
menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya! Ilmu loncat ini adalah
pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang-hu yang
jika sudah dipelajari secara sempurna dapat digunakan untuk meloncat jauh sambil
mempergunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti
melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran di bagian loncat tinggi
saja yakni tipu gerakan Cian-tiong-seng-thian (Naga Naik ke Langit).
Demikianlah, setelah teringat akan pelajaran meloncat ini, Cin Hai
perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat
mendekati sebatang pohon yang mempunyai cabang rendah dan berada di atas
kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya,
Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia
lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan
Cian-liong-seng-thian yang sudah dipelajarinya itu! Ia berhasil dan tubuhnya
melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri
pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali ia berbuat
demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba si
harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula
ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya
segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah
Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman. Anak itu dengan geli dan
senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, meludahinya dan melemparinya
dengan cabang-cabang kering yang ia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu
mengaum-ngaum dan meraung-raung keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang
marah dan kecewa.
Untuk beberapa lamanya binatang itu mendekam di bawah pohon, menanti calon
mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas
dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki bahkan anak itu
lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu! Entah karena jengkel dan
kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri
dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi
meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.
Cin Hai tidak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu
masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari,
barulah ia berani turun dan lari pulang ke gua. Semenjak pengalamannya itu, Cin
Hai tahu akan kegunaan kepandaiannya maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak
berani lagi meninggalkan gua terlalu jauh.
Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika
merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut
gua lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain
suling. Selama berdiam di gua itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul
karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang.
Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!
Ketika ia tengah asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan
merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat
merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Ia berdiri di depan gua, tak
jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan
tubuh tak bergerak. Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu, tetapi ia tetap
saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah
seorang. wanita asing. Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling
banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya dengan
sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang manis dengan sepasang bibir
yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya merah dan bersih sekali,
juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan
ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan
ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dulu, yaitu,
Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dengan mendengar gurunya itu bersuling,
dapatlah Cin Hai meniru lagunya. Makin lama makin merdu dan merayu suara suling
Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati
dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya
dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali
dan menghentikan tiupan sulingnya.
Dara muda itu kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus
sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.”
Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai merengut ketika disebut “hwesio cilik”. Ia menjawab tak senang.
“Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”
Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Ia memang
merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan
kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan seorang diri, dan anak ini pandai
bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
“Saudara kecil, kalau kau bukan seorang hwesio mengapa kepalamu gundul dan
pakaianmu jubah hwesio?”
Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan
mencela pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan kau?
Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”
Biarpun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya
cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, bahkan memperlihatkan senyum yang
agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja ia sudah dewasa.
Tetapi senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia
menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.
“Engko cilik, kalau aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon
padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”
“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”
Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari
mana kautahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman agar
Cin Hai mengaku.
Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai
menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya
pandai menari.”
Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kautiup sulingmu dan aku
menari untukmu.”
Cin Hai girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut gua yang gelap
sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan
latar belakang gua hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis
Baju merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.
Cin Hai sambil menyuling memandang gadis itu dan ia bagaikan kena pesona.
Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan
tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan
membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!
Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya,
dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah
menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling
yang ditiup Cin Hai dan Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh
Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang
putih dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada
hentinya meniup suling, baru ia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun
menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.
“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu
memuji.
“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan
matanya yang lebar.
“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.
“Suka sekali, jauh lebih daripada sukamu kepada suara sulingku” kata Cin
Hai cepat-cepat dan sejujurnya.
Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”
Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua
itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”
Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya memandang kepalanya yang
gundul dan besar lalu ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah
memandang, ia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,
“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”
Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang
aku tolol dan bodoh, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi
harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.
”
Si Nona mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak
mengerti.”
“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar
itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang takkan lenyap dan
berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam gelap lagi
buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja
wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik
jelita.”
“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar
tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil
bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”
Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”
“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”
Cin Hai cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Aku bukan pendeta, dan tentang
pakaian…” ia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya
satu yang terpaksa kupakai.”
Dara Baju Merah itu tertawa geli, sepasang matanya yang seperti bintang
pagi itu berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan
pandai bersuling ini.
“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”
“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kang-lam Sam-lojin.”
“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhumu?”
Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja.
Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang
disebut Ang I Niocu…”
Nona itu meloncat dengan kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang
I Niocu?”
Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia
itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar
tosu-tosu itu bercerita.”
Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”
Cin Hai mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita tukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku
ingin sekali belajar menyuling.”
Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih
kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu
berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari
padanya. “Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”
Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”
Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa
geli gadis itu berkata, “Mengapa? Takutkah juga kau kepada Ang I Niocu? Apakah
mukaku begitu menyeramkan?”
“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan
kepala. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.
“Kalau begitu, lekas kaukumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita
pergi.”
Cin Hai memandang kepada wajah yang halus cantik dan mata yang bening
bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,
“Barang-barangku?” Ia memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian
hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”
Pandangan mata Ang I Niocu mengandung iba. “Jadi kau tidak berbohong ketika
tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”
“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai
meniru bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia
lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.
“Kalau begitu mari kita berangkat!”
Cin Hai mengangguk.
Tetapi pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang.
Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan
Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini
bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.
Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera
memanggil dengan suara keras. Tetapi Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa lalu
melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kang-lam Sam-lojin merasa
penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan
biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.
“Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok
dan tinggi besar dengan suara mengguntur.
“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”
“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” tanya Giok Keng Cu si
pendek dengan heran.
“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana
saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?” Ang I Niocu hanya tersenyum
manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I
Niocu dengan penuh perhatian. Tiba-tiba ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu
lalu berkata dengan hati-hati.
“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami
berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”
“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang tajam. Aku betul
Ang I Niocu.”
Kalau dilihat sungguh mengherankan, karena tiga tokoh kang-ouw yang telah
berusia lanjut ini begitu mendengar nama Ang I Niocu lalu nyata sekali tampak
terkejut dan mereka dari jauh mengangkat tangan memberi hormat.
“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak
tahu keperluan apakah yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang
sunyi ini?”
Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika
sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Ia lalu bersyair
sambil memandang ke langit.
Berkawan sebatang pedang, Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud,
tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati. Kau masih bertanya maksud
keperluan? Tanyalah kepada burung di puncak pohon, Terbang ke sini berkehendak
apa?
“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus
sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu
menjawab kepada tiga tosu itu,
“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat
saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk
saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”
Kang-lam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena betapapun
juga, mereka telah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh
diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat
mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih
ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan. Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit
yang memang agak berwatak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah
seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut
lalu memandang rendah sekali.
“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia
kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya
hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu aturan kang-ouw!
Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat
kurang ajar?”
Sungguhpun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan
belas tahun saja, tetapi sebenarnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama
lima tahun lebih namanya telah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain
kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang berani
dan dapat menyimpan perasaannya. Kini mendengar betapa orang memandang rendah
kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena biarpun Giok Keng Cu memandang
rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa ia masih sangat muda merupakan
pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tak ingin disebut muda dan
ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.
Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kauanggap aku tidak memandang
kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”
“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa kau tanpa minta ijin hendak
menculiknya begitu saja? Bukankah itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok
Ken Cu dengan marah.
Sebelum Ang I Niocu menjawab, Ci Hai mendahuluinya dengan suaranya yang
nyaring.
“Eh, eh, sejak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang
ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada
Niocu!”
Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya menyangka bahwa Cin Hai yang tadi
membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian
rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini
benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang
muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa
lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.
Melihat keadaan sutenya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar
berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapapun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja.
Biarpun dia bukan murid kami, tetapi dia telah ikut kami dan tidak boleh diambil
oleh orang lain tanpa ijin kami!”
Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena ia hendak menghilangkan rasa malu
yang diderita oleh sutenya, apa lagi memang ia tidak puas melihat sikap Ang I
Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!
“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu
yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku
dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”
Kini Giok Im Cu yang menjawab setelah mengeluarkan suara melalui lubang
hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.
“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia
kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Kalau kau
berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga menerima dulu
petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau
mengajak pibu (mengadu kepandaian).
“Begini lebih bagus, tak membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I
Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika ia mencabut pedang
dari pinggangnya.
Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu
memungut sebatang ranting kayu bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan
Giok Keng Cu meloloskan goloknya. Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang
memang paling doyan melihat pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar.
Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apakah kalian bertiga hendak maju bersama dan
mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka maju
bertiga sekaligus agar gembira kau menonton!”
Sebetulnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja,
mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor
kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini
mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan
tetapi setelah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena
jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, hingga
mereka tak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah
kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok
seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku seji-seji (sungkan)
segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan
serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya
bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.
Melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini, ketiga orang tosu
itu terkejut sekali. Mereka lalu memainkan senjata mereka dengan hati-hati
sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka
sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, merupakan kepungan segi tiga yang
sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu
berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kang-lam Sam-lojin yang dapat maju
bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan
bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali
gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang
mengeroyoknya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan
tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian
rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat
tertangkis.
Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan
yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai Yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking
kagumnya. Ia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka
tak tampak lagi merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran
cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu
bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya
gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa
Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas
dan sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada
keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan halus dan
tampaknya lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan,
kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga
dan kecepatan.
Tiap kali serangan lawan yang datang dengan gerakan cepat sekali, cukup ia
sentuh sedikit dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyeleweng
arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya
dapat dipentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balisan! Juga ia
melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi hingga tiap
kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa
tangan mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Karena
asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor
lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan
bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki
kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul
yang memelihara ular itu.
Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan
Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa
melepaskan ular-ularnya.
Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih
sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan
menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin
Hai yang ternganga! Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah
dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu.
Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua. Sayang kalau tarian
seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling.
Maka ia lalu meniup sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan
tiba-tiba gerakan pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup
sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin
cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedang lenyap terganti gundukan sinar
putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat ketiga tosu itu terkejut sekali. Hampir
saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga
serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!
“Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu
pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng
Cu dengan suara mengandung ejekan.
“Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau
tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat
gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan
berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga pendeta, lalu berkata
sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi
gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul
dan berkata cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang
terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari
aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan
siapa murid?” Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu
menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya
berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin
Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-lam Sam-lojin,
maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu
tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor
burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke
mana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan
hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa
bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya. Wanita muda
itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang
merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan,
Ang I Niocu lalu meminjam suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu. Sebaliknya dengan gembira Cin
Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar
biasa yang disebut Sianli-kun-hwat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi mula-mula ia
mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan
tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-kun-hwat membutuhkan
tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut. Akan tetapi dengan sabar dan
telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul
ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu
ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-kun-hwat,
biarpun masih agak kaku. Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu
Silat Liong-san-kun-hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh
jurus itu!
Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san-kun-hwat, Ang I Niocu hanya
tersenyum dan berkata,
“Jangankan baru kaupelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari
sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu
mengalahkan Sianli-kun-hwat.”
Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya
karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah
itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san-kun-hwat sampai hafal semua delapan
puluh jurus yang telah dicatatnya.
Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu
dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua
laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang
mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki. Akan
tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian
jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya,
hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun
ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati
hendak menurunkan Sianli-kun-hwat yang morupakan tarian indah dan sangat
digemari oleh Cin Hai itu. Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin
Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum
akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang
segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apalagi nyanyian To-tik-khing
sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan
sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I
Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta
pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio,
Ie-ienya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya. Akan
tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga ia maklum bahwa
rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu
hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan
bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu
sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia
ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang
dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar
yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut
segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya. Ia
teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu
disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki!
Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang
kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian
guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu
hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya
berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan
riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih
meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”
Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia
memandang Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung dalam sinar matanya, lalu
ia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan
menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai
bergerak menari! Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat
disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian
pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biarpun pada saat itu
ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun ia baru saja dapat
memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya
gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Maka dapat dimengerti betapa
sukarnya mempelajari Sianli-kun-hwat itu.
JUGA karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas
ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar
sehingga kalau orang kurang latihan tentu takkan sanggup menarikannya sampai
lama.
Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,
“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus
satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan.
Tetapi selebihnya, dari jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat
disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup karena
gerakan-gerakan jari itu menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka
Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa
ditungganggi Bidadari, maka semua gerakannya mengandung arti dan maksud
tertentu. Jari-jari kita dalam gerakan ini merupakan ujung-ujung sayap yang
harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini
sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud
gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa
sepuluh jari tangan kita dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam
berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”
Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut
oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat
diketahui betapa sulit dan lihainya limu Silat Sianli-kun-hwat itu, karena satu
jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!
Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada
kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan tentang tokoh-tokoh besar yang pernah
dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di
atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi
mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!
“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong
Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, biarpun
ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat
yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar
dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi
karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh kakek yang mengaku
bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu?
Dia adalah Su- siok-couwku (Kakek Paman Guru) sendiri!”
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah
Susiok-couwmu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini
tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat
sekali?”
Ang I Niocu mengangguk-angguk. “Memang beliau adalah Susiok-couwku, karena
mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ah, sukar
untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga
gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kang-lam
Sam-lojin, atau beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”
“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.
“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan
berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di
sebelah kuil kuno di dekat Tiang-an ternyata hal itu dapat diketahui oleh
Pemerintah Boan Yang segera berusaha merampasnya. Tetapi hal ini sudah lama
diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia kepada Pemerintah Han sehingga
mereka cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk
digunakan bilamana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak
Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu
orang-orang kang-ouw seperti Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini
pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu
dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di
Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan
Kang-lam Sam-lojin bertemu di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagaimana
yang kaulihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang hendak merampas emas,
semua takut dan lari ketika melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk
membantu para patriot mengungsikan emas itu. Secara kebetutan sekali, kau dapat
ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”
“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”
Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang
adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah mempunyai
seorang murid pun. Menurut kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali kepada
orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat
itu hanya mendatangkan malapetaka belaka! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan
lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya
paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang tiba-tiba saja ia mengangkat engkau
sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”
“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata. “He,
mengapa?” Ang I Niocu bertanya.
“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih suka belajar darimu daripada harus
belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya
aku harus berpisah darimu?”
Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang anak-anak, tetapi Ang I
Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.
“Berjanjilah, Niocu, kau takkan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku takkan
meninggalkan kau.”
Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan
sebutan “Niocu” yang biarpun artinya “nona” namun biasanya hanya dilakukan oleh
seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang
mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya “niocu” begitu
saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih
tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.
Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kang-lam Sam-lojin tentang
Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika
bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan
kepada Ang I Niocu. Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab,
“Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku, yaitu Suci
(Kakak Seperguruan), karena ia adalah murid Ayahku.” Tetapi Cin Hai juga tidak
mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan
menjadi sedih. Dari pandangan matanya yang tajam, anak yang berusia paling
banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat
membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!
Demikanlah Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang
panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun telah berlalu
semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau. Anak ini sekarang tidak gundul lagi,
rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan
tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara
rambut, karena setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi
kudis di kulit kepala.
Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
“Kau bukan seorang hwesio, mengapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara
baju merah itu.
“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun
tidak suka menjadi hwesio kecil, tetapi apa daya, setiap kali rambutku
memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”
Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kaupelihara rambutmu
baik-baik, kaucuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”
Dan benar saja, setelah mendapat rawatan Ang I Niocu yang setiap hari
menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu
tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia
memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam. Juga Ang I Niocu mencarikan
pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah
mengenakan baju biru dan memelihara rambutnya, maka Cin Hai tampak cakap dan
tampan sekati, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu
membuat mukanya selalu nampak bodoh!
Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai telah berusia dua belas tahun,
tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia seperti seorang pemuda berusia
lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu makin mesra dan di dalam
hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang
seorang ibu dan anak atau kakak beradik.
Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam
kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.
“Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”
Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki,
berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan
berpakaian seperti seorang sasterawan.
Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai
merasa heran melihat sikap nona itu. “Eh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?”
tanyanya.
“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian
sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suciku?”
“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”
Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci
memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”
Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini
mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara
mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau
tidak dikehendaki maka gadis itu takkan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja
tidak mau bertanya.
Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata,
“Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”
Tanpa menjawab, Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu
kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian tidak tampak pula di situ. Yang
menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.
Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik dan
gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.
“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.
“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”
Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut “taihiap”
(tuan pendekar) kepada Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta
tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga
bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.
“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”
Pelayan itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan
memberitahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam.
Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang
belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian
depannya dipakai sebagai toko itu. Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai
bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar daripada bagian depannya.
Kedatangan mereka disambut oleh seorang laki-taki setengah tua yang kurus dan
mempunyai jenggot tipis kecil panjang serta sepasang kumis kecil panjang pula
berjuntai ke bawah. Sekarang anak laki-taki sebaya Cin Hai ikut pula menyambut.
Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan
Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu
memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu
muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini. Tetapi
Ang I Niocu dengan senyum manis di bibir segera memberi hormat dengan mengangkat
kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.
“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu
dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.
“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis
panjang itu.
“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” kata
Ang I Niocu lagi.
Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I
Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang
kiri. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan ketika ia tersenyum, maka wajahnya
berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.
“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok
Sian.” Ang I Niocu yang tadi hanya tunduk saja kini mengangkat muka memandang.
Matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,
“Ah, tidak tahunya aku , yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”
Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia berkata,
“Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tidak mengenal
Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”
Melihat sikap orang yang biarpun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya
menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.
Tetapi Ang I Niocu biarpun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, tetap
tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kaupanggil Saudara Kang Ek
Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”
“Ah, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau
juga, anak muda!”
Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu mendahului duduk di dekat sebuah meja
yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu
memang sangat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!
“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu lalu mengambil
empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.
Tetapi ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh
yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat
cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak
laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak
kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,
“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”
Tetapi Ang I Niocu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Kang
Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya
kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!
”
Tiba-tiba muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak
menghina lagi kepada Adikku?”
Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”
Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura
lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kang-lam Sam-lojin, adikku
Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Sucimu?”
Kini mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia
lalu berkata perlahan,
“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganmu ini justru hendak minta maaf
kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suciku.”
Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu
perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali, “Baik, baik, aku
percaya kepadamu. Nah, marilah minum!” Ia sendiri menenggak habis secawan arak
lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak
hendak minum araknya, ia berkata,
”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau, apakah kau takut
minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau masuki rumahku?”
Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di depan Cin Hai tertawa perlahan
dan mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari
minum arakmu!”
Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi ia tidak segera minum karena
melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!
“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tidak mau menerima kebaikan dan
penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras,
lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I
Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat
daripada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang
Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak
jatuh.
“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata
menyindir dan ia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan
tangan kanannya memukul ke arah cawan yang menempel di atas itu. Ia mengerahkan
tenaga lweekangnya dan berseru,
“Kang-taihiap, kauterimalah kembali arakmu!”
Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan
Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga khikang ini terjadi dengan
diam-diam tetapi tidak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak
itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian! Tuan rumah
berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap
saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang
lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda
panas hatinya.
“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk
bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu,
karena sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga khikang yang hebat
menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu ia segera menaruh kembali cawan
araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu
bertindak keluar.
“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku telah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang
berilah sedikit petunjuk padaku!”
Tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah
mengejar dekat dan ia menggunakan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I
Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa
itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari
tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku
Garuda) yang kalau sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit
lengan itu akan hancur berikut dagingnya!
Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Angi I Niocu berkata, “Orang she Kang,
jangan banyak tingkah!” Tiba-tiba lengan tangannya yang dicengkeram itu bergerak
cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak
mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan
gerakannya Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung
Ang I Niocu. Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan
lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian
menjadi lumpuh dan ia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu
tepat sekali mengenai jalan darah lengannya, sehingga lengannya terasa lumpuh
tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri
menderita kesakitan!
Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko
obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke
arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong
terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang
berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak
memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.
Ang I Niocu menghela napas. “Ini semua gara-gara Suciku yang terlalu
gegabah. Memang telah seringkali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh
orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci!”
Gadis itu lalu mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu
jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada saat mereka hendak keluar dari pintu
gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
“Niocu, tunggu sebentar!”
Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling.
Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah
sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.
“Ah, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah
kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.
“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu
sederhana.
“Niocu, kaumaafkan banyak-banyak Kakakku itu. Ia tidak tahu sampai di mana
kelihaianmu, maka hendak mencoba,” kata Kang Ek Sian dengan suara halus dan Cin
Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.
“Tidak apa, Kang-twako. Sebenarnya akulah yang hendak datang menyatakan
penyesalan dan maafku, karena aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci.
Sebetulnya mengapakah kau sampai bentrok dengan dia?”
Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan
Kuibo, sucimu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena
berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina
dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang
gadis seperti engkau. Ia menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”
Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan kasihan. “Ah,
Suciku memang terlalu angkuh dan sembrono.”
“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian
memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah
ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”
Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-geleng kepala.
“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”
“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku
tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.
“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?” Ang I Niocu tidak menjawab,
tetapi memandang ke tempat jauh.
“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?” Tetapi Ang I Niocu
tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya
dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia
lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan
jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah.
Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,
“Hai-ji, marilah kita pergi.”
Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.
“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati
dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak
mempedulikannya dan bahkan mengajak Cin Hai bicara gembira, Kang Ek Sia
merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur
dan mencinta.
Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan
melangkah terus, tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci
melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi
tidak puas melihat sikap orang. Biarpun ia tidak tahu akan duduknya persoalan
antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun ia dapat menduga bahwa dulu tentu ada
pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari
panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan
mereka. Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tidak selayaknya seorang
laki-laki selemah itu. Maka sambil berjalan ia lalu menyanyikan sebuah lagu yang
kuno yang pernah dibacanya dari buku,
“Lima macam rupa indah membuat mata buta, Lima macam suara merdu membuat
telinga tuli, tetapi seorang laki-laki sejati, Memiliki keteguhan iman dan
kekuatan hati, untuk menentang godaan lima anggauta tubuhnya!”
Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik.
Sejak tadi ia tidak memperhatikan anak muda yang tampaknya begitu erat dan mesra
perhubungannya dengan Ang I Niocu, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu
adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini
melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan
memandang dengan penuh perhatian.
Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu
dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa
nyanyian tadi mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke
udara dan berkata kuat-kuat,
“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena
gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan
silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan
bangsa! Sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang
menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan ini adalah
sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.
Sekali lagi Kang Ek Sian mendengar ini karena sebagai sasterawan, tentu
saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, ia merasa betapa mukanya
panas seakan-akan mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insaflah ia dari
kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar ia
bersikap lemah sekali dan memalukan benar!
Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,
“Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau lebih gagah
dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”
Kini Ang I Niocu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan
berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,
“Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!” Gadis ini lalu
memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat hingga Cin Hai terpaksa
mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat agar jangan tertinggal di
belakang.
“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?
”
“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”
Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang
pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota
Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah lari dua puluh li lebih! Memang tadi
mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yangi
tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga
olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.
“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki
gagah dan baik.”
“Kalau begitu...mengapa kau...sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan
berani.
Wajah Ang I Niocu memerah. “Ah, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak
tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang
tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.
“Dengarlah, Hai-ji. Sekarang telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit
riwayatku kepadamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh
kupercaya.” Maka Ang I Niocu dengan singkat menceritakan riwayatnya. Ternyata
Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang
Liat yang sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.
Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh
besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih
sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat. Semenjak
kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan ia menjadi setengah
gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi
ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri
tunggalnya. Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim
Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada
ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh
ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun
daripada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik dan semenjak kecil kepandaian
Im Giok lebih tinggi daripada kepandaian Kim Lian. Setelah dewasa, Im Giok
bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi
ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau
sasterawan muda itu dari serangan perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan
dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.
Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang
tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan
membunuhnya! Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras
ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan
anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im
Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu
melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.
Pada saat, itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh!
Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang cukup hebat. Tidak
tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yaitu
sedari ia berusia empat tahun sampai tuujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan
rasa kesedihan hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan
menderita sakit jantung!
Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu berdasarkan
kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya
semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri!
Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu. Tetapi kemudian
ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang
kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya hingga ia muntah darah dan roboh!
Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi
yatim piatu!
Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang mengapa aku tidak dapat menerima
cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta dalam hatiku telah terbawa mati oleh sasterawan
itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu
mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena
cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”
Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu
makin besar. Ketika mengingat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah
sebatangkara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.
“Niocu, nasibmu sungguh buruk. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau
bisa bernasib seburuk itu...” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan
mesra. Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu.
“Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...” Untuk beberapa
lama keadaannya diam-diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.
Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita
menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya
diperbuat oleh orang-orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh,
apalagi lemah!”
Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Wajah manis yang tadinya muram
itu tiba-tiba bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang
menambah kecantikannya.
“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ah, sungguh baik kalau hafal akan semua
ujar-ujar kuno seperti kau.”
“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana kau
bisa mengenalnya?”
Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya
sebetulnya juga tidak lemah, karena ia adalah murid Lo Beng Hosiang dari
Bu-tong-san. Ketika empat tahun yang lalu orang-orang gagah mengadakan pertemuan
di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan
berkenalan. Ia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh
asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”
“Niocu, kiranya sudah cukup kita bicara tentang hal-hal yang mendatangkan
kenangan tidak menggembirakan. Tempat itu sunyi dan indah, bagaimana kalau kita
berlatih?”
“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas, karena gerakanmu masih
kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.
Sudah beberapa lama Cin Hai menerima latihan Ngo-lian-hwa-kiam-hoat atau
Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini adalah pecahan dari Sianli
Utauw dan digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain
laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu
membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami
oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.
Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang rombongan orang
lewat di jalan itu. Karena sedang asyik berlatih, baik Cin Hai maupun Ang I
Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka. Rombongan itu terdiri
dari sembilan orang yang berpakaian seragam dan melihat di pinggir jalan ada
seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang
menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.
Tiba-tiba seorang daripada mereka tertawa bergelak, “Eh, eh, sungguh lucu.
Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa
ada penontonnya?”
Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika
Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum
bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para
pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!
Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman
pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,
“Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”
Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Ia
tidak tahu siapakah mereka itu, karena biarpun pakaian mereka seragam biru
tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang
sudah kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan
sayap burung garuda di atasnya. Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang
keadaan mereka.
Tetapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani
membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.
Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan
tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang
lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu
telah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengan yang dipentang
lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap
yang menjemukan sekali.
“Ah, Nona manis, mengapa hendak pergi? Bukankah kau memang hendak
mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini
menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”
Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup dan pelupuk mata
gemetar sedikit hingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat
jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu
sedang menahan marahnya. Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah ia
melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I
Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.
Pada saat itu, delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu
seorang diantara mereka yang masih muda berkata pula sambil memandang wajah dara
itu dengan kagum.
“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami
bayar!”
Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi
wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barangkali
di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata
mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu
tersenyum. Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah
kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan
hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.
“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” tiba-tiba terdengar suara Ang I
Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu, tetapi yang bagi pendengaran
Cin Hai mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya
hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biarpun masih tetap halus dan
merdu, terdengar dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti
terjadi hal-hal hebat.
“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” kesembilan orang itu
berkata denga suara riuh.
“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”
“Apa syaratnya?”
“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah
sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”
Tentu saja ke sembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang
sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani
menghina mereka.
“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang
berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan
segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.
“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin
Hai.
“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.
Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang
kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang
daripada marah, karena mana ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang
anggauta Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.
Akan tetapi pengawal muda itu tak dapat menahan marahnya lagi. Biar gila
maupun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus.
Maka ia segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul kepala Cin Hai
sambil membentak,
“Bangsat kecil, mampuslah kau!”
Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Kepala
dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan
kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apalagi hanya
kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk
menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!
Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin
Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar,
percuma kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”
Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh
Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tak
terasa pula ia menggunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya
memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya
sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak-anak ini.
“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang
besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!” Dan Tiat-thou-houw atau
Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu
To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena
kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.
“Anjing besar! Aku takkan menyebut kau Harimau Kepala Besi tetapi Anjing
Hidung Panjang!” Cin Hai mengejek lagi sambil mengeluarkan kepandaiannya
Ngo-lian-hwa-kunhwat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu!
Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya telah
memiliki kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian
Bidadari. Kemudian ia balas menyerang, tetapi karena Ilmu Silat Lima Kembang
Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk
menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan
Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang dia pelajari dari catatannya ketika masih
mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!
Biarpun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dari pertempuran, tetapi karena
selama ini ia mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang
tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak
terduga. Maka Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan lemah
lembut bagaikan sedang menari ketika mengelit serangan-serangannya tadi, kini
dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena
tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan
tangannya menumbuk dada lawan!
Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya
tidak menyangka bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan
oleh Ang I Niocu sehingga ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat
pukulannya tidak kurang dari seratus kali!
Delapan orang pengawal lainnya melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai
dapat menggulingkan lawannya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan
ketika mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!
“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan membentak
marah.
“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah layani kaleng-kaleng kosong ini!”
tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya
delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.
Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya,
lalu berkata keras kepada para pengawal itu,
“He, bangsat-bangsat besar. Kau tadi ingin melihat tarian indah? Nah,
sekarang kaulihatlah!” Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan, maka
bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!
Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada
gadis itu dengan kagum, karena benar-benar indah tarian Dara Baju Merah itu.
Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang
tinggi kurus berseru,
“Serbu!” Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu
Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai mempercepat tiupannya dan sebentar saja
kalang-kabutlah delapan orang anggauta Sayap Garuda itu. Mereka telah kehilangan
lawan karena tubuh Ang I Niocu tak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya,
hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!
Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah
seorang pendekar pedang yang tak boleh dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu
mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga
dan kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!
Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I
Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sianli
Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya! Dulu
ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh
kepandaiannya. Tetapi sekarang, menghadapi delapan orang jagoan istana,
anggauta-anggauta Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju
Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar
biasa!
Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggauta Sayap
Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah
menghadapi lawan yang sehebat dan selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa
tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel
pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan
tenaga dan mengepung makin rapat.
Setelah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, barulah Ang I Niocu
menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar terdengar
teriakan-teriakan mengaduh dan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari
pegangan tangan! Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan
delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang pada lengan
tangan, pundak, muka dan paha, hingga biarpun mereka mandi darah dan roboh di
tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita' luka berat yang
membahayakan keselamatan jiwa mereka!
“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan
pedang di sarungnya dan tersenyum manis.
Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak
bertanya dengan suara parau, “Lihiap ini siapakah...
Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang
Cin Hai yang menyimpan sulingnya,
“Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ah,
sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum
sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu,
“Berkawan sebatang pedang dan suling, Menjelajah ribuan li tanah dan air,
Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati!”
Memang Cin Hai telah mengubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair
ini dan menambah kata-kata “suling” di belakang “pedang”. Sehabis menyanyikan
syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggauta
Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang
demikian lihai ilmu silatnya itu. Karena mendongkol melihat kebodohan mereka,
Cin Hai membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?”
Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tak pernah
terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil
menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat
ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan
seandainya kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!
Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa
lagi kalau bukan dia!”
Kawan-kawannya memandang heran dan ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu
nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau
bukan Ang I Niocu?”
“Tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan
belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun
yang lalu!”
Kawan-kawannya menganggap ucapan ini benar juga, maka mereka hanya saling
pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat
kepala untuk membalut luka masing-masing.
Sementara itu, Ang I Niocu mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu
Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin
Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu menjawab sambil
tersenyum,
“Di puncak Pek-tiauw-san terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya
bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan
aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”
“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”
Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat
telur rajawali putih?”
Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh
hingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa. “Di antara akar terdapat akar jin-som
yang mengandung obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur
rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”
Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk
anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih
manjur daripada jin-som.
“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti
jin-som?”
“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah
orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”
“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai
dua tahun!”
Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur itu besarnya
melebihi kepalamu!”
Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I
Niocu makin geli melihatnya.
Demikianlah sambil berlari cepat, mereka bercakap-cakap dengan gembira
hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua.
Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Di kaki dan lereng
gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah
ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga
untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh
langkah! Pohon sebesar ini mungkin sudah ada seribu tahun umurnya. Tinggi besar,
kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi
segala yang berada di bawahnya!
Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang penuh tetumbuhan, di
puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi
dan meruncing ke atas. Ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki
seakan-akan menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah. Tempat
inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Di puncak batu karang
yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara
anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya di puncak Pek-tiauw-san ini saja
terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah
burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya,
apalagi tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan
sangat sukar sekali didaki orang.
Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai
yang telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran,
ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini
benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang baik sekali. Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri,
belum tentu ia dapat mencapai puncak, karena setelah melewati rimba terakhir,
jalan menjadi demikian sukar, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui
batu-batu karang yang tinggi dan bermuka tajam hingga dapat menembus sepatu!
Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap gesit
dan ringan hingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju
Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai
tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus
meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk
memondongnya dan membawanya melompat ke seberang jurang!
Betapapun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru
mereka tiba di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus
awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.
“Aku tidak melihat sarang burung di puncak batu karang itu!” kata Cin Hai
sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Apa kaukira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara batu-batu karang
yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima
buah sarang!”
Cin Hai menghela napas. Telah payah dan penat-penat seluruh tubuhnya, dan
agaknya ia takkan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu
untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut
duduk mengaso. “Biarlah kita beristirahat dulu melepaskan penat,” katanya sambil
menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu
terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!
”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” kata Ang I Niocu perlahan seakan
menjawab pertanyaan yang ditujukan oleh Cin Hai dengan matanya. “Ia sedang
marah, entah mengapa?”
Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke
arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang. Walaupun
sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apalagi
burungnya. Tentu besar dan liar!
Makin dekat, makin keras pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan
sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi
dan angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu
terus maju dan mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan
terkejutlah ia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya
menyambar-nyambar dan menerjang seorang kakek di depannya!
Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga,
karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu
berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah
putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang
dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa
dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Tetapi kakek itu
mengenakan sebuah rompi daripada bulu merak yang masih baru!
Pada saat itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang
menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja
dan paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini
dibantu pula oleh kedua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan
tenaga sedikitnya seribu kati! Tetapi kakek itu tidak jerih, bahkan terdengar ia
tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia pun mengembangkan sepasang lengan tangannya yang
dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga
seakan-akan ia telah siap untuk main cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya
merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan
kepada burung itu bahwa kakinya tidak lebih buruk daripada kaki burung rajawali
putih!
“Ha, ha, ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu dan
tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek
jembel yang telah ia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas
Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!
PADA saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap
kanannya. Tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan
sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu
Pun Su! Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur dan batu-batu
kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu hingga dapat dibayangkan
betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.
Tetapi Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Ia menghadapi burung
raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu ia
berdiri di tempat yang sempit sekali. Di depan kakinya terbuka jurang yang curam
sekali, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia
sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam,
kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu
terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki
dalamnya!
Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba Ang I Niocu
memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.
“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” kata Ang I Niocu
dengan wajah pucat!
“Eh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”
“Anak tolol! Bukankah dia itu Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau
akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”
Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia lalu ikut berlari turun dari
puncak itu, sedangkan hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata
bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!
Mereka berdua sambil bergandeng tangan berlari-lari dengan cepat bagaikan
dikejar setan. Tetapi karena Cin Hai telah lemah sekali serta sepatunya sudah
banyak berlubang hingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam,
perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.
Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya telah menarik napas lega karena
menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun
orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, tiba-tiba mereka
mendengar pukulan sayap burung di atas. Ketika mereka memandang ke atas, wajah
mereka tiba-tiba menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang
biasanya kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan! Seekor Pek-tiauw
terbang di atas mereka, yaitu burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun
Su. Dan di atas punggung burung itu, tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil
menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan
leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut
arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu
terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Kini Bu Pun Su membetot-betot ekornya
dan membekuk lehernya ke bawah hingga burung rajawali putih yang besar itu dapat
menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!
Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su
membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan
panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!
Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil
menyebut, “Susiok-couw!” Juga Cin Hai tak dapat berbuat lain kecuali ikut
berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!
“Hm, hm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.
“Benar, Susiok-couw, harap maafkan jika teecu mengganggu Susiok-couw!” kata
Ang I Niocu dengan hormat.
“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke
arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kaubawa-bawa anak ini untuk apa? Apa
ia muridmu?”
Ang I Niocu tak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka ia
menggelengkan kepala menyangkal.
Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa
dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”
Terpaksa Cin Hai mengangguk karena ia memang tidak bisa membohong.
“Kiang Im Giok! Kau berani membohong terhadap Susiok-couwmu?” Bu Pun Su
menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.
“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,”
jawab Ang I Niocu.
“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebiasaanmu maka
kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah
bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah
kau tahu benar bahwa orang yang kauberi pelajaran silat itu orang baik-baik?
Bagaimana kalau kelak ia mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”
“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.
“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima
murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai
murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu telah
pergi minggat entah ke mana?”
Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia
sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, ia menjadi tak
senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul
lagi. Ternyata kakek tua itu lupa dan pangling.
“Sekarang kaupergilah, Im Giok, dan kauwakili aku pergi ke Kun-lun-san. Di
sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dan
Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau
pergilah ke sana dan atas namaku kaucoba damaikan mereka itu demi persatuan para
hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”
Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-caouwnya
itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata
tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak,
“Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biar
dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”
Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai
dengan wajah pucat ia hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!” Lalu gadis itu
melompat jauh hingga sebentar saja ia hanya merupakan setitik warna merah yang
kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak dan ketika Cin Hai mengangkat
muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!
Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas dan sedih. Hatinya
terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya.
Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia
hidup seorang diri, sebatangkara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa
mengetahui apa yang harus ia perbuat! Cin Hai tak dapat menahan sedihnya dan ia
menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Ia menangis bukan
karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh
Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di
atas dunia ini!
Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis,
akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia
menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya
terasa lapar sekali. Biasanya, ketika ia masih merantau bersama-sama dengan Ang
I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua adalah gadis itu. Pandai
sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli,
mencari buah-buahan, maupun kadang-kadang memasak sendiri!
Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah
belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya.
Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam kitab kuno, yaitu kata-kata Ci
Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.
“Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan Simpan
air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan
(Pahlawan) sejati!”
Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya
sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air
mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu. Akhirnya
dapat juga ia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Ia lalu makan
buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa,
maka ia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.
Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan
hawa dalam tubuhnya dan dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya ia telah
sering berlatih khikang sehingga ia tidak sangat menderita kedinginan. Yang
sangat ia derita ialah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur di atas
pohon berdua, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan
suling hingga ia tak pernah merasa sunyi. Bahkan dulu ketika khikangnya belum
begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantel
dan diselimutkan kepadanya, dan ketika itu masih belum dapat mengusir hawa
dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lalu memegang
tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan,
hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Ah,
alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai
seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan seorang ibu dan ayah yang
sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai
kapan dapat bersua kembali!
Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh
dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisiknya,
“Niocu... Niocu...” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang
menekan dadanya.
Pada keesokan harinya, mulailah ia merantau seorang diri dengan hati
tertekan dan pikiran bingung. Karena tidak tahu bagaimana harus mendapatkan
makan untuk isi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang
kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi
seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu
kali lebih baik menjadi seorang pengemis daripada seorang pencuri, tidak ada
lain jalan lagi.
Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai makin buruk. Pakaiannya
kotor dan compang-camping. Dulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling
lama tiga hari sekali ia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali
bertemu dengan anak sungai, ia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh
Ang I Niocu. Tetapi sekarang, ia menjadi malas untuk mencuci pakaian atau mandi
sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor, penuh debu! Bahkan kudis
yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman
pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh
mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya
hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, kini berubah menjadi penuh penderitaan
dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan
berkepandaian tinggi itu!
Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Ia telah berubah
menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya kurus hingga tulang-tulangnya tampak di
balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh lagi tidak teratur dan
awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang
kurus tampak muram tetapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.
Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat ia masak dan terbukalah kini mata
hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena menderita, maka kini ia dapat
merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba
di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.
Biarpun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan kalau
perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh
karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua
hari ia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan
lapar. Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak
merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak ia beli
dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dulu ia akan melakukan
sesuatu untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu
dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda
istimewa.
Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya.
Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih.
Orang-orangnya peramah dan perdagangan di situ kelihatan ramai dan hidup karena
tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang
mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain
air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata
mengandung banyak ikan.
Ketika ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin
Hai tertarik oleh sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu
gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa rumah itu adalah sebuah
bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw. Papan nama itu
terbuat daripada sepotong papan dan tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang
sekali papan nama itu agaknya tak terawat hingga tampak kotor dan bahkan
memasangnya juga miring.
Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan
pada papan nama itu dan menyayangkan mengapa tulisan seindah itu dituliskan pada
papan yang kotor dan dipasangnya miring pula. Tanpa dapat menahan perasaan
hatinya, ia lalu mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil
berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu
ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang
sudah kotor. Ia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang
sekali. Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia
cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang
dapat dikerjakan, dan karena tidak mempunyai kewajiban apa pun yang harus
dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini
ia merasakan kesenangan. Ah, bekerja!
Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah
dipandang, ia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti
tadi. Segera ia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang
papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil daripada pekerjaannya tadi dan
tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi
tampak buruk dan kotor, kini bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri
gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!
Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan
mudah saja terbuka. Ia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah
rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat
pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Di sudut kiri tampak sebuah rak tempat
menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa
digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan. Cin Hai senang
sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu
kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba ia melihat
benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan
ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.
Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang laki-laki
setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan
berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi
guru silat yang mengajar di bukoan itu. Guru silat ini baru pulang dari
bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian
compang-camping sedang menyapu pelataran bukoannya dengan asyik sekali. Tadi pun
ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian
bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia mengerti bahwa
yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.
“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.
“Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan…
dan sudah sepatutnya dibersihkan.”
Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar
jawaban Cin Hai, ia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang
pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau
bekerja di sini?”
Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka
sekali!” Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya
ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja
ia merasa senang.
“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya, dan
dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada
masa itu banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai,
orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal
yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup
sebatang kara.
Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.
“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerjalah di sini, lalu melayani segala
keperluan murid-murid bukoan.”
“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.
Pada saat itu dari luar terdengar orang bercakap-cakap sambil tertawa dan
tak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia
kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya
gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat
belas tahun.
Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi.
Anak-anak muda itu menyebut “suhu” dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.
Louw-kauwsu lalu memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata
bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya mewakili
Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu
adalah murid-murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat.
Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah
membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang
di situ.
Pada seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh
perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang
angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu
berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada
bujang kecil itu!
Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biarpun bertubuh gemuk pendek, tetapi
berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari
Bu-tong-pai, secabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak
Ting Sun tekebur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai
diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,
“Eh, siapa namamu?”
“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.
“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,”
kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke
dalam.
“Eh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku
Suhu!”
“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap
orang.
“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti!”
Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat
gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, “Baik, Siauwya.”
Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih.
Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya.
Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba
Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai segera menghadap. Guru silat itu
diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun. Gadis itu
bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena ia adalah Louw Bin Nio, anak
tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya
gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti
ayahnya.
“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah,
“kaumakanlah dulu dan gantilah pakaianmu itu setelah kaubersihkan tubuhmu.”
Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil
berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau
memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan
memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan
seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.
Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah
menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan
bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap
Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang
timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya. Entah mengapa, Ting
Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan seringkali
menghinanya. Pernah ia berdiri melihat latihan silat pada suatu senja, tiba-tiba
Ting Sun memanggilnya.
“Lihatlah kalian baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan
darah), dua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi
contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian
lihat bagian leher ini!”
Ia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja
berdiri bagaikan patung. “Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian
ini!”
Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai.
Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekangnya untuk melawan
totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau ia melakukan hal ini tentu akan
terbukalah rahasianya. Maka ia lalu mengendorkan semua uratnya dan tidak
melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, ia merasa leher itu sakit dan tubuhnya
menjadi lemas hingga ia roboh tanpa daya!
“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa
puas dan bangga, sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai
yang sudah lemas. Ia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan
tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya
terasa sakit sekali hingga ia tidak berani menggerakkan leher itu.
Sementara itu, tanpa mempedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi
petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Cin Hai dalam keadaan
menyedihkan itu harus menderita sampai dua jam lebih, barulah perlahan-lahan
jalan darahnya terbuka dan darahnya mengalir kembali hingga ia dapat cepat-cepat
menggunakan tenaga dalamnya memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, ia pura-pura
masih lemah dan sakit hingga berdiri sambil terhuyung-huyung.
“Nah, nah, kalian lihat. Setelah beberapa lama, totokan di leher itu buyar
sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama.
Masih banyak lagi jalan-jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya
tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini,
maka ia roboh dengan lemas dan selamanya takkan dapat berdiri kembali, kecuali
kalau totokan itu kubebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tetapi hal ini
akan kalian pelajari kelak kalau sudah sempurna gerakan tangan kalian.”
Semua murid memandang kagum dan dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai
meninggalkan tempat itu, di dalam hatinya ia mengutuk guru silat itu. Kalau saja
Louw-loya tidak demikian baik hati kepadaku, hm... akan kuhajar kau! Demikian ia
berpikir dengan hati mendongkol sekali.
Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai
juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan
genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, tidak kalah dari Ting
Sun. Alangkah jauh bedanya perangai gadis ini dengan ayahnya.
Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat
tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu
sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini?
Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di
angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!
Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri
gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.
“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.
Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan
pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat
dengan pedangnya. Cin Hai berdiri di pinggir sambil menonton gadis itu bersilat
pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak
menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani
menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji
dengan suara kagum.
Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.
“Ah, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu
lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam
yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kaubersihkan sepatu ini!”
Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut
sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.
“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk
menyenangkan hati puteri majikannya ini.
“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali,
tetapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas
dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran
darinya!”
Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu,
Siocia?” tanyanya.
“Ah, Ayah tak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan
ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Baiknya ada
Ting-kawsu yang mengajarku di waktu malam. Sayang, sekarang tidak diperbolehkan
lagi oleh Ayah!” Gadis itu nampak kecewa sekali dan Cin Hai yang sudah selesai
membersihkan sepatunya lalu mundur.
Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.
“Eh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”
Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”
“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh
orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”
“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi mengapa tidak boleh
terlihat oleh orang lain?”
“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku
dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya.
Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan
pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai. Cin Hai
pura-pura ketakutan dan berkata,
“Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”
Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar ia
berlaku hati-hati untuk menyampaikan “surat rahasia” itu, Cin Hai lalu pergi ke
kamarnya di tempat pelayan. Malam itu ia tak dapat tidur, seluruh pikirannya
terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.
Pada waktu itu, ia telah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw
Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa
dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dan Ting Sun pasti ada
hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya. Louw Sun Bi
telah melepas budi kepadanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh
anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Ia harus menghalangi hal ini. Sudah
menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu! Dengan pikiran ini Cin
Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali dan membacanya. Ia tahu
bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang
laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela
melakukan hal yang tidak patut ini! Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk
Ting Sun itu dan benar sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu
kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih
silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengan malam!
Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia tidak tahu malu. Ting
Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan
mengangkat saudara hingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya
guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh
dibilang bahwa Bin Nio adalah keponakan Ting Sun sendiri! Tetapi ternyata dua
orang itu telah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai memutar
otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.
Semalam penuh Cin Hai tidak dapat tidur dan pada keesokan harinya, dengan
diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil
memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu. Ting Sun menerima surat dan
membacanya dengan wajah gembira. Berbeda daripada biasanya, ia berlaku manis
terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak
itu kini dapat merupakan jembatan bagi perhubungannya dengan Bin Nio.
Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw
Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin
Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!
Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah
bangku.
“Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang telah mengganggumu? Kau pucat sekali,
apakah kau sakit?”
“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya
marah dan sedih sekali!”
Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur,
rajin dan tidak banyak cerewet ini.
“Katakanlah, jangan takut-takut!”
“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan
terlebih dulu saya mohon maaf sebanyak-banyaknya karena setelah hal ini saya
ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan
saya.”
Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah
terjadi hingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”
Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan tentang surat Bin Nio dan bahwa
malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup
pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya
peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku
begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya baik hati tertimpa kejadian macam
ini, ah...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka
Louw Sun Bi yang makin pucat itu.
Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada panas hampir
meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat ia bisu tak dapat berkata-kata.
Ia telah tahu akan perhubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu ia bahkan
telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya
gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama
sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tak bergerak bagaikan patung batu,
Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata,
“Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran.
Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang
tidak khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih
baik Loya menjaga datangnya penyakit daripada mengobatinya setelah datang!
Karena itu, maka daripada ribut-ribut dan marah hingga semua orang mendengar hal
yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi.
Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!
”
Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Ia memandang wajah Cin Hai
dengan heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut
anak itu!
“Cin Hai, kau seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama
sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak
keluar dari sini?”
“Loya, Siocia telah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu.
Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca
suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi
maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”
Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi ia terheran akan sikap Cin Hai
yang polos dan bersifat gagah ini.
“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok
setelah peristiwa ini kubereskan.”
“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”
Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau
takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”
Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biarpun saya seorang
bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya
akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan
saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu
bertindak keluar.
Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok
bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi
bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Ia
langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya
menginjak tanah, ia berdiri diam bagaikan patung!
Di sana di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua
lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar
tajam!
“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagipula, kau
datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”
Ting Sun terkejut sekali dan merasa seakan-akan ada petir menyambar
kepadanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!
“Orang she Ting, aku telah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat
ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada
semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tak kembali lagi, sehingga
kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau
berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”
Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih
berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua
itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja
menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun
mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini,
tetapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan
rahasianya!
Pada keesokan harinya, setelah semua anak murid berkumpul Louw Sun Bi
sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di situ dan mendengarkan serta menyaksikan
Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran
kepada anak gadisnya bahwa sebagai seorang gadis ia harus tahu menjaga
kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.
Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar telah berada di situ, semua
murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga
bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak
pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan
seperti biasa, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh
daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan
tindakan gagah dan dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu
menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian ia melihat ke arah Cin Hai yang sedang
menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya ia menghadapi semua
murid dan berkata,
“Anak-anak sekalian, aku membawa berita penting sekali untuk kalian. Mulai
hari ini, kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini aku akan
berangkat meninggalkan Ki-bun.”
“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.
“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali
ke sini. Tetapi kalian tak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu,
kepandaianmu akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan
selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan
pada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok
jalan darah tai-twi-hiat. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”
Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan telah tiba. Ia menghampiri guru
silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh
kebencian dan marah itu.
“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak
menggunakan jembel busuk ini sebagai contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun
memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah, untuk
menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”
Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya
ditekuk ke dalam.
“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian ia
menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.
Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga
totokan itu tidak mengenai sasaran.
“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan
tangannya mencegah serangan Ting Sun. Tetapi guru silat itu marah sekali melihat
betapa totokannya dikelit.
“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya dan ia mengirim tendangan
ke arah lambung Cin Hai. Tendangan iin gebat sekali dan kalau terkena, pasti
nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi terkejut dan marah. Pada saat ia bangun berdiri dan hendak
loncat menolong, tiba-tiba ia terheran-heran dan duduk kembali dengan mata
terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting
Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan
itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi dan berlari-lari
memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan
melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan! Ting Sun yang
tidak mengenal gelagat, biarpun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih
terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sungguh
aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang
mulai menari-nari! Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya
melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana
ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan
menari-nari?
Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun
merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk
menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangan selalu tidak mengenai
sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai! Mereka ini sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan
terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang
sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun selalu
pukulannya itu meleset dan tidak pernah dapat mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat
pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh atau bagian tubuh anak muda itu
bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!
Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang.
Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak
heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan
yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, tetapi yang kelihatannya betul-betul
mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang
dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biarpun belum banyak mempelajari ilmu silat
mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?
Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin
indah gerak tarinya. Setelah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan
dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran
kepada guru sombong itu. Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh
ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok
urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri, maka tidak ampun lagi guru silat
itu roboh terguling-guling!
Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali ia dibikin
jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan limu Silat Liong-san Kun-hwat
yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi
tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun
berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya
merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau
Burung Hong Mementang Sayap ia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa
tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!
“He, Siauwya, kau mengapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang
tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah. Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin
Hai sengaja memusnahkan totokannya hingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan
pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai mendahuluinya dengan totokan
lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung! “Eh, eh,
Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.
Murid-murid bukoan yang melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun,
menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat di dekat Cin Hai dan
tertawa bergelak-gelak.
“Anak-anak semua. Lihatlah, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali
mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah
melihat baik-baik? Contohlah anak inil, sebenarnya ia seorang berilmu tinggi,
tetapi yang dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai
bertahun-tahun hingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia
adalah murid seorang ahli!”
Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang segera
dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin
Hai lihai sekali, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari
bukoan tanpa berani menengok lagi! Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tertawa
bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, maka ia lalu
bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega
menipu aku orang tua! Sebenarnya engkai ini murid siapakah. Bukankah kau murid
dari Liong-san-pai?”
Cin Hai dengan sikap hormat dan merendah menjura. “Bukan. Loya, saya bukan
murid siapa-siapa.” Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari
Kang-lam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan
guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi
kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi menyangka bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang
telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak
berani mendesak, hanya menyatakan kagumnya. Tetapi Cin Hai lalu minta maaf
banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu
terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.
Terpaksa Louw-kauwsu tak dapat menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan
perantauannya, tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan
pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu. Cin Hai
menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian setelah memberi hormat lagi,
Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak lupa memberi hormat sambil
berkata, “Siocia, mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di
sini dan jagalah dirimu baik-baik!” Bin Nio hanya menundukkan muka dan air
matanya mengalir turun. Ia insaf betapa ia telah salah mengenal orang.
Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa
tujuan tertentu. Ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya
terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah
merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, matanya
lebar dan mukanya bulat membayangkan kejujuran dan ketinggian pribadi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa
tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang
membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa
hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan
maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa “Di empat penjuru lautan, semua orang
adalah saudara!” Dulu ia seringkali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini
yang dianggapnya kosong dan bohong. Tetapi sekarang, ia mengerti betapa tepat
dan mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus digunakan secara aktip, tidak
boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang
seperti terhadap saudara sendiri, hingga sudah sepatutnya kita menolong
saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran. Janganlah kita memandang
ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut
supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku
kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi
buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada
yang mengganggapnya. Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang
sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya asal makan
dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih banyak sekali
terdapat tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan
keadaan orang lain atau “saudara” kita yang hidup menderita kesusahan.
Setelah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap
intisari segala ujar-ujar yang dulu ketika masih kecil dihafalkannya di luar
kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang
dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari tiga perempat
bagian dari Liong-san-kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa-kiam-hwat,
namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di
kalangan kang-ouw menyebutnya “Pendekar Bodoh” karena wajahnya yang tampan
dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh. Pada suatu hari, ketika
memasuki dusun, ia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, ia
mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggauta
Sayap Garuda tengah menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta dalam
pelukannya. Orang itu sambil memondong korbannya, meloncat ke atas seekor kuda
besar dan hendak kabur. Tetapi sekali loncat saja Cin Hai sudah menghadang di
depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”
Anggauta Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah
Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai,
tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara
kedua jari tangan. Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu lalu membedal kudanya
dan kabur dari situ. Tetapi Cin Hai secepat kilat menggerakkan tangannya dan
mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggauta Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit kesakitan, tetapi ternyata ia adalah seorang yang
bertubuh kuat, karena biarpun telah terluka, ia tetap masih dapat kabur sambil
membawa gadis yang diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar akan kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang
merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji
dan hina mengandalkan pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan
mata sendiri betapa seorang anggauta gerombolan itu menculik seorang gadis
dusun, ia menjadi marah sekali. Ia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul
kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan
anggauta Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa
Cin Hai mengejar seorang anggauta mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai
dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya, Cin Hai tak pernah menggunakan senjata lain
kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu, ia telah banyak menjatuhkan lawan
yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk
menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kali ini, menghadapi keroyokan gerombolan
Sayap Garuda yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, ia terdesak dan sibuk
juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama ia dapat
mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul Yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,
“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa
penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang agaknya
tidak mudah merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi
Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi,
maka ia mendahuluinya dan mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke
arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh, lawannya tidak berkelit maupun menangkis dan ketika
sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju hendak
menangkap pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan biarpun
ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul
itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa ia melepaskan sulingnya dan membuang
diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa
bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan
menjauhinya.
“Ha, ha, ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan
tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,
“Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri
dan bergaul dengan segala kaki anjing?” Sebutan kaki anjing adalah sebutan untuk
menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana
datangnya, tiba-tiba di situ telah berdiri seorang wanita tua yang berwajah
buruk sekali! Mukanya hitam seperti pantat kuali, pipinya keriput dan matanya
yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di
punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai,
wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja ia
berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban
Biauw Leng Hosiang, “Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?” “Tetapi
kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing aku takkan tinggal diam
saja. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan
menghalang-halangi Sutemu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang lalu meloncat pergi dan Biauw
Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi ia tidak diberi
kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap
Garuda menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada
Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia
sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Tiba-tiba tampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan
sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak seorang anggauta Sayap Garuda
roboh mandi darah!
“Niocu!!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras dan kedua matanya
dikejap-kejapkan seolah-olah ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri.
Setelah jelas bahwa yang menolong dirinya dan mengamuk itu adalah Ang I Niocu,
tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang
I Niocu, maka ia berteriak keras,
“Ang I Niocu yang datang, lekas lari!” Dan ia mendahului kawan-kawannya
lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda
itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa kurban
mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
NIOCU...! Sekali lagi Cin Hai berseru girang dan gadis itu memandangnya
dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat
betapa Cin Hai kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak
terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu
memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.
“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”
“Niocu... Niocu... jangan kautinggalkan aku lagi!” Mendengar ucapan yang
masih bersifat kanak-kanak ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun.
Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ.
Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya tentag pengalaman
Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang. Cin Hai
tanpa menyembunyikan sesuatu lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya hingga
ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu
menagis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” tanya Cin Hai sambil memandang
wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis
itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting
sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah gua rahasia yang disebut Gua Tengkorak
Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa gua itu berada di puncak
bukit yang tampak dari sini itu! Karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan
dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu
dapat bertemu.”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa ia telah menurutkan jalan di
petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
“Bukit itu namanya Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke
arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku
harus dapat mencari gua itu di sana. Ketahuilah, bahwa selain aku, masih banyak
orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan gua itu. Maka marilah kau
ikut aku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tak berani
membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama
dengan Ang I Niocu lagi, ia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki
Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil mendapatkan gua itu
yang tertutup oleh tumpukan batu yang ratusan banyaknya. Dengan tak mengenal
lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah
sebuah guha yang luar biasa besarnya dan gelap! Mereka masuk ke dalam dan
setelah berjalan dengan hati-hati dan merayap beberapa lamanya, ternyata di
sebelah dalam gua itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas.
Mereka terus maju ke dalam dan akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang
tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan
tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati
berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan
Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri
ruang yang luas dan tinggi itu, tampak tengkorak-tengkorak yang tinggi besar
berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai
memperlihatkan gigi besar-besar. Tinggi tengkorak itu sedikitnya tiga kali
tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan
pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Tiba-tiba Ang
I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,
“Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan ia memandang ke arah depan. Dan
benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya
terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat daripada batu yang sangat tebal dan di
dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam. Di tengah-tengah kamar
itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw
keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruang yang luar biasa luasnya
ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih
mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi
mati ketakutan!
“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih
mengebulkan asap?”
“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api di
dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan
membakar dupa di dalam hio-louw itu.”
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya
bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti
ini! Tadi pun gua masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih
tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?
Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Ia
berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan
kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya. Cin Hai
mengikuti di belakangnya dengan hati dak-dik-duk dan mulut terasa kering. Belum
pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan ia
merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak!
Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang
besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking
ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan ia menjadi pucat sekali. Tak terasa
lagi ia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tak
lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat ia menjadi
terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut
menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua
kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan
yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan
kepalanya bergerak ke kanan-kiri!
Ang I Niocu cepat mencabut pedangnya dan siap sedia menghadapi segala
kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tidak
membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga
ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang
manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi ia lalu memungut
sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu
dengan senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema
hebat di dalam ruang itu dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”
“Hush...”
“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang lain!
Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kaukira aku
tidak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat,
mereka sudah mendatangi dan berada di luar gua!”
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang
luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi
keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang
tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang
bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai
heran sekali ketika melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kang-lam
Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua
sutenya! Akan tetapi pada saat itu ketiga tosu ini nampak tegang dan bersiap
sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon.
Giok Yang Cu yang tinggi besar itu telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok
Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di
ruang itu sambil memandang ke kanan kiri.
“Orang yang berada di dalam gua, keluarlah untuk bertemu dengan kami!”
terdengar Giok Im Cu berteriak dan suaranya bergema di dalam gua besar itu
seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu. Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin
Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang
sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran mengapa
kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus
bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!
Akan tetapi pada saat itu dari luar gua terdengar suara orang dengan suara
yang parau menyeramkan,
“Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk gua ini?” Sebelum gema
suara ini lenyap orangnya telah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut
sekali karena orang ini adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang
bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memperlihatkan
dadanya yang berbulu, juga hwesio ini memegang senjata yang lihai yakni sebatang
tongkat ular. Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa
bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh,
seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam gua itu ikut tertawa
hingga keadaan menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang
kalian takkan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang sudah menjadi nasibmu
untuk binasa di dalam tanganku!”
Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an
kami tak berhasil membunuhmu, adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh
ular-ularmu. Sekarang kami akan menebus kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil
berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam
Sam-lojin pasti akan kalah!”
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Kepandaian Hai Kong Hosiang
dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan jian-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Seribu
Ular memang luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya cepat dan hebat
hingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya.
Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera
mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san-kun-hwat yang juga luar biasa
dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong
Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah
maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi daripada tenaga mereka!
Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka karena
benar-benar permainan tongkat Hai Kong Hosiang hebat sekali dan mengurung mereka
bertiga dengan ancaman-ancaman maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat betapa ia dapat mendesak ketiga orang
lawannya, merasa girang sekali dan hwesio gundul ini tertawa ha-ha-hi-hi sambil
memperhebat serangannya. “Eh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi, biarpun ia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena
ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena
Liong-san-kun-hwat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tak mudah bagi
Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang
muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “ dapatkah kau
mengalahkannya?”
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu lalu bibirnya yang manis
dan merah tersenyum.
“Agaknya takkan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia
merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya ia berada
begitu dekat Ang I Niocu maka hatinya merasa girang dan terharu sekali. Tanpe
terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia
merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas
genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi tiba-tiba tangan gadis itu
mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Ketika pemuda
itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan muka untuk menonton pertempuran
yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa kini Kanglam
Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali, sementara
itu Hai Kong Hosiang makin gagah dan ganas saja.
Pada saat itu, kembali terdengar suara gaduh di luar gua, tetapi kali ini
dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang
yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak ada waktu
untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru. “Ha, ha, Kanglam Sam-lojin,
hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari
tempat ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak
menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat
berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana
terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan
menjenguk ke dalamnya. Asap mengepul makin banyak ketika tutup hiolouw itu
terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Ia melongok ke
sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu
dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia
mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang
kuat-kuat. Ia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk
mengangkatnya. Tetapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat,
bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa menggunakan tangan untuk
menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Ia geli sekali melihat betapa
hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang
keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia merasa geli bercampur heran. Tak pernah
disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor
itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Ia mempergunakan
tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai
bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar gua masuk seorang hwesio
lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul. Cin Hai makin heran ketika
mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat
lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Mengapa banyak sekali
orang-orang lihai datang ke gua ini?
Sementara itu, Hai Kong Hosiang ketika mendengar suara orang masuk ke dalam
gua, lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri
memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa
tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar
itu! Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya,
ia tersenyum menyindir,
“Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari
pusaka ke dalam gua ini?”
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran ini dengan suara memandang rendah,
“Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada
waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar
dari sini, nanti apabila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh
berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!” “Biauw Leng, kau sungguh tidak
memandang orang! Kepandaian apakah yang kauandalkan maka kau berani berkata
semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah jangan banyak cakap dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang
berwatak keras itu berkata lagi.
Kini Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya
dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang
masuk di sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah
kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Sucimu, Biauw Suthai yang
selain gagah perkasa juga patut dihargai karena memegang teguh peraturan
kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”
Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring
seperti suara ketawa seorang wanita.
”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah
dulu! Kaubilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kaukira bahwa
aku tidak melihat Kanglam Sam-loji keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka
masuk, tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih
dulu dari padamu?”
Hai Kong Hosiang menjadi malu dat makin marah. Tak perlu kita mengadu
lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau harus dapat
mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!
“Hai Kong! Kaukira pinceng takkan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw
Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk
bertempur!
Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali
menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini, melihat betapa
beberapa kali terjadi pertempuran-pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan
yang berilmu tinggi, tentu saja ia merasa senang sekali. Ia maklum akan
kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu
bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang berdarah panas itu sudah mulai
menyerang dengan hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan
kiri dan sebuah pedang pendek di tangan kanan, gerakannya cepat dan berat, kedua
senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan
berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai sambil mengintai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis
itu karena ia mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kauduga
siapa yang akan menang?”
Ang I Niocu semenjak tadi melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia
merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dulu ketika Cin Hai masih
kecil dan berkepala gundul, ia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa
seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri, kini Cin Hai telah hampir dewasa
dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi
tegap. Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu
memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat dan wajah berseri-seri, mulut
tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa
sebetulnya ia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa
heran dan tidak mengerti mengapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan
merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa katamu?” ia balas berbisik ketika Cin Hai mengulangi pertanyaannya,
lalu ia memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah, siapa yang akan menang,
kepandaian mereka berimbang. Walaupun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi
dan lebih lihai geraknya, namun Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal
mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu
curang dalam gerakannya. Mungkin akan berjalan lama pertempuran ini.”
Cin Hai memperhatikan baik-baik. Tiap pertempuran baginya adalah penambahan
pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka ia dapat
memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara
jago tua itu, ia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal
sekali. Ia merasa bahwa untuk dapat memiliki kepandaian tinggi dan dapat
menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, ia masih harus
belajar banyak!
Karena merasa jengkel tak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang
ternyata memiliki kepandaian lebih lihai daripada yang semula ia duga, Biauw
Leng Hosiang merasa tak sabar dan tiba-tiba ia bersuit keras. Dari luar gua
terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba dari luar menerobos lima orang
yang berpakaian seragam. Mereka ini ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda
yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok
Hai Kong Hosiang!
Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat
perwira menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang
masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang
sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang. Sudah tentu saja
masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini membuat Hai Kong
Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi makin sibuk. Akhirnya sebuah totokan
yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat
dihindarkan telah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak
keras sekali lalu roboh!
Kalau orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang
dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat tentu melayang jiwanya.
Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan
hingga ia hanya menderita luka dalam yang tidak membahayakan jiwanya. Akan
tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya dan untuk beberapa lama ia
hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya
meringankan luka pundak yang menembus dadanya.
”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan
suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka
seperti pantat kuali den matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada
di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.
Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat sucinya telah berada di situ!
Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu ketika Biauw
Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai lalu pergi. Akan tetapi ia masih
merasa curiga kepada adik seperguruannya yang telah berkali-kali melakukan
pelanggaran perguruan mereka dan berkali-kali ia tegur karena menjalankan
kejahatan itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti adik seperguruannya itu.
Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan
lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira
menyerbu ke Gua Tengkorak itu.
Ia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan setelah melihat betapa sutenya
mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia lalu menyerbu masuk dan telah
mengambil keputusan tetap untuk menghajar sutenya yang tersesat.
“Biauw-suci, kau lagi-tagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku.
Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?”
kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena ia
mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng! Apakah kau telah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dulu?
Percuma saja kau menjadi pendeta kalau kau selalu melanggar pantangan kita dan
melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentu masih ingat bahwa di antara
segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim
dan menjadi anjing penjilat.”
“Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar
mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi kau selalu
tetap melanggar. Sekarang, mari kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan
makam Suhu!”
“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat kau dulu sering melatih dan
memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tetapi kau
jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan
dan akan melawan jika diinjak, apalagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci
yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu makin memburuk dan matanya yang
tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa ia marah
sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut
dan jerih juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai
yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya. Biauw
Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah
milik mendiang suhu mereka dan yang bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati
akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai telah
mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun
tentu akan dihukum mati oleh sucinya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah
memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan
menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika ia dirobohkan oleh
Biauw Leng Hosiang, maka ia merasa bersimpati kepada tokouw ini apa lagi kalau
ia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka ia
tidak dapat menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang
erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya ketika ia pergi
bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,
“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan
keroyokan!”
Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Ia maklum bahwa
kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu
tinggi itu maka ia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula
mengejar Cin Hai sambil berseru,
“Hai-ji, hati-hati!”
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada
orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi ia tak berdaya karena Biauw
Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, kelima perwira Sayap Garuda ketika melihat keluarnya seorang
pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak tertegun. Kemudian setelah Ang I
Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara
mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang telah
dipelajarinya. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu
mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san-kun-hwat! Dengan ilmu silat campuran ini
ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Sedangkan perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa
gebrakan saja telah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju
Merah yang menari-nari di depannya itu! Melihat betapa perwira ini terancam oleh
bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula
mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali
dikeroyok tiga! Nona ini selain menghadapi ketiga lawannya, juga berusaha
mendekati Cin Hai hingga dapat siap sedia membela dan menolong pemuda itu
apabila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.
Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosian dan
seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan
hebat sekali dan pada suatu saat ia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan
merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri
Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil
muntah darah dan tewas seketika itu juga!
Semua perwira merasa terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat.
Melihat betapa orang yang mereka andalkan telah tewas, maka mereka tidak berani
bertempur lagi.
Biauw Suthai ketika melihat sutenya rebah di atas lantai batu dan telah
binasa, tiba-tiba ia menubruk sambil menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin
berkeluh-kesah dengan suara memilukan. Kemudian Biauw Suthai menghampiri Hai
Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata dan mengobati luka di dalam dadanya.
Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka
hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan
lukanya menjadi berkurang sakitnya.
“Hai Kong Hosiang, kaumaafkan Suteku yang telah menebus dosanya dengan
jiwanya.”
Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini lalu meninggalkan
tempat itu, Biauw Suthai lalu mengangkat sutenya dan sambil memondong tubuh yang
tak bernyawa pula itu, ia hendak meninggalkan gua. Akan tetapi Cin Hai melangkah
maju dan sambil memberi hormat ia bertanya,
“Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah
dia muridmu?”
Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Eh, anak muda
yang berani, kau siapakah?”
“Suthai tentu telah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin
ketika kau mencu... eh membawanya pergi!”
Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu
ia pergi sambil memondong jenazah sutenya!
Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa
pembantu yang pandai, mereka merasa jerih menghadapi Ang I Niocu yang tadi telah
mereka kenal kelihaiannya. Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya
nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couwnya
karena telah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini,
sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda
itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia
menerima hukuman!”
Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa, sedangkan Cin Hai merasa tidak
puas sekali melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut kepada Bu Pun Su.
Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika
melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali. Orang
ini bertubuh pendek sekali, barangkali sama tingginya dengan seorang kanak-kanak
berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik ke sana ke mari tiada
hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali
seperti telinga gajah, sedangkan mulutnya. Berbibir tebal. Ia memakai jubah
panjang yang menggantung sampai ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna
jubah ini yang hitam sekali.
“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah
karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu. Ang I Niocu juga menengok
dan terkejutlah dia, terkejut karena mengingat betapa lihainya orang ini yang
dapat datang ke situ tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan ia sendiri
dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang
kate ini telah berdiri di depannya. Ketika ia bangun dan memandang, ia
memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat
mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah
terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di
dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil
berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam
gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara
ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu
perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan
tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya
dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa makin geli dan keras. Ketika
tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri sekali, apalagi
melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu bicara kepada Hek Moko dan
menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), ia merasa makin geli karena alangkah
ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya
dengan sebutan locianpwe. Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang
menyeramkan dan lucu itu, ia melihat betepa telinga gajah itu dapat
bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar.-benar digerak-gerakkan untuk
mengipas tubuh. Maka pemuda ini tak dapat lagi menahan geli hatinya dan tertawa
keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memuta mutar kedua
matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”
Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah
selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka ia
berkata,
“Orang tua, orang baru tertawa kalau berhati senang. Kau tadi tiada hujan
tiada angin tertawa, tentu berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun
menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan
sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”
Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang
mempermainkannya, akan tetapi ia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang
tertawa itu. “Coba kauceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan kedua
mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh meniru
suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
“Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang
bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”
“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan ia tertawa lagi. Lenyaplah rasa
marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai
sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang
bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang
mengobrol!
“Kenapa aku tertawa? Ha, ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel
tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan
memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar
menyambut?” Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin
besar menyambar ke arah sebuah tengkorak yang dikebutnya hingga tengkorak itu
bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
“Hek Moko, kau jangan terlalu seji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk
juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar
tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang
bicara dari berbagai penjuru! Ternyata dalam kata-katanya ini, Bu Pun Su telah
mendemonstrasikan kehebatan khikangnya yang telah dapat mengirim suaranya ke
berbagai tempat dan biarpun dia tidak meninggalkan gua itu, namun dia telah tahu
bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko. Hek Moko diam-diam memuji dan ia lalu
mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari
luar gua terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara
suitan itu lenyap, dari luar gua menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai
melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di dekan Hek Moko! Orang yang
baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan
tetapi anggauta mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya merupakan dua garis
melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang telah sangat
terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka ini datang dari
sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya.
Biarpun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sutenya.
Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan
jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut
Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama aseli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari
balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan
bermalas-malasan.
“Kalian Iblis Hitam dan Putih, setelah lebih dari lima belas tahun tak
bertemu, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju
ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” kata Bu Pun Su
setelah berhadapan dengan mereka.
“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kusangka kau
masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua
saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.
“Hek Moko, jangan seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua
bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, mengapa takut aku
menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kausuka, aku takkan peduli.”
Giranglah wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. “Memang, semenjak tadi ia
telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jerih hingga
diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan
tahun yang lalu, ia dan sutenya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam
tangan orang tua lihai itu, hingga masih merasa jerih dan ragu-ragu untuk
memusuhi orang tua itu.
“Ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu
dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian mendengar
tadi kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!” Setelah
berkata demikian, Hek Moko lalu melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang
berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan
untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan
tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang
cukup besar. Hek Moko menjenguk dan ia segera meloncat sambil memperdengarkan
suara ketawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk
melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Bu Pun Su.
Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah
Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek
Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya
yang besar.
“Biarlah sekali laqi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan
tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan
sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri dekat
Bu Pun Su hingga hiolouw itu tidak saja mengancam Si Kakek Jembel, tetapi juga
sekaligus mengancam mereka berdua! Hiolouw raksasa itu demikian berat hingga
sebelum datang, anginnya telah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya
seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa hingga dapat
dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini! Akan tetapi di depan
Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau
ngeri, maka ia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan
hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya tegang dan mata
terbelalak.
Ang I Niocu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, namun ia mengerti
bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka ia
hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apabila jatuhnya menimpa dia
atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di
situ terdapat kakek gurunyat takut kalau-kalau dianggap lancang tangan. Akan
tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su
yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw
yang menyambar k arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat
pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan
mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah
mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su
melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran
sekali, ketika kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su
seakan-akan besi sembrani yang menarik hiolouw itu hingga kaki hiolouw menempel
pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw
itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan
yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang terpaksa meleletkan lidah tanpa merasa lagi saking
kagum dan herannya, tetapi juga Ang I Niocu memandang dengan mata kagum karena
baru sekarang ia menyaksikan sucouwnya mendemonstrasikan kekuatan lweekangnya
yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lalu berkata dengan suara
lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan
bersembahyang maka harus dihormati. Apalagi benda ini umurnya telah ribuan
tahun, jauh lebih tua daripada kalian atau aku, maka tidak boleh kita
merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai
menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku takkan mengampunimu, Hek Moko!”
Setelah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas
kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi
berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini
segera bergerak cepat. Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih
jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka sendiri dan biarpun mereka
mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi,
sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala
membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus. Untuk dapat
menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga
lweekangnya dan kakek itu biarpun tenaga lweekangnya sangat hebat, namun
sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat
membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan
mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biarpun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka
agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka,
tiba-tiba keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri!
Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya
bermaksud untuk main-main.
Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar
jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri
menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh
curang!”
Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan
hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu ia telah
mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka dan mendahului mengirim
totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit
pun bahwa Bu Pun Su memiliki kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau mereka
meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran,
tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok. Cepat mereka
menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain serangan! Mereka
berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua takkan dapat menyelamatkan diri lagi,
karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri
tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang
turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!” dan tubuhnya merupakan
bayangan merah berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu
membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah
dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang
dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu makin
cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu hingga anginnya
telah membuat rambut kakek itu berkibar.
Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya.
Tadi ia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biarpun
berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali ia tidak mau membiarkan
hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah hingga tumpah isinya atau rusak. Kalau ia
tidak menyayangi hilouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas
menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja ia akan berhasil
mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau ia melakukan
ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.
Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai
ahli silat terpandai di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk
menyelamatkan diri daripada serangan kedua lawannya, yakni dengan membarengi
mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi ia tidak sudi
menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan. Tiba-tiba
saja ia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi
tergetar dan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang
mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang beradu. Kedua iblis itu pun
menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka
tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka. Kesempatan yang hanya
beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan baiknya karena tiba-tiba
saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana ia menggerakkan tubuhnya,
tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di
antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas daripada kedua serangan maut
itu.
Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun
makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko
yang terulur ke depan dalam menjalankan pukulan mereka tadi. Dengan terkejut
kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil melompat mundur, takut
kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati,
kini Si Jembel tua telah rebah terlentang dan hiolouw itu dengan kecepatan luar
biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka
takuti itu.
Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat.
Karena tiada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, Bu
Pun Su sambil rebah terlentang lalu mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke
atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat
sekali, melebihi kecepatan luncuran hiolouw, kaki itu bergerak ke bawah dan
membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun dan
kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan
luncurannya dibelokkan oleh ayunan ini. Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke
bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su,
kemudian kaki itu menendang sedikit hingga luncuran kini dibelokkan ke atas
kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan
tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun
Su telah meloncat berdiri dan kembali dengan kepalanya ia menerima hiolouw itu!
“Aduh, hebat! Aduh... hebat!!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I
Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah
lenyap.
Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani
sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi
sesuatu, berjalan terus dan setelah tiba di tempat hiolouw, ia memegang kaki
hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali
ia meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan
angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari
renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi
Hek Moko,
“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono hampir saja kalian merusak
hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.
Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas daripada
bahaya maut dan ia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka tetapi
hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Agaknya kakek aneh ini lebih
mementingkan hiolouw daripada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya,
tentu saja merasa penasaran dan tidak mau tunduk dengan demikian mudah.
Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang
pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan
kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang
itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata
lawan akan terampas. Akan tetapi tasbeh di tangan kiri itu tidak kalah
berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat
terputus oleh senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang
merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu
apabila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, ia dapat digunakan sebagai
senjata rahasia yang ampuh dan ganas!
“Eh, eh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh.
Kalian menghendaki pertempuran dan hendak merusak tubuhku, silakan. Asal saja
jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis
itu berbesar hati. Masih baik bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah,
akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran hingga ia
tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,
”Eh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu daripada
tubuhmu sendiri!”
Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja!
Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apakah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak
binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun takkan ada
gunanya bagi manusia. Sebaliknya, hiolouw ini telah ribuan tahun umurnya dan
telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian
setelah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret
di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan berguna bagi manusia yang
masih hidup, karena ia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang
hendak berhubungan dengan Tuhan.”
Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana tetapi
mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam ia memutar-mutar otaknya mencari
ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat ia
menemukan.
Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di
situ kakek jembel ini lalu duduk bersila lalu berkata kepada Cin Hai,
“He, gundul totol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu
itu!”
Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya
hanyalah sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa,
maka ia lalu melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka
berseri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu
meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya! Cin Hai merasa
makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu
tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol mengapa sampai sekarang ia disebut
tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan
alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air
mata! Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi
Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa
mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tak pantas
baginya memegang tangan Ang I Niocu walaupun dara itu seorang yang sangat
dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
“Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan
menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,
“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu
dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”
Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan
patung batu diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ
merupakan saksi mati daripada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu. Cin
Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali, mereka
melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan
telah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!
“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…” bisik Cin Hai.
Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton
saja.”
“Bu Pun Su, awas, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari
belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala
Bu Pun Su!
Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai
berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang
tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat. Akan
tetapi, bagaikan ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah
menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala hingga tasbeh itu
memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu dan Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa
mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.
Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersamadhi sebagaimana yang mereka semua
kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala
pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu hingga tanpa memandang atau
bergerak, ia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun
datangnya!
Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah
sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biarpun mereka
dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah
pertempuran yang hebat. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka
berdua melatih diri dan bahkan mereka telah menambah senjata pedang mereka
dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai. Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun
Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan
mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi
mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu mengambil keputusan untuk
berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya,
sedangkan Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang
mematikan.
Betapapun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan
keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa
kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat daripada
kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke gua itu. Lebih tinggi tingkat
kepandaiannya daripada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih
lebih lihai daripada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka
sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat agak lama tidak hanya lenyap perasaan kuatir
mereka, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng heran dan kagum!
Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu
Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya! Kakek jembel ini tidak
melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah
serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis!
Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya, dapat ia kelit dengan mudah dan
serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tak dapat ia elakkan, maka lalu
ditangkisnya dengan tulang. Biarpun ada empat buah senjata menyerang berbareng
dari empat jurusan, masih dapat ia tangkis dengan putaran tulang yang berubah
menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis itu makin marah dan penasaran. Telah puluhan jurus mereka
membacok, menusuk, memukul dan melakukan serangan bermacam-macam akan tetapi
selalu sia-sia hasilnya. Benarkah mereka takkan berhasil mengalahkan seorang tua
yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas
sedikit pun! Ah, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih
gencar dan hebat.
Sementara itu, melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela
diri saja tanpa mau membalas sedikitpun Ang I Niocu dan Cin Hai penasaran
sekali. Akan tetapi, apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa
kepandaiannya masih jauh daripada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu,
sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couwnya,
tidak berani turun tangan tanpa diperintah. Cin Hai berpikir, kalau suhunya itu
bertahan terus saja, apakah ia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan
juga? Ia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring
ia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,
“Seorang budiman hanya mencabut pedang untuk mempertahankan kehormatan dan
nama. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah
perbuatan orang gagah, hanya dilakukan oleh anak-anak dan orang tolol!” Kemudian
dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri,
“Aku masih bingung memilih nama untuk Hek Pek Moko, apakah mereka ini anak-anak
ataukah orang tolol??”
Karena suasana di situ sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis
itu yang kadang-kadang beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin
Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.
Tentu saja kedua iblis itu mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah.
Biarpun hanya menduga-duga saja, ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang
“memperebutkan benda” adalah tepat sekali. Cin Hai memang belum tahu mengapa
tokoh-tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Gua Tengkorak, akan tetapi ia
dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu
yang amat penting dan berharga. Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau
mendengarkan nasihat-nasihat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka
bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.
Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biarpun Bu Pun Su masih dapat
membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda
bahwa kakek itu telah mempergunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan
berbahaya dari kedua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak
kembali, kini lebih keras daripada tadi,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan
kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan. Orang
menyerang secara jahat dan tak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi
hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”
Biarpun Cin Hai berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh
oleh kata-katanya. Cin Hai tidak putus asa, ia mengulangi lagi kata-katanya
dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak. Akan tetapi
pada saat itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi
serangan kedua lawannya. Kalau ia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal
lain, maka kedudukannya akan berbahaya sekali dan pertahanannya akan menjadi
lemah. Oleh karena itu, maka teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan
yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.
Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat
kenyataan bahwa keadaan suciok-couwnya berbahaya sekali dan gerakan-gerakan
orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak
makin hebat! Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia
membantu Bu Pun Su. Kalau nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka
ia akan berlaku nekad dan membelanya, biarpun untuk itu ia akan mendapat marah
sekalipun!
Cin Hai lalu berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di
sudut. Ia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis
berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, ia
lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik.
“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”
Biarpun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena
percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan
kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang ia menggunakan
lweekangnya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah-sebatang suling
terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan
bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat
itu telah sangat terdesak, ia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan
bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang ganjil dan sukar
sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai mengerahkan kepandaiannya dan
mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu!
Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat
mendengar kata-katanya.
Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu
Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau
ia terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan
suara suling yang nyaring ini! Dan sangat untung baginya karena tidak saja dia,
bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian
Hek Pek Moko setengah bagian terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian
halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya karena
perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah
perhatiannya, maka biarpun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya
serang kedua itu pun banyak mengendur pula!
Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah
Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan
mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan
kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan! Orang
menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa
memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”
Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil hingga ketika tiupannya
ditunda, maka keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai
terdengar terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan
baik. Tiba-tiba kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “bicara tentang
kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga daripada muridku yang
bodoh! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua
turun tangan?”
Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir
berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih
hebat lagi!
”Siancai, siancai!” Bu Pun menyebut dan orang tua itu kini menggerakkan
tangan kirinya yang sejak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali
tangan kirinya bergerak, maka ia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang
menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah
tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya dan jatuh
berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya
bergerak pula menyambit. Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali
batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata
hingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri
Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas
lantai!
Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang
masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan
berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan
gemasnya,
“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”
Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata
mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat
keluar dari Gua Tengkorak dan melarikan diri.
Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah
berhasil menolong orang tua, maka ia lalu maju dan berlutut sambil menyebut,
“Suhu...”
“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat
persembunyian.”
“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda
memang paling doyan berkelahi!” Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu
dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya.
“Kiang Im Giok, sekarang kaupergilah ke timur dan mencari Sucimu di daerah itu.
Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu
membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau ia masih belum insyaf,
bawa ia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap
kelemahanmu sendiri!”
Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik,
Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan
berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”
“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”
Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi,
tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,
“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya
terdengar pilu dan terharu, hingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling.
Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!
“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhunya!
“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.
Kemudian kakek ini berdiri lalu berkata kepada Ang I Niocu yang hendak
melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu dulu. Aku masih ragu-ragu, apakah
kalau Sucimu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba
kauperlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sianli
Kiam-hwat!”
Ang I Niocu tidak berani membantah, lalu melolos pedangnya. Kemudian ia
mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali
bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring
tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, setelah gerakan Ang I Niocu menjadi
cepat hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima
puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”
Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi
kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin
Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil
berkata,
“Coba kauserang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”
Sungguh pemandangan yang indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat
Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan
tarian Ang I Niocu hingga mereka merupakan sepasang penari ulung yang
mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah
kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda,
tentu akan indah dan cocok sekali!
Cin Hai tak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su
tadi, akan tetapi, setelah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I
Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan, ternyata kakek yang lihai itu telah dapat
mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu menyerang
melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia
bersilat! Ia maklum bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, maka tangan kakek
itu tentu sudah berhasil merobohkannya dengan mudah!
Tiba-tiba kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari
gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik-beratkan kepada keindahan
gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat
kelemahan karena perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan
memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh
keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu,
akan tetapi kalau waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah
dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau
harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang
pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat
gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air
untuk menjaga agar jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat terbuka
yang diadakan oleh gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian
kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.
“Kalau tidak salah, Sucimu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau
ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, tiba-tiba wajah Ang I Niocu berubah
merah. Agaknya kakek yang luar biasa ini telah dapat menduga akan isi hati dan
perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai
lagi, Dara Baju Merah itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dilihat
oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.
“Nah, anak bodoh! Mulai sekarang kau harus berlatih dan belajar silat
dengan rajin. Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid,
dan sekali aku mengambil murid maka ia harus belajar dengan baik-baik agar tidak
akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut
segala perintahku, bukan?”
Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya untuk memberi hormat. “Teecu akan
menurut segala perintah Suhu.”
“Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu
semenjak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”
Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi
sedikit pun, akan tetapi setelah ia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,
“Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan
Kiang Im Giok!”
Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhunya dengan penasaran dan heran.
“Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu
seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”
Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang.
Perhubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!”
Cin Hai memang mempunyali sifat pemberani dan pantang mundur menghadapi
siapa juga apabila ia merasa bahwa pihaknya benar, maka ia lalu berkata lagi,
“Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu,
perhubungan teecu dengan An I Niocu itu, hanya mendatangkan perasaan kasih
sayang suci. Mengapa tidak? Teecu yang sebatang kara dan hampir semua orang
telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat dan hanya Ang I Niocu seorang
yang telah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah kalau teecu mempunyai
rasa kasih sayang yang besar kepadanya yang timbul karena perasaan terima kasih?
Ujar-ujar pernah menyatakan kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah
suci murni!”
Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu
menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, kau
terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh
dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah, kenyataan hidup ini jauh sekali
bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala
macam ujar-ujar yang indah itu ternyata tak dapat memperbaiki sifat manusia,
bahkan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala
keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”
Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya
kesusastraan. Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari
mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya
”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua. Memang bagimu aku
tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan
sekali kalau anak itu menjadi korban daripada kelemahan hatinya sendiri...”
Cin Hai mengerutkan keningnya akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang
telah nampak dewasa dan tinggi tegap akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih
bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhunya.
Pada waktu itu usianya telah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal
pengertian pergaulan pria wanita ia masih bodoh dan hijau.
“Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan hal
lain lagi. Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang takkan dapat menghasilkan
ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hwat dan
Sianli-kun-hwat. Juga Ngo-lian-hwa Kiam-hwat telah kau pelajari dari Im Giok.
Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya
sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapapun tinggi ilmu
silat seseorang, namun apabila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan
sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada
tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja
yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Jika engkau dapat
mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi
ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”
Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan
mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat
dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama
halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!
Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh
persilatan tertinggi yang mempunyai kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya
yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka
menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimanapun juga, Bu Pun Su dapat meniru
semua gerakan itu dengan sama baiknya, biarpun ia belum pernah mempelajari ilmu
silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja, setelah dapat mengetahui silat dan pokok gerakan lawan, mudah
saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan
syarat untuk mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus
dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga! Oleh karena ini, di samping mempelajari
pokok-pokok rahasia gerakan silat Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang membuatnya dapat bergerak gesit bagaikan seekor burung
walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya memiliki tenaga dalam
yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar maupun halus. Juga
untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang
khusus dan istimewa, karena ia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut
kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang
maupun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur
semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena ini, maka
latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk
memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersamadhi dan mempertebal iman. Jika
iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya “bunga api dari Tuhan”
menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi
kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan
melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai mempunyai dasar-dasar dan bakat yang baik, maka tanpa banyak
mengalami kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhunya
hingga Bu Pun Su merasa girang sekali.
Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai telah menerima
gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan
ia telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan
wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja
nampak bodoh dan mukanya yang lebar tidak mengurangi “tampang bodohnya”!
“Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau telah dapat menangkap
intisari daripada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu
silat yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya
dapat digunakan pada waktu menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat
digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan
apabila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik
sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah
menyerang orang. Aku hanya bergerak apabila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti
dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman
dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Maka, julukan “Pendekar Bodoh” harap
kaupakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang-orang
yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”
Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhunya ini dan semenjak berlatih
ilmu di dalam Gua Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia
hidup. Kini ia tahu akan maksud suhunya yang dulu memperingatkan bahaya yang
akan ada dalam perhubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu
adalah “cinta” yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua
dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta kepadanya sedangkan perjodohan
di antara mereka tidak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan
siksa dan derita bagi Ang I Niocu?
Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu akan tetapi
perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik kepada kakaknya, atau kalau
mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi,
siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati
iba terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia bertanya kepada suhunya akan segala peristiwa yang terjadi di Gua
Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su
tersenyum dan menceritakan seperti berikut,
“Gua ini dulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu
Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu San menjadi
panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang
waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang
menguasai tentara. Akan tetapi nasihatnya tidak dipedulikan oleh kaisar.
Akhirnya, setelah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut
dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan sejumlah tentara lima belas
laksa orang dan memukul ke selatan! Kaisar yang tidak becus mengurus
pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya
mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja, hingga dengan mudah barisan kerajaan
dapat dimusnahkan oleh An Lu San dan kaisar sendiri lalu mengungsi ke Secuan.
Ibu kota lalu diduduki oleh An Lu San semenjak itu. Di mana-mana seluruh rakyat
bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri
karena ia dicari-cari oleh An Lu San untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh
dan hanya ia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.
Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang
tinggi. Setelah menemukan gua ini dan memperbaikinya hingga menjadi sebuah
tempat tinggal yang besar dan aman, ia lalu mengumpulkan tulang-tulang binatang
besar yang banyak terdapat di gua ini, peninggalan dari jaman purba, lalu dengan
kepandaiannya ia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi
tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu! Jangan dikira bahwa
itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang
binatang yang diukir dan dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat
dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!
Dalam pelariannya, Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga
dari dalam istana, karena ia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke
dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu San mencari-cari menteri
yang setia itu. Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini
yang dipasang di depan dan di dalam gua, tidak ada tentara pemberontak yang
berani memasuki gua dan Lu Pin selamat dan tinggal di sini sampai datang hari
ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur dibawah hiolouw itu.
Kemudian, hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka
menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam gua ini
terlebih dahulu telah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu
keturunan dari Lu Pin hingga usaha mereka gagal!”
Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan heran. “Suhu, siapakah keturunan
dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”
Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa
lagi kalau bukan Suhumu sendiri?”
Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya. Tidak tahunya bahwa
kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang
bershe Lu?
“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta
benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan digunakan oleh Lu Pin untuk
membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap
pemberontakan An Lu San. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan
inilah barang itu!”
Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu
biarpun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilau dan
sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu Liong Coan. Inilah
Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka
Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”
“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang
ini hanya menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu
Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar
gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”
Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua
nasihatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedanglah yang harus dipersalahkan
dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia
ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau baik hanyalah
terjadi karena akibat daripada perbuatan orang dan hanyalah merupakan pandangan
seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik,
maka ia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud
buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!” Setelah Cin Hai menerima pedang
Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya
kau pergi meninggalkan gua ini, Cin Hai. Ingat baik-baik semua pelajaranmu di
sini dan pesanku terakhir : Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada
sesama manusia. Kalau terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka
lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama
membunuh orang tak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini
orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang telah mengkhianati bangsa
sendiri. Terhadap mereka ini pun kalau kiranya masih ada jalan lain, jangan kau
sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan
gua di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su,
kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Gua Tengkorak, suhunya telah memberinya sekantung emas
murni hingga Cin Hai tidak kuatir tentang biaya perjalanannya. Tujuan
perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak
kembali ke Tiang-an menemui ie-ienya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai
niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thionya, yaitu Kwee-ciangkun, namun
ia tidak dapat melupakan ie-ienya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di
dalam dunia ini, selain suhunya, hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang
menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya.
Beberapa pekan kemudian tibalah ia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada
suatu hari ketika ia sedang berjalan dalam sebuah hutan pohon pek yang indah,
tiba-tiba ia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan
kakinya dan di suatu tempat terbuka ia melihat empat orang sedang bertempur
hebat sekali.
Cin Hai bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan
ketika ia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat
mengenal muka seorang diantara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya,
Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang! Biarpun muka pamannya telah berubah kurus dan
rambutnya telah banyak uban, namun Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia
heran sekali mengapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!
Kwee In Liang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju
putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa ia adalah seorang tingkat
tiga, hingga lagi-lagi Cin Hai merasa terheran. Mengapa pamannya yang juga
serang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!
Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi lawan pamannya dan yang juga
bertempur dengan hebat. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki
kepandaian sitat, gesit dan hebat, bahkan sekali pandang saja tahulah Cin Hai
bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.
Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda dan bagian bawah
bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil ramping dan wajahnya manis
sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan
sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya
hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan. Dara manis ini
bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian
hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang biarpun
berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Ia lalu memperhatikan lawan
gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman. Ia menjadi terkejut karena
kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan
barangkali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya
model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Kedua lengan
tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang
dengan buasnya. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!
Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, dapat
mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap
Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya hingga pada suatu saat yang
baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk dan berhasil menangkap
lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di
belakang tubuh perwira itu. Sekali saja ia menggentakkan lengannya yang
tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya hingga perwira itu
terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan
ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!
Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju
merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan
Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu
dengan tiam-hwa (ilmu totok) model Mongol akan tetal cukup lihai hingga berhasil
membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh
Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak
gadis tadi dan hendak dilarikannya!
“Keparat she Boan, jangan kauganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan
melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi, ia segera memburu.
Cin Hai yang mengintai di balik pohon ketika mendengar betapa Kwee-
ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, menjadi tercengang dan memandang
lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa
gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik
oleh Biauw Suthai! Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena
girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak
mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini setelah tahu
bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dulu sangat jenaka dan
nakal itu, timbut kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.
Untung ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh
perhatian. Perwira baju merah itu ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak
menyerang untuk menolong Lin Lin, segera mendahului dengan serangan kakinya
hingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan terlempar! Ternyata bahwa
Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.
“Ha, ha, ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa?
Kautolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan
cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu
memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!
Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke
arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka ia mengelak sambaran
pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi
benda ke dua cepat telah menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja
benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan
diri dengan merendahkan tubuh. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja
tubuhnya merendah tanpa dapat dikelit pula, benda ke tiga telah menyambar pundak
kanannya!
Ia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi
karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya
menjadi lemas kesemutan hingga terpaksa ia melepaskan tubuh Lin Lin. Dan pada
saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung
Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua
sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa telah bebas cepat melompat ke
samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kaki karena
babatan kaki perwira she Boan itu tadi.
Perwira itu ketika melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir
buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang tumbuh di depannya
itu merasa kaget sekali, dan ia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang
mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar,
maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu
mencari. Tetapi aneh, di situ tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan
mencari-cari dengan matanya, tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan
tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!
“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau,
tetapi, tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”
Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan
mengira bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu
berkata,
“Boan-enghiong, mengapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa
anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang
lain!”
“Tak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja
di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”
Setelah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ
dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,
“Baiknya ia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”
Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab,
“Ayah, kau tidak tahu. Kalau tidak ada orang pandai yang membantu, entah
bagaimana jadinya dengan kita.”. Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan
dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan
itu pun telah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!
“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya ia
tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebetulnya
ia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.
Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut dan segera ia berseru
dengan suara keras,
“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat
menyatakan terima kasih kami!”
Akan tetapi, biarpun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul
atau menjawab.
“Sudahlah, Ayah. Agaknya ia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita.
Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan ia telah menyatakan hendak
datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa ia tak mempunyai maksud baik. Kita
harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”
Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar
benar sekali. Tetapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang
ajar menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”
”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya
aku pergi minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kaumaksudkan
dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku telah... dipertunangkan...?”
Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.
Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka
berkata terus terang hingga tidah malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.
“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah ia mendesak lebih
jauh.”
“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tak perlu kiranya kita terlalu
takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suciku bisa kuajak datang
membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”
Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu.
Ketika mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang
pemuda berjalan mendatangi. Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah
bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya
sederhana seperti pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar.
Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita
kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.
Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian
karena ia seakan-akan merasa sudah kenal kepada pemuda ini sedangkan Lin Lin
hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah
berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam,
lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,
“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”
Kwee In Liang memandang tajam dan juga Lin Lin kini memandang penuh
perhatian kepada pemuda ini.
“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal
padaku?”
Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memberi hormat
sambil menjura,
“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”
“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya
mengeluarkan sinar dingin.
“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Eh, kau sekarang tidak
gundul lagi!”
Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat
menahan geli hatinya hingga ia tertawa gembira, juga Lin Lin tertawa senang
sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata
burung Hong itu.
“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah
selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi
memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”
“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa.
Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini
sederhana sekali hingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka
kepadanya, maka ia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,
“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah
ia baik-baik saja?”
“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak
tinggal di Tiang-an lagi, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun.
Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kami telah
menjadi orang-orang biasa dan hidup sebagai petani!”
Berita ini benar-benar tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada
Ie-thionya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi,
Kwee In Liang menegur puterinya.
“Lin Lin, tak perlu kita bicarakan hal itu di sini. Cin Hai, kau sekarang
hendak ke manakah?”
Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, maka Cin Hai juga tidak
hendak merendahkan diri hingga ia menjawab,
“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di
sana lagi, aku... aku akan melanjutkan perantauanku...”
“Eh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!”
Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.
Karena tidak ada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai
hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di
Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”
“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau benar-benar telah melupakan Bibimu,
melupakan kami? 0, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh
hari lagi kami akan mengadakan sedikit perayaan guna memperingati hari ulang
tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!
”
“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang
kepada Kwee In Liang hingga terpaksa orang tua ini berkata,
“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin,
sudahlah jangan kita ganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai
keperluan penting. Hayo kita pergi!”
Maka berpisahlah mereka, akan tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil
berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau
masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”
Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan
kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka
kepadanya dan sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk
mengunjungi rumahnya. Akan tetapi, Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan
hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis
sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira.
Alangkah indahnya mata gadis itu. Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas
Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang
sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi. Haruskah
ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin,
apalagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak
dilayani dan dianggap sepi?
Akan tetapi, ia harus melihat ie-ienya yang telah lama ia rindukan.
Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena ia tidak
butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, dan juga ada Lin Lin yang tentu
akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada
hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya! Perwira she Boan itu akan
datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu, agaknya sukar bagi Lin Lin
untuk menyelamatkan diri. Ia harus datang, dan akan melihat-lihat saja dulu,
kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, ia
hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi kalau sampai gadis manis itu
terancam bahaya, mau tidak mau ia terpaksa harus turun tangan!
Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali
mengapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan
tetapi, ketika ia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah
dipertunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang,
heran sekali! Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak
ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia
harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya
menjadi dingin dan ia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin
dari pikirannya, akan tetapi tidak berhasil!
Ia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun ia
tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya
itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su
dulu menyuruh Ang I Niocu mencari sucinya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki
Giok gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.
Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu ia
akan mencoba mencari Ang I Niocu. Ia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi
ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke
sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari. Masih ada
waktu baginya, maka dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya
menuju ke Lok-bin-si, sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya.
Setelah menerima perintah dari Susiok-couwnya, Ang I Niocu pergi mencari
sucinya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa
Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau
ke arah barat. Ang I Niocu sebetulnya ingin lekas-lekas kembali ke Gua Tengkorak
karena semenjak meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin
Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu.
Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couwnya
sebelum bertemu dengan sucinya. Ia maklum bahwa susiok-couwnya itu sangat
bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas itu diselesaikan, maka ia
tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, ia lalu menyusul ke barat,
mencari sucinya.
Daerah barat sangat luas sehingga tidak mudah mencari seorang yang tidak
diketahui jelas di mana tinggalnya, walaupun orang itu begitu terkenal seperti
Giok-gan Kui-bo sekalipun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua
tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan
sedih sekali. Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya?
Pemuda itu sekarang berada dengan susiok-couwnya dan ia sekali-kali tidak berani
menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.
Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada
hentinya mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang
menderita, membela kaum tertindas dan membasmi para penjahat yang mengganas.
Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.
Setelah ia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya ia mendapat
keterangan tentang nama sucinya. Ternyata sucinya terkenal sekali di kota ini
karena dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan
kepada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.
Pertempuran ini terjadi ketika para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang
piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim
barang) di kota itu. Memang Oei-houw-piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang
terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh
semua orang di kota itu, juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di
hutan-hutan dan gunung-gunung apabila melihat bendera warna kuning dengan gambar
kepala harimau, tidak ada yang berani mengganggu. Akan tetapi Oei-houw-piauwkiok
memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh
karena itu ketika piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar
yang mengirim barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang
bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok
menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.
Ong Hu Lin adalah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu
silatnya lumayan juga dan ia memiliki ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya
juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan ia hanya menggantikan
kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan
mengandalkan kepandaiannya, ia mencari nafkah dengan mengawal barang-barang
berharga dan mendapat upah sekedarnya.
Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk
mengawal kiriman segerobak cita yang mahal harganya. Ketika melalui sebuah
hutan, tiba-tiba ia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan
orang. Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata,
“Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang sedang mencari nafkah.
Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke mana barang
ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa
sekedar barang hadiah sebagai tanda penghormatan.”
Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu
bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di Oei-houw-piauwkiok yang sengaja
menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya
itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi
besar itu membentak,
“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan barang-barang ini di sini
dan kau pergilah kalau kausayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi
piawsu, dan lebih baik kaututup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”
Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya
dan ia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup
tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang anggauta perampok telah roboh
mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok
itu.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul tiga orang yang membantu para perampok
mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu
Oei-houw-piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan
sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam. Pada saat itu,
terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tetapi mendirikan bulu
tengkuk karena tidak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan
menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut tiga
orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan
cepat dan ganas. Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang
perampok terlempar dan bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari
tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang terluka.
Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang
menolongnya dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita yang cantik
dengan sepasang mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu
tersenyum manis. Rambutnya hitam panjang dibiarkan tergantung di punggungnya,
bajunya berwarna hijau dan celananya putih.
ONG Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru ia menjura memberi hormat,
“Lihiap yang gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu
bagaimana harus membalasnya.”
“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah
orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?”
Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.
Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”
“Bukankah kau Ong Hu Lin, piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bokchiu?”
kata wanita itu yang bukan lain adalah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali
aku bertemu dengan ketiga orang Piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok itu dan
mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku membiarkan saja mereka
berlaku sewenang-wenang?”
“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai
seperti bidadari ini?”
Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit dan memandang
wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku
Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”
Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa
ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit, maka ia lalu berlancang mulut
berkata sambil tersenyum manis.
“Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan
orangnya.”
Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot,
tetapi bibirnya tetap tersenyum!
“Lihiap, harap kaujangan kepalang menolong orang.” kata Ong Hu Lin.
“Apa maksudmu?”
“Sudah jelas bahwa diriku yang tiada kawan ini dimusuhi oleh kawanan
Oei-houw-piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau
yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku
berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani
mengganggu lagi.”
“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.
“Apa yang kauminta, Lihiap, biar jiwaku sekalipun akan kuberikan kepadamu.”
jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.
Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tidak
berpisah lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka
ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oe-houw-piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua
piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya
piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi
pemimpin piauwkiok itu.
Sebaliknya Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan
tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam
sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan
membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah gua di gunung yang dekat dengan
kota Bok-chiu. Gua ini ia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja ia
pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.
Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin
sebetulnya telah mempunyai seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang
sembarangan karena isterinya ini adalah Pek bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih,
yaitu puteri tunggal dari Pek Moko! Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan
puterinya dan Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin
dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya kalau melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan
bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda
dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian
silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima
pendidikan dari supeknya, ialah Hek Moko yang lihai! Akan tetapi celakanya,
Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila
karena suatu penyakit panas hingga betapapun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin
tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut! Oleh karena
ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari
isterinya yang gila ini hingga sampai di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan
Kui-bo yang biarpun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi
sikapnya menarik hati dan tidak gila!
Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tak pernah mimpi bahwa
pada saat itu, isterinya yang gila telah menyusulnya dan berhasil mengetahui
tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan
ayahnya ini telah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo!
Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena ia takut setengah mati
kepada isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai
sekali.
Pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya,
tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan suara yang sangat dikenal dan
ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata
karena mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum
manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di depan pembaringannya
telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli
memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.
“Kau...?” Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa
dan menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo
kauberitahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”
“Sia... siapa... yang kau... kaumaksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan
antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?” Biarpun suara
isterinya terdengar merdu, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat
hingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Ia dapat membujuk-bujuk
isterinya yang gila itu untuk menanti sampai besok pagi, karena tidak mungkin
malam-malam yang gelap itu mencari gua tempat Giok-gan Kui-bo. Karena Pek-bin
Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa
menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau
dan meluaskan pengalaman.
Setelah malam berganti pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan
isterinya itu mengunjungi gua di mana Giokgan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di
situ terheran-heran karena tidak tahu bilamana datangnya seorang wanita cantik
yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari
kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita
itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak
bertanya.
Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan
mendengar tentang perhubungan sucinya dengan Ong Hu Lin. Ia pergi menyelidik dan
mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya
tinggal di dalam sebuah gua di gunung yang berada tak berapa jauh dari kota itu.
Maka ia pun lalu menyusul ke sana!
Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam gua tempat tinggalnya,
menanti mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba tirai bambu yang dipasang
di depan guanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh
telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha-hi-hi. Kim Lian memperhatikan
wanita ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di
atasnya diikat dengan pita hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu
sekali.
“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah
seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.
“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang
merampas suamiku? Ha, ha!”
“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat
duduknya.
“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari
telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”
Setelah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah
pipi Lim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan menggerakkan tangannya hendak
menangkap tangan yang menampar itu, akan tetapi alangkah herannya ketika tangan
yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan
dan “plak!” pipinya kena tampar!
Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama merantau di dunia kang-ouw belum
pernah ada orang berani menghinanya, apalagi menamparnya!
“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan
dada turun naik karena marahnya.
“Hi, hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku?
Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”
Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin
Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Mengapa kau datang-datang memaki dan
menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat ia melupakan kemarahannya.
“Hi, hi, hi! Kau main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa
aku menamparmu? Ha, ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”
Giok-gan Kui-bo melirik keluar gua dan melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri
dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.
“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia
suamimu.”
“Ha, ha, ha! Ia terlalu cinta padaku, mana ia mau mengobral namaku
disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi, hi, hi!”
“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kaukira aku Giok-gan
Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”
“Eh, eh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian,
Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam gua yang
sempit itu! Kalau Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti
menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu
luar biasa lihainya mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam
sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah
kelihaian tiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli
memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas
sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah
menyentuh tanah. Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh.
Pertempuran itu sungguh menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai
menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari gua itu membuat tirai bambu
yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu
Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik
ke tempat itu dengan cepat sekali. Ia cepat menyelinap ke samping gua dan
bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian
tinggi. Setelah dekat, ia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita
berbaju merah yang luar biasa cantiknya.
“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah
melihatmu!”
Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia keluar
dari tempat persembunyiannya. “Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu
dengan suara keren. Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya
memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”
“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Tak usah kau tahu. Lekas katakan di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I
Niocu membentak marah hingga Ong Hu Lin merasa takut. “Dia... dia sedang
bertempur melawan isteriku... “
“Isterimu? Siapakah dia?”
“Pek-bin Moli...”
Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang
tergantung di depan gua yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan
dari dalam gua. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai
itu.
Pada saat itu, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang
mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak
tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka
tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri telah melanggar pundak kiri Giok-gan
Kuibo yang mengeluarklan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba
berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah
lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli kaget dan melompat mundur sambil
memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.
“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah
Suciku kalau ia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar hingga kau tak perlu
menjatuhkan tangan maut!”
“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.
“Aku Sumoinya.”
Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli
teringat. “Hi, hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”
“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu
memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar “sekarang
aku putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau
kaubiarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”
Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana
dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!” Dan wanita gila ini berlari keluar sambil
berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Setelah bertemu di luar, ia lalu
menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja
seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.
Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di
pundaknya walaupun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.
“Suci, telah dua tahun aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di
sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”
Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tidak menjawab hanya
menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa jika
berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah.
Ia maklum bahwa sucinya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak
orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di
dalam hati ia tak begitu jahat.
“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh
wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu
dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu anggaplah saja
sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”
Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga
wajahnya berubah pucat.
“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan putusan pendek dan
tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Kau
telah berkali-kali melanggar pantangan sebagai orang gagah dan melakukan
perbuatan-perbuatan rendah. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan
kau mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”
Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku
telah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatangkara, hidupku merana menderita.
Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi
kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidupku dalam kesunyian dan
mati dengan hati menderita?”
Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan
suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau juga tahu bahwa di dunia ini
ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula
kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat?
Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah
kau tidak memiliki lagi kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan
menjunjung tinggi kesusilaan?”
“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil
menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama
hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati
yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat daripada batu!” Kim Lian
memandang sumoinya dengan mata basah. Ia sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk uluhati Im Giok hingga
Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat
akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ah, Suci, kalau saja kau tahu betapa
berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.
“Im Giok, aku memang telah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw
bahwa semenjak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw
(pendeta wanita) dan bertapa di gua ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi
dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”
Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan
memeluk sucinya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa girang
mendengar akan keinsyafan sucinya ini, akan tetapi kata-kata Ki Lian tadi
benar-benar menusuk hatinya.
“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim
Lian sambil mengusap-usap rambut sumoinya yang halus.
“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari
kesesatan...”
Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, lalu dengan
tiba-tiba ia mencabut pedang yang tergantung di punggung Ang I Niocu. Gerakannya
cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung
riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya! Ang I Niocu hanya dapat
memandang dengan hati terharu sekali. Setelah kedua kakak beradik seperguruan
itu bercakap-cakap melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu meninggalkan Kim Lan.
Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya karena ia ingin segera sampai di
Gua Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah
diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin
Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!
Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Gua Tengkorak itu,
ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap
putih. Ia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan
kuatir.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”
“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim
Lian?”
Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya dan ketika ia
menceritakan keputusan sucinya yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk
menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air mata.
Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.
“Baik juga keputusannya itu. Betapapun dosa seseorang, asal dia dapat
insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang
sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia boleh disebut seorang
bijaksana.” Kemudian, setelah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah
gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara
sungguh-sungguh,
“Im Giok, kalau aku tidak salah sangka, luka di hatimu akibat gagalnya
perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dulu agaknya sekarang telah sembuh dan
kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi seorang wanita, mendirikan
rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk
membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban
sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Sucimu itu, karena ia sebagai
seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga, maka banyak
penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau mempunyai iman yang
kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup
menyendiri? Kau tidak mempunyai jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang
takkan kawin selama hidupnya!”
Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar,
karena kata-kata itu memang tepat dan seakan-akan susiok-couwnya dapat membaca
isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan
tetap bertunduk.
“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang
suami yang baik sekali, dan aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan
cocok untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul
harapan yang diliputi kekuatiran di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang
dimaksudkan oleh susioknya ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan
masih tetap tunduk.
“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku
akhiri masa hidupku untuk menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang
manusia sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”
Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,
“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu
siapa... orang yang dimaksudkan itu?”
“Ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kaukenal, bahkan hubunganmu dengan
dia akrab sekali!”
Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.
“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku telah tahu benar-benar akan
perhubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan
patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im Giok?”
Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.
“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan
perjodohan!”
“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah
Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”
“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat
menjadi isteri seorang yang tidak... teecu cinta... ?”
“Aha, anak muda sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak.
Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat
mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna daripada cinta muda yang hanya
terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa kau telah tertarik hatimu oleh Cin
Hai. Betulkah?”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek ini
dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui tentang segala persoalannya dengan
Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani
mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
“Im Giok, kau telah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh
menaruh hati sayang kepada Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang
wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kaudasarkan atas rasa
kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia
Cin Hai? Harus kuakui bahwa kau memang masih nampak muda sekali berkat telur
burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun
lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini
tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat
terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”
Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I
Niocu menangis tersedu-sedu hingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat
betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.
“Im Giok, kelak kau akan ingat bahwa aku memberi semua nasihat ini
semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua
kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu
kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak
melarang. Aku takkan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau
kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”
Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri lalu
keluar dari gua itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan
kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan sekali.
“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!”
katanya perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.
Setelah keluar dari gua itu, diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala
ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat terbuka hingga hawa sejuk
mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasihat kakek itu.
Biarpun ia tidak diberi tahu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu
telah turun gunung. Tentu saja ia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su tentang
anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya
terhadap Cin Hai.
Ang I Niocu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa
hari yang lalu meninggalkan Gua Tengkorak itu. Ia hanya menyangka bahwa pemuda
itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah
menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke
Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapapun juga ia harus bertemu dengan pemuda
itu, karena ia tak dapat menahan rindu hatinya lagi.
Setelah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai lalu
kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang.
Dan sebuah hal yang tak terduga-duga terjadi! Ketika ia tiba di sebuah kaki
gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi
dengan sangat cepat dari depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang
manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera
mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada Ang I
Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu gin-kang yang hebat.
Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang
I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika ia
melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia
hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga
tahun lamanya itu telah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi
seorang pemuda yang cakap dan tegap!
“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.
“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.
Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju
Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama
dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu
hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di
dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu. Ang I
Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka
kalau tadinya ia merasa ragu-ragu dan selalu kata-kata Bu Pun Su bergema di
dalam telinganya hingga ia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena
pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Ia balas
memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,
“Hai-ji... Hai-ji…”
Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan
mesra.
“Hai-ji, kau telah tiga tahun belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu
sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”
“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya
memberi pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai mencabut sebatang
suling dari pinggangnya dan mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa.
Ang I Niocu juga tertawa girang.
“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?”
tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam
bagus.
”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau
menari, Niocu. Bagaimana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba
mengikuti gerakanmu.”
Dengan girang sekali Ang I Nioct berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera
meniup sulingnya. Memang pemuda ini selama belajar silat pada Bu Pun Su, tak
pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya
sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.
Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I
Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai dan Cin Hai yang sudah
mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah dapat
mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian dan
pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.
Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu,
gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau
sepasang lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua
tangan Cin Hai tidak digerakkan karena ia menggunakan untuk memegang suling yang
ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.
Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa kagum sekali
karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini
merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil
tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa
cinta! Sebaliknya, Cin Hai juga gembira, akan tetapi ia menari dengan tenang dan
wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan
gembira.
Setelah selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.
“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah dapat meniru
Tarian Bidadari demikian sempurnanya! Kau tentu telah mempelajari ilmu silat
yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kauperlihatkan pelajaran ilmu silatmu
itu untuk kukagumi.”
“Sesungguhnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian
itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku,
kalau aku disuruh menari seorang diri aku takkan sanggup melakukannya.”
Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak
berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga
susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.
“Biarlah, kau jangan kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi
pelajaran silat kepadamu!”
“Terima kasih, Niocu kau memang baik sekali.”
“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau telah bertemu dengan
Bibimu dan keluarga Kwee?”
“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie.
Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang
tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan
Kwee In Liang.
Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka
berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai
sekali. Apakah kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biarlah aku ikut dengan
kau untuk membantu mereka!”
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ini. Demikianlah mereka
bercakap-cakap dengan gembira sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan
pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka mengambil keputusan
untuk datang di Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.
Pada bulan itu juga tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar
tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ke
enam puluh dari Kwee In Liang. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus
merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung
lain maksud. Puterinya Lin Lin, semenjak kembali dari perguruan telah memiliki
kepandaian tinggi sekali dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya
yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap
tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang
orang-orang gagah yang telah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak
mencari-cari seorang calon mantu yang cocok untuk Lin Lin.
Mengapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini
juga terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal
sebagai seorang panglima yang setia dan gagah. Ia mematuhi perintah dan
menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh
karena ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar. Akan
tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini
dan muridnya lalu mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya
Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sebenarnya lalim dan tidak adil
itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan
Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia
kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan
memeras rakyat.
“Kalau Ayah tidak mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan
dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.
Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan
di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama
sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai
panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak tidak
benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama
busuk setelah meninggal kelak. Kedua kalinya, ia ini telah tua dan sudah merasa
bosan dan capai untuk memegang pangkat. Oleh karena ini, ia lalu mengajukan
permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu tua dan lemah.
Atasannya menerima permohonannya dan ia berhenti dengan hormat, lalu pindah ke
Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.
Pada hari itu, rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni
dan kembang. Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin,
Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara
mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah
ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya
meninggalkan surat dan memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi
merantau.
Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak gagah dan
bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak gagah dan cakap dalam pakaiannya
yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan
akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak
Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an. Hwesio ini
adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh
karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang
tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang
telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tidak mendapat
kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu
kesusasteraan.
Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang
yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang
puteranya duduk di ruang depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap
ramah dan menghormat. Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah
semua hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang
banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw
Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena
mungkin sekali akan... ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda
yaitu Boan Sip. Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan menjadi
kepala penjaga keamanan kota Tiang-an, dan ia adalah seorang perwira Sayap
Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ketika melihat kecantikan Lin
Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran tetapi yang ditolak keras oleh Kwee
In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka ia menaruh hati dendam hingga
beberapa hari yang lalu ia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam
hutan.
Oleh karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya
menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.
Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang
lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak
banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh. Ini adalah murid pertama
dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi
hingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng
adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini berhasil dibujuk
oleh Lin Lin yang menjadi sumoinya. Memang, baik Biauw Suthai maupun Bwee Leng
sangat sayang kepada Lin Lin.
Perjamuan berjalan dengan gembira diselingi oleh datangnya tamu-tamu yang
mengucapkan selamat kepada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan
dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.
Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian
sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang
pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduk
nya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,
“Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat kepadamu dengan
doa supaya kau diberkahi panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku
mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari
belajar silat. Kau memang beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah
menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di
sini. Kuharap Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada
sepasang mataku yang tua ini untuk menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia.
Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tidak cukup baik?” tanyanya kepada
semua yang hadir.
Di tempat itu hadir banyak pemuda-pemuda yang telah mendengar tentang
puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari
ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut
dengan tepuk sorak gembira.
Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah
minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan
usul ini agar terbuka jalan baginya mencari seorang mantu yang cocok. Maka
sekarang, sambil tersenyum lebar ia berdiri dari tempat duduknya dan menjura
kepada semua tamunya sambil berkata,
“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang
muda? Tetapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi
kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya dapat menghibur dan
menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kaupenuhilah permintaan Bhok-enghiong
setelah mendapat perkenan dari Gurumu!”
Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian
banyak mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan
tenang ia minta ijin dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi
persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang
sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.
Setelah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin
lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Ia memainkan ilmu Silat
Pat-kwa-kun-hwat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah,
juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu
silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi
tiga empat orang.
Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat
ini. Tiba-tiba baru saja Lin Lin menghentikan ilmu silatnya, terdengar suara
orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali
hingga semua tamu menengok keluar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan ia
menjadi pucat karena yang datang adalah Boan Sip dan empat orang lain yang juga
memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah,
tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati
ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah
lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.
“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa
mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi
mengeluarkan suara ketawa itu.
Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma
Ing, seorang yang terkenal sekali karena memiliki kepandaian tinggi dan menjadi
salah seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she
Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh sangat kuat
dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan
cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,
“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”
Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk diikuti oleh
kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan
dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada sekalian
yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri ditengah
ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,
“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis
sekali!”
Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah sekali karena
teringat betapa beberapa hari yang lalu ia telah tertangkap oleh orang she Boan
ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran
hatinya dan memaki atau menyerangnya akan tetapi pada saat itu dari luar
terdengar suara yang nyaring,
“Ie-ie!!” Lin Lin cepat menengok dan melihat Cin Hai, diikuti oleh seorang
gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio
atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita. Loan Nio yang belum
diberitahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang
dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan yang menghampirinya, Cin Hai
menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”
“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu,
sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.
Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari kedua matanya karena terharu dan
girang. Kemudian ia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ienya.
“Ie-ie, ini adalah Nona Kang Im Giok yang sangat berbudi dan telah banyak
menolongku.”
Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu
duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,
“Eh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan, silakan, aku masih
ingat akan pertolonganmu di gua dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai
memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap
dengan gembira. Sementara itu, Lin Lin juga lari menghampiri mereka dan
diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai lalu menghampiri ie-thionya
untuk memberi hormat dan mengnaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu
menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.
Sementara itu, Boan Sip dan kawan-kawannya melihat kesibukan tuan rumah
karena datangnya seorang pemuda dan seorang gadis baju merah, menjadi tidak puas
dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.
“Eh, eh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada
kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika
Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia berkata,
“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang
juga aku minta keputusanmu dan marilah kau memberi sedikit pengajaran kepadaku,
untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang
lalu. Aku telah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”
Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak
sopan dan sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih
kalah jika dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi ia tidak mau
memperlihatkan kelemahannya.
“Orang she Boan! Agaknya kau telah melupakan kesopanan dan sengaja datang
membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak
maju.
Akan tetapi, tiba-tiba Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali
lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.
“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat tetapi tidak mengenal aturan! Kami
tidak mengundang akan tetapi engkau telah menebalkan muka untuk datang di pesta
kami. Apakah engkau tidak malu? Kalau hendak datang mengajak pibu, apakah engkau
tidak dapat memilih lain hari?”
“Ha, ha, ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Kalau mengadu kepandaian hanya
mengandalkan keberanian, tak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan
sekali, banyak orang menjadi saksi, kalau pihak Tuan rumah mempunyai kegagahan,
silakan maju memperlihatkan kepandaian!”
“Bangsat, apa kaukira kami takut kepadamu?” Lin Lin berseru dan meraba
punggung untuk mencabut senjatanya akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan
putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi bentakan,
“Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”
Bayangan itu ternyata adalah Pek Toanio yang mewakili sumoinya dan langsung
ia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi Boan Sip
siang-siang sudah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya
mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan
sekali. Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan
Sip terkejut sekali karena ia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung!
Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang
memandang dengan sikap tenang.
Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya ketika melihat sikap Boan Sip yang
sombong dan sengaja datang mengacau itu, menjadi marah sekali dan mereka
berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam.
Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih
terlampau rendah untuk menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang
ajar, kalian mundurlah dulu!” Kwee Tiong merasa penasaran sekali akan tetapi ia
tidak berani membantah ayahnya, maka bersama adiknya ia lalu berdiri dan bersiap
sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.
Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha! Kwee
Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, maka tak mengijinkan
anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk
mewakilinya! Sungguh cerdik!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak
tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”
“Orang she Boan, kalau sikapmu tidak begini menjemukan dan kesombonganmu
tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau telah lupa
akan sopan santun dan tidak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya.
Apakah kau kira engkau seorang saja yang memiliki kepandaian? Orang lain boleh
engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam
engkau!”
Memang Pek I Toanio biarpun pendiam, akan tetapi kalau sudah mengeluarkan
kata-kata, selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip pernah mendengar nama ini
dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi ia tidak takut.
“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.
“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum
mengejek hingga kemarahan Boan Sip makin meluap.
“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju
menyerang. Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang hingga sebentar
saja mereka berdua bertempur dengan seru.
Sementara itu, Cin Hai semenjak datang dan duduk di kursi terdepan,
beberapa kali bertukar pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu
apabila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan
minta maaf bahwa ia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu
oleh para perwira kasar itu.
Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat
tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin
Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri
mereka.
“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat kemajuan besar?” tanyanya
dengan manis.
Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk
kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar
apakah?”
Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat
tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin
Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri
mereka.
“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat kemajuan besar?” tanyanya
dengan manis.
Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk
kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar
apakah?”
Juga Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat
dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan
tetapi rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.
“Aah, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.
Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur
mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat
tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”
Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, karena pada saat itu pertempuran sedang
berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat,
juga mantap dan keras hingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap
kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.
Cin Hai hanya memandang sebentar tetapi ia tidak tertarik melihat
pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan
matanya. Mengapa ia tidak melihat Kwee An? Ia lalu menowel lengan Kwee Bun dan
ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,
“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”
“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”
Ketika Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka
dengan pandangan tak senang, hingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan
percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu, perhatian Kwee Tiong tidak tertuju
sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, akan
tetapi sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu
tirinya. Dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak demikian cantik dan ayu
hingga sepasang matanya seakan-akan tertarik oleh besi sembrani, ingin sekali
Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh agar dapat menarik
perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin
Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian
cantiknya!
Ang I Niocu ketika melihat jalannya pertempuran, di dalam hati juga merasa
terkejut. Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi
ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya
diperhebat oleh ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya,
hingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah
kena dicengkeram! Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai,
karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi
yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang berkepandaian
tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip
yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu? Ia mengerling ke arah Cin Hai
yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan
jalannya pertempuran, dan pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai,
pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan
cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang. Ia tahu bahwa
pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat
betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah
oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah
kebetulan saja? Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap
saja ia melihat betapa pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti!
Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak
mau memandang ke arah anak muda itu lagi.
Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah
murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir
mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya. Akan tetapi
Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja
kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena kalau tidak berkepandaian tinggi, ia
yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, Karena
rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu adalah orang-orang yang telah berusia
tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba Boan Sip
merubah gerakannya dan sekarang ia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai
Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan
tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan golok menyambar-nyambar
ke arah kaki lawan! Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat dan ke mana
saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan cepat mengejar
sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tidak hanya
bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan
menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!
Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tidak berdaya
melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan
sebuah gerakan dan serangan nekad. Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu
menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Ia
mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan ia membabat dengan pedangnya
dari samping dan karena serangannya ini hampir menempel lantai, maka tak mungkin
tertangkis dengan perisai. Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata
bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan
gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu
dengan sambaran ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!
Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai
merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, pada saat Cin
Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena tangkis, lalu
bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.
Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang
bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah
punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin
Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan
Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan
goloknya. Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio
juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang
sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,
“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam!
Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”
Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau
bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”
Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat
pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!” semua orang yang mendengar ini
tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih
begini bodoh, pikirnya!
Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena
ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran
lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang membuka
punggungnya ketika ia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya,
dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang
demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman? Bahkan Ang I
Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek
I Toanio, dan Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin
Hai.
Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan
dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong, sementara itu,
atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura
kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil
mengalahkan lawannya.
Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan
pedang di tangan sambil membentak, “Orang she Boan jangan sombong! Yang melempar
bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, tak perlu engkau memusuhi
dan menantangnya. Kalalu engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan
melawanmu!”
Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini
mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa tiga orang
adiknya. Melihat gerakan mereka, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata
sambil tertawa,
“Ha, ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata
hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”
Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong
sudah tak dapat menahan lagi marahnya. Ia lalu berseru keras dan menubruk dengan
pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.
Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan gerakkan goloknya menangkis. Sekali
tangkis saja, dua dari empat buah pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan
Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan. Baiknya perwira muda
ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang
ia rindukan, maka tidak berniat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda dan
memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampak hebat
mengerikan karena goloknya menyambar nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan
cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan
wajah pucat.
Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang
tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di
tangan, Cin Hai lari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip
secara membabi buta sambil berseru berkali-kali, “Jangan membunuh kakak-kakakku,
jangan mencelakakan kakak-kakakku!”
Mendapat serangan kacau-balau itu, Boan Sip terkejut dan melihat
penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka
keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus
mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang
tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.
“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya dan ia lalu menggunakan
goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup
panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan
kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru
inilah yang membingungkan Boan Sip. Gerakan silat dapat diduga karena teratur,
akan tetapi gerakan-gerakan menggila ini sungguh membingungkan dan sebelum ia
dapat menyerang, sebuah kaki daripada bangku yang diobat-abitkan itu telah
mengenai tubuh belakangnya hingga terdengar suara “buk!” karena bokongnya kena
dihajar kaki bangku.
Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap
sebagai seorang pemuda tolol itu, akan tetapi karena pemuda itu dalam
ketololannya berani membela keempat pemuda Kwee, biarpun mereka
mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka
bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat
memukul bokong Boan Sip yang sombong.
Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada
Kwee Tiong dan adik-adiknya, “Engko Tiong, kauajaklah adik-adikmu mundur, biar
aku tahan mengamuknya babi hutan ini!”
Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari
gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap
gagah sekali membuka mulut besar dan hendak membela keempat saudara Kwee dan
menghadapi Boan Sip yang lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!
Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan
kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Ketika bangku itu
menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya.
Mana bisa kayu itu dapat menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki
bangku itu terbabat putus. Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam
pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu, ketika kaki bangku itu
terbabat putus ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu
melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip! Terdengar suara
“plok!” dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu menjadi
merah kulitnya dan terasa pedas sekali!
Hal ini terlihat jelas oleh semua orang dan kembali terdengar sorak riuh
rendah karena ternyata biarpun tolol dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya
pemuda tolol itu sedang “hok-khi” (beruntung), maka secara kebetulan sekali
lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!
Pada saat itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah lain
hal yang menimbulkan tertawa geli. Ternyata dua orang tamu yang tadi berdiri
melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dan Boan Sip hingga
bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa
dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka begitu gembira hingga sambil
tertawa terkekeh-kekeh, mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang
mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan
karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tidak
ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang
langgang! Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri
sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku
yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka
berserilah wajah mereka!
Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di
tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya bekas bacokan golok.
“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin
Hai memaki dengan suara mengejek. Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa jika
ia nanti membunuh anak muda tolol yang tak bersenjata ini dengan goloknya, maka
ia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Pula untuk menyingkirkan
bangku dari tangan pemuda bodoh ini, lebih mudah menggunakah tangan kosong.
Maka, ia lalu membanting golok dan perisainya di atas lantai hingga mengeluarkan
suara berkerontangan, lalu sambil mendelikkan mata ia memaki,
“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan
mencekik lehermu!”
“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab
Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.
Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali, dan juga kagum. Ia heran dan
kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda
tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin
Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela
kakak-kakaknya! Juga, Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut
merasa malu mempunyai seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang
mempunyai pemandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabuhi oleh aksi
Cin Hai yang ketolol-tololan hingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia
menolong jiwa anak muda yang tolol tapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan
wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat, dan kuatirnya.
Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut
bangku itu dengan kedua tangannya dan ia membetot. Akan tetapi, alangkah
terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan
Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki
tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai mempertahankan sambil
mengeluarkan suara “uhh... uh...” dan demikian keduanya saling membetot
mempertahankan, sedikit pun tak mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke
kanan, sebentar terbetot, ke kiri hingga seakan-akan kedua orang itu sedang
mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!
Yang merasa gembira sekali adalah para penonton. Mereka bersorak riuh
rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula
bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu
membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu! Pada saat itu mereka
merasa seakan-akan sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik
bangku sebagai gantinya tambang yang biasa digunakan untuk mengadu tenaga
bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai
sambil berteriak-teriak,
“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”
Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira,
“Hayo... lebih keras lagi... tarik...!” Akan tetapi apabila bangku itu terbetot
ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran,
“Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”
Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan
saling keluarkan tenaga, Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya
untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh
aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia
lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari
seribu kati kuatnya. Dan tiba-tiba Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga
dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya
yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan
pegangannya hingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip
kian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak
mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke
belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa
di atasnya.
Orang-orang tertawa geli dan berrak-sorak. Akan tetapi pada saat itu Lin
Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin
Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut
kepada pemuda itu. Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu
Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah
memegang tangan Cin Hai dan membetotnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena
ditipu oleh ketololan Cin Hai dan menguatirkan keselamatan pemuda ini.
Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata
dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia berdiri dengan
terhuyung-huyung. Karena terlalu menghabiskan tenaga dan tiba-tiba bangku
dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat
luka dalam yang hebat juga! Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya
duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut
dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan
mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.
Lin Lin dan Ang I Niocu kembali ke tempat duduk masing-masing dan Cin Hai
dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ienya,
yakni di bagian para tamu wanita. Ketika Biauw Suthai memandang pemuda itu,
teringatlah wanita gagah ini, ia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.
“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.
“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”
“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.
“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua
kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, ketiga
kalinya di dalam Gua Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”
Biauw Suthai tertawa senang. “Ah, benar... pantas saja kalau begitu. Memang
semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”
Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, kau
benar-benar gagah berani!”
Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai
merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah.
Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak
muda ini.
Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel
melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.
“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.
Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam,
meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin ia menggulung lengan
bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus
putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Ia memandang ke sekeliling dan
berkata kepada Kwee In Liang,
“Kwee-ciangkun...”
“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In
Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,
“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.
“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio, berakhir dengan seri karena
kedatangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute
dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi
keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang
kuharap kau suka maju, atau boleh kau mengajukan pemuda tolol setengah gila tadi
untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak
bodoh itu tidak berani!”
“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang
mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!” Terdengar orang-orang tertawa keras
karena geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi
karena darah mengalir ke mukanya.
“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau
sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu! Kau datang-datang memaki orang,
mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian,
Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu, akan tetapi Loan
Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar
lebih jauh.
Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw
Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah
aku mewakili Saudara Cin Hai?” Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tidak
berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan
Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya, melayang cepat dan tahu-tahu
telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi. Semua orang memuji keindahan
gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia
menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main
dan segera menjura dengan hormat.
“Tuan rumah telah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai.
Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan
Kwee-enghiong?”
Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang
I Niocu mengucapkan sajak,
“Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud,
tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama? Lihat pakaian dan pedang. Dan cari sendiri siapa
namaku!”
Perwira itu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu
dengan penuh perhatian. Kemudian ia berkata dengan kaget, “Ah, bukankah Lihiap
ini Ang I Niocu?”
Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In
Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat
tersohor akan tetepi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian
muda dan cantiknya!
“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali
dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang perhubungan dengan keluarga Kwee yang
kautanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu
yang tak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik aku
diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”
“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku
hormat. Pertempuran ini tak dapat dilanjutkan!” kata Si Muka Hitam.
“Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang
khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song takkan
mau melayaninya!”
Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tak berdaya dan ia tak dapat memaksa,
maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula setelah berkata, “Kalau begitu, masih
kuharapkan lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau
sombong ini, Tan-ciangkun!”
Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia
memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I
Niocu itu.
“Hie, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau dan kaum kerabatmu tidak
berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh ia
keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”
Bukan main hebatnya hinaan ini dan Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak
memperlihatkan kepandaian, akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat
bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian seperti seorang
sasterawan telah berada di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan
berkata,
“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera
ke lima siap menghadapimu!”
“An-ji...” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng, akan tetapi
karena pada saat itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya
memandang dengan girang dan juga kuatir. Apalagi Kwee An hanya memiliki
kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee
An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup,
hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat! Cin Hai dengan jelas
dapat melihat bahwa ketika masuk tadi, Kwee Ang telah mempergunakan Ilmu Loncat
Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya dapat dilakukan oleh
orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan telah memiliki
ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang
pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal
ini hingga mereka menjadi girang.
Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati.
Biarpun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih
merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari
menghampiri Kwee An sambil berteriak,-teriak “Kwee An... Kwee An...”
Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri girang melihat
Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang??” Mereka lalu berpelukan karena memang
dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.
Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,
“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”
Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah
perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Setelah berkata
demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya. Semua orang tertawa
mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap
Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai
tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tak akan tnenyangka,
karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak
seperti halnya Hek-seejiu atau Ang-see-jiu, karena orang yang memiliki ilmu ini,
tangannya hitam atau merah. Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam
ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa
menggunakan bubuk perak putih yang dicampur obat-obat kuat dan digosok-gosokkan
ke seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar
hingga kebal dan keras dan memiliki tenaga luar biasa!
Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai dan dalam beberapa
gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An telah mempelajari ilmu silat dari
Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak
cabang persilatan itu. Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang
cabang persilatan ini yang biarpun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya
memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga
ia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata
memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi
agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!
Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa
lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang
tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang
memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Ia mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan
seragan kilat yang dapat membawa maut. Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati
sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu
meringankan tubuh yang lebih tinggi daripada lawannya maka ia mempergunakan
ginkangnya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor
burung kepinis! Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena
pertempuran mereka seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu
gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat
Kim-san-pai yang lihai dan balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat
dan jalan darah lawan.
Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan
anak muda ini karena Tan Song mempergunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah
pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I
Niocu mengeluarkan seruan tertahan. Kwee An merasa betapa angin pukulan
Pek-mo-ciang ini mengiris kulit dadanya, akan tetapi berkat kegesitannya, ia
segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke
depan bergantian. Untung saja ia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari
Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak
menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju dan mengirim
serangan ke dua. Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai
hingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya
yang tangguh dengan lebih hati-hati.
Setelah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak.
Kwee An yang muda dan bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang
terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tak banyak
dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang
aneh ini.
Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil
berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus...” Semua penonton
melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua
berpihak kepada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang
terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang
tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain,
ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan
mungkin lebih tinggi daripada Lin Lin!
Ketika mendapat kesempatan baik, pada saat lawannya terhuyung mundur karena
serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul
dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera
berteriak kaget karena tiba-tiba kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan
yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu. Tak ampun
lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu
berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu
datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.
Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu
Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An
disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu
datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa
bangga sekali akan kepandaian Kwee An.
“Nah, inilah baru disebut kepandaian aseli,” kata Kwee Tiong sambil
mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan
jujur engkau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau sungguh hebat,
An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.
Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini
bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga
sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai
dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Perwira ini sebenarnya adalah kakak Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan
kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi daripada Tan Boan Sip. Tetapi
adatnya pendiam dan tidak sombong.
Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In
Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,
“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, kalau kiranya tidak terlalu
lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira
sekali!”
Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh.
Kalau sekarang kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik
beristirahat dulu.”
“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.
Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata,
“Biariah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.” Muka
Kwee In Liang berseri. Ia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari
selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi daripada kepandaianya sendiri, maka ia
cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang
budi besar sekali.”
Bhok Ki Sun lalu bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang
berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,
“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama dengan
pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu Tuan rumah? Aku
Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka mengajukan diri
untuk melayanimu.”
Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil,
maka ia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran
pendek tadi. Kalau Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira
sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”
Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka ia pun
memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan
saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai. Keduanya bergerak
lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi
setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan
sama kuatnya, mereka lalu mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya
mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka lalu mengeluarkan kecepatan dan
kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran segera berubah cepat dan
hebat. Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah
lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu
benar-benar mengagumkan karena selain sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan
perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan
dengan gerak cepat. Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan
lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam
pertempuran yang sebetulnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan
gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun meloncat ke belakang dan
berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua
tangannya dan berkata,
“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku
kalah!” Ia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena
tak berhasil membela nama keluarga Kwee.
Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, maka setelah
mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.
“Ingin sekali aku merasai kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek
Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan juga sebuah
hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari
ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.
“Baik, baik. Aku pun telah melihat permainanmu yang lihai tadi dan ingin
sekali mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni
sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.
Setelah saling memberi hormat, maka kedua orang ini lalu menggerakkan
senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari
pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong. Sinar
pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtimnya yang cukup
lihai, hingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali. Akan
tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan.
Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya hingga
mendatangkan angin berkesiur yang dirasai oleh semua penonton yang duduk di
situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga menggerakkan pakaian
dan rambut orang di sekitarnya, apalagi jika terkena kemplang toya yang berat
dan digerakkan cepat ini!
Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum
bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat
ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil menggunakan
kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul
jalan darah dengan ujung kebutan.
Ketika Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau-chian-kun atau Serampang
Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio
sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan
tetapi cepat bagaikan kitiran angin, toya Tan Bu telah mengejar tubuh yang di
atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali
hingga semua orang menahan napas. Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki
ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan
baginya tiada waktu lagi untuk berkelit dan untuk menangkis ia akan kalah tenaga
maka ia segera memperlihatkan kegesitannya. Ketika ujung toya menyambar ke
arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan ke
ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak
lupa mengebutkan hudtimnya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan
Bu!
Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya hingga Tan Bu sama sekali tidak
menduga dan pundaknya kena terpukul tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba
berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan
mencelat ke atas kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!
Pek I Toanio tak kalah kagetnya. Totokannya tadi telah mengenai tempat di
tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja
seakan-akan tak pernah terpukul, apa lagi terluka! Cepat nyonya ini meluncur
turun dan ia merasa bahwa melawan terus takkan ada gunanya, karena harus ia akui
bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan
lebih tiggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu menjura dan berkata,
“Terima kasih atas petunjuk Ciang-kun.”
Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang
sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut, Tan Bu telah berhasil
mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah
membersihkan muka mereka dan menebus kekalahan Tan Song tadi.
“He, Kwee In Liang, kalau kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan
saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.
Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena setelah kedua
jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?
Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin
Lin, atau aku sendiri yang maju dan herternpur mati-matian, membela nama kita!”
“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata
Biauw Suthai, akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali
mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri dan setelah berkata cepat-cepat
tanpa menanti jawaban, “biarkan aku saja yang maju!” lalu sekali melompat
tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu! Orang tidak melihat bagaimana ia
mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang
sebatang pedang yang tajam berkilau.
“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan mari
kaurasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding
ke arah Boan Sip!
Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,
“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang
besar, maka alangkah beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan
kauhiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba
kepandaian!”
Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.
“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang memiliki
kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang
lain.”
“Ang I Niocu kita sama-sama orang luar dan peduli apa sama segala urusan
remeh? Yang terpenting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing
pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”
“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I
Niocu lalu membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya hingga
semua penonton bertepuk tangan kagum. Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, maka
ia segera mendahului, dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat.
Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari
serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang dan dengan tarian indah
sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.
Para penonton merasa kagum sekali dan belum pernah seumur hidupnya mereka
menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang ganas itu
dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul! Tidak
hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio,
Kwee An, dan yang lain memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai
nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang
dengan penuh perhatian.
Akan tetapi kegembiraan mereka tercampur kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu
benar-benar hebat dan dahsyat. Perwira yang kosen ini karena tahu bahwa
kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, lalu mengeluarkan ilmu toyanya
yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi
Pek I Toanio tadi. Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga
dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya
setinggi ini. Ia bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah
membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan
mempelajari gerakan lawan.
Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali.
Dia yang telah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah
memiliki pemandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu sebenarnya
hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu
memiliki tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka
Nona Baju Merah itu tak akan sukar mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, maka
diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.
Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi seringkali
mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan
heran, lalu tak dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Eh, Engko Hai,
mengapa kaukeluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil
tersenyum geli.
Cin Hai juga tersenyum dan jawabannya menghilangkan senyum gadis yang
menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata,
“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”
Sebelum Lin Lin dapat bertanya lanjut, Cin Hai telah meniup suling maka
tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang
menjadi heran sekali dan Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Ia
anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Ia melangkah
maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling, akan tetapi Lin Lin memandang kepada
Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata,
“Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!” Kwee Tiong merasa
mendongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali membawa
kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang
dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih menyuling dengan asyiknya.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai makin keras, nyaring dan
meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan terkejut dan kagum. Ketika
Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena
ternyata tubuh Ang I Niocu telah lenyap dan kini gadis itu berubah bayang-bayang
merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali! Lin Lin
memandang kagum dan diam-diam ia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal
keindahan itu. Juga, Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang
lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Ia tahu bahwa suara suling itu tepat
sekali mengiringi semua gerakan Ang I Niocu dan seakan-akan suara suling itulah
yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar
biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan
timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi
sebetulnya berkepandaian tinggi!
Memang sebetulnya Ang I Niocu masih melayani lawannya dengan gerakan
hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai.
Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya. Suara suling itu
baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik dan rasa
hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya bernyala-nyala. Ia
lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah. Alangkah
terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya
halus dan lemah gemulai dan hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan
gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat
laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya
melakukan serangan yang hebat, dan ia merasa betapa sinar pedang lawan ini
mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan
Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa hingga toya ini
merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!
Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin
cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu hingga pada suatu saat terdengar suara
kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah
terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka
kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.
“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong
kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di
mana ia membalut lukanya setelah memberi obat.
Ang I Niocu setelah menyinipan kembali pedangnya, lalu dengan senyum lebar
kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian
dan ucapan terima kasih.
“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.
“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” jawab Ang I
Niocu sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.
Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua ia heran sekali mengapa dada
kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada
Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi ia heran sekali
mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan
Hai-ji atau anak Hai! Sebetulnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Ia
belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.
Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, perwira ke empat maju sambil
mengangkat dada dan berkata,
“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu telah dikalahkan oleh
kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak
minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan kalau di antara
keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani
orang-orang luar yang membela Kwee-enghiong!”
Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi
karena sebenarnya ia adalah saudara termuda dari Santung Ngo-hiap atau Lima Jago
Dari Santung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira, kelas tertinggi di
kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain memiliki tenaga
ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang
mengagumkan. Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat
tugas melatih para perwira lain, hingga beleh dibilang bahwa ia menjadi seorang
di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapat
dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada yang lain-lain.
Adapun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suhengnya, adalah orang ke empat
dari Santung Ngo-hiap, dan tentu saja kepandaian Ma Ing ini lebih tinggi
daripada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua
perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan,
sebaliknya Ma Ing terkenal memiliki ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang
yang hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.
Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak dapat
menahan sabarnya dan ia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,
“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan
tenang.
Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada
pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil
tertawa,
“Anak muda, biarpun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai,
akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu
menghadapi aku.”
Un Kong Sian adalah orang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan
kasar maka kata-katanya seringkali menyakiti hati orang. Kali ini ucapannya
tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Ia dipandang ringan sekali,
maka sambil tersenyum ia pun menjawab,
“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tak
berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, kalau
engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan kepandaianmu itu hendak
kulihat bagaimana hebatnya!”
“Ha, ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau
terluka, jangan salahkan aku!”
Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lalu melempar jubah luarnya dan
tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa
besarnya.
“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah engkau berkenalan
dengan kepandaian Un Kong Sian!”
Mendengar nama ini, diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan
karena ia kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Santung Ngo-hiap, maka
tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam ia menguatirkan keadaan
Kwee An dan tak terasa lagi ia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh
dari tempatnya,
“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau
carilah akal supaya Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”
Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu
oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu betul-betul tolol, adalah Biauw
Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera dapat mengetahui bahwa Cin
Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang ia minta kepada
pemuda itu untuk mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian!
Tiba-tiba setelah mendengar ucapan Biauw Suthai, Cin Hai berlari-lari
sambil memegang sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong
Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.
“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah
tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!”
kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja
yang mempunyai kelicinan dan kecurangan seperti itu!!” Co Cho yang dimaksud oleh
Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin
hingga banyak orang membenci dan menghinanya, walaupun Co Cho adalah seorang
yang terlalu cerdik.
Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang ia merasa
benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang
dengan dipelototkan.
“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?”
bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”
“Memang kau licin, lebih licin daripada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi,
sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.
“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong
Sian.
“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An akan tetapi
kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan
bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau
memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu.
Kalau kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An
yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba
mencari penyakit!” Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran
karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.
”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku
sanggup meniru dengan baik lagi!”
Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, lalu berkata, “Nah, kau bisa tidak
meniru kepandaianku tadi?”
Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, sedangkan Un
Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.
“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi
menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau
menirunya.”
“Ha, ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba
keluarkan senjatamu!”
Biarpun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil
senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah
senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.
“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.
“Aku akan mainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata
Cin Hai dengan gagah, lalu dengan sikap dibikin-bikin ia menerima toya besar dan
hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia
hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An
memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.
“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata
Kwee Tiong dengan mendongkol sekali. Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu
beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung
yang hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya
kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung
itu.
“Nah, coba kautiru perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar
tenagaku!” Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran
mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal
baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin
Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya,
dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga
menerbitkan suara mengaung.
Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat hingga
mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling
ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.
“Aha, engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak bisa memutar toyamu sampai
mengeluarkan angin mengaung!”
“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia gunakan tenaganya
menancapkan toyanya yang berat itu ke lantai, dan toya itu menancap sampai
setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat
mencabut toya ini, barulah berharga melayani aku!” Kwee An terkejut sekali
melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.
“Aha, benar-benar engkau hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!”
Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok.
“Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan
orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”
“Cin Hai, engkau mundurlah. Biarpun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang
bodoh masih akan mencoba minta pelajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena
anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jerih terhadap lawannya.
“Nah, mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah
daripada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.
“Eh, eh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya
inilah yang hendak engkau layani.”
“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju. Cin
Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu
hatinya dan ia percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan
peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa bahayanya bagi Kwee An menghadapi
orang she Un ini, karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan
kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka jika mereka bertempur,
banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh! Ia lalu melangkah maju dan
berkata,
“Nanti dulu! Aku tadi telah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba
dulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”
Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong
Sian lalu melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan
tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi,
jangan kata tercabut, tergoyang pun tidak toya itu. Semua orang yang menonton
tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga
lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui
siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.
Ia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu betul-betul
hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.
Kwee An merasa malu sekali melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia
hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia melangkah maju
dan membetot toya itu. Alangkah hebatnya ketika ia dapat membetot keluar toya
itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee
An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga
memandang pucat. Tak mungkin pemuda itu memiliki tenaga sedemikian hebatnya.
Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak
menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya
dengan penuh kecurigaan.
Tiba-tiba Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas
toyanya lalu mengangkat tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini
tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi ia telah mematahkannya! Tentu saja hal
ini tidak aneh.”
Kwee An tercengang lagi. Ia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi
benar saja, ketika ia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini
ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she
Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya
bertempur melawan Un Kong Sian?
“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah
patah. Terang bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas
melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”
Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia?
Suruh maju lekas!” bentaknya. “Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan,
pinni bersedia melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai telah berada di situ. Cin
Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.
“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab
pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.
Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan
mengerikan berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan
bertanya,
“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”
“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.” Diam-diam hati Un Kong Sian
berdebar karena ia telah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi ia sama
sekali tidak merasa jerih.
“Kebetulan sekali. Telah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor
dan ingin sekali merasai kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan
tangan kosong atau dengan senjata?”
“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain
senjata.”
“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!” Tanpa banyak
cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.
Dalam hal ilmu silat, Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali
dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang
memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan
kedua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga
Cin Hai tidak berani berjenaka lagi karena ia maklum betapa kepandaian kedua
orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat
sekali. Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu telah dapat
memukul dua kali kepada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un
Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad
menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena ia maklum bahwa biarpun di luar
tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi
pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan
luka di sebelah dalam.
Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat
kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka ia lalu menyerang makin
hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu
lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian, akan
tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau
berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan
Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian dengan hebatnya
mengarah leher Biauw Suthai.
Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi.
Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga
pukulan Un Kong Sian meleset dan mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan kedua
orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur. Biauw Suthai
dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat, sedangkan Un Kong
Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian ia roboh sambil
memuntahkan darah.
Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan
Lin Lin cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat
duduknya. Tokouw ini lalu mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya
dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini
mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada
Un Kong Sian.
Akan tetapi pemberian obat itu ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan
obatnya sendiri guna sutenya, kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah
maju ke kalangan.
“Di pihak kami hanya aku seorang. Hayo kau keluarkan jago-jagomu,
Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”
Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini
tinggi sekali dan setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang diharapkan
bantuannya untuk menghadapi Ma Ing? Ma Ing agaknya tahu pula pihak keluarga Kwee
sudah kehabisan jago maka dengan sombongnya ia berkata,
“Kalau di pihak tuan rumah tidak ada jago yang berani menghadapi aku
seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing
seorang diri cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”
Biarpun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi
mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka meloncat maju
berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang
maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi! Ma Ing mengeluarkan suara
menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan dan kakinya menendang dan
dalam beberapa gebrakan saja empat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan
adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan
adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan
dan tendangan!
“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing
menyindir.
Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan
Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji lebih dulu, tahu-tahu meloncat berbareng
dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing! Ma Ing lalu mencabut
pedangnya dan bertempurlah tiga orang ini. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang
I Niocu yang memiliki kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan
melayani dengan sengit dan sebentar saja ia dapat mendesak kedua anak muda!
Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa
marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandannya dengan tersenyum dan betapa
pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain sibuk
melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.
“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.
“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak
saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.
Kwee Tiong marah sekali dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ banyak
orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai. “Kau sendiri orang
tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu, coba lihat
Kwee An. Ia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak
seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”
“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil
mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?
”
Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik,
apakah kau ingin melayani orang she Ma itu?”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tidak segera mengerti
maksud kata-kata Cin Hai ini. “Ah, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang
memiliki kepandaian tinggi masih terdesak olehnya, apalagi aku! Kulihat
kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”
Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kausiapkan pedangmu dan mari kau
kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak dapat merobohkannya jangan
kaupanggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya disertai senyum mesra kepada gadis
yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak
percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.
“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”
Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.
“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah biar aku dan Adik Lin Lin
menggantikanmu!”
Mendengar kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali
mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini digunakan oleh
Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.
“Hai-ji, ia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada
Cin Hai.
“Lin Lin dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi, baik Cin Hai maupun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini.
Lin Lin mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang
sulingnya.
“Eh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”
“Ha, ha, ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, kali ini
aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian
berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing takkan gentar.”
“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai dan ia menggerakkan sulingnya dengan
sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan
tertawa bergelak-gelak.
“Kau bersenjata suling? Ha, ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda.
Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”
“Tak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan
menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja untuk
apa menggunakan senjata tajam?”
Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ
menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah
gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang
membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai, “Kwee-kongcu, kau tenanglah
karena sekarang Ma Ing benar-benar akan kehilangan muka!” Kwee Tiong heran
sekali mendengar kata-kata ini akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini tidak
berani banyak cakap.
“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini
mencari matinya sendiri. Aku takkan mengganggu Kwee-siocia akan tetapi kalau
hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku
Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya
dan benar saja, ia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan
sebuah tusukan kilat ke arah dada pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena
telah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang, akan
tetapi Cin Hai juga menjerit, “Aya...“ sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh
Dari Cabang, tubuhnya terhuyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi
tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai
berkata,
“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”
Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri
Hai, ia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan
pedangnya. Ma Ing hendak menangkis akan tetapi tiba-tiba Cin Hai meniru
gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu. Terpaksa Ma
Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai
lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang, akan tetapi tiba-tiba suling
yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan
tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama betul dengan
gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.
Ma Ing terkejut sekali karena biarpun suling itu hanya terbuat dari pada bambu,
akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Ia cepat memutar pedangnya dan
menyerang Cin Hai dengan serangan kilat, akan tetapi, tiba-tiba ia memandang
dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya
sendiri.
Orang-orang yang menonton menjadi terheran-heran dan menganggap bahwa Cin
Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing, akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak
dapat mempercayai matanya karena gerakan Cin Hai malah lebih sempurna daripada
gerakannya sendiri. Maka ia cepat meloncat mundur dan berseru.
“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan
darimana kau dapat mainkan Pek-coa-kiam-hoat?” Pek-coa-kiam-hoat adalah ilmu
pedang yang dimainkan oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, mengapa kau masih
bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”
“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru
marah,
“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?” jawaban Cin
Hai ini memang sebenarnya saja, karena ilmu silat apapun juga jika dipergunakan
untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal
akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.
“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Kalau kau memang
laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan
melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.
Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini
takut kepada pedangmu, biariah aku yang melayaninya sendiri!”
“Tapi, Hai-ko...” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya
tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?” Gadis itu tak menjawab, lalu
mengangsurkan pedangnya.
“Kaupakailah pedangku, Hai-ko!”
“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Kalau perlu, aku sendiri pun
sudah mempunyai sebatang pedang.”
Lin Lin mengundurkan diri tetapi berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga
kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lalu mengeluarkan seruan keras
dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu
berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.
“Bagus!” Cin Hai berseru dan ia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya
mencelat ke sana ke mari dan suling diputar hingga ketika ada angin memasuki
lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.
Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya
lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi
ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai
dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton
lebih jelas! Sebaliknya, Kwee Tiong dan adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh
keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian
Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi daripada kebisaanku.”
Ma Ing merasa pusing sekali karena ia tak berhasil mendesak kepada Cin Hai.
Jangankan mendesak, menyerang pun sukar baginya, karena pemuda itu dengan aneh
sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat
dilakukan. Tiap kali apabila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin
Hai mendahuluinya dengan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga
serangan-serangannya itu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh. Dan yang lebih
gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.
Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah
ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa-kiam-hoat, maka tiba-tiba ia merubah gerakan
pedangnya dan memainkan limu Pedang Pat-sian-kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi
ia kecele, karena pemuda itu pun telah kenal baik ilmu pedang ini dan dapat
melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna! Ia mengubah-ubah terus ilmu
silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing
memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini ia
benarbenar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba
pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda.
Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam
pula. Ma Ing merasa seakan-akan ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri
di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya,
karena telah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya dengan perlahan di
kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Biarpun pukulan ini
perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih
adalah perasaan di dalam hatinya.
“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan suling, masih
belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya, sedangkan
sorak-sorai penonton makin riuh karena sungguh-sungguh mereka sama sekali tak
pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian
tingginya hingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini
benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata hingga
terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.
“Tidak heran bahwa ia demikian lihai, karena ia adalah murid tunggal dari
Bu Pun Su Susiok-couw!” Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini
mengangguk-angguk maklum.
Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad.
Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ah, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah
engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Setelah berkata demikian Cin Hai lalu
duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang
bersamadhi! Semua orang merasa heran sekali hingga memandang dengan mata
terbelalak tak pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak
menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!
Juga Ma Ing merasa ragu-ragu, akan tetapi karena ia telah merasa lelah
sekali dan hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, ia
menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, ia lalu membacok ke arah kepala Cin
Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu. Kwee An bergerak hendak
melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang
I Niocu yang telah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin telah siap dengan
pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling
itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan
Ma Ing! Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah
pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak
saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan,
“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insafkah engkau?
”
Ma Ing kaget sekali dan menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam
dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang
mual dan hendak muntah.
“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.
Ma Ing seperti dalam mimpi lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan
terkejutlah ia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika ia merobek bajunya,
ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum
bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,
“Sungguh mataku seperti buta dan tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang
menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali jadi aku merasa takluk. Tidak tahu
siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”
Cin Hai lalu menggunakan kepandaiannya hingga dalam keadaan bersila,
tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga khikang yang
jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara Cin Hai
melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata
sambil tersenyum,
“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang ternama besar. Siauwte bername
Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”
Orang-orang tertawa dan memuji menyatakan heran dan kagum karena biarpun
telah memiliki kepandaian sehebat, itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi
sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.
“Kau sungguh pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhumu
yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak
berani bersikap sombong.
“Suhuku lebih bodoh lagi daripadaku, ia tak memiliki kepandaian apa-apa.”
Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bt
Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Ia lalu menjura lagi dan berkata
“Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali kalau ada jodoh kita bertemu
kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.
Setelah lima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan
memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu
memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.
“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Sejak pertama bertemu aku telah menduga
bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan
mata bersinar-sinar. Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara
terharu berkata,
“Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”
Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada
saat itu, dari luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali dan Cin Hai juga merasa kaget sekali
karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya dan
melompat keluar. Ternyata di situ telah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang
tertawa bagaikan dua orang gila!
“Ha, ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau
ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita
main-main sebentar!”
“Ji-wi Locianpwe,” kata Cin Hai dengan sabar dan suara sungguh-sungguh.
“Kita tak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan
menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar
berpengaruh tidak seperti tadi ketika ia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin
dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.
“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah
berhutang kepada kami dan sekarang kaulah yang harus membayar!” Setelah berkata
demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan
juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin
Hai! Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhunya dulu, yaitu
Liong-coan-kiam, dan ia lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan
lawannya itu! Tiga orang ini bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka
bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga
bayangan pedang bercampur menjadi satu! Melihat pertempuran yang luar biasa
hebatnya ini, baik Lin Lin maupun Ang I Niocu tak berdaya untuk membantu karena
kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya
bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, malah mungkin akan mengacaukan
pertahanannya.
Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin dan ia melihat betapa gadis muda ini
meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta kedua mata basah
dengan air mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!
Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba menjadi perih seperti tertusuk
pedang. Ia maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai!
Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu
dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.
“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.
Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar ketika pedangnya beradu dengan tasbeh Pek
Moko, hampir saja ia mendapat celaka.
Setelah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba terdengar teriakan ngeri dan
tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko telah mengendur dan
tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin
Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena
tangan yang memegang itu menggigil!
Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini
memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru
berkali-kali,
“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum lalu mengerling ke arah Ang I
Niocu yang juga telah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan
dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa
malu-malu lagi lalu memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.
Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai telah mendapat
luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, akan tetapi ujung pedang
Liong-coan-kiam juga terdapat tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun
telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!
Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu
bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan tentang Pendekar Bodoh yang
luar biasa dan lihai itu! Dalam perjamuan itu, mereka benar-benar telah disuguhi
pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya!
Cin Hai dibaringkan dalam sebuah kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis
di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat.
Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh
Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai telah kena pukul tasbeh di pundak kanannya
hingga menderita luka dalam yang hebat juga.
“Tak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka
ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini benar-benar telah
mendapat latihan khikang yang tinggi hingga luka ini takkan membahayakan
jiwanya.” Ia lalu mengeluarkan tiga belas butir pel putih dan memberikan pel itu
kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan jika semua pil telah
ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”
Lin Lin cepat menerima pel itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu
pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri
memasukkan pel itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberinya minum air. Dengan
sangat mesra gadis ini lalu menggunakan saputangannya untuk menyusut peluh yang
berkumpul di jidat Cin Hai hingga melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan
Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu
sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya
dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan
kepadanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga
tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!
Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena ia hendak bertanya
kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya,
akan tetapi ketika ia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di
dalam kamar lagi! Ia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan
Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya
kepada kakaknya ini barangkali melihat Ang I Niocu.
“Ia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada
semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau
barangkali ia cemburu, karena tidak melihatkah kau betapa mesra dan akrab
hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat
kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin akan tetapi gadis ini
dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,
“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai
adalah keluarga kita sendiri dan ia dengan gagah berani telah berhasil membela
nama baik kita, tidak pantaskah kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka
cemberut gadis ini meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan
meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai
dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh ia mengaso. Melihat kebandelan
anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu
ia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.
Benar seperti ucapan Biauw Suthai, setelah diberi makan obat pel itu, pada
keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu
melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu.
Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam
hatinya terhadap Lin Lin makin mendalam dan berakar. Bibinya juga seringkali
datang menengok, sedangkan pamannya biarpun tiap hari sedikitnya satu kali
datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin,
Kwee Bun dan Kwee Siang tak pernah datang menengok. Hanya Kwee An yang sering
datang dan tiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan
minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.
Pada hari ke tiga, Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di
belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan
Ang I Niocu dan memikir dengan heran mengapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika
diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu ia hanya merasa menyesal
mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia
masih pingsan. Akan tetapi ia tidak kecewa. Ia tidak mengerti mengapa kini
setelah berkumpul dengan ie-ienya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang
I Niocu lenyap. Ia tidak tahu bahwa dulu ia hidup sebatang kara dan hanya
mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang ia telah berada di rumah Loan Nio,
bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah
dapat merebut hatinya dengan diam-diam.
Ketika ia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu
memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”
Cin Hai tersenyum. Ia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam
saja, bahkan ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dalam taman itu. Akhirnya
suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi
tidak tega. Ia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”
Lin Lin berlari-lari menghampiri dan wajah gadis ini menjadi merah, matanya
bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.
“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan bersembunyi
di sini? Kukira engkau...”
“Kaukira apa?”
“Kukira engkau pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu
menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.
“Kalau aku pergi, kenapakah?” “Kalau engkau pergi, aku... ahh... ah, Engko
Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis
itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin
Hai.
Cin Hai menerima pil itu dan memandang wajah Lin Lin yang berada di
dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai
terdengar menggetar penuh perasaan.
Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang mata bertemu dengan pandang
mata Cin Hai, ia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.
“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...” katanya berbisik.
Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu
menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kaupandanglah aku dan jawablah pertanyaanku
tadi!”
Tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di
dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”
“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang
terpegang akan tetapi tidak dapat. “Sudah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa
malu sekali. Telanlah piI itu!”
Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai
lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.
“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”
“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”
“Jawablah dulu!”
Dengan tersenyum kemalu-maluan dan matanya yang indah mengerling tajam Lin
Lin mengangguk!
Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini
hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah pohon-pohon itu
menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”
“Ah, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.
“Dan daun-daun itu, melambai-lambai kepada kita. Burung-burung itu pun
bernyanyi karena hendak ikut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh
membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”
“Sudahlah, kautelan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tapi hatinya
berdebar-debar karena gembira dan bahagia.
“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah
dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit
ini!”
“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda
itu. Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa
lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.
“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”
Cin Hai lalu meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya
yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang
indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam
suara suling itu, ia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai
kepadanya!
Setelah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin
berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau
semenjak dulu baik sekali kepadaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian
melawan Guruku untuk membelaku? Ah, aku tidak dapat melupakan semua kejadian
itu!”
Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau mengingatkan akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan
yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel!” Cin Hai tertawa dan matanya
memandang penuh menggoda.
Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ah, lucu sekali...”
“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.
“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan
nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin
Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari. Cin Hai mengejarnya
sambil berkata,
“Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!” Lin Lin berlari
memutari pohon dan kembang, Cin Hai mengejar dan mereka berkejar-kejaran
bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.
Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang dan dengan wajah tak senang ia
berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!” Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong
lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa, akan
tetapi Cin Hai berkata,
“Pergilah, Lin-moi! Ie-thio tentu ada hal penting maka ia memanggilmu.”
Lin Lin lalu masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang duduk
melamun dengan penuh kebahagiaan.
Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihatnya ayahnya duduk seorang diri
dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta
menegur,
“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”
Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah,
Ayah?”
“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”
Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari
Kwee Tiong.
“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia
keluarga kita sendiri dan bukankah ia seorang pemuda yang baik dan gagah serta
telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.
“Betul, akan tetapi engkau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan ia
seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis
dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”
“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah.
“Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan
dia!” Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya hingga ia berani
bersikap bandel terhadap ayah ini.
“Lin Lin.” Kwee In Liang menghela napas. “Engkau harus taat kepadaku dalam
hal ini. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang
melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan engkau
bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”
“Ayah!” Gadis itu berseru.
“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang
anak yang puthauw (tidak berbakti)??”
Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!
“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke
kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis
tersedu-sedu.
Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia
memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,
“Lin Lin, aku telah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka
kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan
usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”
Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Ia memandang kepada Loan
Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan
dengan Cin Hai, maka pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini membuatnya bingung
dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.
“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku
tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah!
Kalau kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku
akan bicara dengan Ayahmu.” Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang
karena menahan isak tangisnya!
“Sudahlah, tenangkan hatimu dan serahkan persoalan ini kepadaku.” Setelah
menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar
Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.
Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak
dapat menahan sabar menanti hasil daripada pembicaraan ibu tirinya dengan
ayahnya, maka setelah menanti sebentar, lalu ia menggunakan kepandaiannya
meloncat keluar dari jendela kamarnya, lalu dengan hati-hati sekali ia mengintai
di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap
dengan Loan Nio!
Ketika Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk
memasuki kamarnya, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat
suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan
memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke
atas genteng. Alangkah herannya ketika ia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai
pula, maka diam-diam ia menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian
lain. Ia tidak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk
mendengarkan.
“Tidak, tidak, sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan
dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan
tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat
keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apa kau pikir
aku harus berbesan dengan pemberontak?”
“Tapi ayahnya telah meninggal dunia dan tidak perlu kiranya kita
membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.
“Hem, macan mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya!
Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu! Nama busuk pula!”
“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia seorang anak
yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”
“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau
bisa tahu?”
“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”
“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus meniadi mantu keluarga Gan di
See-tok, dan habis perkara!”
Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas
genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata
mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.
Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, tetapi bukan
karena sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya
dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dulu, yang telah dapat
dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ienya dan terutama dengan Lin
Lin, kini timbul kembali. Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang,
dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih
direndahkan!
Timbul keangkuhan dan kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja ia tidak
ingat kepada Lin Lin, tentu ia telah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang
yang berani merendahkan ayahnya!
Dengan hati terluka, Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke
kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi,
ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil
menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar
sambil berseru,
“Hai-ko... kau hendak ke mana...?” Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin
Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi ia mempercepat larinya!
Akan tetapi, karena serangan batin yang hebat itu dan karena nafsu marahnya
menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali
dan tiba-tiba ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan
rasa sakit ini dan lari terus sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil menangis
dan berteriak-teriak.
“Engko Hai... tunggu... Engko Hai...”
Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tak kuat lagi. Hari
mulai gelap dan kebetulan sekali ia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Ia
lalu membelok ke situ dan seorang hwesio tua menyambutnya.
“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar kepadaku. Aku sedang terluka dan
tolong kaucegah siapa saja yang memasuki kamarku.”
Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat
sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai lalu menutup kamar itu dan duduk di
atas pembaringan lalu bersamadhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.
Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari
yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak
lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat
bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh
hwesio tua tadi.
“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”
Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi telah
berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”
Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan
dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan
suara keras sekali.
“Tak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” kata hwesio
tadi dengan masih sabar. Dan kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin,
maka ia berkata.
“Kalau tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”
Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan
Lin Lin ke kamar Cin Hai.
“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar
kamar.
Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini
menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu.
Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”
Maka ia lalu menjawab dari dalam,
“Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri
kata-kata Ayahmu tadi?”
Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar
mempunyai hubungan dengan orang di dalam kamar.
“Hai-ko, jangan kausamakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara
memohon.
“Sudahlah Lin-moi, kaupulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali kalau
tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana
seorang diri. Lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang
terhormat. Ingat, aku seorang keturunan pemberontak hina!”
“Engko Hai...!” Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat ia lalu mendorong
daun pintu kamar Cin Hai. Ia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat rebah
di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu
basah oleh air mata!
“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil
mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.
Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati
yang tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.
“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...” katanya
dengan penuh kasih sayang.
Lin Lin menyusut kering air matanya dan di antara air mata yang membasahi
bulu mata yang panjang dan bagus ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar
suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.
“Kalau kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan
kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”
Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat dikandung
badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta
dengan sepenuh hati dan nyawa.”
Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kaumaafkanlah kata-kata Ayahku.
Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi
dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan
minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”
Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tak baik seorang gadis
gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”
“Habis, bagaimanakah baiknya, Haiko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”
“Puterinya begini keras hati dan kukuh, mengapa ayahnya tidak?” Cin Hai
menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka
biarlah kita menunggu sampai ia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”
“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”
Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat
Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin
Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang
kembali”
Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”
“Aku hendak pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan
tentang orang tuaku.”
“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”
“Tentu saja, Lin-moi, kaukira aku akan merasa senang berjauhan dengan
engkau?”
Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan.
“Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan
akan mencarimu sampai dapat!”
Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai
diharuskan berjanji bahwa pemuda itu betul-betul akan kembali. Akan tetapi belum
lama gadis itu pergi, tiba-tiba ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali.
Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai. “Celaka,
Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya akan tetapi
lalu menangis dengan sedih.
Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin
Lin. “Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”
Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,
“Celaka, Hai-ko! Rumah telah kedatangan musuh, perwira-perwira jahanam itu
datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”
Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai lalu menarik tangan Lin Lin dan diajak
keluar dari kuil itu. Ia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik
tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka menuju ke rumah
keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.
Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, Kwee Tiong dengan pedang di tangan
lalu menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali layangkan kakinya, Lin
Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu
mencelat jauh.
“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata
beringas. “Engkau main gila di luar, tak tahu di rumah ditimpa malapetaka! Aku
akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!” Pemuda yang sudah kalap ini lalu
menubruk maju, akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya
hingga ia roboh dengan lemas, tak dapat berkutik maupun berteriak lagi.
“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan
bersama Lin Lin ia lalu lari memasuki rumah.
Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat kedua kaki Cin Hai
terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah!
Di sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan
Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!
Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan, Kwee In Liang menderita luka parah di
dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata
telah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Juga Kwee Sin, Kwee Bun
dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena
biarpun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh
lebih kuat daripada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan
sekali. Cin Hai tak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Ia mengangkat
jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantu.
Kemudian ia lalu menolong Kwee An dan Kwee In Liang. Setelah menotok jalan darah
dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga
setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia
lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.
Kwee An lalu dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut
luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah
diurut pundaknya oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya. Untuk
beberapa lama kedua matanya memandang sayu seakan-akan tidak dapat mengenal
keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya makin
terang hingga ia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua
tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu ia menggerak-gerakkan
bibirnya.
Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap
kata-kata orang tua ini.
“Lin Lin kaujaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau...
kau... balaskan sakit hati ini... jangan kaukawini Lin Lin sebelum kaubalaskan
sakit hati ini”
Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.
“Cin Hai... kau berjanjilah…” suara orang tua itu makin lemah.
“Aku berjanji Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena ia
merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalas sakit hati bibinya yang
terbunuh secara kejam.
“Aku aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu...
kalau sudah berhasil kau betul-betul mantuku yang baik…” setelah berkata
demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir. Lin Lin menubruk jenazah
ayahnya dan jatuh pingsan! Setelah sadar, ia menangis dengan sedih sekali dan
menjambak-jambak rambutnya sendiri karena merasa menyesal mengapa kejadian itu
terjadi di luar tahunya!
“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada
di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban.
Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Kalau engkau dan semua menjadi
korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”
Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee
Tiong lalu dibebaskan totokannya dan dengan kata-kata tajam Cin Hai berhasil
mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong
menuturkan peristiwa yang hebat itu.
Ketika Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan
perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang
perwira yang dulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama
tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lain yang menjadi anggauta
daripada Santung Ngo-hiap, yakni orang pertama dan ke dua, sedangkan yang ke
tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang
adanya!
KEDATANGAN mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus
kekalahan mereka yang lalu, akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ,
mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee! Tentu saja
Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An dengan
gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat
melukai beberapa orang perwira, akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan
terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, hingga akhirnya semua kena
dirobohkan! Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio
sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang, Kwee
Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu, cepat
melarikan diri dan bersembunyi hingga ia terhindar daripada kebinasaan!
Mendengat penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela dan
mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu,
“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau mempersalahkan adikmu lebih jauh.
Ketahuilah sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku
untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk
supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih
baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti kalau Kwee An sudah
sadar, kita bisa mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.
Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam akhirnya
Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan
sedih.
Setelah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air
mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku
bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dulu
mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari
Santung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”
“Hm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kautenangkanlah
hatimu, Saudaraku. Besok aku berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha
untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”
“Jangan Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee
An berkata penuh semangat.
“Kenapa?”
“Kaukira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak
mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!
”
Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menanti sampai sembuh dan kita
akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega
dan ia lalu jatuh pulas.
Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin
bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut
merasa berduka dan gemas serta berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit
hati itu.
Dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang
sangat telaten dari Lin Lin dan Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada
lukanya yang dideritanya. Setelah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali,
barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.
Ketika mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut
membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan
Cin Hai yang amat dicintainya dan ia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk
menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam
ruang belakang Cin Hai berkata,
“Lin Lin, kau sendiri tahu betapa pentingnya perjalanan yang akan kulakukan
bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi sangat berbahaya maka
biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”
Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya
inilah maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi
tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau
memang ada bahaya, apa kaukira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal
di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau
tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu
berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”
Cin Hai menjadi serba salah. Ia memang harus membenarkan pendapat gadis ini
akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi
perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau gadis ini dibiarkan
ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah
beban saja, karena ia harus melindungi Lin Lin yang ia cinta.
“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku?
Engkau mendengar sendiri pesan terakhir Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan
dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”
Akan tetapi dengan sikap bandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil
membanting-banting kaki dan berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”
Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak
ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,
“Sudahlah jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dulu dengan kakakmu
dan Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita
untuk merudingkan persoalan ini.”
Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An.
Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.
“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut
pergi, karena kepandaianmu belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini.
Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”
“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” jawab Lin Lin sambil berdiri
dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.
Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku
percaya penuh akan ketabahanmu,” kata Biauw Suthai, “akan tetapi, ketahuilah,
bukan soal takut dan berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut,
maka tidak saja engkau takkan membantu, bahkan akan menambah beban kepada
Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”
“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tidak minta digendong,
teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu
asal teecu boleh ikut.”
“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku,
akan tetapi apabila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal
ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang
harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah engkau akan senang apabila
pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena ikutmu?” .
Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab,
hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya.
Akhirnya ia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan
keinginannya.
Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga
Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai
dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni
ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja dan mempergunakan
kepandaian mereka berlari cepat.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam
kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu
berkata kepada Pek I Toanio,
“Anak itu kecewa karena ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak
panah asmara telah tertancap di hatinya, dan selain itu, ia pun merasa bersedih
karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Kaupergilah,
hiburlah hatinya dan katakan bahwa kami akan tinggal di sini untuk sementara
waktu dan menemaninya.”
Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam
kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat
tidur dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya! Kakak
seperguruan yang sangat mencintai sumoinya ini lalu memeluk pundaknya dan
berkata menghibur,
“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini
lemah.”
Lin Lin bangun dan duduk di dekat sucinya, “Suci aku tidak sedih karena
tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tidak
dapat ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”
“Sumoi, kalau begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak
memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini
menemanimu untuk sementara waktu.”
Tiba-tiba wajah gadis yang muram itu berubah terang dan ia tersenyum! Pek I
Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja
menangis sekarang sudah tersenyum.
Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan ia sendiri mengatur dua buah
kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta
kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya.
Ia berlatih giat sekali karena ia pikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang
berilmu tinggi, ia harus mempertinggi kepandaiannya pula!
Pada suatu sore ia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil
mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang
gerakan-gerakannya. Setelah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap
dengan Biauw Suthai.
“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”
“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur
tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu
Pun Su yang luar biasa. Biarpun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan
tetapi sebenarnya ia telah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat
gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”
“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”
Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira.
“Muridku, kepandaian manusia tidak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha,
tentu ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian
silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang
luar biasa seperti Bu Pun Su.”
“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin
bertanya.
“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya
dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah secabang. Ketahuilah, kalau aku tidak
salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah
susiok-couwnya. Dalam hal ilmu silat, biarpun Ang I Niocu memiliki gerakan yang
indah dan lebih matang, akan tetapi ia masih kalah setingkat oleh Sietaihiap.”
“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu
takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah
dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya. Gurunya heran
mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi dapat
mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di belakang mereka ketika nenek
ini mengerling, ternyata Ang I Niocu telah berada di belakang mereka,
bersembunyi di balik sebatang pohon.
“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja
Suthai ingat kembali betapa ia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu
itu.”
“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak
terhadap orang lain. Pula, bukankah ia telah membantu pihakmu dalam pertempuran
dulu itu?” kata Biauw Suthai yang merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang
I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.
“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena teecu juga tidak
mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena ia... kawan baik Engko
Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, kalau ia tidak
sombong, mengapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko
Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan
meninggalkannya pergi?”
“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tidak jauh dari
kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan
duduk!”
Ang I Niocu keluar dari belakang pohon itu dan Lin Lin cepat berdiri dan
memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran
sekali ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu pucat sekali dan dari kedua mata
yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.
Akan tetapi, ketika pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I
Niocu mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik, kata-katamu semua benar
belaka. Memang aku seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi
hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan
senasib belaka...” Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan menahan rasa
sakit yang menyerang dadanya, kemudian ia berkata lagi, kini suaranya terdengar
tegas, “Akan tetapi, dalam hal kepandaian, agaknya kau masih harus belajar
banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apalagi kalau hendak menyamai ilmu
kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku,
bukan? Nah, marilah kita main-main sebentar!”
Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun ia tidak menjadi jerih ia lalu
menarik keluar belati pendek yang menjadi senjata ampuh baginya. Biauw Suthai
hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan
menjura,
“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, jangan Suthai salah sangka. Aku hanya
bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”
Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas
lagi, ia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin,
jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I
Niocu!”
Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin,
“Nah, kaumaju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku
sungkan-sungkan lagi.”
Lin Lin adalah seorang gadis yang masih muda sekali dan belum mempunyai
banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, maka ketika mendengar ucapan
Ang I Niocu, ia merasa bahwa ia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu menyerang dengan belatinya. Ang I Niocu
mengelak cepat dan keduanya lalu bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa
belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali jauh lebih cepat
daripada gerakan pedang. Lagipula, gadis ini telah mendapat didikan ilmu silat
semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti
bahwa gadis ini telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan
oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan
sekali dan gerakannya gesit bagaikan seekor burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki
kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman luas daripada Lin Lin. Juga,
kalau Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya
dengan tenang. Nona Baju Merah ini memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu
Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan dan
lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan
Lin Lin yang makin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat. Ang I Niocu
sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri daripada
menyerang. Ia membiarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya
menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak, hingga ia hanya
sedikit mengeluarkan tenaga, sedangkan Lin Lin bagaikan seekor naga yang muda
dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!
Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar dan
Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin
Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar
galak, sedangkan Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang. Rambut Ang I
Niocu yang diikat dengan saputangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar
dalam gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir
dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.
Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan kagum. Karena asyiknya
ia menonton, Biauw Suthai tak terasa lagi kadang-kadang menggerak-gerakkan
tangan seakan-akan ia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu.
Kalau Lin Lin membuat kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa dan
membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik
dalam sebuah penyerangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan
lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat
pertempuran itu.
Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai dimana kepandaian
gadis itu. Maka setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba ia merubah gerakannya
dan kini melancarkan serangan-serangan hebat hingga pedangnya berkelebat cepat
dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung karena cepatnya gerakannya. Lin Lin
terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang
terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,
“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”
Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh
lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah
itu tidak bermaksud buruk. Maka buru-buru ia simpan belatinya dan menghampiri
Ang I Niocu.
“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi
petunjuk.”
Ang I Niocu ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos
dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik
Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian
Hai-ji”
Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, ia bertanya,
“Adik Lin Lin, mengapa wajahmu nampak murung? Bagaimana dengan keluargamu,
baik-baik saja bukan?”
Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang
menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak
hatinya hingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu
menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya. Telah
dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia
gagal. Makin dilupa, makin ia teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak
dapat menahan hatinya lagi. Ia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan ia
menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat ia kembali ke kampung itu dan dengan
diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin
dan Biauw Suthai.
Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak
tertahan lagi Lin Lin lalu memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan
sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika ia memandang ke arah
Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat kepadanya hingga ia hanya
mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.
“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik.”
Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh
Biauw Suthai.
Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan
matanya tidak beda seperti seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh
pelayan mengeluarkan hidangan dan ia melayani tamunya dengan hormat dan
bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam
Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini
tidak ada.
Ketika mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga
Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.
“Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu ikut campur
dalam urusan-urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka
bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan
bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya
kepada Lin Lin.
“Mereka telah pergi lima hari yang lalu, untuk mencari musuh-musuh kami itu
dan membalas dendam!”
Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut
pergi?” Pertanyaan ini mengandung dua maksud, pertama-tama karena ia memang
merasa heran mengapa Lin Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati orang tuanya.
Kedua kalinya karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan
antara gadis ini dengan Cin Hai.
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin menjadi marah dan cemberut.
“Inilah yang menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh
menggemaskan!”
Pek I Toanio ikut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau
membawa Sumoi oleh karena memang kalau Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam
itu akan lebih sukar lagi.”
“Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” Kata
Biauw Suthai dengan sabar. “Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal
seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat itu datang kembali?”
kata Kwee Tiong yang tak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang
pengecut.
Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada
bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.” Lin
Lin memandangnya dengan berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini
membela dan membenarkannya. Pada saat ia hendak menyatakan kemenangannya kepada
guru dan sucinya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah
berkata pula,
“Akan tetapi betapapun juga, kau harus tunduk kepada nasihat Gurumu.”
Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tidak jadi membuka mulut. Akan tetapi di
dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat
ia membujuk-bujuk agar wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut
membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju. Lin Lin gembira
sekali dan ia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena ia tidak mau
berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.
Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin telah pergi dari rumah itu
bersama Ang I Niocu. Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk
membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-geleng
kepalanya dan berkata kepada Pek I Toanio,
“Muridku, biarpun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena ia
pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik
kita pergi mencari mereka itu untuk membantu apabila mereka berada dalam bahaya.
”
Keduanya lalu berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi kecewa dan khawatir
sekali. “Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi
apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”
Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka
katanya dengan ketus, “Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya?
Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal
di rumah seorang diri saja merasa takut.”
Akan tetapi Biauw Suthai yang tak mau banyak bicara dengan pemuda ini
berkata, “Kwee-kongcu, kalau engkau merasa takut, kaupergi saja kepada Suhumu
dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru dan murid ini meninggalkan Kwee Tiong
tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah. Kwee Tiong
lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah
keluarga Kwee dan ia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak
Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana ia berlutut sambil menangis dan
menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.
Tong Gak Hosiang hanya bisa menghela napas, dia lalu menasihati muridnya
untuk berdiam saja untuk sementara waktu di kelenteng itu.
Setelah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, Cin Hai dan Kwee An tiba
di kota raja. Di sepanjang perjalanan, kedua anak muda ini menuturkan pengalaman
masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai,
anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin suka
kepada Cin Hai dan sepanjang perjalanan tiada hentinya ia minta petujuk-petunjuk
dan nasihat-nasihat tentang persilatan. Dengan melihat permainan silat Kwee An
saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya
hingga ia dapat memberi petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An
dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.
Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama
kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang
disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani
sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi telah mengunjungi
Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para
perwira Sayap Garuda.
“Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira,
terutama kelima Santung Ngo-hiap.”
“Sayang sekali bahwa sekarang para perwira sedang mengadakan pertemuan
besar hingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.
“Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.
“Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak
diangkat menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,”
jawab penjaga itu. Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya
mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata,
“Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat itu tak
seorang pun boleh memasuki En-hiong-koan.”
Kwee An dan Cin Hai merasa mendongkol sekali. Mereka saling pandang dan
saling memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir
berbareng mereka mengulur tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh
dengan tubuh lemas karena tertotok jalan darah mereka oleh Cin Hai dan Kwee An!
Dengan tenang kedua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke
ruang belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jerih sedikit
pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.
Ternyata ruang belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu telah
terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini merupakan ruang berlatih silat
atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari
panggung itu, dan di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul yang bertubuh
tinggi kurus, dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang
kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk
di sebelah hwesio itu.
Pada saat itu, memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para
perwira yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan
ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima
yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam
istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya dengan kesempatan
ini? Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan
mulia.
Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang
sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di
lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala
hwesio di kuil raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat
pula menjadi penasihat para perwira, ini kedudukan yang tinggi, karena
sebenarnya hwesio ini bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai
Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.
Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka telah diadakan pemilihan dan
para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada saat Cin
Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang
bergumul di atas panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak
gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua
dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya
pemuda ini.
Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka
melalui kepala para perwira lalu melompat ke atas panggung di mana dua orang
perwira itu sedang mengadu kepandaian.
Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang
seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung
seakan-akan orang melempar ayam saja!
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing
melihat siapa yang datang mengacau, ia menjadi pucat karena ia telah mengenal
Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.
Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di situ sunyi senyap
karena semua orang masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka
itu. Siapakah orangnya yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada
saat perwira-perwira mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang
berada di situ? Mungkin setan pun berani mengacau maka tindakan kedua orang
pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!
“Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan
sengaja hendak mengacau dan kami sebenarnya tidak mempunyai urusan sesuatu
dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini,
terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka
tampil ke muka dan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang biadab!”
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat
ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan
angkat pundak. Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh
karena ia memandang rendah sekali kepada kedua orang itu, maka katanya dengan
suaranya yang tinggi nyaring,
“Eh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”
Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring,
“Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan
Tan Bu, kelima kawanan yang disebut Santung Ngohiap Ma Ing, Un Kong Sian dan
tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir seorang hwesio keparat bernama Hai
Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di
tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Alangkah beraninya
kedua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira
kelas tinggi, bahkan Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan
Beng Kong Hosiang karena mereka itu telah dianggap perwira-perwira yang tinggi
kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan
yang kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Santung Ngohiap. Lebih-lebih
lagi nama terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini adalah sute (adik
sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!
Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ,
kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biarpun wajah mereka menjadi berubah
ketika nama-nama mereka disebut, tetapi karena berada di rumah sendiri dan
mempuyai banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat
mereka tabah dan berani. Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu lalu berdiri dan
menghampiri kelima saudara Santung Ngohiap yang duduk di dekat Beng Kong
Hosiang. Juga lima jago dari Santung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga
orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, berdiri dari kursinya hingga
ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.
Sebetulnya nama Santung Ngohiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka
adalah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, ke dua adalah adiknya Lauw Houw.
Kedua saudara inilah yana dulu ikut membasmi keluarga Kwee. Orang ke tiga adalah
seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah
satu-satunya orang dari kelima jago dari Santung yang tidak pernah memusuhi
keluarga Kwee dulu, akan tetapi karena ia juga menjadi anggauta Santung Ngohiap,
maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara
seperguruannya. Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian.
Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya
seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di
rumah keluarga Kwee dulu, maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma
Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!
Demikianlah, kelima Santung Ngohiap itu dan kedua saudara Tan Song dan Tan
Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,
“Eh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau
apa?”
Sambil berkata demikian, ia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti
oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing.
Juga para perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda
yang mengacau ini, pada bergerak mendekati panggung hingga Cin Hai dan Kwee Ang
seakan-akan hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!
Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hem, hm, tidak
kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para
perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut
yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata
demikian, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah
berada di tangannya! Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya
yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka telah mengambil keputusan untuk
bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.
Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!” Dan tahu-tahu
hwesio yang tinggi kurus ini telah berada di atas panggung, mendahului semua
perwira dan ia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.
“Tidak malukah kalian?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju.
“Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar?
Cuwi-ciangkun, jangan kau bikin malu kepada pinceng!”
Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai
penasihat para perwira dan terkenal sebagai seorang yang amat disegani dan
ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua
orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan
kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali! Ia telah melihat gerakan kedua
orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan ia maklum bahwa di antara kedua
pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, sedangkan pemuda yang ke dua itu
tidak berbahaya.
Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka
dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.
Beng Kong Hosiang tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid
siapa hingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?”
“Aku bernama sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan
suara tenang karena ia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan
kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang
namanya telah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh
keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!”
“Hem, mereka itu dibunuh karena mereka telah memberontak dan berani
menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah berani
mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatanmu ini saja sudah cukup
menjadi alasan untuk menghukum kalian!”
“Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan
untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah
karena ia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di
kalangan perwira Sayap Garuda.
“Ha, ha, ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak
tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun,
marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!” Beng Kong
Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau kalau pihaknya disebut curang dan main
keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan,
maka ia sengaja memanggil Lauw Tek yaitu saudara tertua dari Santung Ngohiap
atau perwira yang pada saat itu hadir di situ. Ia maklum bahwa kepandaian Lauw
Tek cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai,
dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!
Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh dan melompat ke atas panggung
menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,
“Dulu kau masih kuberi ampun hingga jiwamu tidak sampai melayang, apakah
karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?
”
Kwee An mengenal orang ini sebagai seorang di antara mereka yang menyerbu
rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan
menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan sambil tersenyum menyindir Lauw Tek
menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka berdua lalu bertempur hebat.
“Ha, ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong
Hosiang dan ia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah
jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai. Sambaran ini hebat dan kuat, akan
tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu
pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja
lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh Liong-coan-kiam. Hwesio ini
terkejut sekali karena ia tidak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai,
maka tadi ia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan
ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin
pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, akan
tetapi ternyata penuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat
mengelak serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan
bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?
Ia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini
dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke
depan ke arah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan
pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya ialah secepat kilat
ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang
untuk merampas pedang lawan itu! Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bahkan
mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang
mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak diteruskan
dan kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai menggerakkan
lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah hingga tak ampun lagi ujung
lengan baju itu terbabat putus!
Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia mengira
bahwa dalam satu dua gebrakan saja ia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini.
Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan
ia sendiri menderita rugi karena ujung lengan baju yang merupakan senjata
baginya itu telah terbabat putus! Dengan muka terheran-heran ia mengeluarkan
senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata
pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal
dilipat dua dan oleh karena itu setelah dilipat menjadi pendek dan dapat
diselipkan di pinggangnya.
Sambil membentak hebat, Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan
menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali seperti seorang petani mencangkul
tanah, akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir dan
balas menyerang dengan pedangnya.
Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan dan kepandaiannya
untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang betul-betul lihai itu.
Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,
“Eh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”
Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia
menahan senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai kau mau
apakah?”
Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang
Cu dan mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata demikian ia mendesak makin
hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak
hebat.
Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu
tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An
menjadi murid Eng Yang Cu. Ketika itu, Santung Ngohiap masih tinggal di Santung
dan menjadi jago yang ditakuti karena selain lihai juga terkenal ganas.
Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Santung dan
mendengar tentang keadaan Santung Ngohiap, lalu sengaja menantang pibu kepada
mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tidak tahan
mendengar betapa di Santung ada Santung Ngohiap yang menjagoi dan berlaku
sewenang-wenang. Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari
Santung Ngohiap kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu, akan tetapi secara licik
kelima jago Santung itu lalu mengeroyok hingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan
melarikan diri. Semenjak itu, Santung Ngohiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.
Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal
ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian
Kwee An, ia dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu.
Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas
dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.
Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan
serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi, biarpun masih muda Kwee An
bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas
dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.
Pada saat itu, dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara
orang berseru, “Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee
An, kau mundurlah!”
Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu
gurunya. Ia lalu mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek. Eng Yang Cu
adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah
putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya
adalah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.
“Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!”
Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas. Para saudaranya seketika melihat
kedatangan musuh lama ini, lalu datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih
hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Kwee An yang melihat betapa
pihak lawan mengeroyok, tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya
lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan
kedatangan suhunya itu.
Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Liong-san Kiam-hoat,
Ngo-lian Kiam-hoat, dan Sianli-utau yang pernah dipelajarinya, juga
kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua
gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tidak berdaya.
Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai,
sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk telah membingungkan hwesio itu.
Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya
hingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.
Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua
lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan
pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang
yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya tempur luar biasa
sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang dan ginkang dipersatukan
merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar. Khikang semacam ini
jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang
bulat hingga sangat melelahkan tubuh, ia sendiri akan mendapat celaka oleh
karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka jarang sekali ia keluarkan
kepandaian ini. Untuk menggunakan tenaga khikang ini, paling lama ia hanya kuat
bersilat sampai tiga puluh jurus saja.
Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima
jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini
jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.
Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi terkejut sekali dan permainan
Santung Ngohiap menjadi kacau balau hingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan
melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira
mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar,
sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan
sendiri. Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam,
lalu sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggauta Santung
Ngohiap dan ketua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu mana
musuh-busuh besar muridnya, hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua
pemuda itu. Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu dan serangan
pemuda ini disertai kegemasan yang meluap hingga kedua saudara Tan itu roboh
tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti
memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing,
dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam
penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni orang tua ini dan hanya
menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang
Liong-koan-kiam!
Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu telah dapat dirobohkan, tiba-tiba Cin
Hai melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.
“Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak
berdosa. Orang-orang yang telah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanyalah
enam orang yang telah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa,
ia hanya diberi hajaran saja demikianpun Beng Kong Hwesio yang sombong hanya
diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap
Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua
orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!”
Akan tetapi, di antara sekalian perwira itu, mana ada yang berani menjawab
dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap
sedia dengan senjata di tangan, walaupun hati mereka telah dibikin gentar oleh
kehebatan ketiga orang itu!
Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu
mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para
perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat
mereka di atas panggung lagi. Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan
sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana. Keadaan menjadi kalut
sekali, karena semenjak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh tahun
yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani
mengganggu mereka. Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh
seorang tosu tua telah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira
telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah
dikalahkan orang itu, kini roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat
sekali.
Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia lalu memerintahkan
barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, akan tetapi pada saat itu, Cin
Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah
berhenti di dalam sebuah hutan.
Cin Hai diperkenalkan oleh Kwee An kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang
dengan kagum kepada Cin Hai.
“Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu
sungguh-sungguh membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhumu yang mulia?”
Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhunya
karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tidak suka bahkan membenci segala nama
besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An
lalu mewakilinya menjawab,
“Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”
“Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apabila
kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhumu walaupun
mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe
itu, akan tetapi setelah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”
Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan
kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek
ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang
diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Santung Ngohiap yang telah
membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat
hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.
“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tak berdaya menolong
Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai hingga aku tidak mempunyai
kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.
“Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan semua itu berkat bantuan
Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu.” “Musuh belum
terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. Masih ada dua orang musuh besar yang
memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang
lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.
”
Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah,
memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat
keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong
Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu
terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya
bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan
terbalas!”
Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah,
memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat
keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong
Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu
terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya
bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan
terbalas!”
Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan kepada muridnya agar berlaku
hati-hati dan agar supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu
pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.
“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto
takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya. Kwee An merasa
terharu atas pembelaan suhunya itu dan menghaturkan terima kasih dan selamat
berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.
“Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat
kepada suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhunya
itu masih berada di Gua Tengkorak?
“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di
Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata ia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu
dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke
manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”
Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut
pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja
mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena
tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para
perwira.”
Mereka lalu menanti sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja
di waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang
tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.
“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan
tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah
orang ke tiga dari Santung Ngohiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, ia
agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita tentang
tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati
dan tidak membunuhnya.”
Dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan
Kwee Ang dengan mudah dapat melompati tembok kota di bagian yang tidak terjaga
dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa
menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk,
dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu,
yaitu di dalam sebuah gedung besar yang kuno.
Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi
baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat
oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah berdiri di situ dengan tangan
memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!
“Hm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya
sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti
kedatanganmu berdua!”
Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya dan Kwee An cepat
menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar
memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut
karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.
“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang
kami?”
“Kalian diam-diam memasuki kotaraja dan mencari rumah kediaman Ma-ciankun.
Masih hendak bertanya mengapa aku menanti dengan pedang di tangan di sini? Aku
adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas
di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kauhadapi dulu anaknya!”
Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya telah
menyerang lagi kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang
lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik
sekali, maka ia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh
perhatian. Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda
sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah daripada
kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu
menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya seperti seekor naga yang
menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan,
ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!
JUGA Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata
merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi
pemuda itu dan tak dapat mendesak!
“Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan
serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang
dengan ganasnya.
Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng,
“Hoa-ji,jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika
hendak bicara dengan aku!”
Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya mengeluarkan seruan kecewa, akan
tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin
Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah keren.
“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku ada keperluan
apakah?”
Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan
kami. Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua,
karena tidak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon
pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan
Sip, kedua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”
Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian otang-orang muda memang terlalu
berani dan tidak memandang sebelah mata kepadaku! Kaukira aku ini seorang
pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Biarpun
kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu
untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”
Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh.
Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh
mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini
mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,
“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku hingga mentertawakan sikapku
yang bodoh?”
“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa
teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu.
Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi mengapa kau sudi
menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal
itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi
pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus
dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan
keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah orang-orang yang telah melakukan
keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu
tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau telah melakukan sesuatu yang
adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu
atau kedudukan mereka sebagai anggauta Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan
pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa
perlunya mereka bersembunyi daripada kami? Kalau kau menolak untuk
memberitahukan tempat tinggal mereka, itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan
mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh
kami!”
Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak dan
ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan
tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela
napas dan berkata,
“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah
seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi
keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan
menganggap aku merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan
tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa
penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas
yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di
perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain
telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”
Cin Hai menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang
benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali
dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”
Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas
genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.
Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara orang
menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru
yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!
“Eh, eh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang
tadi?” Kwee An menegur tidak senang.
“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab
pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang
gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah
utara!”
Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. “Mengapa kami tidak berani?
Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana
kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak
seperti kau?”
Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!
” Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.
“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai
sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan Ayahnya.” Cin
Hai menegur dengan suara menyesal.
“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran
sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat mengalahkan pemuda itu. Setelah
pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur? “Dan lagi kita hendak melewati
Pai-san. Kalau kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan diterwakan
oleh seorang kanak-kanak?”
Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena
tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak
itu!
Setelah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk
dusun tentang rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An
tiba di lereng bukit Pai-san.
Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di situ subur. Hal
ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau
mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai
Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai
Kuning yang besar itu.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang
ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang
menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang
bergerak maju melawan arus air. Setelah dekat, ternyata yang duduk di dalam
perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian
nelayan yang bertubuh kurus bagaikan tengkorak hidup dan berwajah gembira.
Biarpun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu dapat
menggerakkan perahu dengan lajunya, hingga dapat dibayangkan betapa kuat
tenaganya.
Tiba-tiba terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu
diiringi bunyi riak air. “Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang anggur
dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang berserakan tulang rangka sisa
korban dingin dan lapar!!”
Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini
adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dulu keadaan rakyat di
bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika
lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung
bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut
istana Hua Cin. Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara
kehidupan raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tidak mempedulikan
keadaan rakyatnya yang sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan,
maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya
untuk membuat syair itu.
Syair ini semenjak dulu dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena
dianggap sangat menghina kaisar, dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang
mengenalnya lagi, apalagi menyanyikannya, karena apabila terdengar oleh kaki
tangan kaisar, tak ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan
dijatuhi hukuman keras. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu
bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang
yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tahulah seorang yang luar
biasa dan berilmu tinggi.
“Bagus sekali syair itu, seakan-akan kulihat Tu Fu menjelma kembali.”
Dengan suara keras Cin Hai memuji.
Ketika itu perahu kecil tadi telah tiba di depan mereka dan nelayan itu
lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh
yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.
“Hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.
“Kenal? Dia sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu
mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.
“Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar untuk memberi
tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia yang akan merasa bahagia biarpun
dalam hujan karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?
Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku, biarlah
gubukku ini hancur lebur, biarlah aku mati kedinginan, aku akan mati dengan mata
meram dan jiwa tenteram!
Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah
gembira sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata
dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan
kepalanya di pundak pemuda itu.
Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan, dan ketika
ia memeluk Cin Hai kedua tangannya merangkul. Cin Hai merasa seakan-akan ia
ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Ia merasa terkejut
sekali dan tahu bahwa diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.
Maka ia lalu menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan
tekanan yang hebat ini. Ia hampir tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan
hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.
Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya dan Cin Hai merasa lega
sekali. Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya dan ia menggunakan ujung
lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.
Kakek nelayan itu setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki
dengan mata berseri dan wajah gembira, lalu berpaling kepada pemuda baju biru
yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka. “Eh, anak
nakal, pemuda inikah yang kaumaksudkan? Ah, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu
kalah!”
Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah
Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang inilah!”
Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka tercengang, karena
setelah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa pemuda ini benar-benar
berwajah tampan sekali dan sikapnya pendiam dan agung! Ma Hoa lalu melangkah
rnenghadapi Kwee An dan berkata,
“Hem, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah
senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma
Hoa lalu melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia. Kwee An berdiri
bingung karena ia merasa jerih juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan
tenang ini. Ia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling
pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan
itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang
pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,
“Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal
itu!”
Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka
ia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah
kakek itu.
Ma Hoa ketika melihat Kwee An berdiri bengong, lalu membentak,
“Tidak lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?”
Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia
mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?
”
Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An
dengan cepat menangkis dan membalas menyerang. Sebentar saja keduanya bertempur
seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan,
membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.
Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Ia tak hanya mengagumi
kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi ia mengagumi kenyataan bahwa
kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang
lebih mengherankannya lagi, Ma Hoa biarpun sikapnya congkak sokali, akan tetapi
di dalam pertempuran itu agaknya tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee
An. Ini dapat dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit
dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut! Kwee An tak pantas disebut
murid Kim-san-pai yang lihai kalau ia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia
merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul
kepandaiannya, akan tetapi karena berkali-kali Ma Hoa memperlambat gerakannya,
ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba
kepandaiannya saja. Oleh karena itu, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang
paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sinar pedangnya
bergulung-gulung, akan tetapi ia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda
lawannya itu. Sungguh suatu pertempuran yang hebat dan indah dipandang.
Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa
keduanya tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya ia telah merasa
khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena
kalau ia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, itu berarti bahwa mereka
telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya. Laginya, ia merasa suka sekali
kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan
tamasya alam yang indah di situ telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak
terasa pula ia mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya
dengan senang sekali hingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya
memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.
Cin Hai memang pandai sekali menyuling. Ketika suara lengking sulingnya
melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa
tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin
hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu
yang membuat tarian mereka lebih indah.
Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua
matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini
perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah
menangis. Oleh karena inilah, maka ia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!
Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu terpengaruh oleh suara
sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu
telah berjalan dua ratus jurus lebih! Ia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia
menghentikan tiupan sulingnya. Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu
terhenti dan yang terdengar kini hanya riak air. Keadaan yang sunyi ini
melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu hingga dengan sendirinya
mereka lalu melompat mundur. Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah,
akan tetapi aneh sekali. Sekarang Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran
karena tidak dapat mengalahkan pemuda itu bahkan ia memandang ke arah pemuda itu
dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka
di dalam hatinya kepada pemuda itu.
“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan
berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi kembang gula. “Mereka itu
cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu
mengangguk sambil tersenyum.
“Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh
yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tak ada pemuda
lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, Ha, ha!” Kakek nelayan
yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.
Kwee An merasa bingung dan tidak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan
tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee
An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda
itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang-kadang
sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan
tiba-tiba ia menjadi mengerti! Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri.
Mengapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis.
Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula!
Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagaikan
kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani
berkata-kata lagi.
“Bukankah cocok sekali mereka?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada
Cin Hai. “Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun takkan
mampu menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee,
mengapa kau diam saja?”
Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe,
maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan
tentang perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhunya karena
kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”
“Ah, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee,
bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti ia suka kepadamu?”
Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tidak berani
bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung penuh pertanyaan, yaitu bagaimana
kakek ini dapat menduga demikian?
Agaknya kakek nelayan ini dapat membaca pikiran orang karena setelah
tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,
“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan
suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He,
Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”
Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhunya yang selalu bersikap
terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan
pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali orang membicarakan tentang perjodohan
dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi!
Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung
perahu itu meninggalkan mereka!
“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka
kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Kalau dia
pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh
menolak murid Si Nelayan Cengeng!”
Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun
Su bahwa di antara tokoh-tokoh luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang
disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat maupun di dalam
air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhunya, maka mereka berdua
lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.
“Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan teecu yang bodoh. Sebagaimana
dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal perjodohan, bukan teecu
menampik, akan tetapi harus teecu minta nasihat Suhu terlebih dahulu.”
“Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.
“Suhu adalah Eng Yang Cu.”
“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha, ha, aku suaah menduga bahwa engkau tentu
anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tak kuduga bahwa imam tua itu masih mau
mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan
dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju
sepuluh bagian!”
“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe, akan
tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan
perjodohan!”
Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang
mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan
penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya dan tanah di mana kakinya
terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!
“Apa katamu? Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan
yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan
tempat ini!”
Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena ia
cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam akan tetapi keras hati dan tak
kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin
marah orang tua itu.
“Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama sekali tidak menolak dan
bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar dan dipilih
sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini
berada dalam keadaan berkabung dan sekarang sedang melakukan perjalanan dengan
teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan
keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu.”
Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa
keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa
yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu
hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air
mata yang membasahi pipinya.
“Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan
seorang perwira? Ah, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan
bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi
kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata
kepada Cin Hai,
“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah maju pesat karena ia selalu
melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tak dapat
melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah
bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah
engkau mengerti ilmu dalam air?”
Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa ia hanya dapat
berenang sedikit saja.
“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap
menghadapi hwesio itu, baik di darat maupun di air!”
Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua
minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An
mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong-kiam-hwat atau Ilmu Pedang
Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta
gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia
tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan karena kepandaian pemuda itu katanya
sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain
di dalam air. Karena Cin Hai memang telah memiliki lweekang yang tinggi dan
dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu
dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.
Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma
Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak meninggalkan
Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang,
tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu
menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An
tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!
Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu dan kebetulan Kwee An
mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan
pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan
pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa
cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat
pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar
tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah
kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis
ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.
Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya ketika melihat pakaian muridnya
itu. “Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian
seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu
hendak pergi melanjutkan perjalanan.”
Memang orang tua ini terlalu sekali. kejujurannya yang luar biasa hingga ia
menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu
menjadi jengah dan malu sekali.
“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah,
apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!” Biarpun ia keras
hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhunya yang menganggapnya
sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala ia bertindak maju.
Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan
gemetar ia melolos pedangnya dan diberikan kepada suhunya tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya
akan terdengar menggigil. Nelayan Cengeng gembira, lalu ia berkata kepada Kwee
An dengan suara memerintah,
“Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan
pedangmu kepada tunanganmu!”
Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima pedang itu, kemudian ia mencabut
pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba
Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,
“Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus
kauberikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”
Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran kepada Cin Hai, akan tetapi
hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin
Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar
kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”
Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan kedua
orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan
pedang itu. Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak
berani mengangkat muka dan tidak melihat ia mengangsurkan pedang, maka gadis itu
tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan
serba salah, terpaksa ia menggerakkan bibirnya memanggil,
“Moi… eh… Siocia, kauterimalah pedang ini!”
Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan
cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang
dan ia lalu tertunduk kembali!
“Ah, salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, kau harus
memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”
Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia bersorak-sorak dan
meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar, benar...! Bagus...”
Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali
lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini
lalu lari ke perahunya mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng
tertawa terbahak-bahak.
“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekas kembali!” kata Kong
Hwat Lojin sambil bertindak pergi.
Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau
sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau
kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”
Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan
gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat ia dapat
menekan perasaannya dan berkata, “Aah, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam
membikin engkau berbahagia sekali?”
Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian
dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di
pinggir Sungai Liong-kiang itu!
Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan
Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup
secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai yang cukup
besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.
Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu
mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini,
banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok hingga mereka dapat berbicara
dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai
dan Kwee An. Dari mereka ini kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah
milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama
karena ia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada
Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang diangkut ke dalam perahu itu adalah
sumbangan-sumbangan dari pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada
Pangeran Vayami.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba
mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenal
dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya
yang gundul licin.
Pada saat itu, perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan
tempat itu, sedangkan para pemeluk agama yang berdiri di tepi sungai berlutut
memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.
Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas
perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah.
Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan
pemuda itu dengan bentakan,
“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurangajaran
di sini?”
“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata, kau
masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.
Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat dan mengenal
wajah Kwee An, “Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan
kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau
begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna
agar kau tidak menjadi penasaran!”
Sambil berkata demikian, ia maju ke arah Kwee An, akan tetapi pada saat
itu, pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda
yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak
dengan suaranya yang halus,
“Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang
halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena
pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah
seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.
Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya
dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,
“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan
kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?
”
Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai
berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat
bahwa kopala agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh
lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas
hormat, diikuti oleh Kwee An.
“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat
ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke
atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada
Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini,
karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu
jiwa dengannya.”
Pangeran Vayami tersenyum halus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan
sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa
selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini berpengaruh dan
cerdik.
“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan
tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu adalah menjadi tamu kami dan oleh
karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan
segala tenaga, bahkan dengan jiwaku sekalipun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang
mukaku dan tidak mengganggunya selama dia masih berada di sini!” Setelah berkata
demikian, pangeran itu menggerakkan kedua tangannya dan bertepuk tangan tiga
kali. Tiba-tiba dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang
berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.
Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka ia lalu menuding
kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui
kedosaan dan perbuatanmu dan tentu tidak begitu pengecut untuk lari dari
tuntutan balas kami. Kalau kau memang laki-laki maka harap kau mau turun ke
darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih
pandai!”
Hai Kong Hosiang tadi telah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke
dalam perahu, maka ia maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai daripada Kwee
An, maka ia berkata,
“Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang
tak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga
pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau
ikut campur?”
“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah mempunyai hutang
padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di
depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang
hendak kaubunuh dulu itu siapa? Lihat mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat
bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan
budimu dulu!”
Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan
Ang I Niocu di dalam gua Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jerih.
Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama
malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, maka tentu saja
ia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.
“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan
hidup?”
“Hwesio keparat kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.
“Ha, ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun
kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani
kalian.” Cin Hai menjura kepada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini
membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!”
Pangeran Vayami sambil tersenyum berkata. “Cobalah kalau engkau dapat,
karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.” Ia lalu memberi
tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan
mengurung Cin Hai serta Kwee An!
“Saudara An, kaulawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan
kera tua ini!”
Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki “kera tua”!
Ia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering
itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit
dan waspada, ia lalu mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.
Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee
An yang memutar pedangnya dengan hebat. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu
hanya memiliki tenaga hebat dan kuat bagaikan kerbau jantan, akan tetapi
kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi, hingga Kwee An tak sampai terdesak
oleh mereka. Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tidak mudah merobohkan mereka
karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Biarpun serangan lawan-lawannya tidak
cukup gesit dan berbahaya, namun karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali
saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Maka ia berlaku tenang
dan hati-hati dan menjaga diri dengan kuatnya, sedikit pun tak memberi waktu
kepada mereka untuk dapat memukulnya.
Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Pendeta
ini benar-benar telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang
pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng. Karena berkali-kali bertemu dengan
lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain,
dan semenjak kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih
diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya.
Bahkan dalam perjalanannya ke utara, ia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama
untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu. Maka dalam
pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat
pendeta ini jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur di dalam Gua
Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya
seakan-akan berubah menjadi seeor ular berbisa yang masih hidup, sangat
berbahaya sekali. Biarpun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam tiap
serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini
berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati
sekali. Ia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu,
karena dengan ilmu silat ini ia dapat bergerak gesit sekali dan tubuhnya
berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan
yang tak kalah hebatnya.
Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai
dan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini
berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri. Ia kagum
sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong
Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Namun, betapa
herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan
silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah. Memang untuk
mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sengaja mencampur permainan
silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang ia mengeluarkan jurus
Liong-san-kiam-hoat, Ngolian-kiam-hoat, bahkan seringkali ia mengimbangi
permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan
jian-coa-kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular. Hai Kong Hosiang tercengang dan
heran sekali hingga ia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan maling
rendah! Dari mana kaucuri ilmu pedangku?”
“Ha, ba, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang
tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu
pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya
dan Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai
benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut, akan tetapi jauh
lebih sempurna.
Padahal sebetulnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya
saja karena ia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah
dimainkan itu, ia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat memperbaikinya.
Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi
cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jerih. Tak disangkanya bahwa pemuda
ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu silat-ilmu silat ini
mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel
tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jerih. Namun, karena melihat
bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, ia memperkuat hatinya dan
sambil membentak keras ia menyerang lagi. Kini tangan kirinya mencabut keluar
sebatang sabuk ular yang penuh bisa. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini
bahkan baru keserempet sedikit saja, racun ular yang mengenai kulit dapat
menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke
dalam daging dan meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya. Baru saja
sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai telah mencium bau yang amat amis, maka
tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Ia lalu menggunakan
tangan kirinya mencabut keluar sulingnya dan untuk mengimbangi lawan, ia
mempergunakan dua macam senjata pula di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di
tangan kiri suling bambunya!
Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan
peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah
menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan
matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu
menyerang sambil berteriak,
“Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”
Cin Hai diam-diam merasa girang melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, dan
ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan
kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan-gerakan sulingnya tidak
dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan
kedua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.
Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san-kiam-hoatnya telah
berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi
terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa kedua anak muda yang
mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan jika dilawan terus
akan membahayakan keselamatannya, maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa
Mongol. Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tak
berani membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu
menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah hingga sebentar saja
api menyala hebat di atas perahu itu. Ia lalu melompat dan hendak turun ke dalam
perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air. Akan tetapi, melihat
kecurangan pangeran ini, Kwee An meninggalkan ketiga pengeroyoknya dan ia
mengejar pangeran itu sambil berteriak,
“Jangan kau berlaku curang!” Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan
pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang masih menyala. Kwee
An terkejut karena serangan ini hebat juga dan diserangkan ke arah pakaiannya.
Cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah
diserangkan pula ke arah mukanya! Kwee An miringkan kepala dan selagi ia hendak
membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil menendang lututnya.
Biarpun ia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas lututnya
dan karena ia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka,
akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di
pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan
jatuh tercebur ke dalam air!
Cin Hai terkejut sekali akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai
Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat.
Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat
ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,
“Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!” Akan tetapi, Hai Kong
Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa
jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tak
dapat dirobohkan, juga keadaannya berada dalam bahaya. Api di atas perahu telah
mulai membesar dan bahkan kini telah memakan tiang besar di tengah perahu! Oleh
karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian
hingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa
Hai Kong Hosiang kertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.
Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang akan
tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan
orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena
perahu besar dimana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu telah
hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang. Kwee An
yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan
terpaksa ia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya ia pernah
berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin ia akan mati di
dalam permainan arus amat kuat itu! Ia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus
amat deras dan sungai itu sangat lebar, maka ia hanya mempergunakan
kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan
membiarkan dirinya hanyut di permukaan air. Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh
sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana Cin Hai dan Hai
Kong Hosiang bertempur telah lenyap dari pandangan matanya. Ia masih melihat
betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan
keselamatan Cin Hai.
Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin
Hai, karena sungguhpun pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan
tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka
telah bertempur lebih dari dua ratus jurus. Sungguh harus ia akui bahwa inilah
lawan yang paling tangguh yang pernah ia jumpai, kecuali Hek Pek Moko. Kalau
dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai
Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apalagi sabuk ular di tangan
kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.
Sebetulnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su,
boleh dibilang menjadi raja ilmu silat, karena ilmu ini membuat ia dapat
mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh
karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian hebat ini Cin Hai belum mempunyai
dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang
sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut
kurang agresip. Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu
gerakan yang dapat merobohkannya, akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah
sekali oleh karena untuk dapat menyerang ia hanya dapat memetik dari jurus-jurus
Ilmu Silat Liong-san yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin atau Ilmu Silat
Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.
Paling banyak ia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang,
akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir, dan pula, apa artinya ilmu
silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal
serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.
Maka biarpun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik akan
tetapi juga amat sukar baginya untuk menjatuhkan lawan yang luar biasa
tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali ia telah berhasil
menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi
hwesio ini mempunyai tubuh kebal karena ia telah mempelajari dan memiliki ilmu
kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga ilmu lweekang
hwesio ini sudah cukup tinggi hingga sering kali kalau suling Cin Hai menotok
jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk
menutup jalan darahnya itu dan mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan
itu! Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan ia tidak menyangka bahwa juga Hai
Kong Hosiang merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati
bahwa apabila pemuda ini telah matang latihannya, tentu ia takkan sanggup
menghadapinya lebih lama daripada seratus jurus!
Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan
bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di
dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main! Pada saat
itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar
hingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang di tangan Cin Hai telah
disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak kaget akan
tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga papan yang terbakar itu
kena tertindih tubuhnya dan padam. Dalam kemurkaannya, hwesio itu menggunakan
kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengar suara keras ketika tiang
yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi
roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk, tiang yang terbakar dan layar yang
masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!
Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada
bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak
melompat akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi digunakan untuk menyapu
tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali
penarik layar yang bergantungan di tiang itu. Oleh karena ini, gerakannya
melompat membawa tiang itu dan layar di atas roboh ke arah dirinya! Ia mencoba
mengelak akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya hingga
kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar dan tebal menyelimuti tubuhnya!
Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang dapat
menyelamatkan kakinya dan kaki itu tidak menjadi patah walaupun tertimpa tiang
sebesar itu, akan tetapi ia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari
selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan
termakan api! Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu
sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup dan panik. Asap api telah masuk ke
dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu,
Hai Kong Hosiang tiba-tiba merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali
menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini,
tak terasa pula ia memekik-mekik. “Tolong... tolonglah jiwaku...”
Pada saat itu, Cin Hai telah berdiri di kepala perahu dan telah siap untuk
terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Ia memandang ke arah
Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar dan ia merasa girang
karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang. Tadinya ia bersiap sedia,
karena kalau hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak
mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu.
Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu
melepaskan diri daripada kurungan layar dan tiang! Cin Hai tersenyum, memasukkan
pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak
mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya
mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!
Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong
itu, lenyaplah perasaannya bermusuh terhadap Hai Kong Hosiang. Yang terlintas
dalam pikirannya pada saat itu hanyalah adanya orang yang terancam bahaya maut
dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal
berpeluk tangan melihat orang dimakan api? Ah, hatinya tak sekejam itu dan ia
menjadi tidak tega sungguhpun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan
menancapkan pedangnya di uluhati hwesio itu!
Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai lalu melompat ke dekat layar dan tiang
yang masih mengurung Hai Kong Hosiang dan dengan menggunakan sepatunya ia
menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.
Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang
menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang
datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah
sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang! Melihat muka
hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, Cin Hai lalu menendang
pergi tiang yang menindihnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengangkat
tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Ia melompat ke pinggir perahu dan
selagi ia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba ia merasa pundak kirinya
sakit sekali dan mendengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!
Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia
digendong oleh Cin Hai itu menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah
swan-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan
kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah
berkurang sedangkan Cin Hai masih sempat menutup jalan darahnya walaupun agak
terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat hingga ia
merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh. Cepat Cin Hai
menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya dan Hai Kong Hosiang ke dalam
air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu
terbanting di air yang mengalir cepat itu. Hai Kong Hosiang jatuh dengan
terlentang hingga untuk beberapa saat ia gelagapan. Akan tetapi, hwesio ini
telah mempelajari ilmu di dalam air, maka cepat ia dapat membalikkan diri dan
dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia
mencari-cari mangsanya. Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ dan selagi Hai
Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari bawah permukaan air,
sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah
Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas.
Walaupun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun Cin Hai dengan mengeraskan
hati dan mengumpulkan tenaga di tangan kanannya dapat melancarkan pukulan hebat
itu yang tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan
dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa, hingga tenaga
Cin Hai tinggal setengah bagian saja dan walaupun dilakukan dari dalam air namun
tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Cin Hai
tidak kelihatan kepala dan tubuhnya dan hanya tangan kanannya saja nampak
memukul dari dalam air, sedangkan tangan kirinya telah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya
telah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing dan matanya menjadi
gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia
telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu. Adapun Cin Hai yang
lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan balasan
yang hebat ini pun lalu menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh
Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tidak merasa bahwa ia telah
ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami. Juga Hai Kong Hosiang ditolong oleh
pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam sebuah
tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara
yang dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, setelah mendapat perawatan dari
seorang tabib Mongol, luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan
Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi dalam beberapa hari. Juga Cin Hai telah
sadar dari pingsannya, akan tetapi ia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia
merasa heran mengapa ia mendapat perawatan sedemikian baiknya dari Pangeran
Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.
Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup dan
berada di tempat itu pula, ia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu,
akan tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang
ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan ia diberi tugas
membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa
Pangeran Vayami adalah seorang yang terhormat dan yang harus ditaati perintahnya
karena pangeran ini adalah calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.
“Hai Kong Beng-yu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah
berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku
membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan
kepandaiannya. Ketahuilah bahwa ia telah terkena pengaruh madu merah dari
tabibku dan sebentar lagi ia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”
Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia batalkan niatnya hendak membunuh
pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa gembira akan
muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin. Ternyata di daerah utara
terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar
biasa jahatnya dan yang sama sekali tak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok
pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan
bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapai
semacam obat yang disebut madu merah. Madu merah ini memang madu dari bangsa
tawon yang langka terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya terdapat di daerah
salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan
tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan yang dapat membuat orang menjadi lupa
akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia
penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan
perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini
akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan
kepandaian Cin Hai, maka diam-diam ia menggunakan obat mujijat ini untuk
mencengkeram Cin Hai, dan memperalatnya!
Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua
kepercayaan Vayami hingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu
merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa itu adalah obat untuk menguatkan
tubuhnya. Memang benar, tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali dan luka akibat
totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh, akan tetapi ia merasa makin hari makin
malas dan semua hal yang telah terjadi berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan
ketika telah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak
mengenal lagi hwesio ini! Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ
dan tidak mempunyai kehendak lain. Biarpun pikirannya telah dipengaruhi obat
mujijat itu, namun tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya
kepandaiannya dan julukannya saja yang ia masih ingat, yaitu “Pendekar Bodoh”!
Demikianlah, dengan secara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat
menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia
dan yang menurut akan segala perintahnya. Ini tidak mengherankan karena pangeran
itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang
cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu.
Selain Pangeran Vayami, tak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini,
karena betapapun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!
Setelah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu
membawa rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan
kaisar yang hendak bersekutu dengannya.
Rombongan ini setelah menyeberang sungai lalu melanjutkan perjalanan dengan
naik kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang
mempunyai tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang
sembarangan dan dinamakan “Pek-gin-ma” atau Kuda Perak Putih yang dapat lari
seribu li dalam sehari tanpa berhenti! Pangeran yang cakap ini nampak gagah
sekali naik kuda yang berbulu putih itu, hingga jubahnya yang berwarna merah
darah nampak mencolok sekali. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini
bersikap gembira dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol
dengan sikap ramah dan agung. Memang hatinya sangat gembira dan girang karena
kini ia telah mempunyai seorang penjaga pribadi yang juga menunggang kuda
bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang
memang sudah kelihatan bodoh itu kini benar-benar nampak bodoh sekali karena
tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan seorang sedang duduk di atas kuda
sambil mimpi!
Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang
rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung.
Pada malam harinya, penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa
Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya.
Pangeran ini namanya telah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya
seperti seorang Buddha hidup dan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat
menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu
akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh! Oleh karena itu, maka semua
penduduk, tua muda, laki-laki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak
ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan
hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan serombongan pemain musik
memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat. Gadis-gadis bergembira ria
dan menari di depan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah
menyatakan bosan. Memang ia tidak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena
gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar bagaikan laki-laki
dan kulit kehitam-hitaman.
Tiba-tiba, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan
merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu
nampak seorang wanita berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya
berbeda dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian
cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.
Gadis ini tidak saja kulitnya begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi
juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan dan gerak-geriknya lemah gemulai
menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya
mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para
gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum hingga mereka
menghentikan tarian mereka dan kini berdiri merupakan sederet barisan yang
bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati
tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba Hai Kong Hosiang berseru di antara sinar obor yang membuat
wajahnya nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!” Dan ia segera mencabut keluar
senjatanya yang mengerikan itu, akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya segera
mengangkat tangan dan berkata,
“Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!
” Ucapan ini merupakan perintah karena pangeran itu benar-benar tidak suka
melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Oleh karena ini, sambil menggigit bibirnya,
Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.
Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah
ini telah dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan
tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan
tariannya. Sambil menari ia mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah
heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot
sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan
seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian
seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya dipandang.
Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan
wanitanya yang halus itu dapat menduga adanya bahaya yang mengancam. Apalagi
ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula! Aneh
pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika
ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju kepadanya penuh
kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu hingga
berani membentak Hai Kong Hosiang, ia lalu menari lebih indah pula untuk membuat
pangeran itu benar-benar mabok!
Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap
hari dia melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang
demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apabila ia
menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu
bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
“Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan
kau datang ke mari!”
Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu
menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang
pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.
Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain di
bibirnya yang merah,
“Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat
tinggalmu?”
“Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!”
kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya sekali!”
Akan tetapi baik Pangeran Vayami maupun Ang I Niocu tidak mempedulikan
ucapan pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba
bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya
hamba adalah seorang perantau.”
“Ah, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan?
Kebetulan sekali, aku pun suka kepada orang-orang gagah dan maukah kau ikut
dengan rombonganku?”
“Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran
yang suci ini.”
Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis
yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I
Niocu mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat
wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu
berkata pula,
“Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka
itu, bahkan hamba pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua berada
dalam rombongan Paduka?” tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin
Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
“Ha, ha, ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar
di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku
berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha,
ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang
ini.”
“Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan
memberi berkah dengan kedua tangan dilambai-lambaikan kemudian dengan berani
sekali ia memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu
menuju ke kemahnya, pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya untuk
menyediakan meja perjamuan dan ia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan
gembira.
Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu
berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai.
Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan ia menceritakan
sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.
Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai telah
berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja
yang berada di depannya dan sekali ia bergerak, ia telah menangkap tangan
Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami
menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.
“Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau mempunyai niat buruk!”
tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.
“Mundur, atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” Ang I
Niocu membentak. Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan
keluar dari kemah.
“Lekas kau perintahkan supaya kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu
memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami. Pangeran ini merasa kesakitan
dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda
Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu
memerintah pula,
“Sekarang kaupanggil Cin Hai ke sini!”
Cin Hai takkan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah
Pangeran Vayami memberitahukan hal ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu
memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai
tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil
termenung,
“Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah dan bagaikan sebuah
robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I
Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.
Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami
memandang dan menatap mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam ia mengerahkan
tenaga sihirnya hingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan
berada di bawah pengaruhnya sama sekali.
Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh
di sana, kalau tidak aku takkan ampunkan Pangeranmu ini!” Terpaksa dengan
mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil
memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh
dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang
telah berada di bawah ancaman pedang.
Dengan tangan kanan masih memegang pedang dan ditodongkan kepada Pangeran
Vayami, Ang I Niocu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan
tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekati tidak
mempedulikannya dan tetap memandang kepada Pangeran Vayami bagaikan seekor
anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah. Tiba-tiba Pangeran
Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!” Memang ia
telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ang I Niocu
sama sekali tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah
memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu
yang memegang pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang
keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,
“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”
Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk
telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu ia merasa seperti mendengar
suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam
mimpi membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya. Ini
tidak aneh, karena dulu ketika ia masih kecil, memang suara panggilan yang
keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut “Hai-ji” atau anak Hai
inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya
sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka
kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tak mudah terhapus
oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan
bingung, tak tahu harus berbuat apa.
“Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru, akan
tetapi Ang I Niocu segera berkata,
“Hai-ji, mari kau ikut aku!”
Ternyata suara Ang I Niocu lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai hingga
sekarang ia betul-betul berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah
membayangkan kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu. Tiba-tiba dari
belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,
“Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!”
Oleh karena tadinya pemuda ini taat sekali kepada Pangeran Vayami, maka
Pangeran Vayami tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka
kini mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis
serbuan Hai Kong Hosiang! Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang
berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa
jerih! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia takkan menang menghadapi
Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke
arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di situ dan kendalinya dipegang oleh
seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tak berani menghalangi karena ia
maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi
dia!
“Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata
lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke atas kuda itu. Cin Hai pun hanya menurut
dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang
roboh pelayan yang memegang kendali dan ia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma
itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke
atas, lalu berlari secepat angin! Hai Kong Hosiang sambil menyumpah-nyumpah
mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah mereka, akan tetapi dengan kebutan
lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.
Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari
cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan
kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen! Ang I Niocu mencabut
saputangannya yang digulung merupakan cambuk dan ia membujuk kuda Pek-gin-ma
dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi.
Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan
keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai
duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka besar yang
duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
“Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya
sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi
manusia robot itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang
bulan. Tiba-tiba ia menjawab juga,
“Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya
demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah
perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali
dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok
sebentar pengalamannya semenjak ia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga
Kwee.
Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka
sekali kepada Nona Baju Merah ini hingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di
kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang ia mengeluarkan isi
hatinya, dan menuturkan betapa ia dan Cin Hai telah saling mencinta. Ia
menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama
sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam
daripada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.
Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,
“Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi
meninggalkanku untuk membalas dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa
khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau ia sampai menemui bahaya?
Kalau aku boleh ikut, biar kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai
terbinasa sekalipun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”
Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia memandang dan
melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia
terisak-isak, Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan
terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.
“Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya
kita akan dapat membantu mereka bukan? Apalagi dengan adanya kau yang lihai, aku
takkan takut menghadapi siapapun juga.”
Karena bujukan-bujukan ini, akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan
demikianlah, dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri
untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis
ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin
Lin, sudah menjadi tugasnya untuk menemukan mereka kembali. Bukankah ia mencinta
kepada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong nafsu, akan
tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita
yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis
pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa
Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar
itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang
jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan
memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.
Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan
Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Santung Ngohiap
dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa girang
dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong
Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka
ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara. Ang I
Niocu menyetujui pula dan begitulah mereka pada keesokan harinya melakukan
pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua
orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan
lain ialah Nelayan Cengeng dan muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng
In yang berpakaian laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan
seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong
Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong Hosiang dan tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua
orang pemuda yang mengacau di Enghiong-koan telah mengejar ke utara, maka mereka
merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula.
Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk
seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan. Biarpun para
perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka
tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki, dan mereka menyangka bahwa
pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.
Beng Kong Hosiang melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu,
dapat menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian,
maka setelah menjura ia berkata,
“He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan
perahumu, berapa saja upahnya yang kauminta, tentu pinceng bayar lunas!”
Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap
mereka baik-baik, ia lalu menjawab,
“Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu
ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana
ini hendak menuju ke manakah?”
Melihat sikap pelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Ben Kong
Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan
dengan siapa, maka ia lalu menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah, bahwa pinceng
adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana
dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka janganlah kau banyak bertanya
dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”
Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka
telah mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong
Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka dapat menduga
bahwa rombongan ini tentulah mengejar Cin Hai dan Kwee An yang telah melanjutkan
perjalanan pada beberapa hari yang lalu.
“Beng Kong Hosiang, kalau kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke
utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian.”
Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,
“He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan
perwira-perwira kaisar? Apa kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan
banyak tingkah lagi!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,
“Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah
kalian boleh atau tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan
kalau kalian hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!”
Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu
tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia
tidak akan melayani lagi, akan tetapi di situ tidak ada lain perahu dan perahu
kecil nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan
suara halus,
“Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tidak sudi
menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu yang mulia?”
Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali
hingga kedua matanya keluar air mata.
“Ha, ha, ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri.
Sungguh lucu! Ketahuilah aku adalah seorang nelayan tua yang malang-melintang
disungai ini untuk mencari ikan. Aku lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari
pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tidak suka pula melihat
hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio
demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”
Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi
Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan ia segera bertanya dengan
heran, “Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?”
“Ha, ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa
sangkutannya dengan kau?” jawab Nelayan Cengeng itu. Jawaban yang tidak karuan
ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan
Cengeng adalah seorang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang
gila.
Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata, lalu mendekat
ke pinggir perahu dan membentak, “Orang tua kau lekas keluar dari perahu dan
berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap
lagi!”
Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari
perahu ke darat dan menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma
Hoa dan segera pemuda itu terkurung rapat. Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan
sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini
tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan senjatanya
yang aneh yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang
tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat daripada kayu hitam dan
keras.
Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar, maka
sebentar saja Beng Kong Hosiang sangat terdesak oleh gerakan dayung yang
mengamuk bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka
dua orang perwira lalu membantunya dan yang lima orang lain masih saja
mengeroyok Ma Hoa segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali. Nelayan
Cengeng biarpun tidak terdesak akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang
cukup hebat itu disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai membuat ia
tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.
Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang
I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah
rombongan perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia
telah dapat memilih pihaknya. Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, “Kaubantulah
pemuda itu!” Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan
menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari
samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat kaisar, jangan kau
menjual kesombongan di sini!” Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng
Kong Hosiang terkejut sekali.
Baik Beng Kong Hosiang, maupun Nelayan Cengeng pernah mendengar nama Ang I
Niocu, maka kini melihat seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah
datang menyerbu dengan kepandaian yang demikian tinggi dan indah gerakannya
segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak
gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa ia menghadapi bantuan seorang
yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha,
ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau
belum mencuci tubuh hingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!”
Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!
Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apalagi kalau yang
menghadapinya belum pernah melihat atau mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan
itu akan menjadi makin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja, ia dapat
mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng dan akhirnya dengan
tipu gerakan Bidadari Menyebar Bunga ia berhasil melukai tangan mereka hingga
senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak
kesakitan dan melompat mundur. Dan pada saat itu juga, Nelayan Cengeng juga
telah berhasil menghantamkan dayungnya yang mengenai paha Beng Kong Hosiang.
Hwesio itu terhuyung-huyung dan Nelayan Cengeng sambil tertawa-tawa mendupak
pantatnya hingga hwesio itu menggelundung dan masuk ke dalam sungai!
“Ha, ha, mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil
tertawa geli!
Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Dara muda ini ketika melihat betapa
pemuda yang tampan dan memiliki ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh
lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan
berbahaya sekali, lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai
berputar-putar di tangannya! Tadinya memang Lin Lin telah memiliki ilmu pedang
yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan
kepadanya, kini kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya
lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.
Sebaliknya Ma Hoa ketika melihat seorang gadis manis menyerbu dan membantunya,
menjadi girang sekali dan sekarang timbullah semangatnya. Gadis yang berpakaian
sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring dan pedangnya membuat gerakan kilat
hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!
“Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dar
mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus. Lin Lin
kaget dan marah mendengar ini, karena ia menganggap bahwa “pemuda” ini sungguh
kurang ajar hingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.
Sementara itu, para perwira ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen
ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah dikalahkan, dan dilempar ke dalam
sungai, menjadi takut dan jerih. Mereka lalu membalikkan tubuh dan melarikan
diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu
lari, bahkan yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu
sedikit pun.
“Ha, ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut
Nelayan Cengeng!!” berseru nelayan tua itu dengan tertawa geli sampai kedua
matanya mengeluarkan air mata.
Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi
hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!
Terimalah hormat dari aku yang muda!”
Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu
bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum
sekali!”
Sementara itu melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam dan
mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu
pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”
Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda
ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia
tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan
telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,
“Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira
aku ini siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?”
Lin Lin menjadi makin terheran dan marah ketika melihat “pemuda” itu tidak
marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa
“pemuda” ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan
suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita! Selagi ia
berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba Nelayan Cengeng
juga tertawa dan berkata,
“Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda
ceriwis yang layak dipukul! Ha, ha, ha!”
“Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi makin marah! Lihat, mukanya sudah
menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa. Lin Lin
menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak
menampar mulut “pemuda” itu, tiba-tiba Ang I Niocu yang bermata tajam sambil
tersenyum berkata kepadanya,
“Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita!
Apakah kau tak dapat menduganya?”
Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam sedangkan Ma Hoa lalu
melepaskan kupiahnya hingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke
bawah menutupi pundaknya. Kini “pemuda” itu berubah menjadi seorang gadis yang
cantik jelita dan yang sedang tertawa manis kepadanya. Lin Lin juga tertawa dan
mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa
menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.
“Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat
kau semanis ini, aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?”
tanyanya.
“Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang menyangka engkau bukan
seorang pemuda aseli? Namaku adalah Kwee Lin.”
Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she
Kwee? Eh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda bernama... Kwee An?”
Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci
Hoa, apakah engkau bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang
mencari dia!”
“Ha, ha, ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan
sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang
kaubantu itu adalah calon Soso (Kakak iparmu) sendiri!”
Lin Lin tercengang dan memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk
kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”
Ma Hoa tak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang
yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan
ia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali. “Ah, benar engkau telah menerima
pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Eh, calon ensoku yaqg baik, sekarang
beritahukanlah kepadaku di mana adanya calon suamimu itu?”
Ma Hoa mengerling dan cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau
tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang
berada!”
Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa
benar-benar Cin Hai dan Kwee An telah di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat
perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.
Nelayan Cengeng lalu menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan
pengalaman mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu
yang lalu. Mereka memberitahukan bahwa kedua anak muda itu telah melanjutkan
perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong
Hosiang.
Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan
muridnya, maupun Ang I Niocu dan Lin Lin telah kurang hati-hati dan mereka tidak
tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke
dalam sungai dan kini bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari
permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini
mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika
mendapat kenyataan bahwa “pemuda” itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng
In yang ia kenal baik!
Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit
untuk melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di
dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi ia malu untuk menyatakan hal ini
dan pula ia khawatir kalau-kalau ia dikenal oleh para perwira hingga kedudukan
ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan
kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.
Setelah semua orang pergi, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak
keluar dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng
Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu
mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!
Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin
Lin merasa girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa
Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka
kini telah dapat mengikuti jejak kedua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk
ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!
Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di
tempat yang sunyi dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi.
Gerakan kedua orang dari depan itu demikian cepat hingga Ang I Niocu dan Lin Lin
maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan setelah dekat
ternyata bahwa dua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee
dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dan sepasang matanya
mengeluarkan sinar kejam.
Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang selain cerdik, juga
berwatak pengecut sekali. Ketika ia mendengar bahwa kawan-kawannya telah tewas
di dalam tangan anak-anak muda yang membalas dendam keluarga Kwee, ia lalu
cepat-cepat pergi mengunjungi suhunya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan pandai Boan
Sip dapat membujuk suhunya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya.
Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di
tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.
Melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya
Lin Lin juga girang oleh karena tak disangka-sangkanya ia dapat bertemu dengan
musuh besarnya di tempat itu.
“Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin
sambil mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan
sengitnya. Boan Sip tertawa besar dan menggunakan pedangnya menangkis sehingga
sebentar saja mereka bertempur dengan seru dan hebat.
Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan
Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio.
Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah
ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Ia berlaku hati-hati sekali oleh
karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi. Sebaliknya melihat gerakan
pedang Ang I Niocu yang lain daripada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa
kagum dan membentak,
“Nona yang gagah siapakah namamu?”
Akan tetapi Ang I Niocu mana sudi memberitahukan namanya dan sambil
menyerang terus ia berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah
pedangku akan menyambar lehermu!”
Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhunya, “Suhu, Nona Baju
Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!”
Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa
ia berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama
mendengar nama besarmu. Nah, kauperlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat
sampai di mana tingginya!”
Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan
tangan kosong, akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam
Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini
benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I
Niocu mengigit bibir dan memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio
yang amat tangguh ini.
Sebaliknya, biarpun sudah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan
kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi
kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan Sip makin rapat
mengurung dirinya hingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya!
Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi makin gugup oleh karena melihat
betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan
gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip
mengenai pergelangan tangannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan
disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak. Perwira muda itu lalu
menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus
mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan
pedang lawan! Ia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan
pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan
Sip hingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!
Boan Sip tertawa lagi. “Ha, ha, ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan
kau mencari aku untuk membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!” Ia
mengangkat pedangnya ke atas, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lin Lin
perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Ia lalu
membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!
“Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar,
akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya hingga terpaksa
Ang I Niocu melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak
karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut. Setelah mendesak Ang I
Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah
itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga ia dapat merobohkan
gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,
“Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh
bertemu kembali!”
Ang I Niocu hendak mengejar, akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan
juga oleh karena merasa bahwa ia kalah tinggi kepandaiannya, Ang I Niocu
mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat
menangkap hwesio ini dan tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin
Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia lalu mengendurkan larinya dan
bermaksud untuk mengikuti hwesio itu dengan diam-diam agar mengetahui ke mana
mereka membawa Lin Lin.
Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi telah memberi kesempatan
kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau
diikuti olehnya hingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya. Ang I Niocu
kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan sedih dan marah lalu
berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh
karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka,
bahkan ia lalu tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya ia bertemu dengan
rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran
yang mata keranjang itu, ia berhasil menolong dan membawa lari Cin Hai yang
keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.
Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan
keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya
sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apalagi sekarang ia bertemu dengan Cin
Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.
Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang
diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar
keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol setolol-tololnya. Celaka
betul!
Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan
ia merasa jengkel sekali mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah
bahwa pemuda itu adalah “Pendekar Bodoh”! Ketika angin malam yang sejuk meniup
mukanya dan muka Cin Hai yang duduk di belakangnya, pemuda itu tertawa senang
dan berkata,
“Angin sejuk! Angin enak!”
Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat
turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.
“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.
Timbul harapan Ang I Niocu mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini. Ia
segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,
“Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”
“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”
“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak dan
tiba-tiba gadis itu menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu hitam sambil
menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa
amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas
melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang ia
perbuat? “Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin
Hai dengan penuh perhatian. Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai
teringat ketika ia masih kecil dan ketika ia merantau dan menderita kelaparan.
Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang
menderita kelaparan!
Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung
ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya
terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tak salah lagi Kwee An
tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, sedangkan
Cin Hai tertawan musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An
juga tak dapat diharapkan selamat.
“Hai-ji... Hai-ji, kaucobalah untuk mengingat-ingat! Di manakah adanya Kwee
An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.
“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu
apa-apa!”
Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Ia
pikir dalam keadaan seperti ini, ia harus menggunakan ketenangan dan mencari
akal. Kalau ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan makin
mengacaukan urusan. Ia harus lebih dulu mencarikan obat memulihkan ingatan Cin
Hai yang telah lupa akan segala apa ini.
Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai melanjutkan
perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin
Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap
tentang hal-hal dahulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu, akan tetapi
pengaruh madu merah memang mujijat sekali. Cin Hai biarpun merasa senang sekali
mendengar penuturan Ang I Niocu dan tiap-tiap kali gadis itu bercerita, ia
memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu
tidak dapat mengingat hal yang terjadi di masa lalu!
Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat
jejak Boan Sip penculik Lin Lin hingga makin hari makin gelisahlah hati Ang I
Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat!
Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya hingga
malam itu amat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda
culikannya berjalan dengan perlahan, Cin Hai berjalan di sebelahnya dan keduanya
tak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Ketika mereka melalui
daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar dan hitam hingga menyeramkan
tampaknya di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba Ang I Niocu mendengar suara
tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!
“Setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah,
karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang
yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?
“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” tiba-tiba Cin Hai berkata,
oleh karena biarpun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman
telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya. Kalau telinga Ang I Niocu tak
dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi
gema yang keras, adalah Cin Hai dapat menangkap suara itu dengan jelas dan tahu
bahwa yang tertawa adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga
khikang di dalam suara ketawanya hingga terdengar dari tempat jauh dan amat
menyeramkan.
Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya
ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu.
Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat
terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan satu tempat terbuka yang kering
dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya. Dan
ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam
dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu
dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di
tempat itu.
Di tempat terbuka itu, di atas tanah, melihat dua tumpuk
tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar
dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di
atas tiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang
berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, dan yang seorang lagi
berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di
atas! Kedua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua
tangan seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan
sekali. Apalagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam
ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup! Muka itu
tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikitpun juga hingga merupakan
tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya sedikit di atas kepala itu
diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.
Orang ke dua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak
itu adalah seorang hwesio tinggi besar dan bermuka menyeramkan dan ketika Ang I
Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain
ialah Hai Kong Hosiang! Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini,
akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia
maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang seperti rangka itu
menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali. Harus diketahui bahwa
tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di
puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apalagi
kalau harus mengerahkan tenaga mengadu khikang! Lebih-lebih kalau berdirinya
dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong
Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan
kehebatan Hai Kong Hosiang. Pada saat itu, biarpun Hai Kong Hosiang telah
mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan
tetapi kakek tua renta yang berjongkok di puncak tumpukan tengkorak ke dua itu
tak bergerak sedikitpun juga, sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun
kedua tangannya, biarpun hanya dengan gerakan perlahan saja, namun tubuh Hai
Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong
dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih
tinggi daripada tenaga Hai Kong Hosiang!
Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan
Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras,
“Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi
tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah
kakek tua renta itu. Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan
Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia
mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!
Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh.
Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat
gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan
maut ini. Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasai datangnya tenaga hebat
ini, segera menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan dan mengerahkan
tenaga khikangnya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan
Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu
kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai
yang tidak lemah!
Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa
kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai daripada Cin Hai. Hal ini
belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai
Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini
berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat
diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!
Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba
berseru keras sekali. Kemudian keduanya lalu bergerak dan meloncat turun dari
tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan! Ketika Ang I Niocu memperhatikan,
ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di
antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, di tengah-tengah tumpukan,
tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi terdapat sebuah kepala yang bukan
tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke
sana ke mari dan masih berambut sungguhpun rambutnya telah putih semua!
Sedangkan di tengah tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi
pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh
menyeramkan. Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I
Niocu berubah rasa girang oleh karena ia segera dapat mengenal suara ketawa
terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya orang luar biasa itu, entah bagaimana
telah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta
itu.
Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang
membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari
tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan
sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan
dari dalam tumpukan itu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua
sekali dan yang sama sekali tidak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua
bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan
Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta
dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.
Hai Kong Hosiang menjadi pucat sekali ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum
akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek
tua renta yang bukan lain adalah supeknya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki
Sianjin, orang yang sudah tua usianya hingga telah gagu tak dapat bicara pula,
maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supeknya ini untuk
melawan Bu Pun Su.
“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu
teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih
berdiri sambil tertawa. Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan telinganya untuk
mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi
lidahnya telah membeku dan ia tak dapat berbicara lagi. Maka ia lalu menatap
wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu
Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, lalu
mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama
tingginya. Ia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu
karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.
Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan,
menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah
Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia
hendak menyatakan bahwa Kam Ki Sianjin mempunyai tingkat yang sama rendahnya
dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak
berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si
Tengkorak Hidup.
Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu
Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut
sekali oleh karena belum pernah ia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu
menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata
kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk
pundaknya, Ang I Niocu berkata,
“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan ia adalah
musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”
“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin
Hai. Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras,
“Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”
“Baik! Kalau dia musuhmu, aku, akan menyerang dia!” Ia lalu melompat dan
menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.
“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”
“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan
mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.
Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas
tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan
hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali.
Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dan Kam Ki
Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama
sekali, yang ada hanyalah dua bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan
dua iblis sedang bertempur.
Tak terdengar suara tangan atau kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat
mereka bertempur itu bertiup angin keras yang membuat tengkorak-tengkorak yang
tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak
itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!
Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang
merasa sibuk sekali. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja, terutama Cin
Hai, ia takkan dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan
seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas,
akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan
Cin Hai!
Sebetulnya, selama beberapa hari ini, kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama
lweekang dan khikangnya, telah naik dan maju pesat sekali oleh karena ia
mendapat latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supeknya, yaitu Kam Ki
Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini
menghadapi dua orang muda yang tangguh itu, ia tak berdaya dan terdesak hebat.
Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya
maut.
Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia
bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan
pertempuran, dan kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang
dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!
Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia
hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan
kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!
Bu Pun Su masih tertawa bergelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri
berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek
tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata
kosong.
“Bagus, Im Giok. Kau telah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang
Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!” Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu
mendekat, lalu ia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol,
“Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus
menyembuhkannya!”
Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia
mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.
“Cin Hai, kaumajulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!”
berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal
nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.
“Anak tolol!!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah
muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan. Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak
dan setelah tujuh kali menyerang dengan gagal, barulah ke delapan kalinya Bu Pun
Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini
dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena
biasanya tiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan
kakek jembel ini!
Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci
yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut
kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat
oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat
dingin! Akhirnya, setelah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia
berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu
maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,
Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan
ketika melihat Ang I Niocu, ia tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhunya
berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu datang di sini dan...
dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”
Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya girang sekali melihat
betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan
keharuan hatinya hingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.
Ang I Niocu lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pemuda itu berada dalam
rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Kemudian
dukun bangsa Mongol itu melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa
rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberi madu merah.
Maka teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu ia berkelahi mati-matian dengan Hai
Kong Hosiang dan akhirnya ia hanyut dalam sungai dalam keadaan pingsan. Cin Hai
berlutut lagi di depan suhunya dan berkata,
“Baiknya Suhu datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau
tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”
“Ha, ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai
sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih.
Hai, Im Giok, setelah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu
Pun Su kepada Ang I Niocu.
Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan ia
pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu takkan bersedih?
Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhunya yang lihai, yaitu Bo Lang
Hwesio!” Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I
Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai,
ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.
“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu
biar kau lari sampai ke neraka sekalipun!” Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya
dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu
mengangguk-angguk maklum.
“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, kali
ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak
dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu
Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu
berkata,
“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan
mencari tunanganmu, Cin Hai!”
Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut sambil
menghaturkan terima kasih, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang,
ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.
Setelah suhunya pergi, mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa
dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang
lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,
“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan
mendengar akan perjodohan anak muda itu.”
Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya dengan Kwee An ketika
bertempur dengah Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami, hingga
Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.
“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan
penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang
si keparat itu!”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda
putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca
coret-coretan di atas tanah yang berbunyi, “Kuda dan dukun yang dipinjam harus
dikembalikan kepada pemiliknya!”
Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang
berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira
yang lihai itu. Biarpun Boan Sip mempergunakan ilmu larinya yang cukup tinggi,
akan tetapi tak lama kemudian ia dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang
Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang telah disediakan
oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran
musuhnya.
Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang
Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh
karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.
“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena engkau ingin
mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini telah
kautawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali.
Boan Sip, aku tidak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi
urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan
gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama engkau minta pembelaanku
dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu,
kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”
Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio
mengawaninya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan
berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya.
Oleh karena ini maka ia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam
sebuah kamar saja dengan tak berdaya melarikan diri oleh karena jalan darahnya
telah ditotok hingga ia tak dapat mempergunakan tenaganya!
Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah
persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tak dapat diikuti
dengan pandangan mata hingga kalau kebetulan ada orang yang melihat bayangan
itu, ia takkan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang
atau bayangan apa.
Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya,
dapat mendengar desir angin yang lain daripada desir angin biasa. Selagi ia
masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng
terdengar orang berkata,
“Bo Lang! Percuma saja engkau bersamadhi kalau perbuatanmu tidak sesuai
dengan jubah pendetamu!”
Bo Lang Hwesio terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang begitu tinggi ilmu
ginkangnya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal
Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih
puluhan tahun lamanya. Belum pernah ia bertemu dengan orang yang memiliki
kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biarpun sedang dalam
samadhi, ia sama sekali tak mendengarnya!
“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan tak berujud, kau
masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio, akan tetapi orang di atas
genteng terkekeh--kekeh dan menjawab,
“Bo Lang Hwesio aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kautawan,
apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling,
lebih baik kuminta terang-terangan!”
Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani
dan menantang, maka tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor
burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas
genteng.
Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap
tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru
keras, “Ah... Bu Pun Su! Apakah kehendakmu dengan malam-malam datang di sini?
Apakah kau hendak mengganggu pinceng pula?”
“Ha, ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia
tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san oleh karena kau hendak merusak
persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau
telah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”
“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tapi
jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio
sekarang!”
“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala,
sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar
nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”
“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela
muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya?
Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang
membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan kami perlakukan
baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya
hingga kalah oleh muridku!”
“Ha, ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan
Lin Lin Siocia dengan baik-baik aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut
lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”
“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio yang lalu menyerang dengan pukulan
tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya hingga biarpun gerakan
tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek
jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!
“Bagus, lweekangmu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang lalu mengelak
dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka. Pukulan ini tertuju
kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio dan untuk menilai kehebatan pukulan ini dapat
diukur dari suara genteng pecah, dan ternyata genteng di belakang Bo Lang Hwesio
yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang
menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar ini tidak mengenai sasaran.
Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar
saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas
genteng itu.
Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi
setingkat daripada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia
tak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih
akhirnya Bo Lang Hwesio tak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi
oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat hingga bagi Bo Lang Hwesio,
tubuh lawannya seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan
mengeroyoknya dari seluruh jurusan. Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su,
tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir, akan tetapi Bo
Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai di puncak kesempurnaan,
sedangkan tenaga lweekangnya sudah jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.
Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka
kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan
kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jerih
dan berseru,
“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”
Setelah berseru demikian, Bo Lang Hwesio lalu melompat ke belakang dengan cepat
sekali dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin
tertiup angin dan ketika ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena
jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong. Ia bergidik oleh karena maklum
bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu jiwanya telah melayang sejak
tadi. Ia menghela napas dan menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia
tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke
dalam rumah. Ia harapkan saja kakek itu tidak akan mencelakakan Boan Sip.
Akan tetapi, tak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan
tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,
“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan
di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”
Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh
aku. Biarpun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu
masih berada di dalam rumah!”
“Hm, kalau begitu kau bersumpah!”
Mendengar bahwa benar-benar ia tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio
marah sekali, akan tetapi ia tidak berdaya untuk membantah, apalagi ia sendiri
yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka ia merangkapkan kedua tangan di dada
dan bersumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul biarlah Buddha yang suci
akan mengutukku!”
“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali
berkelebat, tubuh kakek jembel itu telah lenyap.
“Bu Pun Su, lain kali kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan
tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.
Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak membohong ketika ia katakan bahwa
sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah
demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama
sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari
tempat itu!
Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua
yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh
Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai
yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu. Ketika ia tiba di tepi
sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang
kelihatan berdiri di kepala perahu. Seorang di antaranya adalah seorang
berpakaian asing dan ternyata bahwa ia adalah seorang Turki yang berkulit hitam
dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang
dan lebar, terbuat daripada kain berbulu yang indah.
“Eh, eh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”
“Yo-suhu (nama aselinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil
berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.
Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang akan tetapi ia lalu memerintahkan
kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang
diminta oleh Boan Sip.
“Heran sekali, siapakah adanya orang yang begitu ditakuti oleh
Boan-ciangkun?” tanyanya.
“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su
dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri,
sedang mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”
“Aah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat
baikmu?”
Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang berilmu tinggi pula, maka ia
segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi
Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua
orang.”
Kemudian Yusuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu
dan yang kini tangannya telah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara
kurang senang,
“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”
“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi dapat
kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku
sayang kepadanya.”
Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya, “Memang Suhumu benar. Tak pantas
membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki
itu lalu menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang
Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat tangan Lin
Lin. Sekali ia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!
Boan Sip terkejut sekali oleh karena ia tahu bahwa Lin Lin kini telah
terlepas daripada pengaruh totokan, dan inilah yang memaksanya tadi untuk
mengikat kedua tangan nona ini.
“You-suhu, kalau ia dilepas, ia berbahaya sekali!”
Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan
sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.
Sebaliknya, Lin Lin ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya telah bebas,
merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, akan tetapi tali
yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat
mulur hingga tak mudah diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang
asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas! Ia tak tahu bahwa
Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan
baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekalipun, orang Turki ini pasti
akan dapat membukanya dengan mudah!
Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali kepada Boan Sip, ketika merasa
dirinya telah bebas segera meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil
berseru,
“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!” Lin Lin lalu
menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan ketika Boan Sip hendak
menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan
tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia
tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini, akan tetapi tiba-tiba dari
samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahu-tahu
sabuk itu telah melingkar pergelangan tangan yang melakukan pukulan hingga
sekarang menjadi gagal. Ketika ia hendak melepaskan sabuk yang melibat
pergelangan tangan lengannya, tiba tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang
dipegangnya dan tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!
“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau berada di dalam perahuku dan aku
berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan
membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita
semua tenggelam?”
Lin Lin ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, maklum bahwa
orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk sejenak menjadi
ragu-ragu. Apalagi ketika mendengar bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah
sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Sebaliknya Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi
marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin sambil membentak, “Perempuan
rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak
pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru
saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk
membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!”
Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju
menyerang Lin Lin dengan muka buas!
Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah dengan cepat ia dapat mengelak dan
balas menyerang dengan kepalan tangannya.
“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf, akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip
tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau berkelebat dan
tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah terlepas dari pegangan dan ternyata
gagangnya telah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.
“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.
“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau,
orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam
bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di sini, jangan kau takut
diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa,
maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?” Suara orang Turki ini sekarang
terdengar amat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang
asing yang aneh dan lihai ini, maka oleh karena ia memang merasa lelah sekali,
ia lalu masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa
aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah
beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas
sebuah pembaringan bambu yang kasar!
Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu
memberi teguran dan nasihat kepada Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah
dan kepala ditundukkan.
Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini
sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan Perang Turki yang telah siap
di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Yousuf sebenarnya masih seorang
bangsawan keturunan pangeran dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka ia
telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak
dengan para perwira bangsa Han yang dapat dibujuk untuk bersekutu dengan tentara
Turki dan untuk bersama-sama menjatuhkan pemerintah yang sekarang. Di antara
perwira-perwira yang mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang
diam-diam juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan
janji-janji yang muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali
tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini mempunyai tujuan tertentu,
yaitu untuk menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena
menurut penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya
di pulau kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan
mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.
Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu telah lama mengadakan
perhubungan dengan Yousuf bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan
pertemuan di sungai itu, hingga bukan tidak disengaja bahwa Yousuf telah menanti
di sungai dengan perahunya. Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi
di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawan-kawannya atau rombongan
perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas
untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan
perwira pengkhianat ini belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh
orang-orang Turki.
Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu
meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.
“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini
adalah tugas penting dan besar maka janganlah urusan pribadi mengacau tugas
penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini
lebih berkuasa daripada kau, maka kau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”
Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akai
kelihaian dan kekuasaan Yousuf maka ia tidak berani membantah.
“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih
baik dia disingkirkan agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?
Yousuf menggeleng kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa!
Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu
telah melihat perahuku, dan yang lebih panting lagi, ia telah melihat aku! Hal
ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat seorang asing di
sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan
kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali? Apalagi ia telah melihat bahwa kita
saling kenal?”
“Nah, mengapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air
sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan
dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.
Kembali Yousuf menggeleng-geleng kepala dan menggunakan tangan kirinya
untuk membikin beres sorbannya yang terbuat daripada kain kuning.
“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah
kepercayaan suci yang kami pegang teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak
sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia
dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat kepada
orang-orang wanita!”
Boan Sip mengangguk-angguk maklum dan ia sama sekali tidak pernah mengira
bahwa orang Turki yang cerdik ini sebetulnya hanya menggunakan alasan kosong
belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!
Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat membawa Lin Lin yang
masih tertidur di dalam bilik perahu, dan makin lama sungai yang dilalui perahu
makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.
Tiba-tiba para penumpang perahu itu terkejut sekali oleh karena perahu itu
telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip segera
memandang dan mereka melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu
mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung. Dua orang
ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis
yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu!
Bagaimana mendadak Nelayan Cengen dan Ma Hoa dapat muncul di sungai itu??
Ini adalah akibat daripada malapetaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu
dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar. Sebagaimana
diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan
Lin Lin, melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, suheng dari
Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira dapat mendengar percakapan mereka dan
dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa “pemuda” itu adalah gadis atau puteri dari
Ma Keng In, perwira Sayap Garuda! Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu
dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar!
Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan
mereka ini semua dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau
pengkhianat!
Untung sekali bahwa Ma Hoa dapat melarikan diri. Di depan sidang pengadilan
yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma
Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,
“Memang Ma Hoa adalah anakku, dan aku merasa menyesal dan bosan dengan
kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan
benci melihat sepak terjang kawan-kawan sejawatku, yang menjadi perwira kerajaan
tidak untuk menjaga keamanan rakyat bahkan sebaliknya berlaku sewenang-wenang
dan mengandalkan pengaruh untuk menindas dan mencekik orang-orang lemah! Aku Ma
Keng In, merasa berbabagia bahwa anakku yang tunggal itu tidak mengikuti jejakku
yang sesat, dan benar-benar menjadi seorang pelindung rakyat yahg gagah perkasa!
Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong
Hosiang dan Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”
Tentu saja ucapannya ini merupakan keputusan terakhir dan ia beserta
keluarganya semua mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar malapetaka yang
dialami oleh seluruh keluarganya itu ia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si
Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya
menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat daripada tangis muridnya
sendiri.
Tiba-tiba Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah
teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar
yang mempergunakan kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”
Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih
itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di
sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada
hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka
dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang
mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki dan mereka yang dengan
diam-diam mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!
Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap
Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka
juga kedua orang ini sekalian mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta
mengharapkan untuk bertemu dan menggabung dengah Ang I Niocu dan Lin Lin.
Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu
ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar bergerak ke hilir. Mata Nelayan
Cengeng yang tajam segera melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap
Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja ia
menabrakkan perahunya yang kecil kepada perahu depan itu hingga mengejutkan para
penumpang perahu di depan itu!
Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat
kepada nelayan tua itu,
“Eh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha, ha, ha, ha!
Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata
demikian, ia mengangkat dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu
sekerasnya. Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja
memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air, hingga sebentar saja air
sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!
Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka
berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu
dengan orang gila!”
Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu oleh
karena bagian yang pecah demikian besarnya hingga sebentar saja air yang
mengalir masuk sudah demikian banyaknya sukar dibendung lagi!
“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru dan tubuhnya lalu meloncat, diikuti
oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang ditumpanginya
mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan
mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!
Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seakan-akan kejadian itu
merupakan suatu hal yang lucu sekali, bahkan Ma Hoa dalam kesedihannya ikut
tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.
“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya ketika melihat Boan Sip yang
berpakaian perwira.
“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhunya lalu mendayung perahu
kecil ke pinggir.
Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang
sudah hampir tenggelam,
“Cici Hoa! Lo-cianpwe!!”
“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan Lin Lin yang telah
membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir
tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!
“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan
heran.
“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh
besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”
Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di
pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!
Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang
menangkis sambil tersenyum mengejek. “Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!”
katanya. Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang
cepat gerakannya hingga ia menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang
sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya. Melihat datangnya serangan
yang lihai ini, Boan Sip lalu melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan
bertempurlah mereka dengan hebat dan seru, Lin Lin yang tidak bersenjata lalu
menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini
ia lalu mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.
Sementara itu, Nelayan Cengeng berhadapan dengan Yousuf yang masih
kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini telah datang dekat, Yousuf
berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,
“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini
memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah perahuku? Kalau betul
demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis yang memasuki
tubuh manusia!”
Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah
mengejek oleh karena betapapun juga ia merasa mendongkol sekali melihat
perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang
mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata dari
kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu
mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.
“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!” Yousuf tangannya dilempangkan
ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian ia membentak
keras sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan,
“Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”
Tiba-tiba suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini
menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan
ia merasa seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Ia tidak
tahu bahwa benar-benar Yousuf mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh
jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng
mengerahkan lweekangnya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini
hingga Yousuf berseru,
“Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau
tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”
Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena ia mengerti
bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan menyangka betul-betul ia sedang
kemasukan setan sungai. Maka ia segera menjura dan berkata,
“Tuan, kau sungguh lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami
orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di
dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang
sempurna. Salahkah dugaan ini?”
Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.
“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Perwira yang sedang bertempur
itu memang kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua
bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat sekali, dan apakah maksudmu merusak perahuku
dan mengganggu perjalananku?”
“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti
berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah, bahwa perwira itu telah
melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan seorang gadis yang
menjadi sahabat muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”
“Hem, siapa yang hendak melindungi dia?” kata Yousuf yang percaya penuh
akan kegagahan Boan Sip. Akan tetapi ketika ia menengok dan memandang ke arah
pertempuran, ia menjadi terkejut sekali. Biarpun Boan Sip berkepandaian tinggi,
akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu
pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin
yang mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis
sambil main mundur saja. Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapapun juga
Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan untuk menyaksikan dan
membuktikan adanya pulau emas itu. Kalau Boan Sip sampai kalah dan tewas,
bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang
tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus
membantu. Yousuf membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip, akan
tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng
telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.
“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda pula. Kita tua sama tua
boleh main-main, kalau kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali
tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau tidak turun tangan terlebih dulu.
Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan takkan
mengganggu sedikit pun!”
Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran tak dapat dihindarkan lagi, maka ia
lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa
nelayan ini biarpun kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai
sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, maka ia dapat menduga bahwa orang ini
tentulah seorang ahli lweekeng yang tinggi ilmu kepandaiannya.
“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka
engkau berani main-main. Ketahuilah aku bernama Yousuf, dan di dalam negeriku,
aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Kauminggirlah dan percayalah bahwa aku pun
tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya
pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”
Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng dapat mempercayai omongannya, oleh
karena semenjak tadi pun ia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat
atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip,
mana ia memperbolehkan lain orang menolong perwira jahat itu?
“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama
Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Khong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”
“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!” Sambil berkata demikian,
Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas dan
kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada
gagangnya nampak dihias emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga
bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.
“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju. Gerakannya gesit dan
cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa ia
sedang mempergunakan ilmu ginkangnya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini
membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan. Melihat serangan
ini, tahulah Khong Hwat Lojin bahwa ia berhadapan dengan orang pandai maka ia
pun segera menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat.
Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan bunyi bagaikan suling
sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan
membuat debu mengepul ke atas!
Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah
pertempuran yang amat hebat dan dahsyat, sehigga dua orang pendayung perahu
Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini ke duanya berjongkok dengan tubuh
menggigil karena ketakutan.
Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah amat terkenal dan
jarang ada jago dapat menandinginya, akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang
jago dari bangsa lain yang memiliki silat tinggi dan sama sekali asing baginya.
Demikianpun Yousuf, baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga
keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu
perkembangan gerakan lawan.
Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi
seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh karena ia harus menghadapi
serangan dua singa betina yang sedang mengamuk hebat! Sambil bertempur, Lin
berkata, “Cici, kita harus buat mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi
malapetaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima
kasih kepadamu apabila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi makin bersemangat untuk
segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada
tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan
mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya, sedangkan Lin Lin juga
menggunakan dayung di tangannya untuk menyerang kalang kabut hingga Boan Sip
makin terdesak saja. Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan bingung,
tiba-tiba ia menginjak sebuah batu yang bundar licin hingga ia tergelincir dan
terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma
Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat
nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!
Melihat betapa musuh besarnya telah menggeletak di atas tanah dalam keadan
tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan
ia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan
terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri
berlutut dan berkata perlahan,
“Ayah, anak yang puthau (tak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada
anjing terkutuk ini!” Kemudian ia menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya,
ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan
kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin
Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan
Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur
hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan. Dayung Si
Nelayan Cengeng sungguh-sungguh hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi tentu,
orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa mempergunakan ginkangnya untuk
menghindarkan diri dari sambaran dayung!
Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin
berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”
Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat
bahwa Boan Sip sudah dibinasakan ia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur
menahan gerakan dayungnya.
Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau
orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”
“Ah, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun hebat
dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.
Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta
pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.”
Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah
ia menghela napas dan berkata,
“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya
mati di ujung senjata!”
Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Ia
memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah,
biarpun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat
masing-masing.”
“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?
”
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga kembali air matanya mengalir.
“Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik
hanya satu yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing
asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat
baikmu!”
Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang Han memang aneh dan
patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan
tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketatanegaraan dan segala
politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan
dengan perwira itu?”
Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang
oleh karena ditolak lamarannya oleh Ayah terhadap diriku, lalu mengajak
kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku
telah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika
aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia
berhasil menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa
aku lari dan bertemu dengan kau.”
“Hm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus
dibayar jiwa pula!”
“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Aku mendengar dari percakapanmu
bahwa kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.
Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja.
Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan.
Ketika ia dan beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu,
telah timbul dalam hatinya cita-cita ini. Dengan memiliki semua harta kekayaan
itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan
menggantikannya. Memang masih ada darah pangeran dalam tubuh Yousuf dan
sayangnya ia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam
tangannya! Kini, melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa
yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara
dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela
membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekalipun. Perasaan inilah yang merupakan
cita-cita ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin. Ia juga
ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja
dan membujuk Lin Lin agar suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan
inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya. Ia telah melihat
kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah
menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Kalau ditambah dengan dia
sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat,
akan sanggup mengusir musuh yang manapun juga?
Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin
Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahu telah
rusak dan tenggelam.”
Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia
lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak
aku masih kecil, seringkali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas, dan dalam
beberapa hari ini, telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”
Yousuf memandangnya tajam. “Telah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah
kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu, dalam
perantauannya dengan Ma Hoa, ia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang
juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam
mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha
Merah itu, juga hendak mencari pulau ini.
Yousuf terkejut sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran
Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dengan kunjungannya ke pedalaman dan
hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu.
Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”
Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng bertanya
lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa
namanya?”
Yousuf telah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek
nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar
dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung
Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya,
memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau
kecil lain itu.”
Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua
orang ini bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap
pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula
keinginan tahunya dan ia ingin sekali melihat dan menyaksikan dengan mata
sendiri keadaan pulau yang telah dikenal dalam dongeng itu.
Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua
pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, ia
menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui dimana adanya dia sekarang.” Lin Lin
menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami bertemu dengan
Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ah, sekarang
menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun
harus mencari Cici Im Giok! Eh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak
mengobrol sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kauceritakanlah,
bagaimanan kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”
Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Kini mendengar
pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba kedua matanya menjadi merah dan ia mengeraskan
hati untuk menahan keluarnya air matanya. Lin Lin terkejut dan memegang
lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”
Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa lalu menceritakan malapetaka yang menimpa
keluarganya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar
itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir
butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tak dapat menahan
lagi kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar
keluarnya, “Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua,
tinggal aku seorang diri... sebatangkara...!”
Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya lalu bertangis-tangisan oleh karena
memang terdapat banyak persamaan antara mereka berdua, oleh karena seperti juga
Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.
“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih mempunyai kawan-kawan
baik seperti Suhumu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok
adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan
menolongmu!”
Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan
mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang masih bercakap-cakap dengan
Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh kedua orang ini, yaitu
Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja,
ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan
kedua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan
saputangan.
Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf
mencari Pulau Emas itu.
“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku mencari saudara dan
kawan-kawanku?”
Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita tidak tahu ke mana
perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari
mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali
kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini hingga bukan
tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu.
Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, maupun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio
itu dan apabila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka
akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik daripada kita
berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”
Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I
Niocu sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai
Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang
bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia
berkata,
“Terserah kepada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan
percaya penuh kepadamu, orang tua!”
Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi
girang sekali, akan tetapi ia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu
begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”
Nelayan Cengeng biarpun sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam.
Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri ketika mendengar kata-kata
persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang
membuatnya menjadi hati-hati. Akan tetapi, sambil tertawa ia menjawab pertanyaan
Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah
berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam
air yang benar-benar hebat.
Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke
dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara
seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang
menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian
gurunya. Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh
perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan
tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring
hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng
berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu
dapat didorongnya ke pinggir hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggir
sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku
kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!”
Sambil berkata demikian Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah
melompat ke darat. Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa sambil
mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik
kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”
Kedua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang
karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik
kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ
oleh karena ia tak memerlukan tenaga mereka lagi. Ia merogoh kantongnya dan
memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan
girang.
Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa,
dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh
aliran sungai yahg deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng
yang kuat sekali. Sebelum senja hari, perahu mereka telah sampai di mulut sungai
dan memasuki laut yang luas!
Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke
Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An!
Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami dan
menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu hingga ia
terjatuh ke dalam sungai, Kwee An telah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang
dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran
air sungai itu amat deras dan kuatnya, hingga usahanya gagal bahkan tubuhnya
hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak,
pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu
karang yang banyak menonjol di permukaan air. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya
dan menggunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut berenang sambil mengikuti
aliran air dalam cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga ia dapat
menghindarkan diri daripada tubrukan dengan batu-batu karang. Ia masih dapat
melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong
Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan
keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan
yang tajam sekali hingga ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga
keselamatan dirinya sendiri.
Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana
ia terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An berenang ke
pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat
tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali
oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke
arah dirinya. Kwee An cepat berenang ke tepi, akan tetapi, kembali ia terkejut
oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu,
terdapat pula di darat dan memenuhi tepi sungai. Agaknya mereka sedang berjemur
diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa
buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan panjangnya sampai ada
sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka
binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan
menyerbu.
Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas
ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah
berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik
menghadapi puluhan ekor di darat daripada belasan ekor di air, oleh karena
binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air
masih rendah. Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi
dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan
cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lalu menggenjot tubuhnya
melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya
itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia lalu menendangkan kaki kanan
ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan
ke darat.
Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak hingga ke mana saja
ia melompat, ia selalu disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan
dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya
untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga
sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan. Akan tetapi yang datang
makin banyak saja hingga Kwee An kehabisan tenaga dan menjadi ngeri dan jijik.
Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang yang terluka
dan makan daging kawan-kawannya sendiri, sedangkan yang lain-lain masih saja
menyerbu dengan hebat. Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang
mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan
untuk melawan air hingga ia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang
cepat hingga tiba-tiba ia merasa kaki kirinya sakit sekali. Ia menengok dan
melihat bahwa seekor buaya telah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat
Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya
berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu! Binatang itu merasa
kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan
cepat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya, dan
dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu
mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua
buaya yang berani mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan
malang melintang di sekitarnya.
Tiba-tiba terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih
hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke
sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan
pemandangan matanya berkunang-kunang.
Ia melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan
sebuah cambuk panjang di tangan dan suara orang itu terdengar keras dan besar
ketika menegur,
“Pemuda kurang ajar dari manakah berani mengganggu dan membunuh hewan
ternakku?”
Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu, merasa seperti bertemu dengan
iblis sungai, oleh karena siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu
sebagai hewan ternaknya selain iblis sungai? Pemuda itu tak dapat menguasai
dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.
“Aku... aku... lelah...” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan.
Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!
Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di
atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat daripada bambu pula. Ia
segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih.
Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera
menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia
dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang
telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.
Biarpun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata telah
didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang,
“Eh, anak muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari
pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada di tangan kirinya. Si
Kate memasuki bilik itu dan berkata sambil tertawa, “Nah, kaumakanlah.
Kesehatanmu tentu akan pulih lagi seperti sediakala!”
Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, tiba-tiba ia
merasa lehernya seakan-akan tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu
akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah
pucat sekali hingga tidak nampak perubahan itu. Pada saat itu ia telah mengenal
orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang lihai dan
yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir
cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia
berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,
“Terima kasih, Lopek. Kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku
mengucapkan banyak-banyak terima kasih.” Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia
tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu
siapa adanya dia dan kalau iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada dekat, tentu ia
akan pergi mengejarnya!
“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau
gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga aku
menderita rugi bukan sedikit!” katanya lalu keluar dari pintu dengan
langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.
Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak
mencurigainya, hingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Ia maklum bahwa
Iblis Hitam ini lihai sekali apalagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang
tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau
Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.
Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini,
Kwee An yang telah merasa lapar sekali, lalu makan daging yang masih panas
mengepul di atas piring itu. Ia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan
tetapi oleh karena perutnya lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan
daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta
gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki
perutnya! Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat
berjalan, akan tetapi dengan pincang dan tak mungkin untuk melarikan diri, oleh
karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan
ia amat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan
Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran
Vayami!
Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa.
Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.
“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”
KweeAn tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan
tadi?”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu
tengkuk KweeAn berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha,
anak muda. Memang kaupantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah,
daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”
Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya
yang liar itu demikian enaknya. Kini ia mengerti mengapa Iblis Hitam ini
memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.
“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?
”
Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya
buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja akan tetapi sekarang telah
menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang gagah dan orang besar
saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini.
Tahukah kau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga
puluh potong uang emas? Ha, ha, ha!”
“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa dan baik hati. Aku telah
berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah
kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang
budi kepadamu!”
“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada
perhitungan budi!”
Kwee An terkejut dan heran sekali, oleh karena ia benar-benar tidak
mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa
maksudnya?
Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak
tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”
Bukan main terkejutnya Kwee An. Ia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah
menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi ia maklum akan
kelihaian iblis ini, maka ia pikir untuk sementara waktu baik ia tidak
membantahnya dan tinggal diam saja.
“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di
sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang dengan mata
tajam dan pandang mata menyelidiki.
“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran
baik. Ia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali
lebih tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka ia lalu melanjutkan,
“Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”
Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran.
“Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”
“Aku adalah seorang perantau dan ketika aku hendak menyeberang sungai ini,
aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi.
Akan tetapi aku kalah dan ia melemparku ke dalam sungai.”
“Ha, ha, ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau telah bertempur
melawan Hai Kong dan kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan
namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”
Kwee An merasa mendongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk
memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata,
“Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani
membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kauberikan kepadaku itu kurang
sedap didengar!”
Hek Moko memandangnya dengan mata melotot. “Apa? Kurang sedap didengar?
Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu hingga kau merasa kurang patut
bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi darimu. Kau harus menurut segala kata-kataku oleh karena
kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau
hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kuatir, aku akan melatihmu dan dalam
beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, biar ada tiga
orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!!”
Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee
An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!
Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga
bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini mempunyai seorang putera dan putera itu
meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya
hingga tiba-tiba saja mengakui ia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An
merasa girang juga oleh karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis
yang berbahaya dan lihai ini!
Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera
yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini meninggal
dunia karena terserang semacam penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan
puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan
berotak miring. Tentu saia kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih
dan membuat ia menjadi makin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi
sutenya, ia merupakan sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan
mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.
Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari
satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang
nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suhengnya oleh
karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin
Moli yang telah lama minggat dan mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi
piauwsu dan mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang
I Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan
akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!
Sejahat-jahatnya manusia, ia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang
bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pun Hek Moko biarpun manusia ini
telah terkenal sebagai iblis yang jahat dan kejam, akan tetapi kini setelah
bertemu kembali dengan puteranya, ia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali
hingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam
hatinya terhadap iblis tua ini. Kwee An memang telah kehilangan ayahnya dan dulu
ia telah lama meninggalkan ayahnya, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu, maka
kini biarpun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, namun mendapat
perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan
silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap
Iblis Hitam ini!
Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar
biasa ini, sedangkan Hek Moko menyebutnya Siauw-moi atau Setan Kecil. Kwee An
belajar dengan tekun dan rajin dan biarpun ia merasa girang menerim latihan ilmu
silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia
bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji
dan ganas! Akan tetapi baru satu bulan saja mendapat kemajuan pesat sekali, oleh
karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan
pelajaran ini, mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang
sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu
berkata,
“Siauw-mo anakku, sekarang kau takkan kalah menghadapi Hai Kong!”
Kwee An menghaturkan terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang
juga anakmu mau pergi mencari Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang
lalu!”
“Bagus, bagus! Tidak ada orang di dunia ini yang boleh menghina anakku! Aku
akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”
Kwee An terkejut, karena ia ingin mencari Cin Hai, bagaimana ia bisa
nembawa serta ayah angkatnya ini? Ia lalu mencari akal dan berkata,
“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong
akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua!
Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaianmu, sudah
cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotori tangan untuk
menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut
pergi?”
Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab, ia memikir bahwa anaknya ini benar
juga dan pantas alasan-alasannya, maka ia lalu mengurungkan maksudya hendak
ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini!
Tetapi kau harus lekas kembali, dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama,
Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan
lama lagi!”
Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh sanubarinya. Ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata,
“Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian,
Kwee An lalu meninggalkan tempat itu. Ia segera menuju ke tempat di mana dulu
dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi
dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri
termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih. Tiba-tiba terdengar
gerakan perlahan di belakangnya dan ia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang
datang! Benar saja, suara Hek Moko segera terdengar dan Iblis Hitam itu telah
berada di belakangnya.
Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang
beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang
buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua
yang membuat ia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An
dengan tajam dan ia mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi ia cukup baik menjadi
anakmu!”
Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah
Susiokmu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan ia lalu berlutut
memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”
Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu
menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”
Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.
“Siauw-mo, kau takkan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu telah
pergi mencari Pulau Emas! Bahkan aku dan Susiokmu ini pun hendak pergi ke sana
pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai
Kong Hosiang!”
Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebetulnya ia tidak senang harus pergi
bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau
Emas dan dimanakah letak pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa ketika
mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko dapat menemukan anak
perempuannya itu dalam keadaan mati! Ong Hu Lin, mantunya yang menjadi suami Pek
Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang
gila, di tengah jalan lalu mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika
isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah
membunuh isterinya ini! Ketika Pek Moko mendengar tentang hal ini, lalu mencari
Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh
kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tidak karuan macamnya lagi!
Peristiwa ini membuat Pek Moko berduka sekali hingga seluruh rambutnya memutih
dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu. Kemudian dengan kebetulan Iblis
Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan
agaknya dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, dan oleh
Pemerintah Kaisar sendiri! Ia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek
Moko dan setelah ia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee
An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau
Emas.
Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar
kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apabila Hai Kong
pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke
sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula ia lalu menyatakan kesediaannya
untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek
Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.
Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan telah sembuh dari pengaruh madu
merah yang mujijat dan setelah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat
mengingat semua kejadian telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak
tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin. Terutama sekali ia merasa gelisah
dan bingung jika teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh perwira Boan
Sip! Ingin sekali ia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan
dan menumpahkan rasa dendam dan marahnya, akan tetapi ke mana harus mencari
orang she Boan itu?
Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun
tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepaniang perjalanan.
Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan
minta ia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.
“Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” kata
Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walaupun aku dapat
mengimbangi semua serangannya. Ia agaknya sudah kenal baik serangan-seranganku
yang berdasarkan Liong-san-kun-hwat dan Ngo-lian-hwat, hingga dapat berjaga diri
dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan
jauh lebih kuat daripada dulu.”
Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan
jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang telah banyak mengalami
pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,
“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!
”
Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia
maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya,
maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan
Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.
“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.
Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal
dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas
menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang
paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya
serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi Cin Hai dengan amat mudahnya mengetak
dan menangkis serangan ini dengan tepat dan sempurna.
“Kaubalaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu
sambil mengirim tusukan. Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena ia tidak
mengenal lain ilmu pedang maka ia pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut
yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui perubahan atau
perkembangannya oleh Ang I- Niocu hingga gadis ini mudah saja mengelak atau
menangkis.
“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, tidak ada gunanya! Pakailah ilmu
pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu kekeliruannya oleh karena menghadapi gadis yang menjadi ahli
Silat Bidadari itu, sungguh tolol kalau mempergunakan ilmu pedangnya dan kini
memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat yang dipelajarinya dari Kanglam
Sam-lojin. Ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat
tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa yakni
mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki
kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang
ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai
dan ilmu silat yang ia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.
Memang kalau menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat
tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya, akan tetapi apabila
menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan matang ilmu pedangnya, pemuda ini
hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, akan tetapi juga sukar
untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali kedua macam ilmu silat yang
telah dipelajarinya itu, hingga menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek
Moko atau Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu pemuda ini menjadi pihak
yang selalu didesak dan diserang, sungguhpun harus diakui bahwa semua serangan
itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan amat mudah oleh karena ia telah
tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk digunakan menyerang
anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau
mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali oleh
karena boleh dibilang di dunia ini tidak ada keduanya bila dicari orang yang
dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap serangan-serangannya yang
dilakukan sampai semua jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak
terdesak sedikit pun! Akan tetapi biarpun serangan-serangan Cin Hai luar biasa
dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan
kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari
anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.
“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.
Cin Hai menahan pedangnya. “Memang benar, Susiok-couw hanya memberi pokok-pokok
dasar ilmu silat kepadamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan
penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu
menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kaugunakan untuk menyerang
lawan?”
Dengan tersenyum Cin Hai berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat
Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tidak menghendaki, biarpun diminta
sampai menangis pun takkan ia berikan!”
Ang I Niocu memang sungguh-sungguh sayang kepada Cin Hai, maka pada saat
itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa
dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut terhadap
seorang lawan yang mana pun juga, akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang
lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya? Apalagi sekarang
masih ada seorang musuh yang amat tangguh, yaitu Hai Kong Hosiang yahg agaknya
dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Kalau pemuda ini
tidak memiliki ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan mendapat celaka
dari tangan Hai Kong Hosiang.
Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis
itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan
hari telah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawa dingin.
Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar,
benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai hingga pemuda ini tentu
saja menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan
oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.
“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin
Hai.
Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada
saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana bisa menciptakan ilmu pedang? Jangan
mentertawakan aku, Niocu!”
“Anak bodoh! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi
memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang malas dan
kurang semangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau
memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi
satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kauanggap tepat dan
lihai?”
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena memang belum
mengerti. “Niocu, tolong kauberi tahu kepadaku, bagaimana caranya!”
Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji,
terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari
itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka kalau kau memang tekun, kau pun pasti
akan dapat mencipta ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya
begini. Kauperhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kaulihat dan lalu
kaupilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang
kauanggap lihai dan baik, boleh kaupilih. Kemudian gerakan-gerakan ini lalu
kaurangkai menjadi semacam ilmu pedang yang lihai. Tentu saja kau harus
merubahnya sedikit agar tidak sama dengan aselinya lagi, dan bahkan harus
diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai
kemampuan seperti ini.”
Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya.
Mengapa tidak ia coba? Memang tidak enak kalau selalu mempertahankan serangan
orang, dan pula memang memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu
menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri.
Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu duduk termenung dan ia lalu bersamadhi mengumpulkan seluruh
perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah
dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya
telah jernih oleh latihan-latihan napas dan samadhi, maka sebentar saja di dalam
otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya. Di antara
semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko yang paling dahsyat dan kejam,
sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah
dan baik. Ia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati
gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram
dan membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak
menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu.
Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Ia melihat
betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam,
bahkan di situ ia lihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san
Kun-hwat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau
mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu
tidak padam. Setengah malam lebih Cin Hai tiada hentinya bergerak ke sana ke
mari sambil memejamkan mata. Ia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu,
sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikitpun
tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya mernandang pemuda yang disayanginya itu
dengan penuh harapan.
Setelah lewat tengah malam tiba-tiba Cin Hai menghentikan
gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Ia memandang kepada Ang I
Niocu dan berkata, “Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasihatmu tadi.
Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu
dengan pedang, Hai-ji!”
Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi,
“Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang
persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini
aku terlalu lemah dan tidak mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan.
Aku tidak ingat bahwa tak perlu aku kerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan,
karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis dan tak perlu
menggunakan seluruh perhatian lagi. Oleh karena kesalahan itu, maka dulu aku
tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat
kumasuki untuk merobohkan lawan.” Setelah berkata demikian, ia menghampiri
serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ.
Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir
tak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang,
maka semua daun-daun itu yang berbentuk runcing bagaikan ratusan senjata
menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.
Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata
musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang
tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak
itu. Ia lalu menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat
dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat dan mengintai rumpun itu, akan
tetapi makin lama makin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang
bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata
itu! Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu
bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh
atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin
Hai berlaku cepat dan hati-hati dan tiap kali daun-daun itu bergerak dan
sebatang pohon kecil nampak, biarpun hanya sekilas, namun dengan pedangnya telah
memasuki lowongan itu dan tepat ujung pedangnya menusuk batang itu tanpa
mematahkannya!
Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang
masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa
begitu bergembira, hingga diam-diam ia pun menggerakkan kedua tangan dan
bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai! Ia melihat betapa
gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, maka sambil menggerakkan kedua
tangannya, ia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini
dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendeknya, Cin Hai pada saat itu sedang
menciptakan semacam ilmu pedang bersama-sama Ang I Niocu. Cin Hai mencipta ilmu
pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya!
Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu
dan ketika ia membuka daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang
puluhan jumlahnya itu semua telah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai!
Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu
mengajak ia sekali lagi bertanding dan ia harus mempergunakan ilmu pedangnya
yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat! Tiap jurus
apabila Cin Hai menyerang selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu dan
kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja
Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh! Ternyata bahwa Cin Hai telah
menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, oleh karena ilmu
pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu
silat lain yang telah dilihatnya. Ia menggunakan kesempatan untuk mengisi
lowongan-lowongan dan menyerbu bagian-bagian yang lemah dari gerakan-gerakan
aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakah
kebalikan daripada gerakan ilmu silat biasa!
Ang I Niocu merasa girang sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi
seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki
gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan aseli.
Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya melatih, atau
lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan
nasihat-nasihat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak
beristirahat.
Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar kemudian Cin Hai
kembali melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu
melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.
Walaupun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditiru oleh Ang I Niocu, akan tetapi
oleh karena untuk mempergunakan ilmu pedang ini harus sebelumnya dimiliki
kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana
yang telah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi
Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su,
orang lain tidak mungkin mempergunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam,
akhirnya ilmu pedang ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Cin Hai hingga
Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Ketika ia mencoba untuk melawan ilmu pedang
ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat
dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai
Kong Hosiang biarpun Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi,
kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi,
kionghi! Akan tetapi hati-hatilah kau, Cin Hai agar ilmu jahat ini tidak merusak
hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su telah
berdiri di dekat mereka!
“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tidak kusangka bahwa kau
yang bodoh ini dapat mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena
kau melatih dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka
apabila menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang
melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”
Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena memang betul seperti
yang dikatakan oleh gurunya ini. Tadi ia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh
karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya hingga
memungkinkan ia menyambar dan merampas pedang gadis itu, sedangkan kalau
bertempur dengan lawan yang melawan mati-matian, maka untuk merobohkannya ia
harus mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,”
katanya.
Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh ia berkata,
“Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”
Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai
kepercayaan penuh akan kesaktian suhunya, maka setelah memberi hormat sekali
lagi, ia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan menyerangnya dengan hebat. Pedangnya
berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan ia telah mempergunakan
jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya. Ia maklum bahwa suhunya memiliki
mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang
mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga telah tahu akan pergerakan
lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan
jurus ke lima ini. Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga
memikirkan kemungkinan apabila menghadapi seorang yang telah mempunyai
kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun
Su, maka dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan
dengan gerakan-gerakan terbalik! Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika
pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan kanannya akan
ditusukkan ke depan, akan tetapi belum juga pedangnya menusuk, secepat kilat
gerakan itu telah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum
sabetan ini diteruskan, telah dibalikkan pula dan menjadi sebuah serangan
memutar ke arah leher!
“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena
guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan
serangan muridnya. “Hayo kauserang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang
liar ini!” katanya dan Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang
terus.
Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai di tingkat
tertinggi hingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat
bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga biarpun pedang Cin Hai
hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat
melukainya! Namun benar-benar kali ini Bu Pun Su menghadapi semacam ilmu pedang
yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkangnya saja maka ia
dapat mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang! Ang
I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata
terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah ia melihat
kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin
Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!
Ilmu pedang Cin Hai semuanya ada tiga puluh sembilan dan setelah dimainkan
semua, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas
terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tak kuat lagi!” Ia lalu berlutut dengan
muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak
serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia
telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!
“Ha, ha ha.” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan
dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kau kecewa, Cin
Hai. Ketahuilah, ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kehebatannya jauh
melebihi dugaanku semula!”
“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu ini, kau boleh
menjelajah di seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap
pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga
melihat ilmu pedangmu ini! Kaukira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu
maka aku tak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah,
dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan
kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala
apa sudah ditentukan oleh takdir hingga kau yang tidak mempelajari ilmu
menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Dan jangan
kauanggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si
Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ah, kau terlalu
mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak
sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kalau sewaktu-waktu kau akan
menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang kau telah berhasil menciptakan
semacam ilmu menyerang, maka biarlah agar jangan kepalang tanggung, kau pelajari
juga Ilmu Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) dan Ilmu Silat Tangan Kosong
Kong-ciak-sin-na.”
Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala
menghaturkan terima kasih.
“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im
Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu
silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian
oleh kedua pendekar muda itu. Pek-in-hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya
hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini gerakan ilmu silat yang
sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang hingga dari kedua kepalan tangan yang
memainkannya keluar uap putih bagaikan awan yang dapat menolak setiap hawa
serangan yang bagaimana jahat pun dari lawan! Uap ini terjadi dari keringat yang
berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang yang panas dan
disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Biarpun lawan menggunakan
ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan
lain-lain, apabila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-in-hoat-sut ini
akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh
karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak-sin-na atau Ilmu
Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul,
juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh
hingga tepat sekali dipergunakan dengan tangan kosong apabila menghadapi lawan
yang bersenjata.
Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan
sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,
“Cin Hai dan Im Giok! Biarpun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum
bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”
Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I
Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.
“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau
tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan dengan kawan-kawan baik. Sekarang
ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang
berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apabila pulau ini sampai
terjatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku
menyaksikan dengan mata sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol
dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan
secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan
pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur
melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana
saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat
bertemu dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang
aku hendak pergi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang
bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa mereka secara
membuta mereka harus menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul
dan biarpun tidak jelas, namun kalau tidak nyata takkan dikeluarkan dari mulut
kakek luar biasa itu.
Tanpa menunda lagi, Cin Hai dan Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tak
lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah
timur itu. Di situ tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka
keduanya lalu mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju
ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan
hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui. Setelah mereka berlari selama
dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang
ketika melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai
mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya. Dua orang menghampiri mereka
dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua hendak menyewa atau
membeli sebuah perahu.”
“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ah, Kongcu. Di sini tidak ada
yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”
“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran, dan tak senang, oleh karena menyangka
bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.
“Kongcu hendak membeli perahu, sedangkan sebuah perahu adalah sama dengan
seorang isteri bagi seorang nelayan. Siapakah yang mau menjual perahu atau
isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai
perahuku ini. Biarpun kecil, tetapi kuat dan laju!”
Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.
Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain ikut bicara, bahkan
bertanya tentang maksud kepergian mereka.
“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?”
tanyanya tak senang.
Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk ikut
campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”
Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?
”
Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin,
dan dua orang memiliki sebuah perahu saja.”
“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”
Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah
Pulau Emas?”
Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak
menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga
tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya, kami mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata
kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini.
Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka
lagi apabila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”
Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,
“Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya lalu berdiri hendak
meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu lalu
meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya
dari pedang itu kini menempel di leher seorang nelayan,
“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan
hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di
lehermu!”
Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Benar-benar Pulau Emas itu
pulau berhantu dan setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio,
harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan
biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami.
Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati
dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang
besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi
ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Akan tetapi, pada suatu
malam, perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak
dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan
menakutkan yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan
ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan
ceritamu!”
“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu
mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira
itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya
dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk
kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan
tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami
dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biarpun kecil, akan tetapi
maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika
kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan
sekali pukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan
bocor hingga tenggelam!”
“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru. Nelayan yang bercerita
itu menjadi kaget karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng tetapi
sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah mendesaknya lagi. “Teruskanlah,
teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu
menjadi marah dan melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun
tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat melompat ke darat! Kami berdua tak
dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan
berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki
bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang telah memecahkan
perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang
pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”
“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena
tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar
penuturan ini.
“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar,
karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan
Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu
sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu
dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya
remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya
bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai maupun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!
” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu
masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”
Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?
”
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi,
“Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”
“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat
melihat siapa menang siapa kalah. Tiba-tiba mereka berhenti bertempur dan
agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia
menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang telah
tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat
melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”
“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia,
kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya hingga nelayan itu
terkejut dan takut. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?
”
“Selanjutnya? Tidak ada apa-apa lagi. Mereka berempat setelah memperbaiki
perahu lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan
hadiah uang!”
“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin
Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan
omong.
“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang
merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambil seorang
satu! Perahu ini kami ambil!”
Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua
nelayan itu menjadi bingung, “Eh, Siocia, eh... Toanio, nanti dulu, perahu...
perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”
Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian!
Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk
membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu
itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya
melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan
tetapi mulut tidak berani bersuara!
Dua hari kemudian ketika perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat
pohon-pohon buah lenci di dekat pantai.
Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan ia
mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan
buah. Cin Hai setuju, oleh karena ia pun merasa ingin makan buah yang segar
nampaknya itu. Mereka lalu mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil
itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali,
timbul kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan
memilih buah sesuka hati mereka.
Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan
ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali.
Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah
air, dan agaknya ia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu
mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari
atas pohon.
Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba
dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut
Agama Buddha) yang bertubuh pendek tapi gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu
sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis
seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah. Mukanya yang
bulat itu selalu tersenyum ramah, tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan
gemuk hanya menutup kedua pundak dan lengannya saja, sedangkan tubuh atas bagian
depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar
kelihatan menambah kelucuannya.
Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa dan berkata, “Ai, ai,
kalian sepasang burung dara yang bahagia! Mengapa melayang turun dari pohon dan
berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”
Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, sedangkan Ang I Niocu dengan
muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan
minggirlah!”
Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Eh, eh, mengapa
marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang
lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”
Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu
itu? Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju dan
mengayun kepalan tangan menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I
Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat
bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.
“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja
tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat
hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.
Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa
saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, segera menarik kembali
perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.
“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.
Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan
keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan
hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu
tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang mewek dan menangis, matanya
yang sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih hingga membikin sedih pula
kepada orang yang melihatnya.
Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu
biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak
memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya
mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu
Silat Kong-ciak-sin-na hingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan
dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja
menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa
girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun
Su ini memang betul-betul luar biasa.
Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian,
sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh
terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan agar
lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”
Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis menoleh ke arah hwesio yang
masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.
“Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”
Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu lalu melompat mundur dan berkata
sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!” Ang I Niocu menjadi geli
hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.
“Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa hendak mencuri perahu kami?”
tanyanya.
Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata.
“Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng
Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami kira bahwa
kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka
kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat
pakaian dan kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apabila kau mengaku
wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Aku adalah
Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”
Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan
kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh
saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi yang pintar?” Biarpun tosu ini
mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek
seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka
sesenang-senangnya!
Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu
bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebetulnya
mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”
Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami
hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”
“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
“Kau... sudah tahu?”
“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”
“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana
letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”
Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu
saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,
“Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk
ditumpangi empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekalian menjadi
penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak kenal jalan, sedangkan
kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling
menolong?”
Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai
mengangguk dan berkata,
“Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita sama-sama mencari pulau itu dan
kalian berdua menjadi petunjuk jalan!”
“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali!
Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan
terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka
berempat sama-sama tertawa gembira. Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka kepada
dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah
orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam perahu kecil itu telah sampai
di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari Pulau Kim-san-tho. Atas
petunjuk kedua pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan melalui pantai yang
curam dan batu-batu karang yang tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan
hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan yang cepat sekali
gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang
telanjang.
Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu ketika melihat bahwa yang
menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya
burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih
dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit, akan tetapi berat badannya
membuat perahu berguncang!
“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah dan gadis ini dengan cepat
lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya
ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak tendangannya dan melayang ke atas
lagi!
Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga ia merasa
kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio
pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya
tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi saja, dan biarpun hatinya berdebar
ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin
nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar hendak menangis tersedu-sedu oleh
karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.
Kini burung rajawali menyambar turun dari atas dengan cepatnya. Ang I Niocu
yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar
itu, berkata kepada kawan-kawannya,
“Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!” Ketika
burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang
I Niocu cepat menghantam dengan tangan kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun
oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya
seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu! Akan tetapi pukulan itu bukanlah
pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang hingga biarpun burung itu
menangkis dengan sayap, namun tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena
sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu
mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa berhamburan ke arah perahu bagaikan
hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng
Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran
burung itu.
Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka
dan hanya terpental dan kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di
atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar
pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,
“Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”
Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung
rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan
kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan
tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya ia marah sekali
kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.
Burung ini adalah semacam Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat
dan yang disebut raja segala burung. Ketika ia menyerang Ang I Niocu, gerak
tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari
atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya. Ang
I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan
seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului
melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya. Burung Kim-tiauw itu kembali
secara aneh dapat mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali ia
menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara
Ang I Niocu di atas perahu dan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.
Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir dapat memenggal leher burung itu,
tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga
Ang I Niocu menjadi makin marah dan penasaran saja. Biarpun Ang I Niocu belum
berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu telah rontok
ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tidak
mendapat kesempatan menyerang gadis perkasa itu.
Sebenarnya kalau ia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah
berhasil membunuh Kim-tiauw itu, akan tetapi ia berada di atas perahu yang
bergerak-gerak hingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali. Setelah
berkali-kali gagal serangannya, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya
dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I
Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat dan mengeluarkan bunyi
seperti orang mengeluh panjang, ia lalu terbang pergi dengar cepat sekali hingga
sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.
Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut,
hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan
tetapi Ceng To Tosu lalu ber kata sambil menghela napas panjang,
“Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”
“Eh, mengapa, kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak
berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.
Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas,
dan burung itu di daerah ini terkenal burung pembawa rezeki dan kebahagiaan.
Kita telah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali,
apalagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”
Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu
berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?” Biarpun Cin Hai tidak
setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa
gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan
kekuatirannya, hanya berkata memuji,
“Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”
“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka di
udara Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja udara!” kata Ceng Tek Hwesio
yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang
menyenangkan hatinya!
“Dan raja udara itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu
yang gemuk!” kata Cin Hai dan semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu
yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa, dan ia hanya mengutarakan kegelian
hatinya dengan mewek makin menyedihkan!
Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang
mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada
waktu itu menjadikan sebab terjadinya hal-hal yang hebat oleh karena tiga bangsa
sedang berusaha merampasnya!
Kerajaan Turki di waktu itu yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas
di laut timur Negara Tiongkok telah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di
antaranya Yousuf yang cerdik dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau
itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim sejumlah besar
tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini. Mereka tidak berani melalui daratan
Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apabila mereka melalui daratan pedalaman
Tiongkok, mereka akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan
gagalnya usaha mereka, oleh karena Tiongkok selain mempunyai daerah luas yang
berbahaya, juga memiliki banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara
Turki yang menjelajah negaranya. Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil
jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara
Tiongkok dan masuk di daerah Mongol dan mereka ini pun tidak tinggal diam dan
melawan barisan asing yang tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu
bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini dapat
dihalau oleh barisan Turki yang kuat.
Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan
terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar
sekali bagaikan seorang raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala
botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke
mari tidak terawat. Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang aneh
pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak macam kain kembang yang
ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta ini lebih pantas
disebut seorang pengemis jembel!
Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia menjadi jago nomor satu di
seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan
pendeta yang telah seringkali merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam
bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok,
maka Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.
Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak
rintangan, oleh karena setiap penghalang yang kuat selalu hancur apabila
berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin
juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikangnya sudah mencapai
tingkat tinggi sekali.
Oleh karena adanya gerakan tentara Turki inilah yang membuat bangsa Mongol
gelisah sekali. Mereka ini merasa pun akhirnya dapat juga mencari tahu akan
rahasia Kerajaan Turki dan dapat mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak
mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok. Maka, bangsa Mongol lalu menguasakan
kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini
pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang
Pangeran Vayami datang ke istana kaisar. Setelah Vayami bertemu dengan kaisar
secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki
bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merampas sebuah pulau di Laut Tiongkok
yang mengandung banyak emas! Secara cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan
hendak mengadudombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam
pangeran yang cerdik dan licin ini telah mempersiapkan kaki tangannya untuk
secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia mengambil siasat “Membiarkan Dua Ekor
Anjing Berebut Tulang” dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari
sementara kedua anjing itu masih bergumul!
Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan seorang bodoh, dan seandainya ia
sendiri bodoh, namun para penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang
berpemandangan luas. Oleh karena ini biarpun kaisar telah masuk dalam
perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang dikepalai oleh Beng Kong Hosiang
dan beberapa orang perwira tertinggi kepandaiannya bahkan kepala bayangkari,
seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui
Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong
Hosiang dan lain-lain perwira, bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara
dekat tapal batas Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara
Turki itu berkumpul. Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk
tetap menemani Pangeran Vayami dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung
itu dalam perjalanannya kembali ke negerinya, sedangkan sebetulnya kaisar ini
bukan hendak menjaga keselamatan orang, akan tetapi bahkan ingin mengawasi dan
mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi usaha-usaha kecurangan yang mungkin
hendak dilakukan oleh Pangeran Vayami yang cerdik. Oleh karena ini, Hai Kong
Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio ini pun lalu mengajak supeknya, yaitu
Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.
Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam
Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan
kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau Emas itu. Hai Kong Hosiang walaupun
seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung emas
itu, maka ia pun lalu menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau
itu dari dekat dan kalau mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong
Hosiang tidak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya
mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan
merugikan, pendeknya kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang
bertugas mengawasinya.
Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di
tepi pantai laut, mereka berhenti dan memasang kemah. Sementara itu, bagian
perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk keperluan menyeberang.
Biarpun mereka telah lebih dulu menyediakan segala keperluan untuk membuat
perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak
diseberangkan ini tidak kurang dari seribu orang, maka pembuatan perahu itu
makan waktu berhari-hari.
Dan pada waktu mereka sedang sibuk membuat persiapan menyeberang, datanglah
tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan
perwira-perwira lain! Tentara Tiogkok lebih banyak jumlahnya dan karena mereka
datang di waktu hari telah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah
pimpinan Lui Siok In yang pandai, lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara
Turki. Kemudian, serentak tentara Tiongkok, yang sudah mengurung ini memasang
obor hingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan siang hari!
Tentu saja, ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala mengelilingi
tempat mereka, tentara Turki menjadi panik. Akan tetapi, Balutin dengan
senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, berhasil menyuruh
anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan untuk memasang dan memegang
obor pula, kemudian ia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan
musuh.
Lui Siok In dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan sayap garuda
menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat
tertinggi, diikuti oleh perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju
menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,
“Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena
sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya, maka lebih baik kamu menyerah saja
agar menjadi orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!”
Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara
kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta
Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In
dan berkata, “Hai, Perwira muda! Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu
ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan majukan segala perwira hijau untuk
bicara dengan aku!”
Mendengar dirinya disebut “perwira hijau” oleh pengemis jembel yang gemuk
sekali ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.
“Bangsat jembel, siapakah kamu?”
Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku
siapa? Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah Balutin atau boleh juga
kausebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat
bicara dengan aku!”
Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti
seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal
semenjak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini pernah
disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk
memimpin barisan, oleh karena kaisar pun telah mendengar dari Pangeran Vayami
yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan pemimpin besar. Lui Siok
In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejerihannya, maka sambil tertawa ia
berkata,
“Aha, tidak tahunya pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan
yang disohorkan sangat gagah perkasa itu hanyalah seorang pengemis jembel yang
terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah pemimpin barisar ini dan
namaku Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan
enak dan tak usah mampus di ujung senjata!”
Balutin memandang heran dan hampir tak percaya bahwa panglima besar tentara
Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,
“Agaknya Tiongkok sudah kehabisan orang gagah, maka terpaksa memajukan kau
sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'
Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di
dekat situ. Daun-daun pohon itu bergantungan di atasnya dan ia lalu menggerakkan
kedua tangannya menampar ke arah daun-daun pohon itu. Angin besar keluar dari
kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai dauh pohon
itu lalu rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua
tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu bergerak-gerak di udara
dan tak dapat melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan
kini bermain-main di udara bagaikan hidup!
Lui Siok In terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang
mempergunakan kepandaian khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia
maklum bahwa daun-daun ini biarpun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan
tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan bagaikan senjata-senjata hasia
hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan
tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu
hingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.
Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba Balutin lalu membuat
gerakan dengan kedua telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas lalu
menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang
sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana
ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar. Ia lalu berseru keras
dan membuat gerakan dengan jari-jari tangannya pula yang ditelentangkan. Dari
kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh.
Daun-daun yang tadinya dari atas melayang naik kembali dan terapung-apung di
tengah udara. Pertempuran hebat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama dan
menegangkan hingga semua tentara yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan
hebat ini menahan napas. Kedua panglima itu berhadapan dengan mata saling
pandang dan kedua tangan bergerak-gerak dan diulur ke depan seakan-akan dua
orang pengemis sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu melayang-layang di
tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.
Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya
dan tenaga khikangnya masih kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu.
Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi
tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat
itu mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di
udara itu mulai mendesak turun dan makin mendekati kepala Lui Sok In.
Perwira she Lui itu maklum bahwa apabila adu khikang ini diteruskan,
keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat ia lalu membuat gerakan
Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan
berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas
tanah. Ia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak ia akan
terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara
bergulingan itu ia memulihkan aliran darahnya kembali dan membebaskan ia
daripada serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.
Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha! Hanya begitu
saja kepandaianmu, Perwira muda! Dan kau berani bersombong hendak menawan aku?
Ha-ha-ha!”
“Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah
sekali dan ia lalu mencabut pedang dan menyerang Balutin dengan hebat. Balutin
hanya tertawa dan ia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping.
Seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang
panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini
ternyata oleh Sui Siok In bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang
nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan
berkilau bagaikan emas. Maka keduanya lalu bertanding hebat sekali dan para
tentara yang tadinya bersorak-sorak saja menyaksikan pertandingan ini, lalu
bergerak maju makin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak telah melompat
maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling
gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!
Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di
bawah sinar obor dan terdengarlah pekik jerit kemenangan tercampur keluh
kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh dan membasahi tanah yang terpaksa
harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!
Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus
saja maklumlah Lui Siok In bahwa ia takkan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini,
maka ia lalu berteriak memberi perintah hingga beberapa orang perwira maju
mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok Balutin.
Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka
tentu saja ketika ia pun ikut menyerbu dengan perwira-perwira lain, Balutin
mulai terdesak. Akan tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat
mereka yang aneh dan cepat hingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang
mendesak hebat!
Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi
marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang
bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang
semenjak tadi, yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang
menyerangnya dengan ganas, maka ia cepat menangkis dan kedua orang ini bertempur
seru sekali. Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin
dengan paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat tenaganya hingga terdengar bunyi
keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi,
tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras
benturan tenaga itu! Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang
berseru keras dan ia menyambitkan sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak
cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak
panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang
bertempur di belakang Balutin!
Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu
menubruk maju ke arah Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku
Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke arah dada dan tangan kanannya ke arah
leher lawan! Serangan ini hebat sekali dan Balutin berseru keras, menundukkan
kepala untuk menghindari serangan leher dan serangan tangan pada dadanya ia
tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan
ganas sekali hingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, maka tangan kirinya
itu berhasil mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru
kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke dada lawan.
“Buk!” terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan jitu
menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras sekali datangnya hingga
dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh hwesio itu terpental
ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman
tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas hingga tubuh Balutin
terbawa maju.
Balutin cepat sekali menggunakan jarinya mengetuk sambungan siku lawannya
yang telah mati itu. Urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu ketika
kena totokan ini menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas
hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.
Balutin memandang ke arah lengan kirinya yang telah menjadi matang biru
karena cengkeraman lawan tadi! Ia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan
ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka di lengan kirinya tidak berbahaya, maka ia
lalu mengambil senjatanya lagi dan mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah
pukulan tongkatnya.
Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan
para perwira hanya ingat bersenang-senang saja selama ini, tidak kuat pula
menghadapi tentara musuh. Apalagi mereka baru habis melakukan perjalanan hingga
keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari
beristirahat di situ, maka biarpun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang
jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.
Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat kelihaian Balutin,
Lui Siok In lalu memberi perintah mundur, sedangkan ia sendiri pun lalu melompat
mundur. Tentara Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera
diutus untuk mencari bala bantuan!
Tentara Turki tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang
lebih penting, yaitu menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang
dan mengurus korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga jaga saja
kalau-kalau pihak musuh menyerbu lagi.
Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum
tentu akan dapat segera datang maka pihak Turki mendapat kesempatan untuk
menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan
perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang
dulu bersama-sama pergi mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan.
Ketika bala bantuan yang diharapkan datang jauh letaknya dari tempat itu pihak
tentara kerajaan pun lalu mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar hingga
terjadi pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini
terlambat dua hari hingga tertinggal jauh.
Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami,
pangeran bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama Sakia Buddha itu berlayar
ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini
telah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu
ini berlayar cepat ke tengah samodra. Ketika terjadi pertempuran di malam hari,
Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang melihat dari atas perahu mereka. Akan
tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh tepi dan mendengar suara
teriakan mereka yang berperang. Diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di
dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. Ia telah memberi perintah
kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakia Buddha untuk dengan diam-diam
menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.
Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para
pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau
itu, setelah berhasil mencari dan mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu
diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung minyak bakar agar pulau itu
terbakar habis!
Sebetulnya, ketika mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami
pernah pergi menyelidiki dan ia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari, pulau
itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali seakan-akan gunung di pulau
itu seluruhnya terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang, Akan tetapi,
ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas
yang bercahaya di waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga
kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan,
ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya ia membuat penerangan,
hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu
tercium api, lalu bernyala hebat! Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung
minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air mujijat yang
mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang berkobar dan
terbakar dengan mudah sekali. Oleh karena inilah, ia menggunakan tipu daya untuk
membakar telaga itu apabila emas sudah terdapat oleh kaki tangannya, agar semua
orang yang berada di pulau itu dan hendak mencari emas, termakan habis oleh api
yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!
Tentu saja ia tidak memberitahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki
Sianjin tentang tipu dayanya ini, oleh karena ia pun maklum bahwa kedua orang
tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat menduga
pula bahwa kaisar telah mencurigainya!
Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai
Kong Hosiang menuju ke pulau itu untuk memberi kesempatan kepada anak buahnya.
Demikianlah, perahunya hanya berputaran melalui pulau-pulau yang banyak sekali
itu, dan ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami
merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang
perahu-perahu Turki telah menyeberang ke pulau itu! Ia menjadi gelisah sekali,
terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan mengejar pula.
Celaka, pikirnya, pulau itu tentu akan penuh dengan tentara kedua pihak dan
mungkin sekali akan terjadi perang hebat di pulau itu. Bagaimana anak buahnya
akan dapat bekerja baik?
Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak
buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong
Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini
mendapatkan akal baik.
Ketika itu, Hai Kong Hosiang juga berdiri di kepala perahu dan melihat
betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh
perahu-perahu tentara kerajaan, dan hwesio ini memandang dengan kuatir. Ia dapat
menduga bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak
demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!
”Hai Kong Bengyu,” kata Pangeran Vayami. ”Apakah kau dapat menduga apa yang
menjadikan kegelisahan hatiku?”
Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu
menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia
pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.
“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah
mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa
barisan kerajaanmu telah kalah perang! Dan apakah kau tega melihat hal itu
terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai
maka memang sebaiknya kau dan supekmu tinggal saja di sini.”
Pangeran Vayami di samping mencela juga menyinggung-nyinggung hati pendeta
itu, akan tetapi Hai Kong Hosiang diam saja, seakan-akan tidak mengerti akan
maksud sindiran Pangeran Vayami.
”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu
tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama
Balutin atau Pouw Lojin, amat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han
(Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”
Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan ia memandang kepada
Vayami dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami tidak mempedulikannya bahkan
berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia menambah
omongannya seperti berikut,
“Celaka sekali. Aku mendengar bahwa suhengmu yang bernama Beng Kong Hosiang
juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan Suhengmu terkena celaka, oleh
karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti
itu?”
“Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kaukira aku
takut kepada segala macam orang seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhuku akan
menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang
ajar!” Dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia
pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula?
Hai Kong Hosiang lalu memberitahu kepada supeknya yang gagu itu, dan Kiam
Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki.
Hai Kong Hosiang lalu menurunkan sebuah daripada perahu kecil yang berada di
situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan berkata,
“Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah
berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok,
Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong
Hosiang telah menotok jalan darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh
terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak lagi.
“Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau
tidak bisa sembarangan bergerak.” Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak
dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya
memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.
Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang dan
Kam Ki Sianjin mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua
barisan itu menuju. Di atas pulau itu telah terjadi pertempuran hebat lagi
antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan. Akan tetapi, kembali
Balutin mengamuk dan puluhan perajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak
perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak seorang pun yang dapat menandingi
kelihaian pendeta gemuk ini.
Ketika tiba di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar tentang
kematian suhengnya di tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil
mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan menerjang Balutin sambil
berteriak,
“Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat
sekali. Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan
hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan tandingan yang setimpal dan
seimbang, baik dalam kepandaian maupun dalam kehebatan tenaga mereka. Tak
seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang
perwira yang mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja
telah roboh dan tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini.
Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Adapun Kiam Ki Sianjin
yang sudah tua itu memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan
penuh perhatian dan siap menolong apabila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.
Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas
laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali mendekati pulau itu. Tiba-tiba
kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain
adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan
Ceng To Tosu. Melihat perahu besar yang terombang-ambing seakan-akan tidak ada
orangnya yang mengemudikannnya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke
atas perahu itu dan meninggalkan tosu dan hwesio itu di dalam perahu kecil.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak
bagaikan patung batu. Juga Vayami terkejut sekali melihat kedua orang ini, akan
tetapi ia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum
bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka ia lalu mengulurkan
tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.
Pangeran Vayami lalu berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai
dan Ang I Niocu.
“Terima kasih, Taihiap. Sukur engkau datang menolong, kalau tidak entah
bagaimana dengan nasibku yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, ia mengerling
kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir
dan takut!
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa sebal dan benci melihat pangeran ini, akan
tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh
pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.
“Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan berada dalam keadaan
tertotok orang? Siapakah yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di
sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan lagi.
Pangeran Vayami menghela napas da ia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang
indah model bangsawan Han itu. “Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati
palsu!”
Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat
Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah di mana dia!”
Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum
bahwa di antara Hai Kong dan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar
sekali hingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan ia teringat pula bahwa
dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh
besarnya. Maka ia lalu mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi
keuntungannya sendiri.
“Sebagaimana kauketahui Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar,
akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut
ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supeknya yang gila dan gagu itu, ia
memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di
sini dan mengetahui tempat itu dia lalu menotokku dan mencuri perahu kecilku dan
bersama dengan Supeknya ia lalu menuju ke sana!”
Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba Ang I Niocu dan Cin Hai teringat
kepada si tosu dan si hwesio yang tak kelihatan lagi, dan ketika mereka
memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh
meninggalkan tempat itu!
”Hai...!!” Ang I Niocu berteriak marah ”Kembalilah kalian!!”
Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si
hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan
hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk
mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,
“Lihiap janganlah mengejar, mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka
ikut dibakar hidup-hidup!”
Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut dan memandang kepada pangeran yang
tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah gelap dan
angin bertiup kencang.
“Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I
Niocu tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena ia pun tidak mempunyai
urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena marah saja dan kini
kedua pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.
Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku menceritakan kepada kalian,
lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini karena aku hendak memperlihatkan
sebuah pemandangan indah kepada kalian!”
Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar perahu besar itu
bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu,
memutarkan perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to dan berada di belakang pulau
setelah melakukan pelayaran lebih dari dua jam.
“Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.
Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi
tercengang sekali melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas
Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung
runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan
mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih
kuning kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang
pohon-pohon yang gelap dan hitam. Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan
penuh takjub hingga gadis itu untuk beberapa lama berdiri tak bergerak bagaikan
patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya,
segera minta keterangan dari Vayami!
“Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua!
Tentu kau juga telah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan
telah saling gempur dan sekarang ini pun saling bertempur mati-matian di atas
pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu, semua orang yang berjumlah ribuan
itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka
tidak tahu bahwa mereka telah berada di tepi neraka, Ha, ha! Juga Hai Kong yang
jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun
akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha, ha, ha!”
Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali dan ia lalu
membentak, “Pangeran Vayami! Kaujelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?
”
Setelah berusaha sekerasnya untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya
yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi,
“Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah
segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi
harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini.
Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di
tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!”
Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha
yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai
hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa
ia adalah seorang Mongol. Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa
Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh
karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu
besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas
mereka.
Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum
bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka setelah melihat
munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk
menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan kedua orang gagah ini kepada
Hai Kong Hosiang apabila hwesio itu muncul untuk mengganggunya. Oleh karena ia
menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak mempunyai hubungan sesuatu
dengan Turki maupun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan
kecerdikannya.
“Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta
di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat
diketahui pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku
yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum
tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apabila mereka
telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di
pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku
memerintahkan agar seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka
mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!”
Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai
yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang
dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke
pulau itu, maka cepat bertanya,
“Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?”
Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi
tak lama lagi!” katanya sambil memandang ke arah pulau dan diam-diam pangeran
ini juga merasa kuatir sekali oleh karena orang-orangnya yang ditunggu-tunggu
belum kelihatan muncul seorang pun.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana
adanya seorang Turki Yang bernama Yousuf?” tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin
Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini ia
dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.
Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Ia pernah bertemu dengan
Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu
pertama dari Kim-san-to. “Kau mencari setan itu? Ha, ha, ha! Tentu dia juga
berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau
dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”
“Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan
suara gemetar.
“Kawan-kawannya?” kata Vayami yang menyangka bahwa kawan-kawannya yang
dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. “Ha, ha, ha!
Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu.”
“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar,
pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas
papan perahu. Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil memegang-megang
pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.
“Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!”
“Jangan Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau
berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.
“Lin Lin berada di sana, bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi
menolongnya?” tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu
kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi, pada saat itu, ia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi
oleh banyak perahu-perahu kecil dan tiba-tiba dari perahu-perahu kecil itu
berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah. Ternyata
orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakia Buddha
yang berilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan
senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali hingga terpaksa Cin Hai melompat
mundur ke dekat Ang I Niocu bersiap sedia menghadapi keroyokan.
Pangeran Vayami ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, menjadi
girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik
oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis
Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu ia telah memaksa Ang I Niocu untuk
menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang ia percaya
akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,
“Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tapi jangan ganggu gadis itu
dan tawan dia.”
Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah
tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha itu lalu menyerbu dengan
mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang
masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah. Semua pendeta itu adalah
orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas
pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak
rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan
Cin Hai menjadi bingung juga. Akan tetapi, kedua orang muda ini memiliki ilmu
kepandaian sempurna terutama Cin Hai, maka baru beberapa jurus mereka bertempur,
dua orang pengeroyok telah dapat dirobohkan. Sungguhpun demikian, kesetiaan anak
buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur
bahkan makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang
lihai, biarpun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan untuk
mentaatinya asal keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh
kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh
oleh pemimpin agama itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua
pengeroyok ini bukanlah hal terlalu sukar bagi mereka berdua, akan tetapi mereka
tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah.
Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau
itu!
Pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga
bayangan orang melompat ke atas perahu dan mengamuk dengan hebat disertai suara
tertawa menyeramkan! Ketika Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah
Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng
juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama
kedua iblis ini? Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat
semua pendeta Sakia Buddha, Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan
maksud hendak menyusul Lin Lin. Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi
terkejut sekali oleh karena di dalam kekalutan itu, Ang I Niocu telah
mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu
dan mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!
“Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai, akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan
kepadanya sambil menjawab,
“Jangan, Hai-ji. Biarlah aku saja yang menyusul, jangan kita berdua
terancam bahaya bersama. Kautunggulah saja, aku akan membawa Lin Lin kepadamu!”
Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!
Cin Hai bingung sekali dan ia melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa
semua pendeta Sakia Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu
kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini telah dipukul hancur dan tenggelam
oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!
Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap hingga sukar
mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu
berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak
berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai
Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia
sendiri harus enak-enak menunggu!
Sementara itu, dalam kegembiraan mereka mengamuk dan membasmi para pendeta
Sakia Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain
dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang
melihat mereka, tidak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok
oleh banyak lawan hingga tak mendapat kesempatan bertanya lagi. Amukan Hek Mo-ko
dan Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama
sekali Pek Mo-ko yang masih menderita sedih karena kematian puterinya, kini
mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko maupun Pek Mo-ko
tidak mempunyai alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini dan mereka
bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu
dikeroyok! Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asal mereka bisa
bertempur dan membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka
sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang
ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam! Sedangkan Kwee An yang juga tidak
mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang
kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, ia menjadi menyesal
akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan
pembunuhan besar-besaran.
Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha
ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko!
Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke
dalam laut. Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui
bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu!
Kalau ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika ia
masih hidup pun tentu ia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal! Anak
buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikitpun emas di pulau itu, biarpun
sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas
sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan
ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan
barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di
atas bukit itu! Danau itu mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi
hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang!
Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk berenang secepat
mungkin, akan tetapi di dalam air ia tidak seleluasa seperti di darat di mana ia
boleh mempergunakan ginkangnya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian
renangnya memang kurang sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan ia tidak
kuat melawan ombak air hingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar
juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya. Keadaan di atas
permukaan laut itu lebih gelap lagi dan penunjuk jalan satu-satunya bagi Cin Hai
ialah cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat
dan gadis ini tanpa mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, lalu berlari
naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin. Ketika ia naik makin tinggi, sungguh
luar biasa, karena cahaya terang itu makin menghilang dan keadaan di atas bukit
sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali Ang i
Niocu berseru keras memanggil,
“Lin Lin…” Suaranya yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar
bergema keras sekali, bahkan terdengar lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih
berenang di laut!
“Niocu...!” Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu.
Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biarpun ia mengerahkan
khikangnya, di dalam air itu suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh
bunyi riak ombak yang menggelora.
“Lin Lin...!” terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini
membangunkan semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat
maju lebih cepat.
Ang I Niocu berlari terus ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia sudah
berjanji kepada Cin Hai untuk menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia
bertekad takkan kembali sebelum mendapatkan Lin Lin. Ketika Ang I Niocu tiba di
sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan kedua matanya
terbelalak dan ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya oleh karena
tiba-tiba matanya menjadi silau. Di bawah, tak jauh dari situ ia melihat
pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di bawah puncak itu ia
melihat api besar sekali berkobar-kobar dan bernyala-nyala seakan-akan neraka
sendiri terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar
oleh kaki tangan Pangeran Vayami!
Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, “Lin
Lin…! Lin Lin…! Di mana kau…??”
Akan tetapi suara teriakannya yang keras ini seakan-akan hanya menambah
besar berkobarnya api yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata
terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia melihat seakan-akan bayangan
Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum dan
melambai-lambaikan tangan kepadanya! Ang I Niocu menggigil dengan penuh
kengerian dan mukanya penuh keringat. Ia menggosok-gosok kedua matanya akan
tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja. Sambil berseru ngeri dan
takut, Ang I Niocu berlari ke sana ke mari sambil memekik-mekik memanggil nama
Lin Lin,
“Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!”
Akan tetapi, sampai serak suaranya memanggil-manggil dengan kerasnya sambil
berlari-lari menubruk sana menubruk sini, namun yang dipanggilnya tidak juga
menjawab atau muncul.
Nyala api di danau yang membesar dan membubung tinggi itu nampak juga oleh
Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang
makin keras kepada Balutin sambil berteriak minta supeknya membantu. Kiam Ki
Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan
bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin
sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Ia mencoba berkelit, akan tetapi
serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang
dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah
lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas!
Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat
bagaikan terbang, kakek gagu ini meninggalkan tempat pertempuran menuju ke
pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu!
Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan
seakan-akan membakar awan-awan di atas itu. Ia makin bingung dan gelisah, lalu
berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.
“Niocu...! Lin Lin...!” Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan
suara ombak menderu.
Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh
Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di
atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi
terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan
Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka! Cin Hai membelalakkan matanya
dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang
I Niocu lapat-lapat.,
“Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!”
Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya
seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai akibat daripada letusan dahsyat
itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu
diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula!
Cin Hai mencoba berseru lagi. “Niocu... Lin Lin...!” akan tetapi suaranya
tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia merasa betapa tubuhnya menjadi
lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan
tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.
“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu...”
Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan
dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia memandang ke sana ke mari mencari-cari,
akan tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan
menyambar lagi dan ia terombang-ambing menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya
menjadi lemas dan ketika ia telah merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan
wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam
bisikan,
“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu...”
Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya
menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Ia
segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya, dan itu adalah perahunya yang
siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang telah dilarikan oleh Si Hwesio
dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu! Agaknya perahu itu terpukul ombak
dan terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu! Dengan sekuat tenaga
Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam
perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.
Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan
meletus, maka minyak yang telah menjadi api itu membakar seluruh pulau, bahkan
kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga
seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah
menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.
Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa
dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang tak dapat melarikan diri,
sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak dapat menghindarkan diri
dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi, telah terpukul oleh
letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk
hebat.
Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak dan kembali ke pantai
daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, ia merasa kepalanya
masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata ia telah berada di dalam
perahu kecil itu semalam penuh oleh karena waktu itu telah menjelang pagi!
Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke
air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara
senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget
berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri, dekat pantai di mana air laut
masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang
sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang dekat, maka yang bertempur itu
adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah yang membuat ia kaget dan heran,
sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di
dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu
bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng!
Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah yang membuat hati Cin Hai
berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua
itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin
Lin dan Ma Hoa berada di situ!
Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang
lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si
Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara
tak sabar,
“Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?”
Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang
lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan
Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan
mati-matian!
“Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?” tanya pula Cin Hai dengan muka pucat
dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.
“Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?” tanya Si Nelayan Cengeng dengan
terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu yang amat mengkhawatirkan ia
segera menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan
Yousuf!”
Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai tiba-tiba menangis tersedu-sedu,
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, “Lin
Lin... ah, Niocu...!” lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi!
Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh
kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian
pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu
membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.
Seribu satu macam hal yang telah berada di ujung lidah mereka hendak
diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu
oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan
pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu,
ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee
An,
“Mengapa mereka saling hantam sendiri?”
Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu,
“Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah
mereka saling membunuh.”
Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu
hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh
kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang
telah lemas.
Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang
bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar biasa, telah
mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit
ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada
terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena
pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko
mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.
Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat
bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa
bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali.
Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek
Mo-ko.
Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini
tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton
oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita
melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.
Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami
dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah
Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat
hingga menjadi takut dan memutar arah perahu. Tiba-tiba terjadi letusan hebat
itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan
terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan ketiganya
lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka
itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak
kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan
merasa ngeri juga.
Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan
Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang
itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka? Kwee An tak terasa
pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua
orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang
kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu?
Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke
dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng!
Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya
cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai
dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu
yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil.
Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas
dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas
perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi
ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat. Kaget sekali Nelayan
Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang
berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan
mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,
“Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau
kemasukan setan Pulau Kim-san-to?”
Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu
dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan
menyerang lebih hebat lagi.
“Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan
Cengeng!” Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan
menyerang makin hebat lagi.
Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang
bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memilih hak. Ia
telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan
golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis
jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng
terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar hudtimnya
dan berseru,
“Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!”