serial pendekar sakti - Kho P...

By monster_bodoh

140K 578 31

diambil dari situs http://kangzusi.com More

kho ping hoo - serial pendekar sakti (1) Pendekar Sakti
Kho Ping Hoo - Serial Pendekar Sakti (02) - Ang I Niocu
Kho Ping Hoo - Serial Pendekar Sakti (03) - Pendekar Bodoh(2) tmt
Kho Ping Hoo - Serial Pendekar Sakti (04) - Pendekar Remaja

Kho Ping Hoo - Serial Pendekar Sakti (03) - Pendekar Bodoh(bag1)

15.8K 66 4
By monster_bodoh

AUTHOR: Kho Ping Hoo (bag1)

TITLE: Pendekar Bodoh

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon

cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan

warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis di dinding dan

bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih

dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu

luar dan berbunyi“Ban Hok Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”

Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah suara orang mengajar ilmu

membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca

liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan merupakan hal aneh lagi,

maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan

kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.

“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak

sabar.

“Tahu, tahu...” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di

empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”

“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”

“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)?? Tentu bukan kita, karena kau dan aku

bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.

“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang

berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan

perikemanusiaan, tahu?”

Suara anak itu menandakan bahwa ia masih sangat kecil, mana bisa ia

menikmati “makanan rohani” yang berat ini. Maka terdengar jawabannya

takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sian-seng.”

“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa

dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!”

Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi sedikit pun tidak terdengar pekik

kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang

anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah

pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.

“Nah, sekarang kausebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.

” “Ujar-ujar yang mana, Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali

ujar-ujar,” jawab murid itu.

“Ujar-ujar yang ke tiga.”

Sunyi sebentar, lalu terdengar suara anak itu lantang, “Janganlah kau

perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat

kepadamu!”

“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan

kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat

memasuki batok kepalamu yang keras itu.”

“Memang hak-seng paling suka kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak

itu yang tiba-tiba menjadi berani.

“Mengapa begitu?”

“Harap Sian-seng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu

baik dan betul?”

“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang

sedunia.”

“Kalau begitu, apakah Sian-seng suka kalau kutampar mukamu?”

“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”

“Sian-seng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah

itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”

Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu

tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di

luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.

Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang

mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana

datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar

sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil

melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu

kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama

To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat

ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh karena yang seorang tinggi kurus

bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya,

sedangkan yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke

sana-sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan

halus.

Hwesio gundul tinggi besar itu ketika melihat tiga tosu ini keluar dari

pintu kuil, tampak terkejut karena memang ia tidak menduga sama sekali akan

melihat mereka di situ. Sebaliknya, ketiga orang tosu itu ketika melihat hwesio,

juga kaget sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh loncat menghampiri.

Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga

telah melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak

(setombak kira-kira dua meter)!

“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu

jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas

tanah.

Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara

ketawanya ini aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar

merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat

jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil

itu menjadi terkejut. Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, maka

sambil membawa suling bambunya ia berlari keluar dan dari kamar itu. Gurunya

marah dan mengejarnya sambil berteriak,

“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada

Pamanmu!”

Karena dikejar-kejar, Cin Hai lari ke tempat yang rendah di pinggir kuil

lalu memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali seperti

orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng! Ternyata

Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di

sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan

bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!

Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar

pintu, tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang

hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Ia menjadi takut dan

buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil! Cin Hai kini duduk di atas genteng

dan memandang ke bawah. Juga ia heran sekali melihat tiga orang itu yang kini

siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar. Sementara itu, setelah tertawa

keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan

kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat

sambil berkata, “Ha, ha, ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu,

jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang

lalu di Heng-san! Apakah kaukira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga

Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha, ha, ha! Kalian maju bertiga baru

mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kautambah tiga belas lagi akan

kutewaskan semua, ha, ha!”

Kemudian hwesio gundul itu menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat

sekali. Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebet dan

gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja bergerak

menyerang ketiga lawannya!

Tapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama

disohorkan orang. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan

Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki

kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing. Giok Im Cu yang tertua

memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok

Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan memiliki tenaga gwakang (tenaga luar,

kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu

adalah ahli mempergunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di

samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.

Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu

berpencar dan menghadapi hwesio dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata

luar biasa, karena gerak-geriknya aneh seperti menari berlenggak-lenggok, sama

sekali bukan seperti gerakan silat, tapi kedua tangannya bagaikan dua ekor ular

yang hidup dan sepuluh jari tangannya pun hidup bergerak-gerak dan tiap jari

selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan

disebut Jian-coa-kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular

dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan

datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali! Baiknya ketiga tosu yang

menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di

puncak Heng-san hingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula keganasan ilmu silat

ini hingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak

kalah hebatnya.

Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran

dan gembira sekali. Memang ia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali

di kota diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia

selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biarpun

sudah dilarang. Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar tentu saja ia senang

sekali. Apalagi adu silat kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang

dilakukan di atas panggung. Ia melihat, betapa empat orang yang berkelahi itu

bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau

ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti oleh bayang-bayang

hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tak dapat membedakan

lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya

kadang-kadang saja, warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan

ternyata ia terkurung di tengah-tengah. Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan

dan menegangkan hati, apalagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu

dikeroyok tiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda

dengan segala pibu (adu kepandaian silat) maka dengan tak terasa pula saking

tegangnya Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup

suling.

Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang makin lama

makin terdesak oleh Jian-coa-kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut

sekali karena betul-betul kepandaian Si Gundul ini telah maju hebat dan jauh

bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu. Karena tahu bahwa jika

terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu

berseru keras,

“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”

Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu

mencabut ranting kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan di ikat

pinggangnya. Biarpun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam

tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang

lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang ia salurkan ke dalamnya. Kedua

kawannya lalu meniru perbuatan ini, Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan

sangat gesit itu lalu mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia

putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi

besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok)

lalu mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!

Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya

bagaikan serangan badai mengamuk.

“Ha, ha, ha! Hayo kalian keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan

kumampuskan seorang demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu

mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam

jubahnya hingga tidak kelihatan. Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti

sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok tapi kalau dilihat

dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang telah kering!

Biarpun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap,

bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang terjulur itu membuat ia

seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga berbahaya sekali karena

ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa

jahatnya. Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya hingga

kalau ia mainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam

itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah, sedangkan mulut bergigi ular itu

dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang penuh

di mulut ular itu yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat

menyeretnya ke lubang kuburan!

Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih

hebat karena kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang

bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap

dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk

dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan serem, tapi yang membuat

pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin

gembira lagi.

Hampir saja ia bersorak dan bertepuk tangan, tapi tiba-tiba kakinya yang

menginjak genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan

pindah duduk di tempat yang lebih rendah. Sementara itu, gurunya yang tadi

bersembunyi di balik pintu, ketika mencoba untuk menjenguk keluar dan

menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur

dengan senjata tajam, maka segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke

belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus

kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!

Biarpun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan

silatnya yang berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang

Seribu Ular) lihai dan berbahaya, namun menghadapi tiga macam permainan senjata

dari Kang-lam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga, gerakannya

mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.

“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil

pendek menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.

“Ha, ha ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku,

ha, ha!” Biarpun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa.

Kemudian terdengarlah bunyi melengking yang aneh dari mulutnya. Suara ini

menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.

Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini

terletak di atas tanah, lalu bergoyang-goyang dan tubuhnya terangkat naik

seperti ada apa-apa di dalamnya yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika

bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, terbukalah tutup

keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali!

Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar, lidahnya yang merah dan

tajam itu menusuk-nusuk keluar dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Sepasang

matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya. Kemudian ia

keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu

terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari

dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut hingga semua isi keranjang

yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.

Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang, terkejut sekali

melihat betapa lima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung

dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit,

sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu

berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa

gerakan-gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong

Hosiang!

Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan

sekali menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang

berada di depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang

menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga

batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang

ternyata gerakannya gesit sekali itu!

Biarpun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta

keberanian luar biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima

ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang

keadaan di bawah dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang

keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan

perasaannya tak enak sekali. Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh

menggigil, ketika mendengai bunyi lengking yang aneh itu, tak dapat menahan

keinginan hatinya untuk melihat. Biarpun masih menggigil ketakutan, ia

memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya

sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya. Jantungnya terasa

berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya

kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan

roboh pingsan bagaikan sehelai kain yang dilepaskan, sedangkan di bawah tubuhnya

tiba-tiba menjadi basah!

Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas

desakan bunyi lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka.

Sedikit demi sedikit kurungan mereka makin rapat dan ketiga tosu yang bergerak

di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin

sempit. Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata

mereka, tapi lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan tiap

serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal

diam, tapi juga menyerang dengan tak kurang hebatnya!

Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan

tertolong lagi. Tapi pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih

tinggi nadanya daripada bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh!

Mendengar bunyi lengking yang lain ini kelima ular itu agaknya menjadi bingung

sekali. Gerakan mereka kacau-balau dan mereka berlima mengangkat-angkat kepala

tinggi-tinggi seakan-akan tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka

mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat mendengar

“perintah” itu lebih nyata dan jelas lagi! Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang

lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua

tangannya untuk memperkuat perintahnya dan lengking yang keluar dari mulutnya

makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan

tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya

seekor yang terkecil kena sabet oleh ranting di tangan Giok Im Cu hingga

berkelojotan!

Sebenarnya apakah yang terjadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang

dengan enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya

meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama makin tak

tertahan mendenar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosian dan

suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk

hatinya. Maka ia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang sejak tadi

telah dimasukkan di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia

meniru-niru segala macam lagu yang didengarnya. Kini mendengar nada lengking

hwesio gundul yang aneh itu, ia mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya

pula. Tapi, biarpun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat

meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang

dan lebih menyakitkan telinga daripada suara Hai Kong Hosiang!

Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, makin tinggi nada yang

ditiupnya, makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara

yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras

bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah kegembiraannya bertambah karena ia

melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu

tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan

gerakannya.

Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal

meniup nada yang tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tidak mengira bahwa karena

perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah

menolong tiga orang itu.

Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang

nakal itu ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya,

padahal tadi ia telah merasa pasti sekali bahwa tak lama lagi ketiga tosu itu

tentu akan dapat ia robohkan. Sebaliknya, tiga orang tosu itu ketika melihat

betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya telah kacau, segera menggunakan

kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan

keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.

“Hai Kong, kau makin tua makin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji,

lalu ia mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin. Ia tahu bahwa biarpun

seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang

lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sukar dilawan.

Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa disengaja telah menolong jiwa

mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.

Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Ia tak mau

mengejar, karena sungguhpun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi

kalau dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya

ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu. Ia marah sekali

karena gagal membunuh tiga orang musuh lamanya bahkan seekor ularnya masih

berkelojotan kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung

ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.

Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya.

Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam

menyambar, Cin Hai sama sekali tidak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu

suling yang terpegang di tangannya dan sedang ditiup itu telah terbang bagaikan

direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah,

kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang

menuju arah kepala Cin Hai! Hai Kong Hosiang dengan muka merah karena gemas

telah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul seperti kepalanya

sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan

menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan

kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja mencong arahnya dan sebaliknya

menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!

Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran

menegur.

“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?” Dan

tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua berpakaian penuh

tambalan. Kakek ini tubuhnya sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku,

bajunya tambal-tambalan, kesemuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga

agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu

keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!

Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa

banyak cakap lagi ia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka

ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi

secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.

“Setan alas benar-benar! Tak seperti hari ini sialnya diriku. Gagal

membasmi Kang-lam Sam-lojin, bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya ia

tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya

aku melelahkan diri?”

Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu

berlaku murah padanya karena pada saat itu juga ia merasa betapa keranjang yang

dipanggulnya menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah

ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya.

Apa yang dilihatnya? Kelima ularnya telah mati semua dan di kepala kelima ular

itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah. Ia tahu bahwa ini adalah akibat

dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam

(jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.

Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang telah dipelihara dan

dididik bertahun-tahun sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua

tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio

gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu

melampiaskan rasa mendongkol dan marahnya.

Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia

berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”

Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang

berdiri di belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek

tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”

Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali

suara ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus.

“Eh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si

tua renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”

Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah

mendengar di luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari

keluar dan memanggil-manggil.

“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”

Tapi Cin Hai tak mempedulikannya bahkan lalu bertanya kepada kakek yang

menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”

“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.

“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.

“Cin Hai... Cin Hai...” terdengar gurunya memanggil lagi.

“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang

lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.

“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat ia menyelinap

lagi ke belakang daun pintu. Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek

jembel itu,

“Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat padaku.”

Bu Pun Su tertawa dan berkata,

“Kalau kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”

“Boleh, boleh, mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh

menghafal ujar-ujar yang sulit, dan membingungkan.”

“Lebih dari itu, anak bodoh. Kau harus tunduk dan taat padaku serta menurut

segala perintahku.”

Tiba-tiba Cin Hai merengut. “Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon

guruku juga! Lama-lama aku bisa percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”

“Ha, ha, memang kau bodoh. Bagaimana kau mau mentaati segala perintahku?”

“Tentu, tentu saja. Ada ujar-ujar yang berkata bahwa apapun juga kata guru,

murid harus taat dan menurut.”

“Nah, kalau begitu, kau loncatlah ke bawah!”

“Lo... lo... loncat ke bawah?” Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan

matanya yang bundar terbelalak. “Tapi, tapi... begini tinggi...”

Mata kakek jembel yang lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri.

“Ingat, apapun juga kata guru, murid harus...”

“Iya, dah! Aku loncat!!” kata Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan

mengayun tubuh ke bawah! Tapi ia tidak terbanting dan kakinya tidak patah-patah

sebagaimana yang ia khawatirkan, karena pada saat ia terjun, sebuah tangan yang

kuat telah memegang leher bajunya dan membawanya turun dengan ringan.

“Bagus, kau harus turuti segala perintahku. Kau pulanglah dengan gurumu itu

dan setahun kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!” Cin Hai

yang kini maklum akan kelihaian kakek jembel ini, mengangguk-anggukkan kepalanya

yang gundul! Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak

itu!

Cin Hai lalu mencari gurunya di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai

menjumbul karena kaget ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil

berteriak keras, “Sianseng!”

Melihat anak kecil itu, ia mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia

hendak menjiwir telinga Cin Hai, tapi anak itu mengangkat kedua lengan ke atas

melindungi telinganya sambil berkata,

“Sianseng, jangan kau berbuat sesuatu kepada lain orang apa yang kau

sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu

menjadi makin marah dan hendak menjatuhkan tamparan kepadanya, ia buru-buru

berkata lagi, “Sianseng, bukankah kau tadi mengajarkan

Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Mengapa Sianseng selalu memukul hakseng tanpa ingat

perikemanusiaan?”

Dihujani ujar-ujar yang sering ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru

menjadi bohwat (habis daya) dan tangan yang sudah diangkat naik itu diturunkan

kembali.

“Hayo kita lekas pulang, takut kalau siluman-siluman itu datang lagi” ia

lalu memegang lengan muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke

kota yang tak berapa jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu.

Anak kecil yang bernama Cin Hai itu adalah seorang anak yatim piatu.

Semenjak berusia empat tahun, ia telah ditinggal mati kedua orang tuanya dan ia

lalu dipelihara oleh ie-ienya (bibi adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari

Kwee In Liang, seorang pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di

Tiang- an. Karena ketika ditinggal mati kedua orang tuanya ia masih kecil

sekali, maka Cin Hai tak dapat ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan

tidak tahu pula bagaimana matinya.

Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) telah ditinggal mati oleh isterinya yang

pertama hingga ia kawin lagi dengan ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama

ia mempunyai enam orang anak, lima orang laki-laki dan seorang anak perempuan.

Anak laki-laki yang sulung berusia sepuluh tahun dan tiap tahun tambah seorang

anak hingga anak perempuan yang bungsu itu kini telah berusia lima tahun!

Mungkin karena setiap tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri

Kwee-ciangkun menjadi lemah dan jatuh sakit sampai matinya.

Kwee-ciangkun sangat memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata

bersifat manja dan nakal. Tapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang

anak-anak itu ditinggal mati ibunya ketika usia mereka masih belum dewasa.

Ketika itu Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee,

dan ia memang telah bekerja di situ semenjak masih kanak-kanak hingga dewasa.

Boleh dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun ketika kecilnya diasuh oleh gadis

ini sehingga mereka menjadi suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka, setelah ibu

anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang

manis dari gadis itu, Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.

Memang boleh dipuji tindakan panglima yang masih muda ini, karena

pilihannya memang tepat dan bijaksana, tidak semata-mata terdorong oleh nafsu

ingin senang sendiri, tapi sebagian besar didasarkan untuk kepentingan

anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio menjadi seorang isteri panglima dan

sekaligus menjadi ibu enam orang anak, seorang ibu yang baik karena di dalam

hatinya memang ia mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak yang semenjak

kecil diasuhnya itu.

Cuma sayangnya, anak-anak itu telah terlampau manja dan karena mereka pun

tahu bahwa ibunya yang sekarang ini bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu

berbeda dan kadang-kadang terasa sesuatu ganjalan yang tak menyenangkan. Apalagi

ketika Loan Nio mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin

Hai, maka sering terjadi hal-hal yang menyakiti hati Cin Hai dan Loan Nio,

sungguhpun kejadian-kejadian itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.

Kwee In Liang adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian

silat tinggi, karena ia adalah seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka

tidak heran bila ia mendidik kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping

mendidik mereka dalam ilmu surat. Ketika isterinya membawa Cin Hai ke dalam

gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun dengan tangan terbuka dan senang

hati, karena ia yang berhati baik juga merasa kasihan kepada Cin Hai. Melihat

bahwa Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya yang ke lima, maka ia lalu

sekalian menyuruh Cin Hai belajar sama-sama dengan putera-puteranya, di bawah

pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar silat, untuk tingkat permulaan

ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she Tan yang terkenal di kota itu.

Tapi ternyata bahwa Cin Hai menjadi korban dari segala ejekan dan

kebencian. Anak ini kepalanya sengaja digundul plontos karena dulu sering

mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula, mukanya yang membayangkan kebodohan

mungkin karena bingung dan banyak menangis ketika ditinggal mati oleh kedua

orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan semua orang. Kalau sedang belajar

bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, jika ia tidak menghafal dan tak

dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh bahkan si guru tak

segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul itu. Tapi kalau ia rajin

menghafal hingga pengertiannya melebihi kelima anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu

dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang di luar tahunya

orang-orang tua, ia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh kelima anak

laki-laki Kwee-ciangkun itu.

Juga guru silat she Tan yang mengajar mereka agaknya sengaja menghina Cin

Hai. Entah mengapa, mungkin karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari

dusun, atau karena hendak menyenangkan hati tuan-tuan muda yakni putera-putera

Kwee-ciangkun, atau memang ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin

Hai, tapi nyatanya ia tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai bahkan

seringkali ia menyuruh Cin Hai menghadapi Kwee Tiong putera tertua yang telah

berusia sepuluh tahun itu untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat

gebukan-gebukan dalam latihan itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga

dan kalah kepandaian!

Baiknya, sikap yang tahu diri dan agung dari Loan Nio yang telah menjadi

“nai-nai” (nyonya) itu membuat semua orang tak berani menghina Cin Hai secara

berterang di muka nyonya muda itu. Dan Loan Nio menjadi tempat Cin Hai

menumpahkan segala kesedihannya. Kalau ia sedang digoda atau dipukul, tak

sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari kedua matanya yang bundar, tapi

kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala yang gundul rebah di pangkuan

nyonya muda itu, barulah air mata membanjir keluar. Betapapun juga, tak pernah

satu kalipun ia mengadu kepada bibinya mengapa ia menangis, mengapa kepalanya

benjol-benjol dan mukanya biru-biru. Bibinya hanya menganggap bahwa lazim bagi

seorang anak laki-laki untuk kadang-kadang berkelahi sampai kepalanya benjol!

Dan ia mengira bahwa kesedihan anak itu karena teringat akan orang tuanya, maka

ia tak pernah bertanya karena tak mau menambah kesedihan anak itu.

Akan tetapi, tidak semua orang berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang

pelayan yang merasa kasihan melihat nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan

kepada Loan Nio tentang perlakuan guru itu kepada Cin Hai. Biarpun hatinya

sangat panas, tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak

menimbulkan ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar

silat lagi dan sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar

Cin Hai. Cita-citanya hanya agar supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai

yang dapat menempuh ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia sengaja menyewa

sebuah kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat itu

untuk tempat Cin Hai belajar.

Nyonya muda yang bijak mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu

bahwa Cin Hai memang tak begitu rajin belajar dan guru kurus kering ini pun

berlaku sewenang-wenang dan main ketok kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang

gundul plontos itu memang mempunyai daya penarik kepada orang untuk mengulurkan

tangan dan mengetoknya!

Kelima putera Kwee-ciangkun semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung

bernama Kwee Tiong, ke dua Kwee Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke

lima Kwee An. Sedangkan anak ke enam yang perempuan adalah seorang anak mungil

dan manis, bermuka bundar dengan mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin

dan biasa disebut Lin Lin. Karena hanya mempunyai seorang saja anak perempuan,

tak heran bila Kwee-ciangkun sangat cinta kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar

tahu orang lain, setelah Lin Lin berusia lima tahun, ia mulai menurunkan

kepandaian silat yang tinggi kepada anak perempuannya ini! Biarpun orang luar

tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak dapat

menyimpan rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya

merasa iri hati, tapi mereka tak berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa

sayangnya ayah mereka kepada anak yang bungsu lagi perempuan ini.

Guru Cin Hai yang kurus kering itu adalah seorang she Kui. Setelah

mengalami peristiwa aneh yang menyeramkan di luar kuil tempat ia mengajar itu,

ia lari ke gedung Kwee-ciangkun sambil menarik tangan muridnya bagaikan dikejar

setan. Ia tak mempedulikan celananya yang telah menjadi basah karena tak tahan

lagi saking kagetnya ketika melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat

ular-ular yang mengerikan itu.

Ketika memasuki pekarangan gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee

Tiong.

“Eh, Kui-sianseng, mengapa kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya

anak itu.

“Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)... celaka... ada... ada... siluman...”

jawab kakek kurus kering itu gagap.

Kwee Tiong terbelalak memandang. “Apa katamu? Siluman?”

Cin Hai memotong, “Ya, siluman menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...”

ia lalu menggunakan kedua tangan untuk menarik mata dan mulutnya sambil

mengeluarkan suara “hii... hii... hi...”

Kwee Tiong menggerakkan hidungnya ke atas mengejek, “Ah, betapapun

buruknya, kukira siluman itu tidak lebih buruk daripada mukamu!”

Cin Hai hanya tertawa ha-ha-hi-hi dan ia menurut saja ketika gurunya terus

menarik tangannya dibawa ke dalam gedung menghadap bibinya.

Tentu saja nona muda itu terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak

seperti biasanya, apalagi melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya

gemetar.

“Eh, Kui-sianseng, mengapa masih begini, siang sudah pulang? Apakah yang

terjadi? Cin Hai, apakah kau berlaku nakal tadi?” Cin Hai tersenyum kepada

bibinya dan menggelengkan kepala.

“Maaf... saya... saya tidak sanggup mengajar di kuil itu... ada...

siluman...” Kui-sianseng itu masih saja gugup, bingung dan takut.

“Sabarlah, Kui-sianseng, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”

Dengan suara terputus-putus, sasterawan tua kurus kering itu lalu

menceritakan segala peristiwa yang dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu

yang timbul dari khayalan pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin

Hai tertawa geli.

Akhirnya tanpa dapat ditahan lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan

filsafat semua nabi tapi yang satu pun tak pernah terbukti dalam segala

perbuatannya itu lalu berpamit dan minta berhenti, kemudian pergi dari situ.

Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin Hai bersorak karena girang hati

bahwa akhirnya ia terlepas jua dari siksaan dan godaan guru she Kui yang memaksa

ia “makan” segala ujar-ujar di dalam buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!

Nyonya muda itu menghela napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk?

Agaknya tidak ada seorang guru yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau

akan menjadi apakah kelak? Biarlah, mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu

membaca dan menulis, tapi pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak.

Apakah terpaksa aku harus memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”

Cin Hai menggunakan tangan kiri untuk menutup mulutnya agar tidak tertawa

geli. Ia belajar menyulam? Tapi ia menjawab,

“Ie-ie, kalau memang kauanggap perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan

menyulam.”

Bibinya melerok. “Anak tolol, masak anak lelaki belajar menyulam?”

“Ie-ie, mengapa semua orang menyebutku bodoh dan tolol, bahkan ie-ie

sendiri juga menyebutku tolol? Apakah benar-benar aku tolol? Ah... tentu saja

aku bodoh dan tolol, kalau tidak masak semua guru membenciku.” Bibinya menjadi

terharu dan menariknya dekat-dekat.

“Tidak, Cin Hai, kau tidak bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.”

Nyonya muda yang murah hati itu mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul

plontos.

“Itulah sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat

dan meniup suling.”

“Anak tolol...”

Cin Hai mengangkat telunjuk ke atas.

“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”

“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus

belajar ilmu surat agar kelak menjadi seorang pandai yang memegang jabatan

penting dan menjadi seorang pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku

kelak bila kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di

sini suara nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia

terisak.

Cin Hai memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku

akan belajar ilmu membaca dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku

teringat bahwa sulingku telah lenyap dan aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan

sebelah utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat

dibuat suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”

“Baru saja datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thiomu sewaktu-waktu

bertanya tentang kau?”

“Kalau le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beritahukan saja, ie-ie, dan

lagi, untuk apa le-thio menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”

“Kau suka benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ienya.

“Ie-ie, suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak

menyatakan segala perasaan hatiku, aku nyatakan kepada seorang kawan baikku,

sedangkan aku tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi

selain suling bambu yang dapat kutiup-tiup sesuka hatiku...”

Nyonya muda itu menghela napas dan menggunakan saputangan untuk menahan air

matanya. “Pergilah, Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.

Cin Hai dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.

“Engko Hai. Kau mau ke mana?” tiba-tiba terdengar suara halus menegur dari

sebelah kiri dan seorang anak perempuan muncul dengan rambutnya yang di kuncir

bergantungan di kanan-kiri lehernya.

“Eh, Lin Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, setelah bertemu dengan para

siluman dan setan itu, aku menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”

Anak perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tapi matanya yang

lebar terbelalak, tanda bahwa ia tertarik sekali.

“Apa? Kau tadi melihat siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu

sekali.

“Ah, nanti saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”

“Engko Hai, kau mau ke manakah?”

“Mau ke hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”

“Aneh benar, itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari

jauh-jauh?”

“Ah, kau tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”

“Engko Hai, aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”

“Jangan!”

“Aku mau! Aku tidak minta kaugendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak

perempuan itu berkeras hingga dengan muka “apa boleh buat”, Cin Hai lalu

bertindak keluar, diikuti oleh Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan

topi kakeknya dan memakainya hingga dari belakang dan dari jauh ia kelihatan

seperti seorang laki-laki. Memang anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan

bebas hingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.

Kedua anak itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat

menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu mengarah ke utara, menuju ke luar kota di

mana terdapat sebuah hutan besar juga. Di sepanjang jalan Cin Hai bercerita

tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan betapa dengan suara

sulingnya ia mengusir semua ular siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya dan

menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan

matanya yang bagus itu setengah percaya dan kagum!

Memang di antara anak-ahak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci kepada Cin

Hai hanya Lin Lin seorang. Ini bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena

kalau mereka berdua dekat, sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau

sendiri, tapi tidak sampai saling pukul atau saling membenci. Lin Lin memang

sejak kecil telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta mempunyai

perangai yang halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu

silat hingga pada saat itu biarpun usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah

mempelajari dasar-dasar ilmu silat.

“Engko Hai, itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke

sana!”

Cin Hai memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga,

“Boleh, hayo kita mulai. Satu… dua... ti...ga!” Dan larilah ia secepatnya untuk

mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin jauh-jauh agar ia dapat sampai

di hutan lebih dulu dan menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!

Tidak tahunya ketika ia menengok, ternyata Lin Lin telah lari di

sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat

ia heran adalah kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar

dan tinggi! Kini Lin Lin telah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok

sambil tersenyum manis tapi yang menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya

senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan gigi dan mempercepat larinya hingga

benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan mereka lari berendeng.

Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu bukanlah

dekat, tidak kurang dari setengah li jauhnya hingga ketika mereka tiba di hutan

dengan berbareng Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia

terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya

mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja! Ini tidak

mengherankan, karena anak perempuan itu sejak kecil telah dilatih oleh

Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya

sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya

tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tidak pernah diberi latihan

dasar pelajaran silat.

Biarpun merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai

terhindar dari rasa malu karena mereka tiba di hutan berbareng.

“Tidak kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya

pulih kembali.

Lin Lin tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.

“Di mana tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil

memandang ke sekelilingnya takut-takut karena di hutan itu memang besar dan agak

gelap karena matahari telah mulai turun.

“Di sebelah kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.

Betul saja, tidak jauh dari situ terdapat rumpun bambu kuning gading yang

bagus dan kecil-kecil serta lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat

bahwa ia tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus

mengambil itu? Sementara itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan

makin gelap hingga mereka menjadi cemas dan menyangka bahwa senja telah tiba.

Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan memegang batang bambu yang

diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.

Tapi sia-sia saja, karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula.

Jangankan tenaga seorang kanak-kanak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa

sekalipun belum tentu akan dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya.

Betapapun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba

dan mencoba lagi sampai akhirnya ia berteriak kesakitan karena tangannya penuh

bulu bambu yang gatal!

“Biarkan aku mencobanya,” kata Lin Lin. Ia ingat ketika ayahnya pernah

memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang dan ayahnya

pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon hingga

pohon itu jebol berikut akar-akarnya.

Karena tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin

mencoba. Ia menyangka bahwa anak perempuan itu tentu akar mencoba untuk mencabut

seperti yang dilakukannya tadi, maka ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin

Lin, banyak bulu-bulu gatal!”

Tapi alangkah herannya ketika Lit Lin tidak mencabut, tapi memasang

kuda-kuda, lalu dengan berseru, “Haih!” anak itu menggunakan kaki kanan menyapu

sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua helai daunnya rontok, tapi

batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak

itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.

Tiba-tiba terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”

Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui,

di belakang mereka telah berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah

buruk sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan

pipinya telah kisut berkerut-kerut dan mata sebelah kanan buta. Tokouw itu

pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan di tangan kanannya terdapat

sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di

punggungnya tampak gagang sebilah pedang.

Lin Lin dan Cin Hai terkejut melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan

Lin Lin merasa agak takut.

“Bagus, anak yang manis. Siapakah yang mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan

Menyapu Ribuan Tiang itu tadi?”

Biarpun agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”

“Bagus! Sekarang kaulihat ini!” Tokouw itu menggerakkan hudtim yang

dipegangnya hingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa lembar itu, yaitu bulu

yang terpanjang membelit beberapa batang bambu.

“Naik!” Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang

lebih lima belas batang bambu itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut

akar-akarnya. Tokouw itu mengerakkan hudtimnya lagi dan rumpun bambu itu

bagaikan dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali terlempar beberapa tombak

jauhnya lalu roboh ke arah lain hingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!

Lin Lin melongo, dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tak dapat ditahan

lagi bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Bagus!” Ia tidak saja girang

menyaksikan kehebatan tenaga ini, tapi juga girang karena bambu yang dikehendaki

telah berada di situ, tinggal ambil saja!

“Nah, anak baik, sekarang kauturutlah padaku dan menjadi muridku!”

“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur

ketakutan.

Tokouw itu mengedikkan kepalanya dan mukanya yang buruk itu makin tampak

mengerikan.

“Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan memohon-mohon di

depanku untuk minta menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu saja!”

Lin Lin sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa

rambut tokouw itu dikuncir panjang dan membelit-belit di lehernya bagaikan

seekor ular yang menambah keburukan rupanya, anak itu melangkah mundur dan

berkata lagi.

“Tidak, aku tidak mau...!”

Tapi tokouw itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi.

“Kau berjodoh dengan aku, betapapun juga kau harus menjadi muridku!” dan ia

bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.

Tapi pada saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih,

tidak tahu malu, orang tidak sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”

Tokouw itu menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam,

tapi mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga tapi tak berjodoh

dengan aku.”

Lin Lin yang merasa ketakutan hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan

ketika tokouw itu mendekat dan mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang

kecil lalu memukul tangan itu. Biarpun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia

telah terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik.

Tokouw buruk rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik...

kau mau main-main? Boleh coba kau serang terus padaku agar kuketahui sampai di

mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari

pukulan-pukulan Lin Lin.

Tiba-tiba Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau menggangu orang saja,

apakah itu baik?” Ia lalu menyerang, tapi karena Cin Hai belum pernah belajar

silat dengan baik, pukulannya ngawur dan sekenanya saja! Melihat kenekatan Cin

Hai, tokouw itu lalu menangkap tangan anak itu, tapi tiba-tiba tokouw itu

meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu

telah menggunakan giginya menggigit tangan itu! Dengan gerakan perlahan tokouw

itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulang-tulang

punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya

tokouw itu hanya ingin melampiaskan kemendongkolan hatinya saja dan tidak

membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit di luar saja. Tapi

dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil maju

terpincang-pincang ia menyerang lagi!

Untuk kedua kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel

pundaknya oleh jari telunjuk tokouw itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang

sejak tadi dan selalu memukul dan menendang angin, telah mulai lelah dan

berpeluh.

Kebetulan sekali pada saat itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan)

lewat di situ, hendak kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalan. Ia kaget

dan heran sekali melihat betapa Lin Lin menyerang seorang tokouw yang bermuka

seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.

“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera

menghadapinya. “Kau seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”

Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak

membawa anak perempuan ini untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.

Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”

“Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal

kepada pinni? Sungguh aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”

Tan-kawsu makin terkejut karena ia teringat akan seorang pertapa wanita

yang disebut Biauw Suthai dan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan,

“ah, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”

“Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu

senang.

Tan-kauwsu tak berani berkata kasar lagi dan setelah menjura, ia berkata,

“Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte

adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja

saya tidak merasa keberatan bila Siankouw sudi memungut ia sebagai murid, akan

tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya

persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”

“Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Kalau

kita menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak

rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan rundingan dengan segala ciangkun?

Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”

“Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”

“Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”

“Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”

TOKOUW yang buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh

ejekan. Melihat sikap pendeta perempuan itu Tan-kauwsu lalu mencabut pedangnya.

Suara ketawa Biauw Suthai makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan

Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru

silat itu! Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi,

maka ia tidak berani berlaku sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat

membalas serangan, ternyata ujung kebutan tokauw itu telah menyambar kembali dan

telah mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu

mengarah jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.

Tan-kauwsu lalu menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, tapi

tiba-tiba hudtim itu bagaikan bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan

sekali tokouw itu menggerakkan tangannya, pedangnya telah terampas tanpa ia

dapat bertahan pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim telah

menyambar pundaknya. Tan-kauwsu merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan karena

urat darahnya tersentuh hingga tidak ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak

bertenaga.

Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu telah lenyap, begitupun

Lin Lin telah hilang pula! Biarpun merasa benci kepada tokouw berwajah buruk

itu, tapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja guru silat Tan Hok itu

jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas sekali. Ia memang

sangat benci kepada guru silat ini yang tak pernah mengajar silat kepadanya,

sebaliknya seringkali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia

sering dipukul matang biru. Maka untuk menyatakan kepuasan hatinya, ia

tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.

“Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”

Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa makin gemas dan mendongkol

sekali. Segala perasaan ini dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi

kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.

“Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kauajak Nona Lin

Lin? Tahukah kau bahwa kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali?

Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu

pasti akan diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”

“Bukan aku yang membawa Lin Lin, tapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut.

Aku hendak mencari bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah

itu?”

“Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”

“Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tapi engkau adalah guru

silat yang katanya memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau biarkan saja Lin Lin

diculik olehnya? Mengapa baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”

Baru saja bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang

gundul itu ditempeleng hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa

berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan

tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya,

sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.

Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan

segala rasa sakit di tubuhnya. Ia cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak

sedangkan sepasang matanya memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jerih.

“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” kata Tan

Hok uring-uringan.

“Tan-suhu memang beraninya hanya kepada anak kecil yang tak berdaya.

Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kauperlihatkan ketika menghadapi Biauw

Suthai tadi, hingga Lin Lin tidak sampai terculik.”

“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu melangkah maju dengan

sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.

“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati, sayang Bibiku tak melihat

kelakuanmu ini.”

Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi

kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas

untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil

membentak,

“Hayo pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin

Lin dengan mati-matian. Harus kau terangkan duduknya perkara yang sebenarnya di

hadapan Kwee-ciangkun!”

Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok

menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari

cepat!

Alangkah kaget dan marahnya Kwee In Liang mendengar laporan Tan Hok.

Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,

“Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tetapi

ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas

dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin

telah dibawa pergi cepat sekali.”

Karena marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di depannya sambil

membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kauajak Lin Lin ke hutan tanpa

memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”

Cin Hai merasa hatinya tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali

terhadapnya, tak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu

atau mengajaknya bicara. Sekarang ie-thionya membentak dan memakinya, sungguh

menyakitkan hati.

“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang.

Biarlah aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat...” Hampir saja Cin Hai

mengeluarkan air mata karena kepiluan hatinya. Ia meraba-raba kepala gundulnya

yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.

Melihat betapa kepala anak itu merah dan bibirnya pecah-pecah, berkuranglah

kemarahan Kwee In Liang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”

Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu

mengadu, cepat berkata,

“Kalau tidak hamba lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan

mendapat celaka pula.”

Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.

“Ya, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang

lihai ini telah terampas pedangnya dan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung

kebutan tokouw siluman itu!”

“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.

“Memang dia lihai sekali, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku

dengan muka merah karena malu dan kebenciannya terhadap Cin Hai bertambah.

Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin, yang

diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlari keluar dan sambil

menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta

sekali kepada Lin Lin dan menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita

ini benar-benar menghancurkan hatinya.

“Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak

Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, engkau tidak menyatakan

hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.

“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan

mengajak Lin Lin, tapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan

bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa hendak mencari bambu kuning di hutan

dan ia memaksa hendak ikut.”

Sementara itu, Tan Hok melihat bahwa nyonya muda itu keluar, segera

mengundurkan diri. Kwee In Liang lalu memerintahkan para pengawalnya untuk

mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam

hutan.

Biarpun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak menceritakan tentang

perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tidak suka

mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada

sendiri saja. Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud : Balaslah kebaikan

dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang

adil kalau ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan halnya kepada

ie-ie atau ie-thionya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati,

maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu

kelak akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu. Hatinya

telah merupakan buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan

buruk yang dijatuhkan orang kepadanya dan yang ia anggap sudah menjadi

kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat

maupun yang baik.

Ketika Ie-thionya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya

itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya menangisi nasib

Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di

kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu menghilangi bulu-bulu bambu dan

mencabut daun dan cabang-cabangnya.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu. “Nah, itu dia Si

Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata. Yang masuk adalah lima orang

anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajah nya dan

indah-indah pakaiannya. Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke

dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke

empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee An berusia enam

tahun. Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul,

karena selain Kwee An mempunyai perangai yang baik dan halus, juga mereka ini

sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul

atau memaki Cin Hai.

Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya

ikut Cin Hai ke hutan, marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih kehilangan

adiknya, juga marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang

diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya! Kwee Tiong

lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai

di situ dengan tali tadi.

Cin Hai tak dapat melawan karena ia sudah lelah sekali bahkan tubuhnya

masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan

Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, ia sama

sekali tidak melawan, walaupun andaikata ia melawan juga takkan berguna.

“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara lenyapnya Lin Lin!”

Kwee Tiong membentak.

“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandangan Kwee Tiong

dengan berani.

“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang

gundul itu.

“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.

Kelima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng

kepala Cin Hai yang gundut, tetapi biarpun merasa kesakitan dan kepalanya

pening, anak ini tetap berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”

Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya makin

parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.

“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala

hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita ikat Cin Hai dan memukulinya

tanpa ia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani

seperti yang dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini

tentu kita mendapat marah.”

“Eh, pengecut, apakah kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah

kepada adiknya.

“Bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru

mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini telah

banyak mempunyai kegagahan dari pada kamu berempat yang terhadap seorang anak

lebih kecil saja melakukan pengeroyokan secara pengecut.”

“Plok!!” tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir

yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya

terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.

“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah

secara ujur. Lepaskan dia lebih dulu dan berkelahi dengan adil!” Kwee An berkata

marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan

Cin Hai.

“Baik, baik! Kaubukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata

Kwee Tiong gembira. Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tak bertenaga maka

biarpun ia sudah dilepaskan dari ikatan, tetap saja ia tak berdaya. Sebaliknya,

Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki

kepandaian silat yang sudah lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang

kepalan dan tendangan kakinya. Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi

anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong

tepat mengenai lambungnya hingga ia tersungkur lagi.

“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang

menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!” Sambil

menunggangi tubuh Cin Hai di punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada

seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu

meramkan mata dan menggunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tak

dapat memukul, tapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap. Karena kebingungan

dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi

nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya

tertelungkup itu sehingga menjadi miring.

Tangan kanannya menyerang ke depan dan mencengkeram dan seketika itu juga

terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat

mencengkeram anggauta rahasia Kwee Tiong.

Mendengar jerit ini baru Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat.

Alangkah senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul

niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggauta tubuh yang dicengkeramnya

itu agar anak jahat yang telah cukup banyak menghina dan cukup sering

menyiksanya itu mampus seketika itu juga. Tetapi, entah mengapa, di dalam

pikirannya yang sudah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang

dipelajarinya. Betapa hebatnya Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, tetapi

anak itu tidak sampai membunuhnya, kalau sekarang ia membalas dengan membunuh,

itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi

yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya hanya untuk

melampiaskan marah dan memuaskan perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba

cengkeraman tangannya mengendur.

Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia

mengeluarkan kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...” tetapi

yang agaknya tidak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin

Hai mengendur, kesempatan ini tak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera

merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.

“Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong

memaki-maki sambil gunakan kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai. Tapi

anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.

“Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat

berlutut.

“Hahh?? Mati...??” Kwee Tiong terkejut sekali dan wajahnya berubah pucat

seketika itu juga. Juga adik-adiknya yang tadi ikut memaki-maki menjadi terkejut

sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa tubuh Cin

Hai.

Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja tetapi karena banyak mengeluarkan

darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat. Pada

saat itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena

yang datang bukan lain ialah Loan Nio bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan

Nio menyangka bahwa kemenakannya itu telah mati, maka ia berteriak kaget. Dua

orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar,

sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.

“An-ji, coba kauceritakan, apakah yang telah terjadi tadi?” Loan Nio atau

Kwee-hujin itu sengaja bertanya kepada Kwee An, karena dia yang telah mengenal

perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia

percaya.

“Cin Hai telah berkelahi dengan Eng-ko Tiong,” kata Kwee An terus terang,

lalu ia menceritakan tentang sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah

sekali karena menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin

Lin.

Loan Nio menghela napas, lalu berkata dengan suara keren, “Anak-anak,

memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan

tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin

Hai sudah cukup terhukum apalagi kalau diingat bahwa dia biarpun kecil juga

telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya

dapat memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu,

sekarang kalian tambahi kepusingan orang-orang tua dengan

perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”

Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu.

Wajahnya muram dan tampak lelah sekali.

“Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.

Kwee-ciangkun menggeleng-geleng kepala dan menghela napas, nampaknya susah

sekali. Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang

ketakutan.

“Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar

dan belajar?”

Terpaksa Loan Nio yang tak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia

baru saja menegur mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak

itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang makin muram mendengar ini, lalu ia

membentak mereka supaya pergi ke kamar masing-masing. Melihat kemarahan dan

kesedihan suaminya, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya. Tetapi ayah

yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi

mukanya dan berkali-kali menghela napas.

“Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang

wanita gagah dan tokoh yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak

mempunyai maksud buruk. Barangkali dia memang benar-benar suka kepada Lin Lin

dan hanya bermaksud menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya kepada

anak kita.” Kwee hujin menghibur.

Setelah menghela napas berulang-ulang Kwee In Liang hanya menjawab

perlahan, “Mudah-mudahan begitu. Karena kalau sampai siluman wanita itu berani

mengganggu selembar rambut saja dari anakku, harus ia ganti dengan selembar

jiwanya!” Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi dan mengepal-ngepal

tinju tangannya, sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar mengancam.

Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak suaminya yang bersedih itu

masuk ke dalam gedung karena di luar telah mulai gelap. Malam itu keadaan di

gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara

anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang

mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi

tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.

Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke

langit-langit kamar dan pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa

sakit, tapi hatinya telah terhibur karena tadi bibinya datang dan menghiburnya,

serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan, bahkan dengan kedua

tangannya sendiri bibi yang baik itu membaluri seluruh tubuhnya yang

bengkak-bengkak dan matang biru dengan minyak gosok.

Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa

terharu dan diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya.

“Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.

Tangan bibinya yang menggosok-gosok puggungnya itu tiba-tiba menggigil dan

untuk sesaat berhenti menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa

kau berkali-kali tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa

kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”

“Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam

orang tuaku.”

”Aku tidak tahu, Cin Hai.”

“Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”

“Sudah berapa kali kukatakan, bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah,

jangan kau mendesak terus. Kau harus mengaso, aku akan kembali ke kamar,

ie-thiomu masih sangat bersedih.” Nyonya muda itu lalu mengelus-elus kepala

kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum melangkah ke luar

pintu, Cin Hai menegur,

“Ie-ie yang baik!” Nyonya muda itu berhenti lalu menengok dan Cin Hai

melihat betapa Ie-ienya telah mengalirkan air mata!

“Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”

“Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”

“She... Kwee...? Ah, tak mungkin... ah, mengapa kau membohongi Ie-ie yang

baik? Aku bukan she Kwee...”

Tapi Ie-ienya telah melangkah keluar dari pintu dan Cin I Hai mendengar

suara sandal bibinya itu makin menjauhi kamarnya.

Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai tak dapat

meramkan matanya. Bibinya telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa ia

she Kwee! Juga bibinya telah membohong ketika bilang bahwa ia tidak mengetahui

makam kedua orang tuanya.

Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara

tentang hal kedua orang tuanya, selalu nyonya muda itu tiba-tiba menjadi sedih

dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang

tuaku, aku harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.

Cin Hai turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya

dan mendesak keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan

sepatu agar tindakan kakinya tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau

membangunkan orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba dekat kamar bibinya

tiba-tiba ia mendengar suara bibinya terisak menangis dan suara pamannya yang

besar itu seakan-akan sedang memarahi bibinya, Cin Hai bergerak hati-hati sekali

ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia

mendekati jendela dan mengintai.

Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan sambil menutup muka dengan

selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.

“Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus

dosa itu dan semua dihukum penggal leher. Sekarang janganlah kauikut-ikutkan

anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.

“Kaukira aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku

memperbolehkan anak pemberontak itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun?

Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu telah dihukum mati berikut semua

keluarganya, dan aku sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”

“Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata

Loan Nio.

“Apa salahnya? Bukanklah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she

Sie itu yang tiada hubungan apa-apa dengan aku, biarpun andaikata adikku sendiri

yang menjadi pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang

gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang tiap

hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh

menerima hasil saja tanpa memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia

dihukum, tetapi perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan

dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong kesedihan

hatinya kehilangan Lin Lin.

Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan elahan napas Kwee In Liang,

kemudian terdengar nyonya muda itu berkata agak sabar,

“Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini,

Cin Hai yang malang... kau berlakulah murah hati sekali.”

“Istriku, betapapun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih

sayang Cin Hai daripada suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan

dia dengan orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin Lin hilang... (sampai di sini

suaranya sember dan sedih)... aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapapun

juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini

takkan pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak

baik kiranya kalau anak itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan

tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah kepada

keluarga lain...”

Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun

bagaikan hujan membasahi kedua pipinya.

Orang tuanya, semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah

hebatnya! Ayahnya yang she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah

pemberontak? Perasaannya yang terasa perih itu makin hancur mendengar betapa

bibinya sampai bertengkar dengan Ie-thionya karena dia! Pula, hatinya sakit

sekali mendengar betapa ie-thionya membencinya karena hilangnya Lin Lin dan

ie-thionya telah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!

Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan

angkuh di dalam kepalanya yang gundul. Orang tak menghendaki dia di situ, untuk

apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar

diperkenankan tinggal terus di situ. Ia harus pergi karena ia bukan keluarga

Kwee! Hanya ie-ienyalah yang menahan ia berada di tempat itu selama ini karena

ia amat mencinta ie-ienya yang berbudi baik itu.

Dengan pikiran kacau balau, Cin Hai lalu pergi dari situ dan dengan

hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat dari gedung keluarga Kwee. Ia

benci sekali kepada Kwee In Liang, karena dari mulut pamannya itu sendiri ia

mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri. Ia

memasuki kamarnya dan mengambil semua-pakaiannya lalu dibuntal, tetapi tiba-tiba

ia teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian

yang dipakai adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian

kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh

keluarga Sie. Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua

pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Ia

takkan membawa pakaian pemberian pamannya. Lalu ia teringat akan pakaiannya

sendiri, yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti

pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan

semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar. Tetapi dari mana

ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin

Hai yang gundul dan telanjang itu lalu berlari ke belakang dan memasuki kebun.

Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi

dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang

ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah

saja ia dapat memanjat dinding menggunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan

yang terdapat pada beberapa bagian dinding.

“He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa lagi?”

Itu adalah suara Tan-kauwsu! Cin Hai terkejut sekali dan ia memegang

sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak membawa bekal

apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak

ia lupakan. Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai

dengan bertelanjang bulat berada di atas dinding, ia merasa heran sekali dan

untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah gilakah anak ini?

Demikian ia berpikir, kemudian timbul maksudnya hendak menangkap dan

menyerahkannya kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan

juga bibinya merasa malu!

“Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.

Tapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Ia

meloncat di sebelah luar dan untung sekali ia jatuh ke dalam semak-semak hingga

kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet.

Ia lalu berdiri dan lari dalam malam gelap secepat mungkin. Tan Hok, guru silat

yang membenci Cin Hai itu menjadi penagaran dan marah. Sekali loncat saja ia

sudah berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak

melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki. Tiba-tiba ia mendengar

suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu

tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya

yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga

terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat turun dari tembok dan mengejar

ke arah suara itu sambil memaki,

“Anak totol, apakah kau sudah gila?”

Cin Hai makin takut dan ia berdiri lagi lalu memaksa kakinya yang terasa

sakit karena jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah

malam hingga keadaan gelap sekali. Tetapi dari suara kaki Cin Hai yang

berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan

yang sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tak mungkin dapat berlari cepat, takut

kalau-kalau ia akan menabrak pohon atau terjeblos dalam tanah berlubang.

Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini

dan ia lari sekerasnya. Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya agar dapat

menghindarkan diri dari tangan guru silat yang jahat dan yang pasti akan

membawanya kembali ke tempat yang tak disukainya itu. Oleh karena berlari dengan

nekad membuta ini, tiba-tiba ia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali

tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya

mendengarnya.

Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke

dalam tanah lumpur yang lembek berair. Setelah berpikir-pikir sejenak dapatlah

ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa digunakan

oleh para penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di

situ. Anehnya, kalau tadi ia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang

meniup-niup tubuhnya, kini setelah masuk ke dalam lumpur itu, ia merasa hangat!

Agaknya seperti ada hawa yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.

Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar

suara makian guru silat yang masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi

gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan guru silat itu pasti ia akan

menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang

gundul itu, mencari akal.

Tan Hok si guru silat merasa mendongkol sekali. Biarpun ia lari tidak

cepat, tetapi telah dua kali ia menabrak pohon hingga tabrakan yang ke dua kali

membuat hidungnya berdarah! Ia tidak menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang

itu, tetapi menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada

Cin Hai.

“Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram! Kalau kau sampai terpegang

olehku, tentu akan kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju

terus, tetapi kini dengan kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk

pada pohon lagi.

Tiba-tiba ia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia

mendengar jelas betapa napas anak itu terengah-engah dan beberapa kali

mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.

“Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana sekarang?” bentaknya dan ia

mempercepat larinya, karena ia pun mendengar suara kaki anak itu berlari makin

cepat. Ia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak

tiba-tiba ia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu jatuh

terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya ia jatuh telungkup hingga mukannya

penuh tertutup lumpur.

“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat

itu. Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri

di seberang kolam lumpur, lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan

suara napas terengah-engah. Tan kauwsu telungkup di dalam lumpur bagaikan seekor

kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan

Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir

terganti fajar hingga samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna

gelap hitam menjadi abu-abu.

Sudah tentu Tan Hok meluap rasa marahnya. Untuk beberapa lama ia tak

berdaya karena selain merasa pengap lubang hidungnya tertutup lumpur, juga ia

merasa bingung bagaimana harus membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!

Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan

bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk

membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan matanya. Biarpun mata kirinya masih

terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan ia dapat memandang ke depan.

Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia

segera lari mengejar.

Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat

berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang,

karena ia sebentar lagi pasti akan dapat memuaskan hati membalas dendam kepada

setan cilik itu! Ia memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara ia dan Cin

Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!

“Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di

tanganku!” teriak Tan Hok dengan girang sekali dan ia sudah siap mengulurkan

tangan untuk menangkap.

Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari

sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan tetap bahwa bilamana ia tertangkap,

sebelum mati ia hendak melawan dulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan

dan giginya untuk melawan. Ia ingat bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata

bahwa lebih baik mati sebagai harimau daripada mati sebagai babi!

Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas

Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang

berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk

di atas lengan seorang tua yang pendek. Cin Hai menjadi terkejut, heran dan

bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya dan

bagaimana maka ia tahu-tahu sudah melayang ke atas dan duduk di atas lengan

kanan orang tua itu yang bertubuh pendek, dan mulutnya selalu menyeringai,

memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini

bukan lain ialah seorang di antara tiga orang yang belum lama ini bertempur

melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!

Sementara itu, Tan Hok ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu

menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya, menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu

itu yang bukan lain ialah Giok Keng Cu, orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin

(Tiga Orang Tua dari Kanglam) tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan

Hok. Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian

lumpur yang telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang

juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang

sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.

Tan-kauwsu ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang

berpakaian sebagai seorang pendeta menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja

berada di situ, maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh

kemarahan,

“Totiang, kauberikan anak tolol itu kepadaku!”

Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya.

“Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”

“Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia ini... adalah bujang dari

keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas

lepaskan dia!”

“Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak

ini bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan mengapa pula kau juga agaknya mandi

lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”

Tiba-tiba Cin Hai tertawa geli. Ia menganggap tosu ini lucu dan ia merasa

senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Ia pun maklum bahwa tosu pendek

ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.

“Totiang, kau harus menonton ketika kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam

lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, ia mengejarku dari malam tadi

dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”

“Bangsat kecil!”, Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta

merampasnya dari tangan tosu itu tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja

tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok,

lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!

“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak

bodoh, coba, kau ceritakan padaku hal yang sebenarnya telah terjadi.” Diam-diam

tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran mengapa

bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan tubuhnya penuh

lumpur.

Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung

keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama gekali tidak mau menceritakan tentang

sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan bahwa ia

sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong barang

dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan

ia dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.

“Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.

“Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak

ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu.

Jangan kau mencari penyakit!” Tan Hok membentak marah.

Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya

lalu bertanya sambil tertawa, “Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh

Kauwsu ini?”

“Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu akan dibunuhnya!”

jawab Cin Hai terus terang.

“Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?”

“Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini

akan kuhajar kepalanya sampai benjut!”

“Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.

“Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!”

kata Giok Keng Cu sambil tertawa.

Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu, ia yakin bahwa tosu ini

bermaksud membantunya, maka ia mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan

kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”

“Pukullah!” kata Giok Keng Cu sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin

Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah

kepala guru silat itu. Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul, ia mengangkat

tangan kiri menangkis dan tangan kanannya memukul ke arah muka Cin Hai,

maksudnya hendak sekali pukul menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu.

Tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke

lengan kiri!

“Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau

bawa dia!” Giok Keng Cu mengejek. Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang,

tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dengan cepat menghindari

setiap serangannya, bahkan tangan anak itu balas menghantam!

Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu

Cin-jip-houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang hebat sekali

karena dilakukan dengan dua tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena

pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang

pecah! Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan

menggerakkan lengannya dengan cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa dirinya

terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan

kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi

marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di

atasnya itu, tetapi tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga

tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.

Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat melebihi angin, Cin Hai

dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali

kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu

sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena

anggauta tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan, kuat, sedangkan kepalan

tangannya lemah tak terlatih.

“Totiang, tanganku sakit.” Cin Hai berbisik.

“Anak tolol, kaupukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.

Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun

telinga Tan Hok hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol.

Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit

lagi. Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tak dapat

dilatih dan terasa sekali hingga biarpun pukulan seorang anak kecil juga

mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam

telinganya! Cin Hai merasa gembira sekali karena ia mendapat kesempatan untuk

membalas dendam. Kini ia tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram,

menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan

Hok merasa mata gelap dan kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!

Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat ketika guru silat itu menyerang lagi,

Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,

“Masih belum cukupkah?”

Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan

kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan

sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,

“Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah

Totiang dan apa hubungannya dengan anak tolol ini hingga Totiang membantunya

serta tak segan-segan memberi pukulan kepada siauwte.”

Pada saat itu, matahati telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan

kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Ketika mendengar ucapan guru silat

itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.

“Eh, kau?” tanyanya dan Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata,

“Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?” tanyanya. Giok

Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan

daun-daun pohon.

“Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau

kalau nama ini tidak kaukenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang

termuda dari Kanglam Sam-lojin. Adapun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin

(penolong) kami!”

Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa ia berhadapan dengan seorang

daripada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah

menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih

heran lagi ketika mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap

sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura

dalam-dalam sambil berkata,

“Maaf, siauwte yang tak mengenal Gunung Thai-san menghalang di depan mata

(Orang Gagah berdiri di depan mata) dan berani berlancang tangan. Biarlah

siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol... (ia menahan

makiannya) anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”

Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan lagi bertemu dengan “tuan penolong”

itu, tak mempedulikan lagi guru silat dan sekali berkelebat, ia telah lenyap

dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama. Tan

Hok menghela napas berulang-ulang dan hatinya penasaran, malu dan gemas.

Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan

Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam

tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja

berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai! Semua ini

gara-gara Cin Hai si setan kecil. Kemudian ia pergi ke gedung Kwee-ciangkun

untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin

mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tidak mau menceritakan pengalamannya

memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu agak

miring otaknya, sedangkan Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang

bulat seperti anak gila.

Kwee In Liang tidak sangat memperdulikan peristiwa ini, tetapi Loan Nio

lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa

anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, ia

menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali.

Giok Keng Cu yang lari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuhnya

karena angin besar menderu-deru di kedua telinganya hingga ia menutup matanya,

membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.

Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke

Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!”

Baru saja ucapan itu habis dikatakan dari dalam kuil rusak itu berkelebat

dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus, dan Giok Yang Cu si

tinggi besar brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil

berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka

cepat ia berkata girang.

“In-kongcu (tuan penolong muda)!”

Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada

ketiga tosu itu dengan muka bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa

menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan

kenyataan? Sebenarnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut

penolong, bagaimanakah ini?”

Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa

bergelak.

“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong

Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh

ular-ularnya yang berbahaya dan lihai. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau

penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu,

tentu sekarang sudah tidak ada lagi Kanglam Sam-lojin! Kepada Hai Kong si hwesio

itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”

Barulah Cin Hai mengerti ia disebut tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa

dan berkata.

“Sungguh aku girang sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi

sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara

melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit dan kugunakan

suling untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu dapat menolong Sam-wi,

maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku seharusnya kepada suling ini!” Ia

lalu mengangkat dan mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.

“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang

tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara

tinggi nyaring,

“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”

Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi adalah syair dari kitab

To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabi para

penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,

Berlakulah sopan jujur seperti balok, Berwataklah sunyi agung seperti

jurang dalam, Dan bersikaplah seperti air keruh!

Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari

ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan

lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, ia hanya hafal

seperti burung beo saja, dapat mengucap tanpa mengerti isi dan maksudnya.

Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa

pun takkan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biarpun singkat

jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin dalam. Oleh

karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab

ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang

dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab

To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan

atau lanjutan daripada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.

“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng!

(Siapa bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa

berlaku sabar, lambat laun memetik buahnya)”

Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin

Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sangat

tekun mempelajari ujar- ujar Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal

akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung

dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil

itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,

“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”

Setelah cukup memuji-muji Cin Hai ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya,

“Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan

pembesar she Kwee itu?”

Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin

Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya.

Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali

Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan pergi

saja!” Juga kepada ketiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan

menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi

baru-baru ini.

“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong

kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang

pandai? Bagaimana kau menjadi murid kami bertiga?”

Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali

belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang

berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai

murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali. Kedua matanya telah bersinar

dan mukanya berseri, tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada seorang

jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhunya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak

Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,

“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi

kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid

Sam-wi.”

“Eh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena

heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku dan jujur. “Apa kau anggap kami

bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”

“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang

guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”

“Siapa? Siapa suhunya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.

Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku.

Tetapi keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia

mengangkat mukanya dan berkata gagah, “Guruku itu adalah seorang jembel tua yang

tidak berkepandaian apa-apa!”

Di luar dugaannya, biarpun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu

tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke

kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.

“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh

orang tua aneh itu!”' kata Giok Im Cu menyesal.

“Jadi, Samwi Totiang sudah kenal kepada suhuku. Di mana dia sekarang?”

tanya Cin Hai dengan girang, tetapi ketiga tosu itu menggeleng-geleng kepala

menyatakan bahwa mereka pun tidak tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini

tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya

lebih jauh.

”Dan sekarang, kalau kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau ajukan

sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada

seorang di antara kami hingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk

pembalas jasamu yang telah menolong kami.”

“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa

pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan

namanya, tetapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!

Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang telah

paham akan ilmu batin, padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal

belaka dan ia selalu menggunakan ujar-ujar hafalannya itu untuk diucapkan pada

saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!

“Biarpun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, namun kami

akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,”

jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga

permintaan.

“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore

kemarin!”

Ketiga tosu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk

mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa seji

(sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa ia tidak

berpakaian ia menggunakan lengan tangan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak

setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.

“Permintaan teecu yang ke dua ialah minta diberi seperangkat pakaian karena

teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”

Sekali lagi ketiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka

berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan

menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak

ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu

kesaktian? Tetapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan,

terpaksa mereka mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang

mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu

lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian

warna putih. Ketika dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik

celana maupun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta

hwesio yang besar sekali hingga tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam

lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu. Sambil tertawa-tawa ketiga

tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian

itu dapat juga dipakai, walaupun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya

melompong terbuka hingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya! Betapapun

juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu

bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah

kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?

Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi

mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,

“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tidak keberatan teecu

mohon diperbolehkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!”

Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang dan mereka merasa puas karena

ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.

“KALAU begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada

kami!” kata Giok Keng Cu.

Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala.

Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,

“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat

lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin

mengangkat guru!”

“He?? Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.

Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan

bahwa teecu tidak ingin minta balasan dan tidak ingin apa-apa? Mengapa Sam-wi

Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat

dikabulkan, padahal tak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar

yang berkata bahwa satu kali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor

kuda pun takkan mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu

kali seorang budiman berludah, takkan ia jilat kembali?”

“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah

kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke gua kami dan

belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”

Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam

suntuk ia tidak tidur dan berlari-larian hingga ia sangat lelah dan mengantuk.

Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak ia berbantahan saja itu, membuat ia

makin lelah dan makin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke

tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega hingga tiba-tiba saja kedua

matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!

“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kaupondonglah dia dan

mari kita berangkat.”

Sambil mengomel, “Anak yang tolol!” Giok Yang Cu yang tinggi besar segera

memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu, kemudian ketiga tosu itu lalu

meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena

tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak

menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.

Karena tidur nyenyak dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan

kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Ketika

ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan

karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk

berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam

jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi.

Cepat ia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan

memandang keluar.

Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang

tinggi. Tak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai

merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat

dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang

bertempur seru!

Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai

melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat,

tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.

“Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara menyatakan

bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.

Cin Hai merasa heran akan tetapi ia tidak berani banyak ribut melihat sikap

ketiga tosu demikian tegang, maka ia lalu duduk di atas rumput dan menonton

orang yang sedang bertempur.

Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki.

Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak

dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang

memenuhi punggungnya. Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia

memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui

keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya

hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung

kepinis. Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya seperti

seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua

puluh lima tahun dari mukanya putih agak kepucat-pucatan.

Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang

hebat daripada kalau orang bertempur bersenjata tajam. Buktinya

serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu

merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Kepandaian mereka berimbang dan

tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan kedua kakinya lalu bergerak seperti

kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi

dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling

susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!

“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira

tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak

kautolong dia?”

Tetapi Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Sst! Jangan

berisik, kaulihat saja!”

Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia

tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring

dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis

mengharukan.

“Hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa

mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan

Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kausohorkan itu? Hi-hi, orang

she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!” Sambil

menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari

dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi tiap

gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!

Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari,

tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang lemas

sekali sambil mengelit serangan lawan, kini dia menggerakkan kedua tangannya ke

depan dan belakang, jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi

sebenarnya ini merupakan serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya

dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya laki-laki yang

dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.

“Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru dan benar saja,

pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biarpun

kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh!

Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil

tertawa ha-ha-hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan

perasaan. Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang

masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar

tajam, lalu mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.

“Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku

terpaksa merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada

diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua

kawannya.

Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti

kepada diri sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang

usilan.”

Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu

pergilah ia turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu

berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam dan juga berkibar-kibar

tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia seperti seekor kupu-kupu

besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.

Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?”

katanya perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.

“Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?”

Giok Yang Cu tertawa mendengar kata-kata ini. “Dasar kau tolol! Sehari

penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kauanggap dia

itu menari-nari? Ha-ha-ha!”

Giok Im Cu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu

justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan.

Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaian ini maka

dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Intan) dan namanya menggemparkan

seluruh permukaan bumi.”

“Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.

“Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya

saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur

dengannya?”

Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu ingat akan laki-laki

yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka lalu menghampiri. Laki-

laki yang rebah terlentang dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin

kuning dan kedua matanya meram. Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang

itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam yang cukup hebat,

walaupun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu

menggunakan kepandaiannya menotok dan mengurut pundak yang terluka oleh tangan

Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!

Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat

tiga orang tosu itu.

“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.

Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan

dia?”

Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh

tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona

Bermata Intan), sungguh tak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap

pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu maklum bahwa orang tak suka

menceritakan sebab pertempurannya.

“Untung bagimu ia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” ia

berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan

tempat itu.

“Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat

ia hanya seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,”

kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa seorang perempuan

seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.

“Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu dan Cin Hai segera

berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan

bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu

selalu berterus terang kepadanya.

“Perempuan yang kauanggap lemah-lembut itu, yang disebut orang-orang

kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan

seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang

berandal The Kok, membinasakan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal

dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang

seorang diri saja telah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk

dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali

saja ia tidak dapat merobohkan orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat

mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan

untuk berurusan dengan dia!”

“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kaulihat yang

seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka

jerih.

“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.

Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sutenya. “Yang dimaksudkan

oleh Sute tadi ialah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan

Piok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoinya (Adik Perempuan Seperguruan) yang

berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona

ini masih muda dan kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Sucinya

(Kakak Perempuan Seperguruannya) itu! Ang I Niocu pernah seorang diri naik ke

Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-san dan ternyata

ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”

Mendengar kelihaian-kelihaian demikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan

lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya

oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tak menginjak tanah, tetapi ia

maju cepat sekali, hingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya.

Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga tosu itu

hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke

bawah. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang

pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian

hebatnya, apalagi tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji

kepandaian orang lain, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian

orang-orang yang mereka puji itu! Maka timbullah keinginan di dalam hatinya

untuk belajar keras agar ia pun bisa memiliki kepandaian itu sehingga kelak

tiada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.

Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai tertawa geli karena di

dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu

dan aneh sekali.

“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.

“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata

orang lain.

Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan

pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Tetapi dengan keras hati dan

bersungut-sungut Cin Hai menjawab.

“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan anjing-anjing itu menggonggong, mereka

tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan

mereka!” Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan dan

ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tidak

peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling

bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan

beberapa lagu merdu!

Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.

Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai

ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu,

berbeda dengan tempat yang penuh alang-alang, rumput dan pohon-pohon tua dan

liar, terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai. Dan di

tengah-tengahnya terdapat sebuah gunung kecil kecil yang ditumbuhi pohon-pohon

liu, sedangkan bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri

terdapat mulut gua yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam

Sam-lojin. Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat guha terdapat

sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai

kecil yang airnya berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang

hitam dan halus. Burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.

Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biarpun mulut gua itu

tampak gelap, tetapi setelah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang

masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.

Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan

dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar

dari situ dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang

yang pergi, kadang-kadang berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal

seorang diri.

Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu adalah saudara-saudara

seperguruan, maka kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan yakni

cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan

khusus, yakni seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka

bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu. Giok Im Cu

yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang telah mencap tingkat

tinggi hingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam

tangannya berubah menjadi senjata ampuh, hingga karena mengandalkan tenaga

lweekangnya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulupun di waktu menghadapi

Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu. Sebaliknya daripada

suhengnya Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga

luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa

sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, ia mahir sekali memainkan

pedang yang digerakkan olehnya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja

ilmu pedangnya adalah Liong-san-kiam-hoat yang memang terkenal mempunyai

gerakan-gerakan yang cukup lihai.

Tosu ke tiga kalau dipandang begitu memang dapat menimbulkan pandangan

rendah karena tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tetapi janganlah

orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah

oleh kedua suhengnya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang

bersayap di kanan kiri sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Selain

ini, ia memiliki ginkang yang paling sempurna di antara kedua suhengnya sehingga

gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.

Biarpun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan

hebat, namun ia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki

ketekunan kepada sesuatu yang disukainya. Justeru ia suka ilmu silat dan

semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apalagi ketika ia sering menerima

pukulan dan hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi. Kini

sekaligus ia mendapat didikan dari tiga orang lihai tentu saja ia tidak mau

menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah ia menerima pelajaran

dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.

Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka

memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi

dan hendak membalasnya bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap

murid, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai

peraturan lagi! Mereka berganti-ganti memberi pelajaran silat Liong-san-kun-hoat

dengan cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus

delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam,

hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara

bertubi-tubi mana dapat mengingatnya? Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai

bukanlah ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang.

Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan

latihan-latihan keras berhari-hari. Memang ketiga tosu itu karena penolakan Cin

Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat mereka menjadi kurang

perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu

diberi kepandaian aseli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid

Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tak berhak

melarangnya, karena ia bukan anak murid Liong-san-pai.

Oleh karena tindakan ketiga tosu ini Cin Hai menjadi bingung sekali dan ia

tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja ia mempelajari beberapa jurus dan

sama sekali belum sempurna, lain tosu telah memberi pelajaran pula jurus-jurus

berikutnya! Dengan demikian, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya

benar-benar telah terlupa lagi!

Biarpun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan

ahli filsafat yang dipelajarinya dulu, ia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga

tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera

melakukan hal yang cerdik juga. Dengan diam-diam ia menggunakan kepandaiannya

menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya

itu di atas kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, ia segera mengingat

baik-baik dan malamnya ketika berada seorang diri dalam kamarnya di gua itu, ia

segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan

oleh tosu yang mengajarnya tadi!

Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat

Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan

puluh jurus oleh Cin Hai. Tetapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat,

paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum

sempurna betul. Ketiga tosu melihat ketololan anak itu, diam-diam merasa girang

karena mereka tak perlu khawatir lagi, tetapi di luar mereka memperlihatkan muka

tak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh.

Kelambatan ini sebetulnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol tetapi adalah

karena waktunya banyak ia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya

yang disimpannya baik-baik secara rahasia.

Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai

masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari

kawan-kawan untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk

menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di

dalam gua dan kalau ia keluar dari gua, yang ada hanya hutan betantara yang

penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.

Pernah terjadi ketika ia pada beberapa bulan yang latu pergi agak jauh dari

gua dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar

menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali dan kedua kakinya gemetar

dan dadanya berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku

waspada. Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada

waktu itu Cin Hai telah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Melihat

datangnya terkaman harimau otomatis kakinya bergerak dengan tipuan

Lo-wan-tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang hingga ia terhindar dari

terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi

dari situ, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!

Biarpun matanya tidak melihat, namun ternyata latihan-latihan silat yang

dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh

harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan

membalik, ketika harimau itu lewat di sampingnya, ia memukul dengan telapak

tangan terbuka ke arah lambung harimau!

Tetapi apakah arti pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja

berlatih silat kurang dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit

dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat

menubruk lagi! Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya menggunakan segala

kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tidak

menyangka bahwa biarpun baru mempelajari beberapa belas jurus dari

Liong-san-kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai

beberapa lama! Kalau ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk

saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.

Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari

Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula

akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lalu

menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya! Ilmu loncat ini adalah

pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang-hu yang

jika sudah dipelajari secara sempurna dapat digunakan untuk meloncat jauh sambil

mempergunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti

melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran di bagian loncat tinggi

saja yakni tipu gerakan Cian-tiong-seng-thian (Naga Naik ke Langit).

Demikianlah, setelah teringat akan pelajaran meloncat ini, Cin Hai

perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat

mendekati sebatang pohon yang mempunyai cabang rendah dan berada di atas

kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya,

Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia

lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan

Cian-liong-seng-thian yang sudah dipelajarinya itu! Ia berhasil dan tubuhnya

melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri

pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali ia berbuat

demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba si

harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula

ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya

segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah

Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman. Anak itu dengan geli dan

senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, meludahinya dan melemparinya

dengan cabang-cabang kering yang ia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu

mengaum-ngaum dan meraung-raung keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang

marah dan kecewa.

Untuk beberapa lamanya binatang itu mendekam di bawah pohon, menanti calon

mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas

dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki bahkan anak itu

lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu! Entah karena jengkel dan

kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri

dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi

meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.

Cin Hai tidak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu

masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari,

barulah ia berani turun dan lari pulang ke gua. Semenjak pengalamannya itu, Cin

Hai tahu akan kegunaan kepandaiannya maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak

berani lagi meninggalkan gua terlalu jauh.

Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika

merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut

gua lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain

suling. Selama berdiam di gua itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul

karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang.

Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!

Ketika ia tengah asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan

merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat

merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Ia berdiri di depan gua, tak

jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan

tubuh tak bergerak. Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu, tetapi ia tetap

saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah

seorang. wanita asing. Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling

banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya dengan

sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang manis dengan sepasang bibir

yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya merah dan bersih sekali,

juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.

Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan

ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan

ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dulu, yaitu,

Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dengan mendengar gurunya itu bersuling,

dapatlah Cin Hai meniru lagunya. Makin lama makin merdu dan merayu suara suling

Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati

dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya

dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali

dan menghentikan tiupan sulingnya.

Dara muda itu kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus

sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.”

Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.

Cin Hai merengut ketika disebut “hwesio cilik”. Ia menjawab tak senang.

“Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”

Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Ia memang

merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan

kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan seorang diri, dan anak ini pandai

bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.

“Saudara kecil, kalau kau bukan seorang hwesio mengapa kepalamu gundul dan

pakaianmu jubah hwesio?”

Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan

mencela pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan kau?

Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”

Biarpun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya

cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, bahkan memperlihatkan senyum yang

agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja ia sudah dewasa.

Tetapi senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia

menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.

“Engko cilik, kalau aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon

padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”

“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari

mana kautahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman agar

Cin Hai mengaku.

Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai

menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya

pandai menari.”

Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kautiup sulingmu dan aku

menari untukmu.”

Cin Hai girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut gua yang gelap

sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan

latar belakang gua hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis

Baju merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.

Cin Hai sambil menyuling memandang gadis itu dan ia bagaikan kena pesona.

Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan

tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan

membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!

Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya,

dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah

menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling

yang ditiup Cin Hai dan Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh

Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang

putih dengan sinar merah dari bajunya!

Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada

hentinya meniup suling, baru ia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun

menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.

“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu

memuji.

“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan

matanya yang lebar.

“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.

“Suka sekali, jauh lebih daripada sukamu kepada suara sulingku” kata Cin

Hai cepat-cepat dan sejujurnya.

Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”

Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua

itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”

Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya memandang kepalanya yang

gundul dan besar lalu ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah

memandang, ia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,

“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”

Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang

aku tolol dan bodoh, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi

harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.

Si Nona mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak

mengerti.”

“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar

itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang takkan lenyap dan

berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam gelap lagi

buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja

wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik

jelita.”

“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar

tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil

bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”

Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”

“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”

Cin Hai cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Aku bukan pendeta, dan tentang

pakaian…” ia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya

satu yang terpaksa kupakai.”

Dara Baju Merah itu tertawa geli, sepasang matanya yang seperti bintang

pagi itu berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan

pandai bersuling ini.

“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”

“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kang-lam Sam-lojin.”

“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhumu?”

Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja.

Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang

disebut Ang I Niocu…”

Nona itu meloncat dengan kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang

I Niocu?”

Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia

itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar

tosu-tosu itu bercerita.”

Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”

Cin Hai mengangguk.

“Kalau begitu, mari kita tukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku

ingin sekali belajar menyuling.”

Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih

kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu

berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari

padanya. “Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”

Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”

Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa

geli gadis itu berkata, “Mengapa? Takutkah juga kau kepada Ang I Niocu? Apakah

mukaku begitu menyeramkan?”

“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan

kepala. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”

“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.

“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.

“Kalau begitu, lekas kaukumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita

pergi.”

Cin Hai memandang kepada wajah yang halus cantik dan mata yang bening

bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,

“Barang-barangku?” Ia memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian

hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”

Pandangan mata Ang I Niocu mengandung iba. “Jadi kau tidak berbohong ketika

tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”

“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai

meniru bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia

lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.

“Kalau begitu mari kita berangkat!”

Cin Hai mengangguk.

Tetapi pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang.

Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan

Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini

bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.

Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera

memanggil dengan suara keras. Tetapi Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa lalu

melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kang-lam Sam-lojin merasa

penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan

biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.

“Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok

dan tinggi besar dengan suara mengguntur.

“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”

“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” tanya Giok Keng Cu si

pendek dengan heran.

“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana

saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?” Ang I Niocu hanya tersenyum

manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I

Niocu dengan penuh perhatian. Tiba-tiba ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu

lalu berkata dengan hati-hati.

“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami

berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”

“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang tajam. Aku betul

Ang I Niocu.”

Kalau dilihat sungguh mengherankan, karena tiga tokoh kang-ouw yang telah

berusia lanjut ini begitu mendengar nama Ang I Niocu lalu nyata sekali tampak

terkejut dan mereka dari jauh mengangkat tangan memberi hormat.

“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak

tahu keperluan apakah yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang

sunyi ini?”

Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika

sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Ia lalu bersyair

sambil memandang ke langit.

Berkawan sebatang pedang, Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud,

tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati. Kau masih bertanya maksud

keperluan? Tanyalah kepada burung di puncak pohon, Terbang ke sini berkehendak

apa?

“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus

sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”

Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu

menjawab kepada tiga tosu itu,

“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat

saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk

saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”

Kang-lam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena betapapun

juga, mereka telah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh

diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat

mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih

ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan. Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit

yang memang agak berwatak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah

seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut

lalu memandang rendah sekali.

“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia

kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya

hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu aturan kang-ouw!

Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat

kurang ajar?”

Sungguhpun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan

belas tahun saja, tetapi sebenarnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama

lima tahun lebih namanya telah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain

kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang berani

dan dapat menyimpan perasaannya. Kini mendengar betapa orang memandang rendah

kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena biarpun Giok Keng Cu memandang

rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa ia masih sangat muda merupakan

pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tak ingin disebut muda dan

ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.

Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,

“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kauanggap aku tidak memandang

kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”

“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa kau tanpa minta ijin hendak

menculiknya begitu saja? Bukankah itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok

Ken Cu dengan marah.

Sebelum Ang I Niocu menjawab, Ci Hai mendahuluinya dengan suaranya yang

nyaring.

“Eh, eh, sejak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang

ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada

Niocu!”

Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya menyangka bahwa Cin Hai yang tadi

membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian

rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini

benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang

muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa

lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.

Melihat keadaan sutenya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar

berkata keras,

“Ang I Niocu! Betapapun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja.

Biarpun dia bukan murid kami, tetapi dia telah ikut kami dan tidak boleh diambil

oleh orang lain tanpa ijin kami!”

Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena ia hendak menghilangkan rasa malu

yang diderita oleh sutenya, apa lagi memang ia tidak puas melihat sikap Ang I

Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!

“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu

yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku

dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”

Kini Giok Im Cu yang menjawab setelah mengeluarkan suara melalui lubang

hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.

“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia

kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Kalau kau

berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga menerima dulu

petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau

mengajak pibu (mengadu kepandaian).

“Begini lebih bagus, tak membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I

Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika ia mencabut pedang

dari pinggangnya.

Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu

memungut sebatang ranting kayu bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan

Giok Keng Cu meloloskan goloknya. Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang

memang paling doyan melihat pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar.

Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,

“He, Sam-wi Totiang, apakah kalian bertiga hendak maju bersama dan

mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”

Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka maju

bertiga sekaligus agar gembira kau menonton!”

Sebetulnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja,

mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor

kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini

mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan

tetapi setelah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena

jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, hingga

mereka tak perlu sungkan-sungkan lagi!

Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,

“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah

kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok

seorang muda?”

“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku seji-seji (sungkan)

segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.

Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan

serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya

bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.

Melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini, ketiga orang tosu

itu terkejut sekali. Mereka lalu memainkan senjata mereka dengan hati-hati

sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka

sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, merupakan kepungan segi tiga yang

sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu

berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kang-lam Sam-lojin yang dapat maju

bersama dengan secara kompak sekali.

Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan

bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali

gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang

mengeroyoknya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan

tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian

rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat

tertangkis.

Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan

yang tidak kalah hebatnya!

Cin Hai Yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking

kagumnya. Ia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka

tak tampak lagi merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran

cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu

bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya

gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa

Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas

dan sedap dipandang.

Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada

keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan halus dan

tampaknya lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan,

kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga

dan kecepatan.

Tiap kali serangan lawan yang datang dengan gerakan cepat sekali, cukup ia

sentuh sedikit dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyeleweng

arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya

dapat dipentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balisan! Juga ia

melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi hingga tiap

kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa

tangan mereka tergetar!

Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Karena

asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor

lalat beterbangan menyambari mukanya.

Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan

bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki

kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul

yang memelihara ular itu.

Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan

Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa

melepaskan ular-ularnya.

Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih

sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan

menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin

Hai yang ternganga! Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah

dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu.

Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua. Sayang kalau tarian

seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling.

Maka ia lalu meniup sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.

Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan

tiba-tiba gerakan pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup

sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin

cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedang lenyap terganti gundukan sinar

putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!

Tentu saja perubahan ini membuat ketiga tosu itu terkejut sekali. Hampir

saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga

serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!

“Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu

pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.

“Kau memang cukup pantas menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng

Cu dengan suara mengandung ejekan.

“Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau

tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.

Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat

gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan

berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!

Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga pendeta, lalu berkata

sambil tetap tersenyum,

“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi

gurunya.”

Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul

dan berkata cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang

terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari

aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan

siapa murid?” Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu

menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya

berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.

Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin

Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-lam Sam-lojin,

maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu

tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor

burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke

mana saja mengandalkan kaki dan hati!

Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan

hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa

bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya. Wanita muda

itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang

merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan,

Ang I Niocu lalu meminjam suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan

memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu. Sebaliknya dengan gembira Cin

Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar

biasa yang disebut Sianli-kun-hwat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi mula-mula ia

mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan

tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-kun-hwat membutuhkan

tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut. Akan tetapi dengan sabar dan

telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul

ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu

ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-kun-hwat,

biarpun masih agak kaku. Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu

Silat Liong-san-kun-hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh

jurus itu!

Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san-kun-hwat, Ang I Niocu hanya

tersenyum dan berkata,

“Jangankan baru kaupelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari

sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu

mengalahkan Sianli-kun-hwat.”

Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya

karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah

itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san-kun-hwat sampai hafal semua delapan

puluh jurus yang telah dicatatnya.

Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu

dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua

laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang

mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki. Akan

tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian

jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya,

hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun

ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati

hendak menurunkan Sianli-kun-hwat yang morupakan tarian indah dan sangat

digemari oleh Cin Hai itu. Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin

Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum

akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang

segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apalagi nyanyian To-tik-khing

sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan

sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.

Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I

Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta

pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio,

Ie-ienya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya. Akan

tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga ia maklum bahwa

rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu

hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan

bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu

sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia

ikuti.

Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang

dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar

yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut

segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya. Ia

teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu

disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki!

Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang

kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian

guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.

Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu

hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya

berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.

“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan

riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih

meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”

Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia

memandang Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung dalam sinar matanya, lalu

ia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan

menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai

bergerak menari! Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat

disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian

pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biarpun pada saat itu

ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun ia baru saja dapat

memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya

gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Maka dapat dimengerti betapa

sukarnya mempelajari Sianli-kun-hwat itu.

JUGA karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas

ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar

sehingga kalau orang kurang latihan tentu takkan sanggup menarikannya sampai

lama.

Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,

“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus

satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan.

Tetapi selebihnya, dari jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat

disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup karena

gerakan-gerakan jari itu menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka

Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa

ditungganggi Bidadari, maka semua gerakannya mengandung arti dan maksud

tertentu. Jari-jari kita dalam gerakan ini merupakan ujung-ujung sayap yang

harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini

sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud

gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa

sepuluh jari tangan kita dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam

berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”

Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut

oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat

diketahui betapa sulit dan lihainya limu Silat Sianli-kun-hwat itu, karena satu

jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!

Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada

kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan tentang tokoh-tokoh besar yang pernah

dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di

atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi

mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!

“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong

Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, biarpun

ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat

yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar

dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi

karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh kakek yang mengaku

bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu?

Dia adalah Su- siok-couwku (Kakek Paman Guru) sendiri!”

Terkejutlah Cin Hai mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah

Susiok-couwmu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini

tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat

sekali?”

Ang I Niocu mengangguk-angguk. “Memang beliau adalah Susiok-couwku, karena

mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ah, sukar

untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga

gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kang-lam

Sam-lojin, atau beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”

“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.

“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan

berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di

sebelah kuil kuno di dekat Tiang-an ternyata hal itu dapat diketahui oleh

Pemerintah Boan Yang segera berusaha merampasnya. Tetapi hal ini sudah lama

diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia kepada Pemerintah Han sehingga

mereka cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk

digunakan bilamana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak

Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu

orang-orang kang-ouw seperti Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini

pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu

dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di

Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan

Kang-lam Sam-lojin bertemu di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagaimana

yang kaulihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang hendak merampas emas,

semua takut dan lari ketika melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk

membantu para patriot mengungsikan emas itu. Secara kebetutan sekali, kau dapat

ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”

“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”

Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang

adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah mempunyai

seorang murid pun. Menurut kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali kepada

orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat

itu hanya mendatangkan malapetaka belaka! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan

lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya

paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang tiba-tiba saja ia mengangkat engkau

sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”

“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata. “He,

mengapa?” Ang I Niocu bertanya.

“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih suka belajar darimu daripada harus

belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya

aku harus berpisah darimu?”

Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang anak-anak, tetapi Ang I

Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.

“Berjanjilah, Niocu, kau takkan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.

Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku takkan

meninggalkan kau.”

Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan

sebutan “Niocu” yang biarpun artinya “nona” namun biasanya hanya dilakukan oleh

seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang

mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya “niocu” begitu

saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih

tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.

Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kang-lam Sam-lojin tentang

Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika

bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan

kepada Ang I Niocu. Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab,

“Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku, yaitu Suci

(Kakak Seperguruan), karena ia adalah murid Ayahku.” Tetapi Cin Hai juga tidak

mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan

menjadi sedih. Dari pandangan matanya yang tajam, anak yang berusia paling

banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat

membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!

Demikanlah Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang

panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun telah berlalu

semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau. Anak ini sekarang tidak gundul lagi,

rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan

tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara

rambut, karena setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi

kudis di kulit kepala.

Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.

“Kau bukan seorang hwesio, mengapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara

baju merah itu.

“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun

tidak suka menjadi hwesio kecil, tetapi apa daya, setiap kali rambutku

memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kaupelihara rambutmu

baik-baik, kaucuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

Dan benar saja, setelah mendapat rawatan Ang I Niocu yang setiap hari

menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu

tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia

memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam. Juga Ang I Niocu mencarikan

pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah

mengenakan baju biru dan memelihara rambutnya, maka Cin Hai tampak cakap dan

tampan sekati, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu

membuat mukanya selalu nampak bodoh!

Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai telah berusia dua belas tahun,

tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia seperti seorang pemuda berusia

lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu makin mesra dan di dalam

hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang

seorang ibu dan anak atau kakak beradik.

Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam

kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.

“Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki,

berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan

berpakaian seperti seorang sasterawan.

Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai

merasa heran melihat sikap nona itu. “Eh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?”

tanyanya.

“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian

sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suciku?”

“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci

memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”

Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini

mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara

mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau

tidak dikehendaki maka gadis itu takkan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja

tidak mau bertanya.

Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata,

“Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

Tanpa menjawab, Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu

kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian tidak tampak pula di situ. Yang

menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik dan

gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut “taihiap”

(tuan pendekar) kepada Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta

tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga

bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”

Pelayan itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan

memberitahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam.

Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang

belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian

depannya dipakai sebagai toko itu. Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai

bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar daripada bagian depannya.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang laki-taki setengah tua yang kurus dan

mempunyai jenggot tipis kecil panjang serta sepasang kumis kecil panjang pula

berjuntai ke bawah. Sekarang anak laki-taki sebaya Cin Hai ikut pula menyambut.

Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan

Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu

memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu

muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini. Tetapi

Ang I Niocu dengan senyum manis di bibir segera memberi hormat dengan mengangkat

kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.

“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu

dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.

“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis

panjang itu.

“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” kata

Ang I Niocu lagi.

Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I

Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang

kiri. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan ketika ia tersenyum, maka wajahnya

berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.

“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok

Sian.” Ang I Niocu yang tadi hanya tunduk saja kini mengangkat muka memandang.

Matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,

“Ah, tidak tahunya aku , yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”

Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia berkata,

“Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tidak mengenal

Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”

Melihat sikap orang yang biarpun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya

menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.

Tetapi Ang I Niocu biarpun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, tetap

tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kaupanggil Saudara Kang Ek

Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”

“Ah, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau

juga, anak muda!”

Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu mendahului duduk di dekat sebuah meja

yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu

memang sangat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!

“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu lalu mengambil

empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.

Tetapi ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh

yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat

cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak

laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak

kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,

“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”

Tetapi Ang I Niocu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Kang

Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya

kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!

Tiba-tiba muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak

menghina lagi kepada Adikku?”

Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”

Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura

lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kang-lam Sam-lojin, adikku

Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Sucimu?”

Kini mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia

lalu berkata perlahan,

“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganmu ini justru hendak minta maaf

kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suciku.”

Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu

perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali, “Baik, baik, aku

percaya kepadamu. Nah, marilah minum!” Ia sendiri menenggak habis secawan arak

lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak

hendak minum araknya, ia berkata,

”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau, apakah kau takut

minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau masuki rumahku?”

Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di depan Cin Hai tertawa perlahan

dan mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari

minum arakmu!”

Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi ia tidak segera minum karena

melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!

“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tidak mau menerima kebaikan dan

penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras,

lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I

Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat

daripada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang

Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak

jatuh.

“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata

menyindir dan ia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan

tangan kanannya memukul ke arah cawan yang menempel di atas itu. Ia mengerahkan

tenaga lweekangnya dan berseru,

“Kang-taihiap, kauterimalah kembali arakmu!”

Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan

Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga khikang ini terjadi dengan

diam-diam tetapi tidak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak

itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian! Tuan rumah

berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap

saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang

lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda

panas hatinya.

“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk

bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu,

karena sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga khikang yang hebat

menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu ia segera menaruh kembali cawan

araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu

bertindak keluar.

“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku telah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang

berilah sedikit petunjuk padaku!”

Tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah

mengejar dekat dan ia menggunakan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I

Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa

itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari

tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku

Garuda) yang kalau sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit

lengan itu akan hancur berikut dagingnya!

Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Angi I Niocu berkata, “Orang she Kang,

jangan banyak tingkah!” Tiba-tiba lengan tangannya yang dicengkeram itu bergerak

cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak

mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan

gerakannya Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung

Ang I Niocu. Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan

lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian

menjadi lumpuh dan ia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu

tepat sekali mengenai jalan darah lengannya, sehingga lengannya terasa lumpuh

tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri

menderita kesakitan!

Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko

obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke

arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong

terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang

berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak

memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.

Ang I Niocu menghela napas. “Ini semua gara-gara Suciku yang terlalu

gegabah. Memang telah seringkali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh

orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci!”

Gadis itu lalu mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu

jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada saat mereka hendak keluar dari pintu

gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

“Niocu, tunggu sebentar!”

Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling.

Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah

sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.

“Ah, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah

kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.

“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu

sederhana.

“Niocu, kaumaafkan banyak-banyak Kakakku itu. Ia tidak tahu sampai di mana

kelihaianmu, maka hendak mencoba,” kata Kang Ek Sian dengan suara halus dan Cin

Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.

“Tidak apa, Kang-twako. Sebenarnya akulah yang hendak datang menyatakan

penyesalan dan maafku, karena aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci.

Sebetulnya mengapakah kau sampai bentrok dengan dia?”

Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan

Kuibo, sucimu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena

berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina

dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang

gadis seperti engkau. Ia menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”

Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan kasihan. “Ah,

Suciku memang terlalu angkuh dan sembrono.”

“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian

memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah

ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”

Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-geleng kepala.

“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”

“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku

tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.

“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?” Ang I Niocu tidak menjawab,

tetapi memandang ke tempat jauh.

“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?” Tetapi Ang I Niocu

tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya

dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia

lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan

jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah.

Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji, marilah kita pergi.”

Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati

dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak

mempedulikannya dan bahkan mengajak Cin Hai bicara gembira, Kang Ek Sia

merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur

dan mencinta.

Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan

melangkah terus, tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci

melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi

tidak puas melihat sikap orang. Biarpun ia tidak tahu akan duduknya persoalan

antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun ia dapat menduga bahwa dulu tentu ada

pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari

panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan

mereka. Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tidak selayaknya seorang

laki-laki selemah itu. Maka sambil berjalan ia lalu menyanyikan sebuah lagu yang

kuno yang pernah dibacanya dari buku,

“Lima macam rupa indah membuat mata buta, Lima macam suara merdu membuat

telinga tuli, tetapi seorang laki-laki sejati, Memiliki keteguhan iman dan

kekuatan hati, untuk menentang godaan lima anggauta tubuhnya!”

Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik.

Sejak tadi ia tidak memperhatikan anak muda yang tampaknya begitu erat dan mesra

perhubungannya dengan Ang I Niocu, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu

adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini

melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan

memandang dengan penuh perhatian.

Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu

dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa

nyanyian tadi mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke

udara dan berkata kuat-kuat,

“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena

gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan

silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan

bangsa! Sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang

menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan ini adalah

sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

Sekali lagi Kang Ek Sian mendengar ini karena sebagai sasterawan, tentu

saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, ia merasa betapa mukanya

panas seakan-akan mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insaflah ia dari

kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar ia

bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,

“Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau lebih gagah

dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

Kini Ang I Niocu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan

berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,

“Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!” Gadis ini lalu

memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat hingga Cin Hai terpaksa

mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat agar jangan tertinggal di

belakang.

“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?

“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”

Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang

pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota

Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah lari dua puluh li lebih! Memang tadi

mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yangi

tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga

olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki

gagah dan baik.”

“Kalau begitu...mengapa kau...sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan

berani.

Wajah Ang I Niocu memerah. “Ah, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak

tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang

tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

“Dengarlah, Hai-ji. Sekarang telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit

riwayatku kepadamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh

kupercaya.” Maka Ang I Niocu dengan singkat menceritakan riwayatnya. Ternyata

Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang

Liat yang sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.

Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh

besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih

sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat. Semenjak

kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan ia menjadi setengah

gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi

ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri

tunggalnya. Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim

Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada

ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh

ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun

daripada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik dan semenjak kecil kepandaian

Im Giok lebih tinggi daripada kepandaian Kim Lian. Setelah dewasa, Im Giok

bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi

ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau

sasterawan muda itu dari serangan perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan

dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.

Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang

tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan

membunuhnya! Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras

ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan

anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im

Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu

melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.

Pada saat, itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh!

Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang cukup hebat. Tidak

tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yaitu

sedari ia berusia empat tahun sampai tuujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan

rasa kesedihan hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan

menderita sakit jantung!

Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu berdasarkan

kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya

semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri!

Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu. Tetapi kemudian

ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang

kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya hingga ia muntah darah dan roboh!

Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi

yatim piatu!

Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang mengapa aku tidak dapat menerima

cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta dalam hatiku telah terbawa mati oleh sasterawan

itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu

mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena

cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu

makin besar. Ketika mengingat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah

sebatangkara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

“Niocu, nasibmu sungguh buruk. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau

bisa bernasib seburuk itu...” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan

mesra. Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu.

“Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...” Untuk beberapa

lama keadaannya diam-diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita

menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya

diperbuat oleh orang-orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh,

apalagi lemah!”

Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Wajah manis yang tadinya muram

itu tiba-tiba bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang

menambah kecantikannya.

“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ah, sungguh baik kalau hafal akan semua

ujar-ujar kuno seperti kau.”

“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana kau

bisa mengenalnya?”

Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya

sebetulnya juga tidak lemah, karena ia adalah murid Lo Beng Hosiang dari

Bu-tong-san. Ketika empat tahun yang lalu orang-orang gagah mengadakan pertemuan

di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan

berkenalan. Ia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh

asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

“Niocu, kiranya sudah cukup kita bicara tentang hal-hal yang mendatangkan

kenangan tidak menggembirakan. Tempat itu sunyi dan indah, bagaimana kalau kita

berlatih?”

“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas, karena gerakanmu masih

kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

Sudah beberapa lama Cin Hai menerima latihan Ngo-lian-hwa-kiam-hoat atau

Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini adalah pecahan dari Sianli

Utauw dan digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain

laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu

membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami

oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang rombongan orang

lewat di jalan itu. Karena sedang asyik berlatih, baik Cin Hai maupun Ang I

Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka. Rombongan itu terdiri

dari sembilan orang yang berpakaian seragam dan melihat di pinggir jalan ada

seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang

menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

Tiba-tiba seorang daripada mereka tertawa bergelak, “Eh, eh, sungguh lucu.

Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa

ada penontonnya?”

Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika

Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum

bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para

pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman

pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,

“Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”

Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Ia

tidak tahu siapakah mereka itu, karena biarpun pakaian mereka seragam biru

tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang

sudah kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan

sayap burung garuda di atasnya. Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang

keadaan mereka.

Tetapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani

membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan

tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang

lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu

telah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengan yang dipentang

lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap

yang menjemukan sekali.

“Ah, Nona manis, mengapa hendak pergi? Bukankah kau memang hendak

mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini

menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup dan pelupuk mata

gemetar sedikit hingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat

jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu

sedang menahan marahnya. Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah ia

melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I

Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.

Pada saat itu, delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu

seorang diantara mereka yang masih muda berkata pula sambil memandang wajah dara

itu dengan kagum.

“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami

bayar!”

Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi

wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barangkali

di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata

mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu

tersenyum. Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah

kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan

hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.

“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” tiba-tiba terdengar suara Ang I

Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu, tetapi yang bagi pendengaran

Cin Hai mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya

hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biarpun masih tetap halus dan

merdu, terdengar dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti

terjadi hal-hal hebat.

“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” kesembilan orang itu

berkata denga suara riuh.

“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”

“Apa syaratnya?”

“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah

sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”

Tentu saja ke sembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang

sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani

menghina mereka.

“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang

berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan

segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.

“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin

Hai.

“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.

Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang

kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang

daripada marah, karena mana ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang

anggauta Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.

Akan tetapi pengawal muda itu tak dapat menahan marahnya lagi. Biar gila

maupun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus.

Maka ia segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul kepala Cin Hai

sambil membentak,

“Bangsat kecil, mampuslah kau!”

Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Kepala

dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan

kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apalagi hanya

kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk

menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!

Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin

Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar,

percuma kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”

Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh

Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tak

terasa pula ia menggunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya

memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya

sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak-anak ini.

“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang

besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!” Dan Tiat-thou-houw atau

Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu

To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena

kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.

“Anjing besar! Aku takkan menyebut kau Harimau Kepala Besi tetapi Anjing

Hidung Panjang!” Cin Hai mengejek lagi sambil mengeluarkan kepandaiannya

Ngo-lian-hwa-kunhwat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu!

Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya telah

memiliki kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian

Bidadari. Kemudian ia balas menyerang, tetapi karena Ilmu Silat Lima Kembang

Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk

menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan

Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang dia pelajari dari catatannya ketika masih

mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!

Biarpun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dari pertempuran, tetapi karena

selama ini ia mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang

tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak

terduga. Maka Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan lemah

lembut bagaikan sedang menari ketika mengelit serangan-serangannya tadi, kini

dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena

tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan

tangannya menumbuk dada lawan!

Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya

tidak menyangka bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya.

Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan

oleh Ang I Niocu sehingga ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat

pukulannya tidak kurang dari seratus kali!

Delapan orang pengawal lainnya melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai

dapat menggulingkan lawannya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan

ketika mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!

“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan membentak

marah.

“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah layani kaleng-kaleng kosong ini!”

tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya

delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.

Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya,

lalu berkata keras kepada para pengawal itu,

“He, bangsat-bangsat besar. Kau tadi ingin melihat tarian indah? Nah,

sekarang kaulihatlah!” Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan, maka

bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!

Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada

gadis itu dengan kagum, karena benar-benar indah tarian Dara Baju Merah itu.

Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang

tinggi kurus berseru,

“Serbu!” Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu

Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai mempercepat tiupannya dan sebentar saja

kalang-kabutlah delapan orang anggauta Sayap Garuda itu. Mereka telah kehilangan

lawan karena tubuh Ang I Niocu tak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya,

hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!

Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu

kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah

seorang pendekar pedang yang tak boleh dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu

mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga

dan kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!

Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I

Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sianli

Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya! Dulu

ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh

kepandaiannya. Tetapi sekarang, menghadapi delapan orang jagoan istana,

anggauta-anggauta Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju

Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar

biasa!

Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggauta Sayap

Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah

menghadapi lawan yang sehebat dan selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa

tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel

pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan

tenaga dan mengepung makin rapat.

Setelah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, barulah Ang I Niocu

menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar terdengar

teriakan-teriakan mengaduh dan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari

pegangan tangan! Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan

delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang pada lengan

tangan, pundak, muka dan paha, hingga biarpun mereka mandi darah dan roboh di

tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita' luka berat yang

membahayakan keselamatan jiwa mereka!

“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan

pedang di sarungnya dan tersenyum manis.

Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak

bertanya dengan suara parau, “Lihiap ini siapakah...

Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang

Cin Hai yang menyimpan sulingnya,

“Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ah,

sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum

sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu,

“Berkawan sebatang pedang dan suling, Menjelajah ribuan li tanah dan air,

Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati!”

Memang Cin Hai telah mengubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair

ini dan menambah kata-kata “suling” di belakang “pedang”. Sehabis menyanyikan

syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggauta

Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang

demikian lihai ilmu silatnya itu. Karena mendongkol melihat kebodohan mereka,

Cin Hai membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?”

Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tak pernah

terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil

menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat

ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan

seandainya kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!

Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa

lagi kalau bukan dia!”

Kawan-kawannya memandang heran dan ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu

nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau

bukan Ang I Niocu?”

“Tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan

belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun

yang lalu!”

Kawan-kawannya menganggap ucapan ini benar juga, maka mereka hanya saling

pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat

kepala untuk membalut luka masing-masing.

Sementara itu, Ang I Niocu mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu

Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin

Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu menjawab sambil

tersenyum,

“Di puncak Pek-tiauw-san terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya

bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan

aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”

“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”

Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat

telur rajawali putih?”

Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh

hingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa. “Di antara akar terdapat akar jin-som

yang mengandung obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur

rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”

Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk

anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih

manjur daripada jin-som.

“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti

jin-som?”

“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah

orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”

“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai

dua tahun!”

Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur itu besarnya

melebihi kepalamu!”

Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I

Niocu makin geli melihatnya.

Demikianlah sambil berlari cepat, mereka bercakap-cakap dengan gembira

hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua.

Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Di kaki dan lereng

gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah

ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga

untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh

langkah! Pohon sebesar ini mungkin sudah ada seribu tahun umurnya. Tinggi besar,

kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi

segala yang berada di bawahnya!

Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang penuh tetumbuhan, di

puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi

dan meruncing ke atas. Ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki

seakan-akan menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah. Tempat

inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Di puncak batu karang

yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara

anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya di puncak Pek-tiauw-san ini saja

terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah

burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya,

apalagi tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan

sangat sukar sekali didaki orang.

Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai

yang telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran,

ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini

benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu

meringankan tubuh) yang baik sekali. Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri,

belum tentu ia dapat mencapai puncak, karena setelah melewati rimba terakhir,

jalan menjadi demikian sukar, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui

batu-batu karang yang tinggi dan bermuka tajam hingga dapat menembus sepatu!

Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap gesit

dan ringan hingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju

Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai

tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus

meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk

memondongnya dan membawanya melompat ke seberang jurang!

Betapapun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru

mereka tiba di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus

awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.

“Aku tidak melihat sarang burung di puncak batu karang itu!” kata Cin Hai

sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Apa kaukira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara batu-batu karang

yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima

buah sarang!”

Cin Hai menghela napas. Telah payah dan penat-penat seluruh tubuhnya, dan

agaknya ia takkan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu

untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut

duduk mengaso. “Biarlah kita beristirahat dulu melepaskan penat,” katanya sambil

menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu

terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!

”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” kata Ang I Niocu perlahan seakan

menjawab pertanyaan yang ditujukan oleh Cin Hai dengan matanya. “Ia sedang

marah, entah mengapa?”

Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke

arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang. Walaupun

sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apalagi

burungnya. Tentu besar dan liar!

Makin dekat, makin keras pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan

sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi

dan angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu

terus maju dan mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan

terkejutlah ia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya

menyambar-nyambar dan menerjang seorang kakek di depannya!

Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga,

karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu

berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah

putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang

dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa

dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Tetapi kakek itu

mengenakan sebuah rompi daripada bulu merak yang masih baru!

Pada saat itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang

menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja

dan paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini

dibantu pula oleh kedua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan

tenaga sedikitnya seribu kati! Tetapi kakek itu tidak jerih, bahkan terdengar ia

tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia pun mengembangkan sepasang lengan tangannya yang

dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga

seakan-akan ia telah siap untuk main cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya

merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan

kepada burung itu bahwa kakinya tidak lebih buruk daripada kaki burung rajawali

putih!

“Ha, ha, ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu dan

tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek

jembel yang telah ia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas

Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!

PADA saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap

kanannya. Tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan

sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu

Pun Su! Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur dan batu-batu

kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu hingga dapat dibayangkan

betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.

Tetapi Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Ia menghadapi burung

raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu ia

berdiri di tempat yang sempit sekali. Di depan kakinya terbuka jurang yang curam

sekali, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia

sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam,

kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu

terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki

dalamnya!

Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba Ang I Niocu

memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.

“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” kata Ang I Niocu

dengan wajah pucat!

“Eh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”

“Anak tolol! Bukankah dia itu Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau

akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”

Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia lalu ikut berlari turun dari

puncak itu, sedangkan hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata

bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!

Mereka berdua sambil bergandeng tangan berlari-lari dengan cepat bagaikan

dikejar setan. Tetapi karena Cin Hai telah lemah sekali serta sepatunya sudah

banyak berlubang hingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam,

perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.

Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya telah menarik napas lega karena

menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun

orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, tiba-tiba mereka

mendengar pukulan sayap burung di atas. Ketika mereka memandang ke atas, wajah

mereka tiba-tiba menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang

biasanya kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan! Seekor Pek-tiauw

terbang di atas mereka, yaitu burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun

Su. Dan di atas punggung burung itu, tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil

menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan

leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut

arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu

terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Kini Bu Pun Su membetot-betot ekornya

dan membekuk lehernya ke bawah hingga burung rajawali putih yang besar itu dapat

menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!

Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su

membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan

panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!

Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil

menyebut, “Susiok-couw!” Juga Cin Hai tak dapat berbuat lain kecuali ikut

berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!

“Hm, hm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

“Benar, Susiok-couw, harap maafkan jika teecu mengganggu Susiok-couw!” kata

Ang I Niocu dengan hormat.

“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke

arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kaubawa-bawa anak ini untuk apa? Apa

ia muridmu?”

Ang I Niocu tak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka ia

menggelengkan kepala menyangkal.

Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa

dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”

Terpaksa Cin Hai mengangguk karena ia memang tidak bisa membohong.

“Kiang Im Giok! Kau berani membohong terhadap Susiok-couwmu?” Bu Pun Su

menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.

“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,”

jawab Ang I Niocu.

“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebiasaanmu maka

kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah

bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah

kau tahu benar bahwa orang yang kauberi pelajaran silat itu orang baik-baik?

Bagaimana kalau kelak ia mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”

“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.

“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima

murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai

murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu telah

pergi minggat entah ke mana?”

Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia

sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, ia menjadi tak

senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul

lagi. Ternyata kakek tua itu lupa dan pangling.

“Sekarang kaupergilah, Im Giok, dan kauwakili aku pergi ke Kun-lun-san. Di

sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dan

Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau

pergilah ke sana dan atas namaku kaucoba damaikan mereka itu demi persatuan para

hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”

Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-caouwnya

itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata

tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak,

“Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biar

dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”

Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai

dengan wajah pucat ia hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!” Lalu gadis itu

melompat jauh hingga sebentar saja ia hanya merupakan setitik warna merah yang

kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak dan ketika Cin Hai mengangkat

muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!

Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas dan sedih. Hatinya

terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya.

Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia

hidup seorang diri, sebatangkara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa

mengetahui apa yang harus ia perbuat! Cin Hai tak dapat menahan sedihnya dan ia

menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Ia menangis bukan

karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh

Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di

atas dunia ini!

Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis,

akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia

menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya

terasa lapar sekali. Biasanya, ketika ia masih merantau bersama-sama dengan Ang

I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua adalah gadis itu. Pandai

sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli,

mencari buah-buahan, maupun kadang-kadang memasak sendiri!

Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah

belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya.

Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam kitab kuno, yaitu kata-kata Ci

Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.

“Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan Simpan

air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan

(Pahlawan) sejati!”

Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya

sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air

mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu. Akhirnya

dapat juga ia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Ia lalu makan

buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa,

maka ia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.

Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan

hawa dalam tubuhnya dan dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya ia telah

sering berlatih khikang sehingga ia tidak sangat menderita kedinginan. Yang

sangat ia derita ialah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur di atas

pohon berdua, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan

suling hingga ia tak pernah merasa sunyi. Bahkan dulu ketika khikangnya belum

begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantel

dan diselimutkan kepadanya, dan ketika itu masih belum dapat mengusir hawa

dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lalu memegang

tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan,

hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Ah,

alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai

seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan seorang ibu dan ayah yang

sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai

kapan dapat bersua kembali!

Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh

dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisiknya,

“Niocu... Niocu...” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang

menekan dadanya.

Pada keesokan harinya, mulailah ia merantau seorang diri dengan hati

tertekan dan pikiran bingung. Karena tidak tahu bagaimana harus mendapatkan

makan untuk isi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang

kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi

seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu

kali lebih baik menjadi seorang pengemis daripada seorang pencuri, tidak ada

lain jalan lagi.

Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai makin buruk. Pakaiannya

kotor dan compang-camping. Dulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling

lama tiga hari sekali ia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali

bertemu dengan anak sungai, ia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh

Ang I Niocu. Tetapi sekarang, ia menjadi malas untuk mencuci pakaian atau mandi

sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor, penuh debu! Bahkan kudis

yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman

pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh

mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya

hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, kini berubah menjadi penuh penderitaan

dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan

berkepandaian tinggi itu!

Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Ia telah berubah

menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya kurus hingga tulang-tulangnya tampak di

balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh lagi tidak teratur dan

awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang

kurus tampak muram tetapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.

Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat ia masak dan terbukalah kini mata

hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena menderita, maka kini ia dapat

merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba

di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.

Biarpun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan kalau

perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh

karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua

hari ia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan

lapar. Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak

merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak ia beli

dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dulu ia akan melakukan

sesuatu untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu

dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda

istimewa.

Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya.

Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih.

Orang-orangnya peramah dan perdagangan di situ kelihatan ramai dan hidup karena

tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang

mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain

air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata

mengandung banyak ikan.

Ketika ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin

Hai tertarik oleh sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu

gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa rumah itu adalah sebuah

bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw. Papan nama itu

terbuat daripada sepotong papan dan tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang

sekali papan nama itu agaknya tak terawat hingga tampak kotor dan bahkan

memasangnya juga miring.

Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan

pada papan nama itu dan menyayangkan mengapa tulisan seindah itu dituliskan pada

papan yang kotor dan dipasangnya miring pula. Tanpa dapat menahan perasaan

hatinya, ia lalu mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil

berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu

ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang

sudah kotor. Ia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang

sekali. Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia

cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang

dapat dikerjakan, dan karena tidak mempunyai kewajiban apa pun yang harus

dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini

ia merasakan kesenangan. Ah, bekerja!

Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah

dipandang, ia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti

tadi. Segera ia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang

papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil daripada pekerjaannya tadi dan

tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi

tampak buruk dan kotor, kini bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri

gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!

Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan

mudah saja terbuka. Ia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah

rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat

pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Di sudut kiri tampak sebuah rak tempat

menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa

digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan. Cin Hai senang

sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu

kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba ia melihat

benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan

ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.

Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang laki-laki

setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan

berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi

guru silat yang mengajar di bukoan itu. Guru silat ini baru pulang dari

bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian

compang-camping sedang menyapu pelataran bukoannya dengan asyik sekali. Tadi pun

ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian

bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia mengerti bahwa

yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.

“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.

“Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan…

dan sudah sepatutnya dibersihkan.”

Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar

jawaban Cin Hai, ia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang

pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau

bekerja di sini?”

Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka

sekali!” Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya

ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja

ia merasa senang.

“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya, dan

dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada

masa itu banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai,

orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal

yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup

sebatang kara.

Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.

“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerjalah di sini, lalu melayani segala

keperluan murid-murid bukoan.”

“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.

Pada saat itu dari luar terdengar orang bercakap-cakap sambil tertawa dan

tak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia

kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya

gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat

belas tahun.

Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi.

Anak-anak muda itu menyebut “suhu” dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.

Louw-kauwsu lalu memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata

bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya mewakili

Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu

adalah murid-murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat.

Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah

membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang

di situ.

Pada seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh

perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang

angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu

berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada

bujang kecil itu!

Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biarpun bertubuh gemuk pendek, tetapi

berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari

Bu-tong-pai, secabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak

Ting Sun tekebur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai

diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,

“Eh, siapa namamu?”

“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.

“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,”

kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke

dalam.

“Eh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku

Suhu!”

“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap

orang.

“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti!”

Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat

gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, “Baik, Siauwya.”

Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih.

Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya.

Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba

Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai segera menghadap. Guru silat itu

diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun. Gadis itu

bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena ia adalah Louw Bin Nio, anak

tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya

gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti

ayahnya.

“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah,

“kaumakanlah dulu dan gantilah pakaianmu itu setelah kaubersihkan tubuhmu.”

Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil

berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau

memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan

memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan

seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.

Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah

menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan

bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap

Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang

timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya. Entah mengapa, Ting

Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan seringkali

menghinanya. Pernah ia berdiri melihat latihan silat pada suatu senja, tiba-tiba

Ting Sun memanggilnya.

“Lihatlah kalian baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan

darah), dua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi

contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian

lihat bagian leher ini!”

Ia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja

berdiri bagaikan patung. “Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian

ini!”

Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai.

Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekangnya untuk melawan

totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau ia melakukan hal ini tentu akan

terbukalah rahasianya. Maka ia lalu mengendorkan semua uratnya dan tidak

melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, ia merasa leher itu sakit dan tubuhnya

menjadi lemas hingga ia roboh tanpa daya!

“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa

puas dan bangga, sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai

yang sudah lemas. Ia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan

tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya

terasa sakit sekali hingga ia tidak berani menggerakkan leher itu.

Sementara itu, tanpa mempedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi

petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Cin Hai dalam keadaan

menyedihkan itu harus menderita sampai dua jam lebih, barulah perlahan-lahan

jalan darahnya terbuka dan darahnya mengalir kembali hingga ia dapat cepat-cepat

menggunakan tenaga dalamnya memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, ia pura-pura

masih lemah dan sakit hingga berdiri sambil terhuyung-huyung.

“Nah, nah, kalian lihat. Setelah beberapa lama, totokan di leher itu buyar

sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama.

Masih banyak lagi jalan-jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya

tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini,

maka ia roboh dengan lemas dan selamanya takkan dapat berdiri kembali, kecuali

kalau totokan itu kubebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tetapi hal ini

akan kalian pelajari kelak kalau sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

Semua murid memandang kagum dan dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai

meninggalkan tempat itu, di dalam hatinya ia mengutuk guru silat itu. Kalau saja

Louw-loya tidak demikian baik hati kepadaku, hm... akan kuhajar kau! Demikian ia

berpikir dengan hati mendongkol sekali.

Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai

juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan

genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, tidak kalah dari Ting

Sun. Alangkah jauh bedanya perangai gadis ini dengan ayahnya.

Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat

tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu

sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini?

Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di

angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri

gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan

pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat

dengan pedangnya. Cin Hai berdiri di pinggir sambil menonton gadis itu bersilat

pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak

menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani

menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji

dengan suara kagum.

Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.

“Ah, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu

lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam

yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kaubersihkan sepatu ini!”

Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut

sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk

menyenangkan hati puteri majikannya ini.

“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali,

tetapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas

dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran

darinya!”

Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu,

Siocia?” tanyanya.

“Ah, Ayah tak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan

ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Baiknya ada

Ting-kawsu yang mengajarku di waktu malam. Sayang, sekarang tidak diperbolehkan

lagi oleh Ayah!” Gadis itu nampak kecewa sekali dan Cin Hai yang sudah selesai

membersihkan sepatunya lalu mundur.

Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.

“Eh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh

orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”

“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi mengapa tidak boleh

terlihat oleh orang lain?”

“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku

dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya.

Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan

pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai. Cin Hai

pura-pura ketakutan dan berkata,

“Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar ia

berlaku hati-hati untuk menyampaikan “surat rahasia” itu, Cin Hai lalu pergi ke

kamarnya di tempat pelayan. Malam itu ia tak dapat tidur, seluruh pikirannya

terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.

Pada waktu itu, ia telah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw

Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa

dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dan Ting Sun pasti ada

hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya. Louw Sun Bi

telah melepas budi kepadanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh

anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Ia harus menghalangi hal ini. Sudah

menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu! Dengan pikiran ini Cin

Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali dan membacanya. Ia tahu

bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang

laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela

melakukan hal yang tidak patut ini! Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk

Ting Sun itu dan benar sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu

kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih

silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengan malam!

Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia tidak tahu malu. Ting

Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan

mengangkat saudara hingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya

guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh

dibilang bahwa Bin Nio adalah keponakan Ting Sun sendiri! Tetapi ternyata dua

orang itu telah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai memutar

otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.

Semalam penuh Cin Hai tidak dapat tidur dan pada keesokan harinya, dengan

diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil

memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu. Ting Sun menerima surat dan

membacanya dengan wajah gembira. Berbeda daripada biasanya, ia berlaku manis

terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak

itu kini dapat merupakan jembatan bagi perhubungannya dengan Bin Nio.

Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw

Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin

Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!

Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah

bangku.

“Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang telah mengganggumu? Kau pucat sekali,

apakah kau sakit?”

“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya

marah dan sedih sekali!”

Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur,

rajin dan tidak banyak cerewet ini.

“Katakanlah, jangan takut-takut!”

“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan

terlebih dulu saya mohon maaf sebanyak-banyaknya karena setelah hal ini saya

ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan

saya.”

Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah

terjadi hingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”

Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan tentang surat Bin Nio dan bahwa

malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup

pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya

peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku

begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya baik hati tertimpa kejadian macam

ini, ah...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka

Louw Sun Bi yang makin pucat itu.

Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada panas hampir

meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat ia bisu tak dapat berkata-kata.

Ia telah tahu akan perhubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu ia bahkan

telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya

gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama

sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.

Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tak bergerak bagaikan patung batu,

Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata,

“Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran.

Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang

tidak khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih

baik Loya menjaga datangnya penyakit daripada mengobatinya setelah datang!

Karena itu, maka daripada ribut-ribut dan marah hingga semua orang mendengar hal

yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi.

Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!

Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Ia memandang wajah Cin Hai

dengan heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut

anak itu!

“Cin Hai, kau seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama

sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak

keluar dari sini?”

“Loya, Siocia telah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu.

Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca

suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi

maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”

Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi ia terheran akan sikap Cin Hai

yang polos dan bersifat gagah ini.

“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok

setelah peristiwa ini kubereskan.”

“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”

Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau

takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”

Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biarpun saya seorang

bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya

akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan

saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu

bertindak keluar.

Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok

bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi

bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Ia

langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya

menginjak tanah, ia berdiri diam bagaikan patung!

Di sana di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua

lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar

tajam!

“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagipula, kau

datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”

Ting Sun terkejut sekali dan merasa seakan-akan ada petir menyambar

kepadanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!

“Orang she Ting, aku telah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat

ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada

semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tak kembali lagi, sehingga

kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau

berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”

Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih

berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua

itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja

menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun

mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini,

tetapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan

rahasianya!

Pada keesokan harinya, setelah semua anak murid berkumpul Louw Sun Bi

sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di situ dan mendengarkan serta menyaksikan

Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran

kepada anak gadisnya bahwa sebagai seorang gadis ia harus tahu menjaga

kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.

Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar telah berada di situ, semua

murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga

bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak

pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan

seperti biasa, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh

daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.

Akhirnya orang yang dinanti-nanti, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan

tindakan gagah dan dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu

menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian ia melihat ke arah Cin Hai yang sedang

menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya ia menghadapi semua

murid dan berkata,

“Anak-anak sekalian, aku membawa berita penting sekali untuk kalian. Mulai

hari ini, kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini aku akan

berangkat meninggalkan Ki-bun.”

“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.

“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali

ke sini. Tetapi kalian tak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu,

kepandaianmu akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan

selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan

pada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok

jalan darah tai-twi-hiat. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”

Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan telah tiba. Ia menghampiri guru

silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh

kebencian dan marah itu.

“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak

menggunakan jembel busuk ini sebagai contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun

memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah, untuk

menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”

Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya

ditekuk ke dalam.

“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian ia

menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.

Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga

totokan itu tidak mengenai sasaran.

“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan

tangannya mencegah serangan Ting Sun. Tetapi guru silat itu marah sekali melihat

betapa totokannya dikelit.

“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya dan ia mengirim tendangan

ke arah lambung Cin Hai. Tendangan iin gebat sekali dan kalau terkena, pasti

nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.

Louw Sun Bi terkejut dan marah. Pada saat ia bangun berdiri dan hendak

loncat menolong, tiba-tiba ia terheran-heran dan duduk kembali dengan mata

terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting

Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan

itu tidak mengenai sasaran.

Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi dan berlari-lari

memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan

melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan! Ting Sun yang

tidak mengenal gelagat, biarpun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih

terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sungguh

aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang

mulai menari-nari! Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya

melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana

ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan

menari-nari?

Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun

merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk

menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangan selalu tidak mengenai

sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai! Mereka ini sama sekali

tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan

terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang

sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun selalu

pukulannya itu meleset dan tidak pernah dapat mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat

pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh atau bagian tubuh anak muda itu

bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!

Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang.

Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak

heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan

yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, tetapi yang kelihatannya betul-betul

mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang

dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biarpun belum banyak mempelajari ilmu silat

mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?

Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin

indah gerak tarinya. Setelah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan

dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran

kepada guru sombong itu. Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh

ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok

urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri, maka tidak ampun lagi guru silat

itu roboh terguling-guling!

Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali ia dibikin

jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan limu Silat Liong-san Kun-hwat

yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi

tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!

Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun

berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya

merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau

Burung Hong Mementang Sayap ia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa

tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!

“He, Siauwya, kau mengapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang

tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah. Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin

Hai sengaja memusnahkan totokannya hingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan

pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai mendahuluinya dengan totokan

lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung! “Eh, eh,

Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.

Murid-murid bukoan yang melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun,

menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat di dekat Cin Hai dan

tertawa bergelak-gelak.

“Anak-anak semua. Lihatlah, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali

mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah

melihat baik-baik? Contohlah anak inil, sebenarnya ia seorang berilmu tinggi,

tetapi yang dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai

bertahun-tahun hingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia

adalah murid seorang ahli!”

Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang segera

dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin

Hai lihai sekali, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari

bukoan tanpa berani menengok lagi! Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tertawa

bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, maka ia lalu

bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega

menipu aku orang tua! Sebenarnya engkai ini murid siapakah. Bukankah kau murid

dari Liong-san-pai?”

Cin Hai dengan sikap hormat dan merendah menjura. “Bukan. Loya, saya bukan

murid siapa-siapa.” Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari

Kang-lam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan

guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi

kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.

Louw Sun Bi menyangka bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang

telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak

berani mendesak, hanya menyatakan kagumnya. Tetapi Cin Hai lalu minta maaf

banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu

terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.

Terpaksa Louw-kauwsu tak dapat menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan

perantauannya, tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan

pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu. Cin Hai

menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian setelah memberi hormat lagi,

Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak lupa memberi hormat sambil

berkata, “Siocia, mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di

sini dan jagalah dirimu baik-baik!” Bin Nio hanya menundukkan muka dan air

matanya mengalir turun. Ia insaf betapa ia telah salah mengenal orang.

Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa

tujuan tertentu. Ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya

terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah

merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, matanya

lebar dan mukanya bulat membayangkan kejujuran dan ketinggian pribadi.

Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa

tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang

membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa

hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan

maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa “Di empat penjuru lautan, semua orang

adalah saudara!” Dulu ia seringkali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini

yang dianggapnya kosong dan bohong. Tetapi sekarang, ia mengerti betapa tepat

dan mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus digunakan secara aktip, tidak

boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang

seperti terhadap saudara sendiri, hingga sudah sepatutnya kita menolong

saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran. Janganlah kita memandang

ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut

supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku

kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi

buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada

yang mengganggapnya. Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang

sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya asal makan

dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih banyak sekali

terdapat tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan

keadaan orang lain atau “saudara” kita yang hidup menderita kesusahan.

Setelah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap

intisari segala ujar-ujar yang dulu ketika masih kecil dihafalkannya di luar

kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang

dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.

Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari tiga perempat

bagian dari Liong-san-kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa-kiam-hwat,

namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di

kalangan kang-ouw menyebutnya “Pendekar Bodoh” karena wajahnya yang tampan

dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh. Pada suatu hari, ketika

memasuki dusun, ia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, ia

mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggauta

Sayap Garuda tengah menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta dalam

pelukannya. Orang itu sambil memondong korbannya, meloncat ke atas seekor kuda

besar dan hendak kabur. Tetapi sekali loncat saja Cin Hai sudah menghadang di

depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”

Anggauta Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah

Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai,

tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara

kedua jari tangan. Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu lalu membedal kudanya

dan kabur dari situ. Tetapi Cin Hai secepat kilat menggerakkan tangannya dan

mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggauta Sayap Garuda itu.

Si Penculik menjerit kesakitan, tetapi ternyata ia adalah seorang yang

bertubuh kuat, karena biarpun telah terluka, ia tetap masih dapat kabur sambil

membawa gadis yang diculiknya itu!

Cin Hai sudah banyak mendengar akan kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang

merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji

dan hina mengandalkan pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan

mata sendiri betapa seorang anggauta gerombolan itu menculik seorang gadis

dusun, ia menjadi marah sekali. Ia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.

Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul

kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan

anggauta Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa

Cin Hai mengejar seorang anggauta mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai

dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!

Selama dalam perantauannya, Cin Hai tak pernah menggunakan senjata lain

kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu, ia telah banyak menjatuhkan lawan

yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk

menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kali ini, menghadapi keroyokan gerombolan

Sayap Garuda yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, ia terdesak dan sibuk

juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama ia dapat

mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.

Tiba-tiba hwesio gundul Yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,

“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa

penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang agaknya

tidak mudah merobohkan Cin Hai.

Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi

Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi,

maka ia mendahuluinya dan mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke

arah leher lawan.

Tetapi sungguh aneh, lawannya tidak berkelit maupun menangkis dan ketika

sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju hendak

menangkap pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan biarpun

ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul

itu agaknya tidak merasa apa-apa!

Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa ia melepaskan sulingnya dan membuang

diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa

bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan

menjauhinya.

“Ha, ha, ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan

tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,

“Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri

dan bergaul dengan segala kaki anjing?” Sebutan kaki anjing adalah sebutan untuk

menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana

datangnya, tiba-tiba di situ telah berdiri seorang wanita tua yang berwajah

buruk sekali! Mukanya hitam seperti pantat kuali, pipinya keriput dan matanya

yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di

punggungnya tampak gagang pedang.

Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai,

wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja ia

berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban

Biauw Leng Hosiang, “Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?” “Tetapi

kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing aku takkan tinggal diam

saja. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”

Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan

menghalang-halangi Sutemu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”

Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang lalu meloncat pergi dan Biauw

Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!

Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi ia tidak diberi

kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap

Garuda menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada

Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia

sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.

Tiba-tiba tampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan

sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak seorang anggauta Sayap Garuda

roboh mandi darah!

“Niocu!!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras dan kedua matanya

dikejap-kejapkan seolah-olah ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri.

Setelah jelas bahwa yang menolong dirinya dan mengamuk itu adalah Ang I Niocu,

tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.

“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.

“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.

Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang

I Niocu, maka ia berteriak keras,

“Ang I Niocu yang datang, lekas lari!” Dan ia mendahului kawan-kawannya

lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda

itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa kurban

mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.

NIOCU...! Sekali lagi Cin Hai berseru girang dan gadis itu memandangnya

dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat

betapa Cin Hai kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak

terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu

memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.

“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”

“Niocu... Niocu... jangan kautinggalkan aku lagi!” Mendengar ucapan yang

masih bersifat kanak-kanak ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan

menggeleng-gelengkan kepala.

Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun.

Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ.

Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya tentag pengalaman

Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang. Cin Hai

tanpa menyembunyikan sesuatu lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya hingga

ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu

menagis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.

“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” tanya Cin Hai sambil memandang

wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis

itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.

“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting

sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah gua rahasia yang disebut Gua Tengkorak

Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa gua itu berada di puncak

bukit yang tampak dari sini itu! Karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan

dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu

dapat bertemu.”

Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa ia telah menurutkan jalan di

petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.

“Bukit itu namanya Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke

arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku

harus dapat mencari gua itu di sana. Ketahuilah, bahwa selain aku, masih banyak

orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan gua itu. Maka marilah kau

ikut aku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”

Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tak berani

membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama

dengan Ang I Niocu lagi, ia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki

Bukit Tengkorak Raksasa.

Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil mendapatkan gua itu

yang tertutup oleh tumpukan batu yang ratusan banyaknya. Dengan tak mengenal

lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah

sebuah guha yang luar biasa besarnya dan gelap! Mereka masuk ke dalam dan

setelah berjalan dengan hati-hati dan merayap beberapa lamanya, ternyata di

sebelah dalam gua itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas.

Mereka terus maju ke dalam dan akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang

tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan

tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati

berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.

Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan

Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri

ruang yang luas dan tinggi itu, tampak tengkorak-tengkorak yang tinggi besar

berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai

memperlihatkan gigi besar-besar. Tinggi tengkorak itu sedikitnya tiga kali

tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan

pemandangan dalam ruangan besar itu.

Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Tiba-tiba Ang

I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,

“Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan ia memandang ke arah depan. Dan

benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya

terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat daripada batu yang sangat tebal dan di

dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam. Di tengah-tengah kamar

itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw

keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruang yang luar biasa luasnya

ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih

mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi

mati ketakutan!

“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih

mengebulkan asap?”

“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api di

dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan

membakar dupa di dalam hio-louw itu.”

Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya

bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti

ini! Tadi pun gua masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih

tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?

Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Ia

berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan

kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya. Cin Hai

mengikuti di belakangnya dengan hati dak-dik-duk dan mulut terasa kering. Belum

pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.

Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan ia

merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak!

Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang

besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking

ngeri dan takutnya.

Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan ia menjadi pucat sekali. Tak terasa

lagi ia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tak

lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.

“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“

Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat ia menjadi

terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut

menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua

kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan

yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan

kepalanya bergerak ke kanan-kiri!

Ang I Niocu cepat mencabut pedangnya dan siap sedia menghadapi segala

kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tidak

membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga

ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang

manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi ia lalu memungut

sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu

dengan senjata istimewa itu di tangannya!

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema

hebat di dalam ruang itu dan terdengar menyeramkan sekali.

“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”

“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”

“Hush...”

“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang lain!

Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kaukira aku

tidak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat,

mereka sudah mendatangi dan berada di luar gua!”

Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang

luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi

keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.

Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang

tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang

bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai

heran sekali ketika melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kang-lam

Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua

sutenya! Akan tetapi pada saat itu ketiga tosu ini nampak tegang dan bersiap

sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon.

Giok Yang Cu yang tinggi besar itu telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok

Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di

ruang itu sambil memandang ke kanan kiri.

“Orang yang berada di dalam gua, keluarlah untuk bertemu dengan kami!”

terdengar Giok Im Cu berteriak dan suaranya bergema di dalam gua besar itu

seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu. Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin

Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang

sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran mengapa

kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus

bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!

Akan tetapi pada saat itu dari luar gua terdengar suara orang dengan suara

yang parau menyeramkan,

“Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk gua ini?” Sebelum gema

suara ini lenyap orangnya telah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut

sekali karena orang ini adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang

bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memperlihatkan

dadanya yang berbulu, juga hwesio ini memegang senjata yang lihai yakni sebatang

tongkat ular. Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa

bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh,

seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam gua itu ikut tertawa

hingga keadaan menyeramkan sekali!

“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang

kalian takkan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang sudah menjadi nasibmu

untuk binasa di dalam tanganku!”

Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an

kami tak berhasil membunuhmu, adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh

ular-ularmu. Sekarang kami akan menebus kekalahan itu!”

“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”

Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil

berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam

Sam-lojin pasti akan kalah!”

Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Kepandaian Hai Kong Hosiang

dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan jian-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Seribu

Ular memang luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya cepat dan hebat

hingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya.

Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.

Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera

mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san-kun-hwat yang juga luar biasa

dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong

Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah

maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi daripada tenaga mereka!

Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka karena

benar-benar permainan tongkat Hai Kong Hosiang hebat sekali dan mengurung mereka

bertiga dengan ancaman-ancaman maut!

Hai Kong Hosiang yang melihat betapa ia dapat mendesak ketiga orang

lawannya, merasa girang sekali dan hwesio gundul ini tertawa ha-ha-hi-hi sambil

memperhebat serangannya. “Eh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”

Akan tetapi, biarpun ia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena

ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena

Liong-san-kun-hwat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tak mudah bagi

Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.

“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang

muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “ dapatkah kau

mengalahkannya?”

Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu lalu bibirnya yang manis

dan merah tersenyum.

“Agaknya takkan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”

Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia

merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya ia berada

begitu dekat Ang I Niocu maka hatinya merasa girang dan terharu sekali. Tanpe

terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia

merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas

genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi tiba-tiba tangan gadis itu

mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Ketika pemuda

itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan muka untuk menonton pertempuran

yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.

Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa kini Kanglam

Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali, sementara

itu Hai Kong Hosiang makin gagah dan ganas saja.

Pada saat itu, kembali terdengar suara gaduh di luar gua, tetapi kali ini

dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang

yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!

“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak ada waktu

untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru. “Ha, ha, Kanglam Sam-lojin,

hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari

tempat ini dan jangan mengganggu aku!”

Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak

menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat

berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana

terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan

menjenguk ke dalamnya. Asap mengepul makin banyak ketika tutup hiolouw itu

terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Ia melongok ke

sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu

dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia

mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang

kuat-kuat. Ia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk

mengangkatnya. Tetapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat,

bahkan bergoyang pun tidak!

Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa menggunakan tangan untuk

menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Ia geli sekali melihat betapa

hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang

keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia merasa geli bercampur heran. Tak pernah

disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor

itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.

Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Ia mempergunakan

tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai

bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar gua masuk seorang hwesio

lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul. Cin Hai makin heran ketika

mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat

lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Mengapa banyak sekali

orang-orang lihai datang ke gua ini?

Sementara itu, Hai Kong Hosiang ketika mendengar suara orang masuk ke dalam

gua, lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri

memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa

tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar

itu! Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya,

ia tersenyum menyindir,

“Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari

pusaka ke dalam gua ini?”

Biauw Leng Hosiang membalas sindiran ini dengan suara memandang rendah,

“Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada

waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar

dari sini, nanti apabila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh

berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!” “Biauw Leng, kau sungguh tidak

memandang orang! Kepandaian apakah yang kauandalkan maka kau berani berkata

semacam itu kepada orang seperti aku?”

“Sudahlah jangan banyak cakap dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang

berwatak keras itu berkata lagi.

Kini Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya

dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,

“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang

masuk di sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah

kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Sucimu, Biauw Suthai yang

selain gagah perkasa juga patut dihargai karena memegang teguh peraturan

kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”

Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring

seperti suara ketawa seorang wanita.

”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah

dulu! Kaubilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kaukira bahwa

aku tidak melihat Kanglam Sam-loji keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka

masuk, tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih

dulu dari padamu?”

Hai Kong Hosiang menjadi malu dat makin marah. Tak perlu kita mengadu

lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau harus dapat

mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!

“Hai Kong! Kaukira pinceng takkan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw

Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk

bertempur!

Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali

menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini, melihat betapa

beberapa kali terjadi pertempuran-pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan

yang berilmu tinggi, tentu saja ia merasa senang sekali. Ia maklum akan

kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu

bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.

Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang berdarah panas itu sudah mulai

menyerang dengan hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan

kiri dan sebuah pedang pendek di tangan kanan, gerakannya cepat dan berat, kedua

senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan

berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!

Cin Hai sambil mengintai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis

itu karena ia mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kauduga

siapa yang akan menang?”

Ang I Niocu semenjak tadi melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia

merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dulu ketika Cin Hai masih

kecil dan berkepala gundul, ia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa

seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri, kini Cin Hai telah hampir dewasa

dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi

tegap. Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu

memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat dan wajah berseri-seri, mulut

tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa

sebetulnya ia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa

heran dan tidak mengerti mengapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan

merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!

“Apa katamu?” ia balas berbisik ketika Cin Hai mengulangi pertanyaannya,

lalu ia memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah, siapa yang akan menang,

kepandaian mereka berimbang. Walaupun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi

dan lebih lihai geraknya, namun Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal

mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu

curang dalam gerakannya. Mungkin akan berjalan lama pertempuran ini.”

Cin Hai memperhatikan baik-baik. Tiap pertempuran baginya adalah penambahan

pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka ia dapat

memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara

jago tua itu, ia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal

sekali. Ia merasa bahwa untuk dapat memiliki kepandaian tinggi dan dapat

menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, ia masih harus

belajar banyak!

Karena merasa jengkel tak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang

ternyata memiliki kepandaian lebih lihai daripada yang semula ia duga, Biauw

Leng Hosiang merasa tak sabar dan tiba-tiba ia bersuit keras. Dari luar gua

terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba dari luar menerobos lima orang

yang berpakaian seragam. Mereka ini ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda

yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok

Hai Kong Hosiang!

Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat

perwira menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang

masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang

sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang. Sudah tentu saja

masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini membuat Hai Kong

Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi makin sibuk. Akhirnya sebuah totokan

yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat

dihindarkan telah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak

keras sekali lalu roboh!

Kalau orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang

dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat tentu melayang jiwanya.

Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan

hingga ia hanya menderita luka dalam yang tidak membahayakan jiwanya. Akan

tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya dan untuk beberapa lama ia

hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya

meringankan luka pundak yang menembus dadanya.

”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan

suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka

seperti pantat kuali den matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada

di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.

Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat sucinya telah berada di situ!

Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.

Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu ketika Biauw

Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai lalu pergi. Akan tetapi ia masih

merasa curiga kepada adik seperguruannya yang telah berkali-kali melakukan

pelanggaran perguruan mereka dan berkali-kali ia tegur karena menjalankan

kejahatan itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti adik seperguruannya itu.

Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan

lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira

menyerbu ke Gua Tengkorak itu.

Ia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan setelah melihat betapa sutenya

mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia lalu menyerbu masuk dan telah

mengambil keputusan tetap untuk menghajar sutenya yang tersesat.

“Biauw-suci, kau lagi-tagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku.

Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?”

kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena ia

mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.

“Biauw Leng! Apakah kau telah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dulu?

Percuma saja kau menjadi pendeta kalau kau selalu melanggar pantangan kita dan

melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentu masih ingat bahwa di antara

segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim

dan menjadi anjing penjilat.”

“Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar

mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi kau selalu

tetap melanggar. Sekarang, mari kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan

makam Suhu!”

“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat kau dulu sering melatih dan

memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tetapi kau

jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan

dan akan melawan jika diinjak, apalagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci

yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”

Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu makin memburuk dan matanya yang

tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa ia marah

sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut

dan jerih juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.

“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai

yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya. Biauw

Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah

milik mendiang suhu mereka dan yang bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati

akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai telah

mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun

tentu akan dihukum mati oleh sucinya sendiri!

Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah

memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan

menyerang Biauw Suthai.

Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika ia dirobohkan oleh

Biauw Leng Hosiang, maka ia merasa bersimpati kepada tokouw ini apa lagi kalau

ia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka ia

tidak dapat menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang

erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya ketika ia pergi

bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,

“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan

keroyokan!”

Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Ia maklum bahwa

kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu

tinggi itu maka ia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula

mengejar Cin Hai sambil berseru,

“Hai-ji, hati-hati!”

Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada

orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi ia tak berdaya karena Biauw

Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.

Sementara itu, kelima perwira Sayap Garuda ketika melihat keluarnya seorang

pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak tertegun. Kemudian setelah Ang I

Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara

mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.

Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang telah

dipelajarinya. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu

mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san-kun-hwat! Dengan ilmu silat campuran ini

ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.

Sedangkan perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa

gebrakan saja telah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju

Merah yang menari-nari di depannya itu! Melihat betapa perwira ini terancam oleh

bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula

mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali

dikeroyok tiga! Nona ini selain menghadapi ketiga lawannya, juga berusaha

mendekati Cin Hai hingga dapat siap sedia membela dan menolong pemuda itu

apabila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.

Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosian dan

seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan

hebat sekali dan pada suatu saat ia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan

merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri

Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil

muntah darah dan tewas seketika itu juga!

Semua perwira merasa terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat.

Melihat betapa orang yang mereka andalkan telah tewas, maka mereka tidak berani

bertempur lagi.

Biauw Suthai ketika melihat sutenya rebah di atas lantai batu dan telah

binasa, tiba-tiba ia menubruk sambil menangis tersedu-sedu!

“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin

berkeluh-kesah dengan suara memilukan. Kemudian Biauw Suthai menghampiri Hai

Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata dan mengobati luka di dalam dadanya.

Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka

hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan

lukanya menjadi berkurang sakitnya.

“Hai Kong Hosiang, kaumaafkan Suteku yang telah menebus dosanya dengan

jiwanya.”

Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini lalu meninggalkan

tempat itu, Biauw Suthai lalu mengangkat sutenya dan sambil memondong tubuh yang

tak bernyawa pula itu, ia hendak meninggalkan gua. Akan tetapi Cin Hai melangkah

maju dan sambil memberi hormat ia bertanya,

“Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah

dia muridmu?”

Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Eh, anak muda

yang berani, kau siapakah?”

“Suthai tentu telah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin

ketika kau mencu... eh membawanya pergi!”

Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu

ia pergi sambil memondong jenazah sutenya!

Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa

pembantu yang pandai, mereka merasa jerih menghadapi Ang I Niocu yang tadi telah

mereka kenal kelihaiannya. Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya

nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couwnya

karena telah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini,

sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda

itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia

menerima hukuman!”

Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa, sedangkan Cin Hai merasa tidak

puas sekali melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut kepada Bu Pun Su.

Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika

melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali. Orang

ini bertubuh pendek sekali, barangkali sama tingginya dengan seorang kanak-kanak

berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik ke sana ke mari tiada

hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali

seperti telinga gajah, sedangkan mulutnya. Berbibir tebal. Ia memakai jubah

panjang yang menggantung sampai ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna

jubah ini yang hitam sekali.

“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah

karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu. Ang I Niocu juga menengok

dan terkejutlah dia, terkejut karena mengingat betapa lihainya orang ini yang

dapat datang ke situ tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan ia sendiri

dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang

kate ini telah berdiri di depannya. Ketika ia bangun dan memandang, ia

memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat

mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah

terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di

dunia kang-ouw bagian barat!

Ang I Niocu lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil

berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam

gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara

ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu

perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan

tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.

“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya

dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.

Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa makin geli dan keras. Ketika

tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri sekali, apalagi

melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu bicara kepada Hek Moko dan

menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), ia merasa makin geli karena alangkah

ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya

dengan sebutan locianpwe. Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang

menyeramkan dan lucu itu, ia melihat betepa telinga gajah itu dapat

bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar.-benar digerak-gerakkan untuk

mengipas tubuh. Maka pemuda ini tak dapat lagi menahan geli hatinya dan tertawa

keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memuta mutar kedua

matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.

”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.

“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”

Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah

selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!

“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”

Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka ia

berkata,

“Orang tua, orang baru tertawa kalau berhati senang. Kau tadi tiada hujan

tiada angin tertawa, tentu berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun

menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan

sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”

Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang

mempermainkannya, akan tetapi ia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang

tertawa itu. “Coba kauceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan kedua

mata tetap berputar-putar.

Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh meniru

suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,

“Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang

bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”

“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan ia tertawa lagi. Lenyaplah rasa

marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.

“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai

sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang

bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang

mengobrol!

“Kenapa aku tertawa? Ha, ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel

tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan

memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar

menyambut?” Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin

besar menyambar ke arah sebuah tengkorak yang dikebutnya hingga tengkorak itu

bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!

“Hek Moko, kau jangan terlalu seji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk

juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar

tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang

bicara dari berbagai penjuru! Ternyata dalam kata-katanya ini, Bu Pun Su telah

mendemonstrasikan kehebatan khikangnya yang telah dapat mengirim suaranya ke

berbagai tempat dan biarpun dia tidak meninggalkan gua itu, namun dia telah tahu

bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko. Hek Moko diam-diam memuji dan ia lalu

mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari

luar gua terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara

suitan itu lenyap, dari luar gua menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai

melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di dekan Hek Moko! Orang yang

baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan

tetapi anggauta mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya merupakan dua garis

melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!

Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang telah sangat

terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka ini datang dari

sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya.

Biarpun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sutenya.

Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan

jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut

Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama aseli mereka sudah dilupakan orang.

Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari

balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan

bermalas-malasan.

“Kalian Iblis Hitam dan Putih, setelah lebih dari lima belas tahun tak

bertemu, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju

ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” kata Bu Pun Su

setelah berhadapan dengan mereka.

“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kusangka kau

masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua

saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.

“Hek Moko, jangan seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua

bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, mengapa takut aku

menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kausuka, aku takkan peduli.”

Giranglah wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. “Memang, semenjak tadi ia

telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jerih hingga

diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan

tahun yang lalu, ia dan sutenya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam

tangan orang tua lihai itu, hingga masih merasa jerih dan ragu-ragu untuk

memusuhi orang tua itu.

“Ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu

dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian mendengar

tadi kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!” Setelah

berkata demikian, Hek Moko lalu melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang

berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan

untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan

tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang

cukup besar. Hek Moko menjenguk dan ia segera meloncat sambil memperdengarkan

suara ketawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk

melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Bu Pun Su.

Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah

Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.

“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek

Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya

yang besar.

“Biarlah sekali laqi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan

tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan

sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!

Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri dekat

Bu Pun Su hingga hiolouw itu tidak saja mengancam Si Kakek Jembel, tetapi juga

sekaligus mengancam mereka berdua! Hiolouw raksasa itu demikian berat hingga

sebelum datang, anginnya telah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya

seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa hingga dapat

dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini! Akan tetapi di depan

Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau

ngeri, maka ia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan

hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya tegang dan mata

terbelalak.

Ang I Niocu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, namun ia mengerti

bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka ia

hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apabila jatuhnya menimpa dia

atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di

situ terdapat kakek gurunyat takut kalau-kalau dianggap lancang tangan. Akan

tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su

yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw

yang menyambar k arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat

pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan

mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.

Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah

mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su

melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran

sekali, ketika kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su

seakan-akan besi sembrani yang menarik hiolouw itu hingga kaki hiolouw menempel

pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw

itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan

yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!

Tidak hanya Cin Hai yang terpaksa meleletkan lidah tanpa merasa lagi saking

kagum dan herannya, tetapi juga Ang I Niocu memandang dengan mata kagum karena

baru sekarang ia menyaksikan sucouwnya mendemonstrasikan kekuatan lweekangnya

yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.

Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lalu berkata dengan suara

lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan

bersembahyang maka harus dihormati. Apalagi benda ini umurnya telah ribuan

tahun, jauh lebih tua daripada kalian atau aku, maka tidak boleh kita

merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai

menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku takkan mengampunimu, Hek Moko!”

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas

kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi

berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini

segera bergerak cepat. Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih

jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka sendiri dan biarpun mereka

mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi,

sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala

membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus. Untuk dapat

menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga

lweekangnya dan kakek itu biarpun tenaga lweekangnya sangat hebat, namun

sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat

membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan

mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?

Biarpun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka

agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka,

tiba-tiba keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri!

Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya

bermaksud untuk main-main.

Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar

jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri

menotok urat kematian di iga belakang!

Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh

curang!”

Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan

hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu ia telah

mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka dan mendahului mengirim

totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!

Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit

pun bahwa Bu Pun Su memiliki kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau mereka

meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran,

tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok. Cepat mereka

menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain serangan! Mereka

berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua takkan dapat menyelamatkan diri lagi,

karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri

tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang

turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!

Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!” dan tubuhnya merupakan

bayangan merah berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu

membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah

dilepaskan ke tanah!

Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang

dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu makin

cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu hingga anginnya

telah membuat rambut kakek itu berkibar.

Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya.

Tadi ia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biarpun

berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali ia tidak mau membiarkan

hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah hingga tumpah isinya atau rusak. Kalau ia

tidak menyayangi hilouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas

menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja ia akan berhasil

mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau ia melakukan

ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.

Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai

ahli silat terpandai di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk

menyelamatkan diri daripada serangan kedua lawannya, yakni dengan membarengi

mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi ia tidak sudi

menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan. Tiba-tiba

saja ia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi

tergetar dan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang

mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang beradu. Kedua iblis itu pun

menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka

tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka. Kesempatan yang hanya

beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan baiknya karena tiba-tiba

saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana ia menggerakkan tubuhnya,

tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di

antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas daripada kedua serangan maut

itu.

Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun

makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko

yang terulur ke depan dalam menjalankan pukulan mereka tadi. Dengan terkejut

kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil melompat mundur, takut

kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati,

kini Si Jembel tua telah rebah terlentang dan hiolouw itu dengan kecepatan luar

biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka

takuti itu.

Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat.

Karena tiada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, Bu

Pun Su sambil rebah terlentang lalu mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke

atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat

sekali, melebihi kecepatan luncuran hiolouw, kaki itu bergerak ke bawah dan

membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun dan

kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan

luncurannya dibelokkan oleh ayunan ini. Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke

bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su,

kemudian kaki itu menendang sedikit hingga luncuran kini dibelokkan ke atas

kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan

tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun

Su telah meloncat berdiri dan kembali dengan kepalanya ia menerima hiolouw itu!

“Aduh, hebat! Aduh... hebat!!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I

Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah

lenyap.

Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani

sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi

sesuatu, berjalan terus dan setelah tiba di tempat hiolouw, ia memegang kaki

hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali

ia meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan

angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari

renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi

Hek Moko,

“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono hampir saja kalian merusak

hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.

Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas daripada

bahaya maut dan ia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka tetapi

hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Agaknya kakek aneh ini lebih

mementingkan hiolouw daripada tubuh dan nyawanya sendiri!

Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya,

tentu saja merasa penasaran dan tidak mau tunduk dengan demikian mudah.

Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang

pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan

kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang

itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata

lawan akan terampas. Akan tetapi tasbeh di tangan kiri itu tidak kalah

berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat

terputus oleh senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang

merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu

apabila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, ia dapat digunakan sebagai

senjata rahasia yang ampuh dan ganas!

“Eh, eh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh.

Kalian menghendaki pertempuran dan hendak merusak tubuhku, silakan. Asal saja

jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis

itu berbesar hati. Masih baik bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah,

akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran hingga ia

tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,

”Eh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu daripada

tubuhmu sendiri!”

Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja!

Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apakah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak

binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun takkan ada

gunanya bagi manusia. Sebaliknya, hiolouw ini telah ribuan tahun umurnya dan

telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian

setelah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret

di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan berguna bagi manusia yang

masih hidup, karena ia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang

hendak berhubungan dengan Tuhan.”

Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana tetapi

mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam ia memutar-mutar otaknya mencari

ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat ia

menemukan.

Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di

situ kakek jembel ini lalu duduk bersila lalu berkata kepada Cin Hai,

“He, gundul totol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu

itu!”

Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya

hanyalah sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa,

maka ia lalu melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka

berseri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu

meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya! Cin Hai merasa

makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu

tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol mengapa sampai sekarang ia disebut

tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan

alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air

mata! Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi

Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa

mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tak pantas

baginya memegang tangan Ang I Niocu walaupun dara itu seorang yang sangat

dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.

“Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan

menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.

Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,

“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu

dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”

Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan

patung batu diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ

merupakan saksi mati daripada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu. Cin

Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali, mereka

melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan

telah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!

“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…” bisik Cin Hai.

Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton

saja.”

“Bu Pun Su, awas, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari

belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala

Bu Pun Su!

Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai

berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang

tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat. Akan

tetapi, bagaikan ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah

menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala hingga tasbeh itu

memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu dan Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa

mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.

Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersamadhi sebagaimana yang mereka semua

kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala

pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu hingga tanpa memandang atau

bergerak, ia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun

datangnya!

Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah

sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biarpun mereka

dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah

pertempuran yang hebat. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka

berdua melatih diri dan bahkan mereka telah menambah senjata pedang mereka

dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai. Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun

Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan

mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi

mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu mengambil keputusan untuk

berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya,

sedangkan Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang

mematikan.

Betapapun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan

keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa

kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat daripada

kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke gua itu. Lebih tinggi tingkat

kepandaiannya daripada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih

lebih lihai daripada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka

sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.

Akan tetapi, setelah melihat agak lama tidak hanya lenyap perasaan kuatir

mereka, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng heran dan kagum!

Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu

Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya! Kakek jembel ini tidak

melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah

serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis!

Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya, dapat ia kelit dengan mudah dan

serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tak dapat ia elakkan, maka lalu

ditangkisnya dengan tulang. Biarpun ada empat buah senjata menyerang berbareng

dari empat jurusan, masih dapat ia tangkis dengan putaran tulang yang berubah

menjadi senjata yang lihai itu!

Kedua iblis itu makin marah dan penasaran. Telah puluhan jurus mereka

membacok, menusuk, memukul dan melakukan serangan bermacam-macam akan tetapi

selalu sia-sia hasilnya. Benarkah mereka takkan berhasil mengalahkan seorang tua

yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas

sedikit pun! Ah, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih

gencar dan hebat.

Sementara itu, melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela

diri saja tanpa mau membalas sedikitpun Ang I Niocu dan Cin Hai penasaran

sekali. Akan tetapi, apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa

kepandaiannya masih jauh daripada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu,

sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couwnya,

tidak berani turun tangan tanpa diperintah. Cin Hai berpikir, kalau suhunya itu

bertahan terus saja, apakah ia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan

juga? Ia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring

ia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,

“Seorang budiman hanya mencabut pedang untuk mempertahankan kehormatan dan

nama. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah

perbuatan orang gagah, hanya dilakukan oleh anak-anak dan orang tolol!” Kemudian

dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri,

“Aku masih bingung memilih nama untuk Hek Pek Moko, apakah mereka ini anak-anak

ataukah orang tolol??”

Karena suasana di situ sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis

itu yang kadang-kadang beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin

Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.

Tentu saja kedua iblis itu mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah.

Biarpun hanya menduga-duga saja, ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang

“memperebutkan benda” adalah tepat sekali. Cin Hai memang belum tahu mengapa

tokoh-tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Gua Tengkorak, akan tetapi ia

dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu

yang amat penting dan berharga. Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau

mendengarkan nasihat-nasihat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka

bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.

Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biarpun Bu Pun Su masih dapat

membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda

bahwa kakek itu telah mempergunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan

berbahaya dari kedua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak

kembali, kini lebih keras daripada tadi,

“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan

kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan. Orang

menyerang secara jahat dan tak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi

hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”

Biarpun Cin Hai berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh

oleh kata-katanya. Cin Hai tidak putus asa, ia mengulangi lagi kata-katanya

dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak. Akan tetapi

pada saat itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi

serangan kedua lawannya. Kalau ia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal

lain, maka kedudukannya akan berbahaya sekali dan pertahanannya akan menjadi

lemah. Oleh karena itu, maka teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan

yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.

Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat

kenyataan bahwa keadaan suciok-couwnya berbahaya sekali dan gerakan-gerakan

orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak

makin hebat! Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia

membantu Bu Pun Su. Kalau nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka

ia akan berlaku nekad dan membelanya, biarpun untuk itu ia akan mendapat marah

sekalipun!

Cin Hai lalu berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di

sudut. Ia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis

berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, ia

lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik.

“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”

Biarpun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena

percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan

kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang ia menggunakan

lweekangnya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah-sebatang suling

terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan

bentuknya sangat sederhana.

Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat

itu telah sangat terdesak, ia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan

bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang ganjil dan sukar

sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai mengerahkan kepandaiannya dan

mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu!

Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat

mendengar kata-katanya.

Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu

Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau

ia terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan

suara suling yang nyaring ini! Dan sangat untung baginya karena tidak saja dia,

bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian

Hek Pek Moko setengah bagian terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian

halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya karena

perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah

perhatiannya, maka biarpun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya

serang kedua itu pun banyak mengendur pula!

Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah

Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan

mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,

“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan

kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan! Orang

menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa

memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”

Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil hingga ketika tiupannya

ditunda, maka keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai

terdengar terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan

baik. Tiba-tiba kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “bicara tentang

kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga daripada muridku yang

bodoh! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua

turun tangan?”

Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir

berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih

hebat lagi!

”Siancai, siancai!” Bu Pun menyebut dan orang tua itu kini menggerakkan

tangan kirinya yang sejak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali

tangan kirinya bergerak, maka ia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang

menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah

tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya dan jatuh

berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya

bergerak pula menyambit. Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali

batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata

hingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri

Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas

lantai!

Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang

masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan

berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan

gemasnya,

“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata

mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat

keluar dari Gua Tengkorak dan melarikan diri.

Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah

berhasil menolong orang tua, maka ia lalu maju dan berlutut sambil menyebut,

“Suhu...”

“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat

persembunyian.”

“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda

memang paling doyan berkelahi!” Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu

dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya.

“Kiang Im Giok, sekarang kaupergilah ke timur dan mencari Sucimu di daerah itu.

Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu

membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau ia masih belum insyaf,

bawa ia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap

kelemahanmu sendiri!”

Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik,

Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan

berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”

“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”

Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi,

tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,

“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya

terdengar pilu dan terharu, hingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling.

Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!

“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhunya!

“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.

Kemudian kakek ini berdiri lalu berkata kepada Ang I Niocu yang hendak

melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu dulu. Aku masih ragu-ragu, apakah

kalau Sucimu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba

kauperlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sianli

Kiam-hwat!”

Ang I Niocu tidak berani membantah, lalu melolos pedangnya. Kemudian ia

mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali

bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring

tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, setelah gerakan Ang I Niocu menjadi

cepat hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,

“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima

puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”

Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi

kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin

Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil

berkata,

“Coba kauserang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”

Sungguh pemandangan yang indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat

Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan

tarian Ang I Niocu hingga mereka merupakan sepasang penari ulung yang

mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah

kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda,

tentu akan indah dan cocok sekali!

Cin Hai tak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su

tadi, akan tetapi, setelah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I

Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan, ternyata kakek yang lihai itu telah dapat

mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu menyerang

melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia

bersilat! Ia maklum bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, maka tangan kakek

itu tentu sudah berhasil merobohkannya dengan mudah!

Tiba-tiba kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari

gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik-beratkan kepada keindahan

gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat

kelemahan karena perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan

memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh

keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu,

akan tetapi kalau waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah

dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau

harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang

pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat

gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air

untuk menjaga agar jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat terbuka

yang diadakan oleh gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”

Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian

kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.

“Kalau tidak salah, Sucimu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau

ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”

Mendengar disebutnya nama pemuda itu, tiba-tiba wajah Ang I Niocu berubah

merah. Agaknya kakek yang luar biasa ini telah dapat menduga akan isi hati dan

perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai

lagi, Dara Baju Merah itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dilihat

oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.

“Nah, anak bodoh! Mulai sekarang kau harus berlatih dan belajar silat

dengan rajin. Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid,

dan sekali aku mengambil murid maka ia harus belajar dengan baik-baik agar tidak

akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut

segala perintahku, bukan?”

Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya untuk memberi hormat. “Teecu akan

menurut segala perintah Suhu.”

“Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu

semenjak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”

Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi

sedikit pun, akan tetapi setelah ia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,

“Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan

Kiang Im Giok!”

Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhunya dengan penasaran dan heran.

“Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu

seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”

Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang.

Perhubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!”

Cin Hai memang mempunyali sifat pemberani dan pantang mundur menghadapi

siapa juga apabila ia merasa bahwa pihaknya benar, maka ia lalu berkata lagi,

“Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu,

perhubungan teecu dengan An I Niocu itu, hanya mendatangkan perasaan kasih

sayang suci. Mengapa tidak? Teecu yang sebatang kara dan hampir semua orang

telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat dan hanya Ang I Niocu seorang

yang telah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah kalau teecu mempunyai

rasa kasih sayang yang besar kepadanya yang timbul karena perasaan terima kasih?

Ujar-ujar pernah menyatakan kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah

suci murni!”

Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu

menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, kau

terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh

dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah, kenyataan hidup ini jauh sekali

bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala

macam ujar-ujar yang indah itu ternyata tak dapat memperbaiki sifat manusia,

bahkan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala

keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”

Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya

kesusastraan. Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari

mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya

”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua. Memang bagimu aku

tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan

sekali kalau anak itu menjadi korban daripada kelemahan hatinya sendiri...”

Cin Hai mengerutkan keningnya akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang

telah nampak dewasa dan tinggi tegap akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih

bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhunya.

Pada waktu itu usianya telah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal

pengertian pergaulan pria wanita ia masih bodoh dan hijau.

“Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan hal

lain lagi. Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang takkan dapat menghasilkan

ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hwat dan

Sianli-kun-hwat. Juga Ngo-lian-hwa Kiam-hwat telah kau pelajari dari Im Giok.

Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya

sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapapun tinggi ilmu

silat seseorang, namun apabila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan

sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada

tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja

yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Jika engkau dapat

mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi

ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”

Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan

mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat

dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama

halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!

Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh

persilatan tertinggi yang mempunyai kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya

yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka

menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimanapun juga, Bu Pun Su dapat meniru

semua gerakan itu dengan sama baiknya, biarpun ia belum pernah mempelajari ilmu

silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!

Tentu saja, setelah dapat mengetahui silat dan pokok gerakan lawan, mudah

saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan

syarat untuk mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus

dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga! Oleh karena ini, di samping mempelajari

pokok-pokok rahasia gerakan silat Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu

meringankan tubuh) yang membuatnya dapat bergerak gesit bagaikan seekor burung

walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya memiliki tenaga dalam

yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar maupun halus. Juga

untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang

khusus dan istimewa, karena ia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut

kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang

maupun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur

semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena ini, maka

latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk

memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersamadhi dan mempertebal iman. Jika

iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya “bunga api dari Tuhan”

menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi

kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan

melemahkan tubuh dan batin.

Cin Hai mempunyai dasar-dasar dan bakat yang baik, maka tanpa banyak

mengalami kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhunya

hingga Bu Pun Su merasa girang sekali.

Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai telah menerima

gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan

ia telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan

wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja

nampak bodoh dan mukanya yang lebar tidak mengurangi “tampang bodohnya”!

“Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau telah dapat menangkap

intisari daripada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu

silat yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya

dapat digunakan pada waktu menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat

digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan

apabila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik

sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah

menyerang orang. Aku hanya bergerak apabila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti

dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman

dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Maka, julukan “Pendekar Bodoh” harap

kaupakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang-orang

yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”

Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhunya ini dan semenjak berlatih

ilmu di dalam Gua Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia

hidup. Kini ia tahu akan maksud suhunya yang dulu memperingatkan bahaya yang

akan ada dalam perhubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu

adalah “cinta” yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua

dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta kepadanya sedangkan perjodohan

di antara mereka tidak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan

siksa dan derita bagi Ang I Niocu?

Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu akan tetapi

perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik kepada kakaknya, atau kalau

mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi,

siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati

iba terhadap Ang I Niocu.

Pernah ia bertanya kepada suhunya akan segala peristiwa yang terjadi di Gua

Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su

tersenyum dan menceritakan seperti berikut,

“Gua ini dulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu

Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu San menjadi

panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang

waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang

menguasai tentara. Akan tetapi nasihatnya tidak dipedulikan oleh kaisar.

Akhirnya, setelah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut

dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan sejumlah tentara lima belas

laksa orang dan memukul ke selatan! Kaisar yang tidak becus mengurus

pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya

mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja, hingga dengan mudah barisan kerajaan

dapat dimusnahkan oleh An Lu San dan kaisar sendiri lalu mengungsi ke Secuan.

Ibu kota lalu diduduki oleh An Lu San semenjak itu. Di mana-mana seluruh rakyat

bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.

Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri

karena ia dicari-cari oleh An Lu San untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh

dan hanya ia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.

Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang

tinggi. Setelah menemukan gua ini dan memperbaikinya hingga menjadi sebuah

tempat tinggal yang besar dan aman, ia lalu mengumpulkan tulang-tulang binatang

besar yang banyak terdapat di gua ini, peninggalan dari jaman purba, lalu dengan

kepandaiannya ia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi

tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu! Jangan dikira bahwa

itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang

binatang yang diukir dan dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat

dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!

Dalam pelariannya, Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga

dari dalam istana, karena ia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke

dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu San mencari-cari menteri

yang setia itu. Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini

yang dipasang di depan dan di dalam gua, tidak ada tentara pemberontak yang

berani memasuki gua dan Lu Pin selamat dan tinggal di sini sampai datang hari

ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur dibawah hiolouw itu.

Kemudian, hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka

menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam gua ini

terlebih dahulu telah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu

keturunan dari Lu Pin hingga usaha mereka gagal!”

Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan heran. “Suhu, siapakah keturunan

dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”

Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa

lagi kalau bukan Suhumu sendiri?”

Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya. Tidak tahunya bahwa

kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang

bershe Lu?

“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta

benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan digunakan oleh Lu Pin untuk

membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap

pemberontakan An Lu San. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan

inilah barang itu!”

Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu

biarpun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilau dan

sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu Liong Coan. Inilah

Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka

Kerajaan Tang itu.

“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”

“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang

ini hanya menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu

Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar

gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”

Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua

nasihatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedanglah yang harus dipersalahkan

dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia

ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau baik hanyalah

terjadi karena akibat daripada perbuatan orang dan hanyalah merupakan pandangan

seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik,

maka ia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud

buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!” Setelah Cin Hai menerima pedang

Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya

kau pergi meninggalkan gua ini, Cin Hai. Ingat baik-baik semua pelajaranmu di

sini dan pesanku terakhir : Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada

sesama manusia. Kalau terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka

lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama

membunuh orang tak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini

orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang telah mengkhianati bangsa

sendiri. Terhadap mereka ini pun kalau kiranya masih ada jalan lain, jangan kau

sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”

Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan

gua di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su,

kakek jembel yang lihai itu.

Ketika meninggalkan Gua Tengkorak, suhunya telah memberinya sekantung emas

murni hingga Cin Hai tidak kuatir tentang biaya perjalanannya. Tujuan

perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak

kembali ke Tiang-an menemui ie-ienya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai

niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thionya, yaitu Kwee-ciangkun, namun

ia tidak dapat melupakan ie-ienya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di

dalam dunia ini, selain suhunya, hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang

menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya.

Beberapa pekan kemudian tibalah ia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada

suatu hari ketika ia sedang berjalan dalam sebuah hutan pohon pek yang indah,

tiba-tiba ia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan

kakinya dan di suatu tempat terbuka ia melihat empat orang sedang bertempur

hebat sekali.

Cin Hai bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan

ketika ia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat

mengenal muka seorang diantara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya,

Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang! Biarpun muka pamannya telah berubah kurus dan

rambutnya telah banyak uban, namun Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia

heran sekali mengapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!

Kwee In Liang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju

putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa ia adalah seorang tingkat

tiga, hingga lagi-lagi Cin Hai merasa terheran. Mengapa pamannya yang juga

serang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!

Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi lawan pamannya dan yang juga

bertempur dengan hebat. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki

kepandaian sitat, gesit dan hebat, bahkan sekali pandang saja tahulah Cin Hai

bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.

Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda dan bagian bawah

bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil ramping dan wajahnya manis

sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan

sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya

hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan. Dara manis ini

bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian

hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang biarpun

berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Ia lalu memperhatikan lawan

gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman. Ia menjadi terkejut karena

kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan

barangkali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya

model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Kedua lengan

tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang

dengan buasnya. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!

Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, dapat

mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap

Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya hingga pada suatu saat yang

baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk dan berhasil menangkap

lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di

belakang tubuh perwira itu. Sekali saja ia menggentakkan lengannya yang

tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya hingga perwira itu

terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan

ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!

Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju

merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan

Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu

dengan tiam-hwa (ilmu totok) model Mongol akan tetal cukup lihai hingga berhasil

membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh

Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak

gadis tadi dan hendak dilarikannya!

“Keparat she Boan, jangan kauganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan

melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi, ia segera memburu.

Cin Hai yang mengintai di balik pohon ketika mendengar betapa Kwee-

ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, menjadi tercengang dan memandang

lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa

gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik

oleh Biauw Suthai! Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena

girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak

mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini setelah tahu

bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dulu sangat jenaka dan

nakal itu, timbut kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.

Untung ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh

perhatian. Perwira baju merah itu ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak

menyerang untuk menolong Lin Lin, segera mendahului dengan serangan kakinya

hingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan terlempar! Ternyata bahwa

Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.

“Ha, ha, ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa?

Kautolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan

cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu

memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!

Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke

arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka ia mengelak sambaran

pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi

benda ke dua cepat telah menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja

benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan

diri dengan merendahkan tubuh. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja

tubuhnya merendah tanpa dapat dikelit pula, benda ke tiga telah menyambar pundak

kanannya!

Ia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi

karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya

menjadi lemas kesemutan hingga terpaksa ia melepaskan tubuh Lin Lin. Dan pada

saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung

Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua

sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa telah bebas cepat melompat ke

samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kaki karena

babatan kaki perwira she Boan itu tadi.

Perwira itu ketika melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir

buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang tumbuh di depannya

itu merasa kaget sekali, dan ia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang

mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar,

maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu

mencari. Tetapi aneh, di situ tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan

mencari-cari dengan matanya, tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan

tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!

“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau,

tetapi, tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”

Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan

mengira bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu

berkata,

“Boan-enghiong, mengapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa

anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang

lain!”

“Tak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja

di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”

Setelah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ

dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,

“Baiknya ia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”

Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab,

“Ayah, kau tidak tahu. Kalau tidak ada orang pandai yang membantu, entah

bagaimana jadinya dengan kita.”. Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan

dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan

itu pun telah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!

“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya ia

tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebetulnya

ia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.

Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut dan segera ia berseru

dengan suara keras,

“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat

menyatakan terima kasih kami!”

Akan tetapi, biarpun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul

atau menjawab.

“Sudahlah, Ayah. Agaknya ia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita.

Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan ia telah menyatakan hendak

datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa ia tak mempunyai maksud baik. Kita

harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”

Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar

benar sekali. Tetapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang

ajar menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”

”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya

aku pergi minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kaumaksudkan

dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku telah... dipertunangkan...?”

Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.

Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka

berkata terus terang hingga tidah malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.

“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah ia mendesak lebih

jauh.”

“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tak perlu kiranya kita terlalu

takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suciku bisa kuajak datang

membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”

Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu.

Ketika mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang

pemuda berjalan mendatangi. Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah

bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya

sederhana seperti pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar.

Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita

kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.

Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian

karena ia seakan-akan merasa sudah kenal kepada pemuda ini sedangkan Lin Lin

hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah

berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam,

lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,

“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”

Kwee In Liang memandang tajam dan juga Lin Lin kini memandang penuh

perhatian kepada pemuda ini.

“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal

padaku?”

Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memberi hormat

sambil menjura,

“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”

“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya

mengeluarkan sinar dingin.

“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Eh, kau sekarang tidak

gundul lagi!”

Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat

menahan geli hatinya hingga ia tertawa gembira, juga Lin Lin tertawa senang

sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata

burung Hong itu.

“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.

“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah

selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi

memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”

“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa.

Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini

sederhana sekali hingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka

kepadanya, maka ia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,

“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah

ia baik-baik saja?”

“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak

tinggal di Tiang-an lagi, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun.

Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kami telah

menjadi orang-orang biasa dan hidup sebagai petani!”

Berita ini benar-benar tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada

Ie-thionya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi,

Kwee In Liang menegur puterinya.

“Lin Lin, tak perlu kita bicarakan hal itu di sini. Cin Hai, kau sekarang

hendak ke manakah?”

Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, maka Cin Hai juga tidak

hendak merendahkan diri hingga ia menjawab,

“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di

sana lagi, aku... aku akan melanjutkan perantauanku...”

“Eh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!”

Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.

Karena tidak ada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai

hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di

Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”

“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau benar-benar telah melupakan Bibimu,

melupakan kami? 0, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh

hari lagi kami akan mengadakan sedikit perayaan guna memperingati hari ulang

tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!

“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang

kepada Kwee In Liang hingga terpaksa orang tua ini berkata,

“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin,

sudahlah jangan kita ganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai

keperluan penting. Hayo kita pergi!”

Maka berpisahlah mereka, akan tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil

berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau

masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”

Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan

kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka

kepadanya dan sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk

mengunjungi rumahnya. Akan tetapi, Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan

hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis

sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira.

Alangkah indahnya mata gadis itu. Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas

Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang

sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi. Haruskah

ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin,

apalagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak

dilayani dan dianggap sepi?

Akan tetapi, ia harus melihat ie-ienya yang telah lama ia rindukan.

Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena ia tidak

butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, dan juga ada Lin Lin yang tentu

akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada

hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya! Perwira she Boan itu akan

datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu, agaknya sukar bagi Lin Lin

untuk menyelamatkan diri. Ia harus datang, dan akan melihat-lihat saja dulu,

kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, ia

hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi kalau sampai gadis manis itu

terancam bahaya, mau tidak mau ia terpaksa harus turun tangan!

Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali

mengapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan

tetapi, ketika ia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah

dipertunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang,

heran sekali! Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak

ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia

harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya

menjadi dingin dan ia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin

dari pikirannya, akan tetapi tidak berhasil!

Ia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun ia

tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya

itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su

dulu menyuruh Ang I Niocu mencari sucinya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki

Giok gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.

Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu ia

akan mencoba mencari Ang I Niocu. Ia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi

ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke

sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari. Masih ada

waktu baginya, maka dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya

menuju ke Lok-bin-si, sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya.

Setelah menerima perintah dari Susiok-couwnya, Ang I Niocu pergi mencari

sucinya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa

Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau

ke arah barat. Ang I Niocu sebetulnya ingin lekas-lekas kembali ke Gua Tengkorak

karena semenjak meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin

Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu.

Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couwnya

sebelum bertemu dengan sucinya. Ia maklum bahwa susiok-couwnya itu sangat

bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas itu diselesaikan, maka ia

tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, ia lalu menyusul ke barat,

mencari sucinya.

Daerah barat sangat luas sehingga tidak mudah mencari seorang yang tidak

diketahui jelas di mana tinggalnya, walaupun orang itu begitu terkenal seperti

Giok-gan Kui-bo sekalipun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua

tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan

sedih sekali. Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya?

Pemuda itu sekarang berada dengan susiok-couwnya dan ia sekali-kali tidak berani

menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.

Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada

hentinya mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang

menderita, membela kaum tertindas dan membasmi para penjahat yang mengganas.

Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.

Setelah ia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya ia mendapat

keterangan tentang nama sucinya. Ternyata sucinya terkenal sekali di kota ini

karena dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan

kepada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.

Pertempuran ini terjadi ketika para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang

piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim

barang) di kota itu. Memang Oei-houw-piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang

terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh

semua orang di kota itu, juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di

hutan-hutan dan gunung-gunung apabila melihat bendera warna kuning dengan gambar

kepala harimau, tidak ada yang berani mengganggu. Akan tetapi Oei-houw-piauwkiok

memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh

karena itu ketika piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar

yang mengirim barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang

bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok

menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.

Ong Hu Lin adalah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu

silatnya lumayan juga dan ia memiliki ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya

juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan ia hanya menggantikan

kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan

mengandalkan kepandaiannya, ia mencari nafkah dengan mengawal barang-barang

berharga dan mendapat upah sekedarnya.

Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk

mengawal kiriman segerobak cita yang mahal harganya. Ketika melalui sebuah

hutan, tiba-tiba ia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan

orang. Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata,

“Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang sedang mencari nafkah.

Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke mana barang

ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa

sekedar barang hadiah sebagai tanda penghormatan.”

Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu

bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di Oei-houw-piauwkiok yang sengaja

menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya

itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi

besar itu membentak,

“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan barang-barang ini di sini

dan kau pergilah kalau kausayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi

piawsu, dan lebih baik kaututup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”

Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya

dan ia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup

tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang anggauta perampok telah roboh

mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok

itu.

Pada saat itu, tiba-tiba muncul tiga orang yang membantu para perampok

mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu

Oei-houw-piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan

sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam. Pada saat itu,

terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tetapi mendirikan bulu

tengkuk karena tidak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan

menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut tiga

orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan

cepat dan ganas. Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang

perampok terlempar dan bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari

tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang terluka.

Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang

menolongnya dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita yang cantik

dengan sepasang mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu

tersenyum manis. Rambutnya hitam panjang dibiarkan tergantung di punggungnya,

bajunya berwarna hijau dan celananya putih.

ONG Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru ia menjura memberi hormat,

“Lihiap yang gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu

bagaimana harus membalasnya.”

“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah

orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?”

Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.

Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”

“Bukankah kau Ong Hu Lin, piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bokchiu?”

kata wanita itu yang bukan lain adalah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali

aku bertemu dengan ketiga orang Piauwsu dari Oei-houw-piauwkiok itu dan

mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku membiarkan saja mereka

berlaku sewenang-wenang?”

“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai

seperti bidadari ini?”

Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit dan memandang

wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku

Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”

Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa

ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit, maka ia lalu berlancang mulut

berkata sambil tersenyum manis.

“Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan

orangnya.”

Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot,

tetapi bibirnya tetap tersenyum!

“Lihiap, harap kaujangan kepalang menolong orang.” kata Ong Hu Lin.

“Apa maksudmu?”

“Sudah jelas bahwa diriku yang tiada kawan ini dimusuhi oleh kawanan

Oei-houw-piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau

yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku

berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani

mengganggu lagi.”

“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.

“Apa yang kauminta, Lihiap, biar jiwaku sekalipun akan kuberikan kepadamu.”

jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.

Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tidak

berpisah lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka

ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oe-houw-piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua

piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya

piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi

pemimpin piauwkiok itu.

Sebaliknya Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan

tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam

sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan

membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah gua di gunung yang dekat dengan

kota Bok-chiu. Gua ini ia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja ia

pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.

Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin

sebetulnya telah mempunyai seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang

sembarangan karena isterinya ini adalah Pek bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih,

yaitu puteri tunggal dari Pek Moko! Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan

puterinya dan Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin

dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya kalau melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan

bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda

dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian

silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima

pendidikan dari supeknya, ialah Hek Moko yang lihai! Akan tetapi celakanya,

Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila

karena suatu penyakit panas hingga betapapun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin

tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut! Oleh karena

ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari

isterinya yang gila ini hingga sampai di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan

Kui-bo yang biarpun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi

sikapnya menarik hati dan tidak gila!

Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tak pernah mimpi bahwa

pada saat itu, isterinya yang gila telah menyusulnya dan berhasil mengetahui

tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan

ayahnya ini telah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo!

Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena ia takut setengah mati

kepada isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai

sekali.

Pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya,

tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan suara yang sangat dikenal dan

ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata

karena mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum

manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di depan pembaringannya

telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli

memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.

“Kau...?” Ong Hu Lin berseru.

“Hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa

dan menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo

kauberitahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”

“Sia... siapa... yang kau... kaumaksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.

“Hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan

antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?” Biarpun suara

isterinya terdengar merdu, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat

hingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Ia dapat membujuk-bujuk

isterinya yang gila itu untuk menanti sampai besok pagi, karena tidak mungkin

malam-malam yang gelap itu mencari gua tempat Giok-gan Kui-bo. Karena Pek-bin

Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa

menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau

dan meluaskan pengalaman.

Setelah malam berganti pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan

isterinya itu mengunjungi gua di mana Giokgan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di

situ terheran-heran karena tidak tahu bilamana datangnya seorang wanita cantik

yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari

kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita

itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak

bertanya.

Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan

mendengar tentang perhubungan sucinya dengan Ong Hu Lin. Ia pergi menyelidik dan

mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya

tinggal di dalam sebuah gua di gunung yang berada tak berapa jauh dari kota itu.

Maka ia pun lalu menyusul ke sana!

Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam gua tempat tinggalnya,

menanti mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba tirai bambu yang dipasang

di depan guanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh

telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha-hi-hi. Kim Lian memperhatikan

wanita ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di

atasnya diikat dengan pita hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu

sekali.

“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah

seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.

“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang

merampas suamiku? Ha, ha!”

“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat

duduknya.

“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari

telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”

Setelah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah

pipi Lim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan menggerakkan tangannya hendak

menangkap tangan yang menampar itu, akan tetapi alangkah herannya ketika tangan

yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan

dan “plak!” pipinya kena tampar!

Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama merantau di dunia kang-ouw belum

pernah ada orang berani menghinanya, apalagi menamparnya!

“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan

dada turun naik karena marahnya.

“Hi, hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku?

Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”

Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin

Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Mengapa kau datang-datang memaki dan

menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat ia melupakan kemarahannya.

“Hi, hi, hi! Kau main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa

aku menamparmu? Ha, ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”

Giok-gan Kui-bo melirik keluar gua dan melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri

dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.

“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia

suamimu.”

“Ha, ha, ha! Ia terlalu cinta padaku, mana ia mau mengobral namaku

disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi, hi, hi!”

“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kaukira aku Giok-gan

Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”

“Eh, eh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian,

Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam gua yang

sempit itu! Kalau Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti

menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu

luar biasa lihainya mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam

sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah

kelihaian tiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli

memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas

sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah

menyentuh tanah. Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh.

Pertempuran itu sungguh menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai

menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari gua itu membuat tirai bambu

yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu

Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik

ke tempat itu dengan cepat sekali. Ia cepat menyelinap ke samping gua dan

bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian

tinggi. Setelah dekat, ia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita

berbaju merah yang luar biasa cantiknya.

“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah

melihatmu!”

Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia keluar

dari tempat persembunyiannya. “Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu

dengan suara keren. Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya

memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”

“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.

“Tak usah kau tahu. Lekas katakan di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I

Niocu membentak marah hingga Ong Hu Lin merasa takut. “Dia... dia sedang

bertempur melawan isteriku... “

“Isterimu? Siapakah dia?”

“Pek-bin Moli...”

Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang

tergantung di depan gua yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan

dari dalam gua. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai

itu.

Pada saat itu, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang

mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak

tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka

tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri telah melanggar pundak kiri Giok-gan

Kuibo yang mengeluarklan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba

berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah

lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli kaget dan melompat mundur sambil

memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.

“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah

Suciku kalau ia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar hingga kau tak perlu

menjatuhkan tangan maut!”

“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.

“Aku Sumoinya.”

Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli

teringat. “Hi, hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”

“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu

memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar “sekarang

aku putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau

kaubiarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”

Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana

dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!” Dan wanita gila ini berlari keluar sambil

berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Setelah bertemu di luar, ia lalu

menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja

seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.

Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di

pundaknya walaupun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.

“Suci, telah dua tahun aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di

sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”

Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tidak menjawab hanya

menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa jika

berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah.

Ia maklum bahwa sucinya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak

orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di

dalam hati ia tak begitu jahat.

“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh

wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu

dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu anggaplah saja

sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”

Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga

wajahnya berubah pucat.

“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan putusan pendek dan

tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Kau

telah berkali-kali melanggar pantangan sebagai orang gagah dan melakukan

perbuatan-perbuatan rendah. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan

kau mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”

Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku

telah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatangkara, hidupku merana menderita.

Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi

kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidupku dalam kesunyian dan

mati dengan hati menderita?”

Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan

suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau juga tahu bahwa di dunia ini

ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula

kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat?

Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah

kau tidak memiliki lagi kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan

menjunjung tinggi kesusilaan?”

“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil

menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama

hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati

yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat daripada batu!” Kim Lian

memandang sumoinya dengan mata basah. Ia sama sekali tidak pernah menyangka

bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk uluhati Im Giok hingga

Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat

akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ah, Suci, kalau saja kau tahu betapa

berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.

“Im Giok, aku memang telah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw

bahwa semenjak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw

(pendeta wanita) dan bertapa di gua ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi

dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”

Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan

memeluk sucinya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa girang

mendengar akan keinsyafan sucinya ini, akan tetapi kata-kata Ki Lian tadi

benar-benar menusuk hatinya.

“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim

Lian sambil mengusap-usap rambut sumoinya yang halus.

“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari

kesesatan...”

Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, lalu dengan

tiba-tiba ia mencabut pedang yang tergantung di punggung Ang I Niocu. Gerakannya

cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung

riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya! Ang I Niocu hanya dapat

memandang dengan hati terharu sekali. Setelah kedua kakak beradik seperguruan

itu bercakap-cakap melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu meninggalkan Kim Lan.

Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya karena ia ingin segera sampai di

Gua Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah

diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin

Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!

Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Gua Tengkorak itu,

ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap

putih. Ia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan

kuatir.

Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”

“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim

Lian?”

Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya dan ketika ia

menceritakan keputusan sucinya yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk

menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air mata.

Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.

“Baik juga keputusannya itu. Betapapun dosa seseorang, asal dia dapat

insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang

sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia boleh disebut seorang

bijaksana.” Kemudian, setelah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah

gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara

sungguh-sungguh,

“Im Giok, kalau aku tidak salah sangka, luka di hatimu akibat gagalnya

perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dulu agaknya sekarang telah sembuh dan

kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi seorang wanita, mendirikan

rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk

membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban

sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Sucimu itu, karena ia sebagai

seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga, maka banyak

penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau mempunyai iman yang

kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup

menyendiri? Kau tidak mempunyai jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang

takkan kawin selama hidupnya!”

Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar,

karena kata-kata itu memang tepat dan seakan-akan susiok-couwnya dapat membaca

isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan

tetap bertunduk.

“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang

suami yang baik sekali, dan aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan

cocok untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”

Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul

harapan yang diliputi kekuatiran di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang

dimaksudkan oleh susioknya ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan

masih tetap tunduk.

“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku

akhiri masa hidupku untuk menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang

manusia sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”

Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,

“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu

siapa... orang yang dimaksudkan itu?”

“Ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kaukenal, bahkan hubunganmu dengan

dia akrab sekali!”

Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.

“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku telah tahu benar-benar akan

perhubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan

patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im Giok?”

Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.

“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan

perjodohan!”

“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah

Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”

“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat

menjadi isteri seorang yang tidak... teecu cinta... ?”

“Aha, anak muda sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak.

Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat

mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna daripada cinta muda yang hanya

terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa kau telah tertarik hatimu oleh Cin

Hai. Betulkah?”

Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek ini

dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui tentang segala persoalannya dengan

Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani

mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

“Im Giok, kau telah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh

menaruh hati sayang kepada Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang

wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kaudasarkan atas rasa

kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia

Cin Hai? Harus kuakui bahwa kau memang masih nampak muda sekali berkat telur

burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun

lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini

tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat

terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”

Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I

Niocu menangis tersedu-sedu hingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat

betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.

“Im Giok, kelak kau akan ingat bahwa aku memberi semua nasihat ini

semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua

kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu

kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak

melarang. Aku takkan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau

kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”

Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri lalu

keluar dari gua itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan

kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan sekali.

“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!”

katanya perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.

Setelah keluar dari gua itu, diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala

ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat terbuka hingga hawa sejuk

mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasihat kakek itu.

Biarpun ia tidak diberi tahu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu

telah turun gunung. Tentu saja ia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su tentang

anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya

terhadap Cin Hai.

Ang I Niocu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa

hari yang lalu meninggalkan Gua Tengkorak itu. Ia hanya menyangka bahwa pemuda

itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah

menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke

Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapapun juga ia harus bertemu dengan pemuda

itu, karena ia tak dapat menahan rindu hatinya lagi.

Setelah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai lalu

kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang.

Dan sebuah hal yang tak terduga-duga terjadi! Ketika ia tiba di sebuah kaki

gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi

dengan sangat cepat dari depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang

manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera

mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada Ang I

Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu gin-kang yang hebat.

Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang

I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika ia

melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia

hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga

tahun lamanya itu telah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi

seorang pemuda yang cakap dan tegap!

“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.

“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.

Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju

Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama

dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu

hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di

dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu. Ang I

Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka

kalau tadinya ia merasa ragu-ragu dan selalu kata-kata Bu Pun Su bergema di

dalam telinganya hingga ia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena

pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Ia balas

memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,

“Hai-ji... Hai-ji…”

Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan

mesra.

“Hai-ji, kau telah tiga tahun belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu

sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”

“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya

memberi pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai mencabut sebatang

suling dari pinggangnya dan mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa.

Ang I Niocu juga tertawa girang.

“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?”

tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam

bagus.

”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau

menari, Niocu. Bagaimana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba

mengikuti gerakanmu.”

Dengan girang sekali Ang I Nioct berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera

meniup sulingnya. Memang pemuda ini selama belajar silat pada Bu Pun Su, tak

pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya

sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.

Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I

Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai dan Cin Hai yang sudah

mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah dapat

mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian dan

pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.

Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu,

gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau

sepasang lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua

tangan Cin Hai tidak digerakkan karena ia menggunakan untuk memegang suling yang

ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.

Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa kagum sekali

karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini

merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil

tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa

cinta! Sebaliknya, Cin Hai juga gembira, akan tetapi ia menari dengan tenang dan

wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan

gembira.

Setelah selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.

“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah dapat meniru

Tarian Bidadari demikian sempurnanya! Kau tentu telah mempelajari ilmu silat

yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kauperlihatkan pelajaran ilmu silatmu

itu untuk kukagumi.”

“Sesungguhnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian

itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku,

kalau aku disuruh menari seorang diri aku takkan sanggup melakukannya.”

Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak

berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga

susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.

“Biarlah, kau jangan kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi

pelajaran silat kepadamu!”

“Terima kasih, Niocu kau memang baik sekali.”

“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau telah bertemu dengan

Bibimu dan keluarga Kwee?”

“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie.

Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang

tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan

Kwee In Liang.

Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka

berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai

sekali. Apakah kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biarlah aku ikut dengan

kau untuk membantu mereka!”

Cin Hai merasa girang sekali mendengar ini. Demikianlah mereka

bercakap-cakap dengan gembira sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan

pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka mengambil keputusan

untuk datang di Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.

Pada bulan itu juga tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar

tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ke

enam puluh dari Kwee In Liang. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus

merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung

lain maksud. Puterinya Lin Lin, semenjak kembali dari perguruan telah memiliki

kepandaian tinggi sekali dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya

yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap

tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang

orang-orang gagah yang telah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak

mencari-cari seorang calon mantu yang cocok untuk Lin Lin.

Mengapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini

juga terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal

sebagai seorang panglima yang setia dan gagah. Ia mematuhi perintah dan

menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh

karena ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar. Akan

tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini

dan muridnya lalu mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya

Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sebenarnya lalim dan tidak adil

itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan

Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia

kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan

memeras rakyat.

“Kalau Ayah tidak mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan

dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.

Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan

di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama

sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai

panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak tidak

benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama

busuk setelah meninggal kelak. Kedua kalinya, ia ini telah tua dan sudah merasa

bosan dan capai untuk memegang pangkat. Oleh karena ini, ia lalu mengajukan

permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu tua dan lemah.

Atasannya menerima permohonannya dan ia berhenti dengan hormat, lalu pindah ke

Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.

Pada hari itu, rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni

dan kembang. Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin,

Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara

mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah

ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya

meninggalkan surat dan memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi

merantau.

Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak gagah dan

bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak gagah dan cakap dalam pakaiannya

yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan

akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak

Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an. Hwesio ini

adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh

karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang

tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang

telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tidak mendapat

kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu

kesusasteraan.

Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang

yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang

puteranya duduk di ruang depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap

ramah dan menghormat. Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah

semua hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang

banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw

Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena

mungkin sekali akan... ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda

yaitu Boan Sip. Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan menjadi

kepala penjaga keamanan kota Tiang-an, dan ia adalah seorang perwira Sayap

Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ketika melihat kecantikan Lin

Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran tetapi yang ditolak keras oleh Kwee

In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka ia menaruh hati dendam hingga

beberapa hari yang lalu ia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam

hutan.

Oleh karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya

menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.

Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang

lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak

banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh. Ini adalah murid pertama

dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi

hingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng

adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini berhasil dibujuk

oleh Lin Lin yang menjadi sumoinya. Memang, baik Biauw Suthai maupun Bwee Leng

sangat sayang kepada Lin Lin.

Perjamuan berjalan dengan gembira diselingi oleh datangnya tamu-tamu yang

mengucapkan selamat kepada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan

dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.

Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian

sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang

pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduk

nya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,

“Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat kepadamu dengan

doa supaya kau diberkahi panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku

mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari

belajar silat. Kau memang beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah

menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di

sini. Kuharap Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada

sepasang mataku yang tua ini untuk menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia.

Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tidak cukup baik?” tanyanya kepada

semua yang hadir.

Di tempat itu hadir banyak pemuda-pemuda yang telah mendengar tentang

puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari

ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut

dengan tepuk sorak gembira.

Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah

minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan

usul ini agar terbuka jalan baginya mencari seorang mantu yang cocok. Maka

sekarang, sambil tersenyum lebar ia berdiri dari tempat duduknya dan menjura

kepada semua tamunya sambil berkata,

“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang

muda? Tetapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi

kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya dapat menghibur dan

menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kaupenuhilah permintaan Bhok-enghiong

setelah mendapat perkenan dari Gurumu!”

Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian

banyak mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan

tenang ia minta ijin dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi

persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang

sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.

Setelah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin

lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Ia memainkan ilmu Silat

Pat-kwa-kun-hwat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah,

juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu

silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi

tiga empat orang.

Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat

ini. Tiba-tiba baru saja Lin Lin menghentikan ilmu silatnya, terdengar suara

orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali

hingga semua tamu menengok keluar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan ia

menjadi pucat karena yang datang adalah Boan Sip dan empat orang lain yang juga

memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah,

tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati

ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah

lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.

“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa

mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi

mengeluarkan suara ketawa itu.

Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma

Ing, seorang yang terkenal sekali karena memiliki kepandaian tinggi dan menjadi

salah seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she

Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh sangat kuat

dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan

cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,

“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”

Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk diikuti oleh

kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan

dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada sekalian

yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri ditengah

ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,

“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis

sekali!”

Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah sekali karena

teringat betapa beberapa hari yang lalu ia telah tertangkap oleh orang she Boan

ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran

hatinya dan memaki atau menyerangnya akan tetapi pada saat itu dari luar

terdengar suara yang nyaring,

“Ie-ie!!” Lin Lin cepat menengok dan melihat Cin Hai, diikuti oleh seorang

gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio

atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita. Loan Nio yang belum

diberitahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang

dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan yang menghampirinya, Cin Hai

menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”

“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu,

sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.

Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari kedua matanya karena terharu dan

girang. Kemudian ia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ienya.

“Ie-ie, ini adalah Nona Kang Im Giok yang sangat berbudi dan telah banyak

menolongku.”

Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu

duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,

“Eh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan, silakan, aku masih

ingat akan pertolonganmu di gua dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai

memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap

dengan gembira. Sementara itu, Lin Lin juga lari menghampiri mereka dan

diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai lalu menghampiri ie-thionya

untuk memberi hormat dan mengnaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu

menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.

Sementara itu, Boan Sip dan kawan-kawannya melihat kesibukan tuan rumah

karena datangnya seorang pemuda dan seorang gadis baju merah, menjadi tidak puas

dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.

“Eh, eh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada

kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika

Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia berkata,

“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang

juga aku minta keputusanmu dan marilah kau memberi sedikit pengajaran kepadaku,

untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang

lalu. Aku telah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”

Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak

sopan dan sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih

kalah jika dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi ia tidak mau

memperlihatkan kelemahannya.

“Orang she Boan! Agaknya kau telah melupakan kesopanan dan sengaja datang

membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak

maju.

Akan tetapi, tiba-tiba Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali

lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.

“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat tetapi tidak mengenal aturan! Kami

tidak mengundang akan tetapi engkau telah menebalkan muka untuk datang di pesta

kami. Apakah engkau tidak malu? Kalau hendak datang mengajak pibu, apakah engkau

tidak dapat memilih lain hari?”

“Ha, ha, ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Kalau mengadu kepandaian hanya

mengandalkan keberanian, tak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan

sekali, banyak orang menjadi saksi, kalau pihak Tuan rumah mempunyai kegagahan,

silakan maju memperlihatkan kepandaian!”

“Bangsat, apa kaukira kami takut kepadamu?” Lin Lin berseru dan meraba

punggung untuk mencabut senjatanya akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan

putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi bentakan,

“Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”

Bayangan itu ternyata adalah Pek Toanio yang mewakili sumoinya dan langsung

ia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi Boan Sip

siang-siang sudah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya

mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan

sekali. Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan

Sip terkejut sekali karena ia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung!

Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang

memandang dengan sikap tenang.

Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya ketika melihat sikap Boan Sip yang

sombong dan sengaja datang mengacau itu, menjadi marah sekali dan mereka

berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam.

Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih

terlampau rendah untuk menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang

ajar, kalian mundurlah dulu!” Kwee Tiong merasa penasaran sekali akan tetapi ia

tidak berani membantah ayahnya, maka bersama adiknya ia lalu berdiri dan bersiap

sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.

Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha! Kwee

Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, maka tak mengijinkan

anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk

mewakilinya! Sungguh cerdik!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak

tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”

“Orang she Boan, kalau sikapmu tidak begini menjemukan dan kesombonganmu

tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau telah lupa

akan sopan santun dan tidak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya.

Apakah kau kira engkau seorang saja yang memiliki kepandaian? Orang lain boleh

engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam

engkau!”

Memang Pek I Toanio biarpun pendiam, akan tetapi kalau sudah mengeluarkan

kata-kata, selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip pernah mendengar nama ini

dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi ia tidak takut.

“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.

“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum

mengejek hingga kemarahan Boan Sip makin meluap.

“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju

menyerang. Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang hingga sebentar

saja mereka berdua bertempur dengan seru.

Sementara itu, Cin Hai semenjak datang dan duduk di kursi terdepan,

beberapa kali bertukar pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu

apabila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan

minta maaf bahwa ia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu

oleh para perwira kasar itu.

Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat

tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin

Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri

mereka.

“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat kemajuan besar?” tanyanya

dengan manis.

Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk

kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar

apakah?”

Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat

tempat ia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin

Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri

mereka.

“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau mendapat kemajuan besar?” tanyanya

dengan manis.

Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk

kesopanan ia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar

apakah?”

Juga Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat

dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan

tetapi rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.

“Aah, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.

Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur

mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat

tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”

Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, karena pada saat itu pertempuran sedang

berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat,

juga mantap dan keras hingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap

kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.

Cin Hai hanya memandang sebentar tetapi ia tidak tertarik melihat

pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan

matanya. Mengapa ia tidak melihat Kwee An? Ia lalu menowel lengan Kwee Bun dan

ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,

“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”

“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”

Ketika Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka

dengan pandangan tak senang, hingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan

percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu, perhatian Kwee Tiong tidak tertuju

sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, akan

tetapi sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu

tirinya. Dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak demikian cantik dan ayu

hingga sepasang matanya seakan-akan tertarik oleh besi sembrani, ingin sekali

Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh agar dapat menarik

perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin

Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian

cantiknya!

Ang I Niocu ketika melihat jalannya pertempuran, di dalam hati juga merasa

terkejut. Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi

ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya

diperhebat oleh ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya,

hingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah

kena dicengkeram! Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai,

karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi

yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang berkepandaian

tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip

yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu? Ia mengerling ke arah Cin Hai

yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan

jalannya pertempuran, dan pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai,

pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan

cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang. Ia tahu bahwa

pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat

betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah

oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah

kebetulan saja? Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap

saja ia melihat betapa pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti!

Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak

mau memandang ke arah anak muda itu lagi.

Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah

murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir

mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya. Akan tetapi

Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja

kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena kalau tidak berkepandaian tinggi, ia

yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, Karena

rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu adalah orang-orang yang telah berusia

tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba Boan Sip

merubah gerakannya dan sekarang ia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai

Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan

tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan golok menyambar-nyambar

ke arah kaki lawan! Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat dan ke mana

saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan cepat mengejar

sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tidak hanya

bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan

menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!

Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tidak berdaya

melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan

sebuah gerakan dan serangan nekad. Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu

menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Ia

mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan ia membabat dengan pedangnya

dari samping dan karena serangannya ini hampir menempel lantai, maka tak mungkin

tertangkis dengan perisai. Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata

bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan

gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu

dengan sambaran ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!

Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai

merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, pada saat Cin

Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena tangkis, lalu

bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.

Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang

bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah

punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin

Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan

Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan

goloknya. Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio

juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang

sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,

“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam!

Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”

Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau

bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”

Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat

pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!” semua orang yang mendengar ini

tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih

begini bodoh, pikirnya!

Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena

ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran

lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang membuka

punggungnya ketika ia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya,

dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang

demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman? Bahkan Ang I

Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek

I Toanio, dan Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin

Hai.

Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan

dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong, sementara itu,

atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura

kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil

mengalahkan lawannya.

Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan

pedang di tangan sambil membentak, “Orang she Boan jangan sombong! Yang melempar

bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, tak perlu engkau memusuhi

dan menantangnya. Kalalu engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan

melawanmu!”

Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini

mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa tiga orang

adiknya. Melihat gerakan mereka, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata

sambil tertawa,

“Ha, ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata

hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”

Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong

sudah tak dapat menahan lagi marahnya. Ia lalu berseru keras dan menubruk dengan

pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.

Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan gerakkan goloknya menangkis. Sekali

tangkis saja, dua dari empat buah pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan

Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan. Baiknya perwira muda

ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang

ia rindukan, maka tidak berniat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda dan

memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampak hebat

mengerikan karena goloknya menyambar nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan

cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan

wajah pucat.

Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang

tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di

tangan, Cin Hai lari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip

secara membabi buta sambil berseru berkali-kali, “Jangan membunuh kakak-kakakku,

jangan mencelakakan kakak-kakakku!”

Mendapat serangan kacau-balau itu, Boan Sip terkejut dan melihat

penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka

keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus

mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang

tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.

“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya dan ia lalu menggunakan

goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup

panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan

kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru

inilah yang membingungkan Boan Sip. Gerakan silat dapat diduga karena teratur,

akan tetapi gerakan-gerakan menggila ini sungguh membingungkan dan sebelum ia

dapat menyerang, sebuah kaki daripada bangku yang diobat-abitkan itu telah

mengenai tubuh belakangnya hingga terdengar suara “buk!” karena bokongnya kena

dihajar kaki bangku.

Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap

sebagai seorang pemuda tolol itu, akan tetapi karena pemuda itu dalam

ketololannya berani membela keempat pemuda Kwee, biarpun mereka

mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka

bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat

memukul bokong Boan Sip yang sombong.

Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada

Kwee Tiong dan adik-adiknya, “Engko Tiong, kauajaklah adik-adikmu mundur, biar

aku tahan mengamuknya babi hutan ini!”

Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari

gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap

gagah sekali membuka mulut besar dan hendak membela keempat saudara Kwee dan

menghadapi Boan Sip yang lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!

Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan

kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Ketika bangku itu

menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya.

Mana bisa kayu itu dapat menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki

bangku itu terbabat putus. Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam

pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu, ketika kaki bangku itu

terbabat putus ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu

melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip! Terdengar suara

“plok!” dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu menjadi

merah kulitnya dan terasa pedas sekali!

Hal ini terlihat jelas oleh semua orang dan kembali terdengar sorak riuh

rendah karena ternyata biarpun tolol dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya

pemuda tolol itu sedang “hok-khi” (beruntung), maka secara kebetulan sekali

lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!

Pada saat itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah lain

hal yang menimbulkan tertawa geli. Ternyata dua orang tamu yang tadi berdiri

melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dan Boan Sip hingga

bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa

dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka begitu gembira hingga sambil

tertawa terkekeh-kekeh, mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang

mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan

karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tidak

ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang

langgang! Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri

sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku

yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka

berserilah wajah mereka!

Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di

tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya bekas bacokan golok.

“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin

Hai memaki dengan suara mengejek. Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa jika

ia nanti membunuh anak muda tolol yang tak bersenjata ini dengan goloknya, maka

ia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Pula untuk menyingkirkan

bangku dari tangan pemuda bodoh ini, lebih mudah menggunakah tangan kosong.

Maka, ia lalu membanting golok dan perisainya di atas lantai hingga mengeluarkan

suara berkerontangan, lalu sambil mendelikkan mata ia memaki,

“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan

mencekik lehermu!”

“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab

Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.

Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali, dan juga kagum. Ia heran dan

kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda

tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin

Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela

kakak-kakaknya! Juga, Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut

merasa malu mempunyai seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang

mempunyai pemandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabuhi oleh aksi

Cin Hai yang ketolol-tololan hingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia

menolong jiwa anak muda yang tolol tapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan

wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat, dan kuatirnya.

Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut

bangku itu dengan kedua tangannya dan ia membetot. Akan tetapi, alangkah

terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan

Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki

tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai mempertahankan sambil

mengeluarkan suara “uhh... uh...” dan demikian keduanya saling membetot

mempertahankan, sedikit pun tak mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke

kanan, sebentar terbetot, ke kiri hingga seakan-akan kedua orang itu sedang

mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!

Yang merasa gembira sekali adalah para penonton. Mereka bersorak riuh

rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula

bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu

membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu! Pada saat itu mereka

merasa seakan-akan sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik

bangku sebagai gantinya tambang yang biasa digunakan untuk mengadu tenaga

bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai

sambil berteriak-teriak,

“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”

Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira,

“Hayo... lebih keras lagi... tarik...!” Akan tetapi apabila bangku itu terbetot

ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran,

“Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”

Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan

saling keluarkan tenaga, Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya

untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh

aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia

lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari

seribu kati kuatnya. Dan tiba-tiba Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga

dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya

yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan

pegangannya hingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip

kian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak

mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke

belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa

di atasnya.

Orang-orang tertawa geli dan berrak-sorak. Akan tetapi pada saat itu Lin

Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin

Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut

kepada pemuda itu. Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu

Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah

memegang tangan Cin Hai dan membetotnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena

ditipu oleh ketololan Cin Hai dan menguatirkan keselamatan pemuda ini.

Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata

dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia berdiri dengan

terhuyung-huyung. Karena terlalu menghabiskan tenaga dan tiba-tiba bangku

dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat

luka dalam yang hebat juga! Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya

duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut

dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan

mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.

Lin Lin dan Ang I Niocu kembali ke tempat duduk masing-masing dan Cin Hai

dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ienya,

yakni di bagian para tamu wanita. Ketika Biauw Suthai memandang pemuda itu,

teringatlah wanita gagah ini, ia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.

“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.

“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”

“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.

“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua

kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, ketiga

kalinya di dalam Gua Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”

Biauw Suthai tertawa senang. “Ah, benar... pantas saja kalau begitu. Memang

semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”

Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, kau

benar-benar gagah berani!”

Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai

merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah.

Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak

muda ini.

Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel

melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.

“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.

Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam,

meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin ia menggulung lengan

bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus

putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Ia memandang ke sekeliling dan

berkata kepada Kwee In Liang,

“Kwee-ciangkun...”

“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In

Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,

“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.

“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio, berakhir dengan seri karena

kedatangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute

dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi

keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang

kuharap kau suka maju, atau boleh kau mengajukan pemuda tolol setengah gila tadi

untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak

bodoh itu tidak berani!”

“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang

mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!” Terdengar orang-orang tertawa keras

karena geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi

karena darah mengalir ke mukanya.

“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau

sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu! Kau datang-datang memaki orang,

mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian,

Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu, akan tetapi Loan

Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar

lebih jauh.

Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw

Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah

aku mewakili Saudara Cin Hai?” Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tidak

berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan

Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya, melayang cepat dan tahu-tahu

telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi. Semua orang memuji keindahan

gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia

menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main

dan segera menjura dengan hormat.

“Tuan rumah telah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai.

Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan

Kwee-enghiong?”

Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang

I Niocu mengucapkan sajak,

“Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud,

tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati.

Kau hendak bertanya nama? Lihat pakaian dan pedang. Dan cari sendiri siapa

namaku!”

Perwira itu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu

dengan penuh perhatian. Kemudian ia berkata dengan kaget, “Ah, bukankah Lihiap

ini Ang I Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In

Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat

tersohor akan tetepi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian

muda dan cantiknya!

“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali

dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang perhubungan dengan keluarga Kwee yang

kautanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu

yang tak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik aku

diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”

“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku

hormat. Pertempuran ini tak dapat dilanjutkan!” kata Si Muka Hitam.

“Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang

khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song takkan

mau melayaninya!”

Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tak berdaya dan ia tak dapat memaksa,

maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula setelah berkata, “Kalau begitu, masih

kuharapkan lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau

sombong ini, Tan-ciangkun!”

Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia

memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I

Niocu itu.

“Hie, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau dan kaum kerabatmu tidak

berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh ia

keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”

Bukan main hebatnya hinaan ini dan Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak

memperlihatkan kepandaian, akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat

bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian seperti seorang

sasterawan telah berada di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan

berkata,

“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera

ke lima siap menghadapimu!”

“An-ji...” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng, akan tetapi

karena pada saat itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya

memandang dengan girang dan juga kuatir. Apalagi Kwee An hanya memiliki

kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee

An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup,

hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat! Cin Hai dengan jelas

dapat melihat bahwa ketika masuk tadi, Kwee Ang telah mempergunakan Ilmu Loncat

Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya dapat dilakukan oleh

orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan telah memiliki

ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang

pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal

ini hingga mereka menjadi girang.

Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati.

Biarpun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih

merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari

menghampiri Kwee An sambil berteriak,-teriak “Kwee An... Kwee An...”

Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri girang melihat

Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang??” Mereka lalu berpelukan karena memang

dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.

Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,

“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”

Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah

perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Setelah berkata

demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya. Semua orang tertawa

mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap

Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai

tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tak akan tnenyangka,

karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak

seperti halnya Hek-seejiu atau Ang-see-jiu, karena orang yang memiliki ilmu ini,

tangannya hitam atau merah. Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam

ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa

menggunakan bubuk perak putih yang dicampur obat-obat kuat dan digosok-gosokkan

ke seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar

hingga kebal dan keras dan memiliki tenaga luar biasa!

Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai dan dalam beberapa

gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An telah mempelajari ilmu silat dari

Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak

cabang persilatan itu. Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang

cabang persilatan ini yang biarpun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya

memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga

ia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata

memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi

agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!

Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa

lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang

tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang

memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Ia mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan

seragan kilat yang dapat membawa maut. Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati

sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu

meringankan tubuh yang lebih tinggi daripada lawannya maka ia mempergunakan

ginkangnya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor

burung kepinis! Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena

pertempuran mereka seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu

gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat

Kim-san-pai yang lihai dan balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat

dan jalan darah lawan.

Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan

anak muda ini karena Tan Song mempergunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah

pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I

Niocu mengeluarkan seruan tertahan. Kwee An merasa betapa angin pukulan

Pek-mo-ciang ini mengiris kulit dadanya, akan tetapi berkat kegesitannya, ia

segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke

depan bergantian. Untung saja ia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari

Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak

menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju dan mengirim

serangan ke dua. Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai

hingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya

yang tangguh dengan lebih hati-hati.

Setelah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak.

Kwee An yang muda dan bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang

terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tak banyak

dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang

aneh ini.

Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil

berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus...” Semua penonton

melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua

berpihak kepada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang

terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang

tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain,

ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan

mungkin lebih tinggi daripada Lin Lin!

Ketika mendapat kesempatan baik, pada saat lawannya terhuyung mundur karena

serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul

dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera

berteriak kaget karena tiba-tiba kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan

yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu. Tak ampun

lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu

berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu

datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.

Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu

Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An

disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu

datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa

bangga sekali akan kepandaian Kwee An.

“Nah, inilah baru disebut kepandaian aseli,” kata Kwee Tiong sambil

mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan

jujur engkau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau sungguh hebat,

An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.

Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini

bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga

sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai

dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh.

Perwira ini sebenarnya adalah kakak Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan

kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi daripada Tan Boan Sip. Tetapi

adatnya pendiam dan tidak sombong.

Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In

Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,

“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, kalau kiranya tidak terlalu

lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira

sekali!”

Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.

“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh.

Kalau sekarang kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik

beristirahat dulu.”

“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.

Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata,

“Biariah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.” Muka

Kwee In Liang berseri. Ia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari

selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi daripada kepandaianya sendiri, maka ia

cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang

budi besar sekali.”

Bhok Ki Sun lalu bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang

berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,

“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama dengan

pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu Tuan rumah? Aku

Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka mengajukan diri

untuk melayanimu.”

Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil,

maka ia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran

pendek tadi. Kalau Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira

sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”

Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka ia pun

memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan

saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai. Keduanya bergerak

lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi

setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan

sama kuatnya, mereka lalu mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya

mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka lalu mengeluarkan kecepatan dan

kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran segera berubah cepat dan

hebat. Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah

lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu

benar-benar mengagumkan karena selain sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan

perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan

dengan gerak cepat. Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan

lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam

pertempuran yang sebetulnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan

gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun meloncat ke belakang dan

berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua

tangannya dan berkata,

“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku

kalah!” Ia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena

tak berhasil membela nama keluarga Kwee.

Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, maka setelah

mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.

“Ingin sekali aku merasai kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek

Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan juga sebuah

hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari

ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.

“Baik, baik. Aku pun telah melihat permainanmu yang lihai tadi dan ingin

sekali mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni

sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.

Setelah saling memberi hormat, maka kedua orang ini lalu menggerakkan

senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari

pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong. Sinar

pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtimnya yang cukup

lihai, hingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali. Akan

tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan.

Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya hingga

mendatangkan angin berkesiur yang dirasai oleh semua penonton yang duduk di

situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga menggerakkan pakaian

dan rambut orang di sekitarnya, apalagi jika terkena kemplang toya yang berat

dan digerakkan cepat ini!

Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum

bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat

ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil menggunakan

kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul

jalan darah dengan ujung kebutan.

Ketika Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau-chian-kun atau Serampang

Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio

sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan

tetapi cepat bagaikan kitiran angin, toya Tan Bu telah mengejar tubuh yang di

atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali

hingga semua orang menahan napas. Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki

ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan

baginya tiada waktu lagi untuk berkelit dan untuk menangkis ia akan kalah tenaga

maka ia segera memperlihatkan kegesitannya. Ketika ujung toya menyambar ke

arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan ke

ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak

lupa mengebutkan hudtimnya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan

Bu!

Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya hingga Tan Bu sama sekali tidak

menduga dan pundaknya kena terpukul tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba

berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan

mencelat ke atas kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!

Pek I Toanio tak kalah kagetnya. Totokannya tadi telah mengenai tempat di

tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja

seakan-akan tak pernah terpukul, apa lagi terluka! Cepat nyonya ini meluncur

turun dan ia merasa bahwa melawan terus takkan ada gunanya, karena harus ia akui

bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan

lebih tiggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu menjura dan berkata,

“Terima kasih atas petunjuk Ciang-kun.”

Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang

sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut, Tan Bu telah berhasil

mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah

membersihkan muka mereka dan menebus kekalahan Tan Song tadi.

“He, Kwee In Liang, kalau kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan

saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.

Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena setelah kedua

jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?

Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin

Lin, atau aku sendiri yang maju dan herternpur mati-matian, membela nama kita!”

“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata

Biauw Suthai, akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali

mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri dan setelah berkata cepat-cepat

tanpa menanti jawaban, “biarkan aku saja yang maju!” lalu sekali melompat

tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu! Orang tidak melihat bagaimana ia

mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang

sebatang pedang yang tajam berkilau.

“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan mari

kaurasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding

ke arah Boan Sip!

Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,

“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang

besar, maka alangkah beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan

kauhiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba

kepandaian!”

Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.

“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang memiliki

kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang

lain.”

“Ang I Niocu kita sama-sama orang luar dan peduli apa sama segala urusan

remeh? Yang terpenting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing

pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”

“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I

Niocu lalu membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya hingga

semua penonton bertepuk tangan kagum. Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, maka

ia segera mendahului, dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat.

Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari

serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang dan dengan tarian indah

sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.

Para penonton merasa kagum sekali dan belum pernah seumur hidupnya mereka

menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang ganas itu

dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul! Tidak

hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio,

Kwee An, dan yang lain memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai

nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang

dengan penuh perhatian.

Akan tetapi kegembiraan mereka tercampur kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu

benar-benar hebat dan dahsyat. Perwira yang kosen ini karena tahu bahwa

kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, lalu mengeluarkan ilmu toyanya

yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi

Pek I Toanio tadi. Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga

dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya

setinggi ini. Ia bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah

membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan

mempelajari gerakan lawan.

Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali.

Dia yang telah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah

memiliki pemandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu sebenarnya

hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu

memiliki tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka

Nona Baju Merah itu tak akan sukar mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, maka

diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.

Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi seringkali

mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan

heran, lalu tak dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Eh, Engko Hai,

mengapa kaukeluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil

tersenyum geli.

Cin Hai juga tersenyum dan jawabannya menghilangkan senyum gadis yang

menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata,

“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”

Sebelum Lin Lin dapat bertanya lanjut, Cin Hai telah meniup suling maka

tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang

menjadi heran sekali dan Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Ia

anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Ia melangkah

maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling, akan tetapi Lin Lin memandang kepada

Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata,

“Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!” Kwee Tiong merasa

mendongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali membawa

kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang

dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih menyuling dengan asyiknya.

Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai makin keras, nyaring dan

meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan terkejut dan kagum. Ketika

Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena

ternyata tubuh Ang I Niocu telah lenyap dan kini gadis itu berubah bayang-bayang

merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali! Lin Lin

memandang kagum dan diam-diam ia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal

keindahan itu. Juga, Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang

lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Ia tahu bahwa suara suling itu tepat

sekali mengiringi semua gerakan Ang I Niocu dan seakan-akan suara suling itulah

yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar

biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan

timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi

sebetulnya berkepandaian tinggi!

Memang sebetulnya Ang I Niocu masih melayani lawannya dengan gerakan

hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai.

Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya. Suara suling itu

baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik dan rasa

hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya bernyala-nyala. Ia

lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah. Alangkah

terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya

halus dan lemah gemulai dan hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan

gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat

laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya

melakukan serangan yang hebat, dan ia merasa betapa sinar pedang lawan ini

mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan

Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa hingga toya ini

merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!

Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin

cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu hingga pada suatu saat terdengar suara

kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah

terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka

kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.

“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong

kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di

mana ia membalut lukanya setelah memberi obat.

Ang I Niocu setelah menyinipan kembali pedangnya, lalu dengan senyum lebar

kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian

dan ucapan terima kasih.

“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.

“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” jawab Ang I

Niocu sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.

Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua ia heran sekali mengapa dada

kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada

Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi ia heran sekali

mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan

Hai-ji atau anak Hai! Sebetulnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Ia

belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.

Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, perwira ke empat maju sambil

mengangkat dada dan berkata,

“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu telah dikalahkan oleh

kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak

minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan kalau di antara

keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani

orang-orang luar yang membela Kwee-enghiong!”

Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi

karena sebenarnya ia adalah saudara termuda dari Santung Ngo-hiap atau Lima Jago

Dari Santung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira, kelas tertinggi di

kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain memiliki tenaga

ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang

mengagumkan. Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat

tugas melatih para perwira lain, hingga beleh dibilang bahwa ia menjadi seorang

di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapat

dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada yang lain-lain.

Adapun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suhengnya, adalah orang ke empat

dari Santung Ngo-hiap, dan tentu saja kepandaian Ma Ing ini lebih tinggi

daripada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua

perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan,

sebaliknya Ma Ing terkenal memiliki ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang

yang hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.

Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak dapat

menahan sabarnya dan ia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,

“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan

tenang.

Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada

pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil

tertawa,

“Anak muda, biarpun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai,

akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu

menghadapi aku.”

Un Kong Sian adalah orang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan

kasar maka kata-katanya seringkali menyakiti hati orang. Kali ini ucapannya

tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Ia dipandang ringan sekali,

maka sambil tersenyum ia pun menjawab,

“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tak

berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, kalau

engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan kepandaianmu itu hendak

kulihat bagaimana hebatnya!”

“Ha, ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau

terluka, jangan salahkan aku!”

Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lalu melempar jubah luarnya dan

tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa

besarnya.

“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah engkau berkenalan

dengan kepandaian Un Kong Sian!”

Mendengar nama ini, diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan

karena ia kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Santung Ngo-hiap, maka

tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam ia menguatirkan keadaan

Kwee An dan tak terasa lagi ia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh

dari tempatnya,

“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau

carilah akal supaya Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”

Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu

oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu betul-betul tolol, adalah Biauw

Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera dapat mengetahui bahwa Cin

Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang ia minta kepada

pemuda itu untuk mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian!

Tiba-tiba setelah mendengar ucapan Biauw Suthai, Cin Hai berlari-lari

sambil memegang sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong

Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.

“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah

tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!”

kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja

yang mempunyai kelicinan dan kecurangan seperti itu!!” Co Cho yang dimaksud oleh

Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin

hingga banyak orang membenci dan menghinanya, walaupun Co Cho adalah seorang

yang terlalu cerdik.

Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang ia merasa

benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang

dengan dipelototkan.

“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?”

bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”

“Memang kau licin, lebih licin daripada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi,

sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.

“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong

Sian.

“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An akan tetapi

kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan

bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau

memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu.

Kalau kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An

yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba

mencari penyakit!” Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran

karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.

”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku

sanggup meniru dengan baik lagi!”

Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, lalu berkata, “Nah, kau bisa tidak

meniru kepandaianku tadi?”

Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, sedangkan Un

Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.

“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi

menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau

menirunya.”

“Ha, ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba

keluarkan senjatamu!”

Biarpun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil

senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah

senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.

“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.

“Aku akan mainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata

Cin Hai dengan gagah, lalu dengan sikap dibikin-bikin ia menerima toya besar dan

hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia

hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An

memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.

“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata

Kwee Tiong dengan mendongkol sekali. Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu

beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung

yang hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya

kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung

itu.

“Nah, coba kautiru perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar

tenagaku!” Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran

mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal

baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin

Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya,

dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga

menerbitkan suara mengaung.

Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat hingga

mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling

ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.

“Aha, engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak bisa memutar toyamu sampai

mengeluarkan angin mengaung!”

“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia gunakan tenaganya

menancapkan toyanya yang berat itu ke lantai, dan toya itu menancap sampai

setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat

mencabut toya ini, barulah berharga melayani aku!” Kwee An terkejut sekali

melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.

“Aha, benar-benar engkau hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!”

Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok.

“Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan

orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”

“Cin Hai, engkau mundurlah. Biarpun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang

bodoh masih akan mencoba minta pelajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena

anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jerih terhadap lawannya.

“Nah, mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah

daripada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.

“Eh, eh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya

inilah yang hendak engkau layani.”

“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju. Cin

Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu

hatinya dan ia percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan

peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa bahayanya bagi Kwee An menghadapi

orang she Un ini, karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan

kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka jika mereka bertempur,

banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh! Ia lalu melangkah maju dan

berkata,

“Nanti dulu! Aku tadi telah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba

dulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”

Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong

Sian lalu melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan

tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi,

jangan kata tercabut, tergoyang pun tidak toya itu. Semua orang yang menonton

tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.

Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga

lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui

siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.

Ia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu betul-betul

hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.

Kwee An merasa malu sekali melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia

hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia melangkah maju

dan membetot toya itu. Alangkah hebatnya ketika ia dapat membetot keluar toya

itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.

Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee

An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga

memandang pucat. Tak mungkin pemuda itu memiliki tenaga sedemikian hebatnya.

Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak

menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya

dengan penuh kecurigaan.

Tiba-tiba Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas

toyanya lalu mengangkat tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini

tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi ia telah mematahkannya! Tentu saja hal

ini tidak aneh.”

Kwee An tercengang lagi. Ia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi

benar saja, ketika ia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini

ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she

Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya

bertempur melawan Un Kong Sian?

“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah

patah. Terang bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas

melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”

Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia?

Suruh maju lekas!” bentaknya. “Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan,

pinni bersedia melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai telah berada di situ. Cin

Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.

“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab

pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.

Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan

mengerikan berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan

bertanya,

“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”

“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.” Diam-diam hati Un Kong Sian

berdebar karena ia telah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi ia sama

sekali tidak merasa jerih.

“Kebetulan sekali. Telah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor

dan ingin sekali merasai kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan

tangan kosong atau dengan senjata?”

“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain

senjata.”

“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!” Tanpa banyak

cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang

memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.

Dalam hal ilmu silat, Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali

dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang

memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan

kedua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga

Cin Hai tidak berani berjenaka lagi karena ia maklum betapa kepandaian kedua

orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat

sekali. Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu telah dapat

memukul dua kali kepada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un

Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad

menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena ia maklum bahwa biarpun di luar

tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi

pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan

luka di sebelah dalam.

Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat

kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka ia lalu menyerang makin

hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu

lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian, akan

tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau

berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan

Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian dengan hebatnya

mengarah leher Biauw Suthai.

Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi.

Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga

pukulan Un Kong Sian meleset dan mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan kedua

orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur. Biauw Suthai

dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat, sedangkan Un Kong

Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian ia roboh sambil

memuntahkan darah.

Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan

Lin Lin cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat

duduknya. Tokouw ini lalu mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya

dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini

mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada

Un Kong Sian.

Akan tetapi pemberian obat itu ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan

obatnya sendiri guna sutenya, kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah

maju ke kalangan.

“Di pihak kami hanya aku seorang. Hayo kau keluarkan jago-jagomu,

Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”

Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini

tinggi sekali dan setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang diharapkan

bantuannya untuk menghadapi Ma Ing? Ma Ing agaknya tahu pula pihak keluarga Kwee

sudah kehabisan jago maka dengan sombongnya ia berkata,

“Kalau di pihak tuan rumah tidak ada jago yang berani menghadapi aku

seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing

seorang diri cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”

Biarpun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi

mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka meloncat maju

berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang

maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi! Ma Ing mengeluarkan suara

menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan dan kakinya menendang dan

dalam beberapa gebrakan saja empat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan

adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan

adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan

dan tendangan!

“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing

menyindir.

Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan

Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji lebih dulu, tahu-tahu meloncat berbareng

dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing! Ma Ing lalu mencabut

pedangnya dan bertempurlah tiga orang ini. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang

I Niocu yang memiliki kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan

melayani dengan sengit dan sebentar saja ia dapat mendesak kedua anak muda!

Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa

marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandannya dengan tersenyum dan betapa

pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain sibuk

melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.

“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.

“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak

saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.

Kwee Tiong marah sekali dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ banyak

orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai. “Kau sendiri orang

tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu, coba lihat

Kwee An. Ia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak

seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”

“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil

mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?

Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik,

apakah kau ingin melayani orang she Ma itu?”

Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tidak segera mengerti

maksud kata-kata Cin Hai ini. “Ah, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang

memiliki kepandaian tinggi masih terdesak olehnya, apalagi aku! Kulihat

kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”

Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kausiapkan pedangmu dan mari kau

kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak dapat merobohkannya jangan

kaupanggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya disertai senyum mesra kepada gadis

yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak

percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.

“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”

Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.

“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah biar aku dan Adik Lin Lin

menggantikanmu!”

Mendengar kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali

mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini digunakan oleh

Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.

“Hai-ji, ia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada

Cin Hai.

“Lin Lin dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.

Akan tetapi, baik Cin Hai maupun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini.

Lin Lin mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang

sulingnya.

“Eh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”

“Ha, ha, ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, kali ini

aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian

berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing takkan gentar.”

“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai dan ia menggerakkan sulingnya dengan

sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan

tertawa bergelak-gelak.

“Kau bersenjata suling? Ha, ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda.

Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”

“Tak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan

menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja untuk

apa menggunakan senjata tajam?”

Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ

menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah

gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang

membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai, “Kwee-kongcu, kau tenanglah

karena sekarang Ma Ing benar-benar akan kehilangan muka!” Kwee Tiong heran

sekali mendengar kata-kata ini akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini tidak

berani banyak cakap.

“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini

mencari matinya sendiri. Aku takkan mengganggu Kwee-siocia akan tetapi kalau

hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku

Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya

dan benar saja, ia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan

sebuah tusukan kilat ke arah dada pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena

telah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang, akan

tetapi Cin Hai juga menjerit, “Aya...“ sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh

Dari Cabang, tubuhnya terhuyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi

tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai

berkata,

“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”

Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri

Hai, ia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan

pedangnya. Ma Ing hendak menangkis akan tetapi tiba-tiba Cin Hai meniru

gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu. Terpaksa Ma

Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai

lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang, akan tetapi tiba-tiba suling

yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan

tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama betul dengan

gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.

Ma Ing terkejut sekali karena biarpun suling itu hanya terbuat dari pada bambu,

akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Ia cepat memutar pedangnya dan

menyerang Cin Hai dengan serangan kilat, akan tetapi, tiba-tiba ia memandang

dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya

sendiri.

Orang-orang yang menonton menjadi terheran-heran dan menganggap bahwa Cin

Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing, akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak

dapat mempercayai matanya karena gerakan Cin Hai malah lebih sempurna daripada

gerakannya sendiri. Maka ia cepat meloncat mundur dan berseru.

“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan

darimana kau dapat mainkan Pek-coa-kiam-hoat?” Pek-coa-kiam-hoat adalah ilmu

pedang yang dimainkan oleh Ma Ing tadi.

Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, mengapa kau masih

bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”

“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru

marah,

“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?” jawaban Cin

Hai ini memang sebenarnya saja, karena ilmu silat apapun juga jika dipergunakan

untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal

akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.

“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Kalau kau memang

laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan

melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.

Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini

takut kepada pedangmu, biariah aku yang melayaninya sendiri!”

“Tapi, Hai-ko...” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.

Tiba-tiba Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya

tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?” Gadis itu tak menjawab, lalu

mengangsurkan pedangnya.

“Kaupakailah pedangku, Hai-ko!”

“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Kalau perlu, aku sendiri pun

sudah mempunyai sebatang pedang.”

Lin Lin mengundurkan diri tetapi berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga

kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lalu mengeluarkan seruan keras

dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu

berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.

“Bagus!” Cin Hai berseru dan ia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya

mencelat ke sana ke mari dan suling diputar hingga ketika ada angin memasuki

lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.

Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya

lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi

ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai

dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton

lebih jelas! Sebaliknya, Kwee Tiong dan adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh

keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian

Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi daripada kebisaanku.”

Ma Ing merasa pusing sekali karena ia tak berhasil mendesak kepada Cin Hai.

Jangankan mendesak, menyerang pun sukar baginya, karena pemuda itu dengan aneh

sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat

dilakukan. Tiap kali apabila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin

Hai mendahuluinya dengan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga

serangan-serangannya itu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh. Dan yang lebih

gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.

Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah

ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa-kiam-hoat, maka tiba-tiba ia merubah gerakan

pedangnya dan memainkan limu Pedang Pat-sian-kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi

ia kecele, karena pemuda itu pun telah kenal baik ilmu pedang ini dan dapat

melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna! Ia mengubah-ubah terus ilmu

silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing

memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini ia

benarbenar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba

pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda.

Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam

pula. Ma Ing merasa seakan-akan ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri

di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya,

karena telah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya dengan perlahan di

kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Biarpun pukulan ini

perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih

adalah perasaan di dalam hatinya.

“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan suling, masih

belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya, sedangkan

sorak-sorai penonton makin riuh karena sungguh-sungguh mereka sama sekali tak

pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian

tingginya hingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini

benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata hingga

terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.

“Tidak heran bahwa ia demikian lihai, karena ia adalah murid tunggal dari

Bu Pun Su Susiok-couw!” Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini

mengangguk-angguk maklum.

Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad.

Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ah, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah

engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Setelah berkata demikian Cin Hai lalu

duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang

bersamadhi! Semua orang merasa heran sekali hingga memandang dengan mata

terbelalak tak pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak

menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!

Juga Ma Ing merasa ragu-ragu, akan tetapi karena ia telah merasa lelah

sekali dan hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, ia

menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, ia lalu membacok ke arah kepala Cin

Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu. Kwee An bergerak hendak

melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang

I Niocu yang telah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin telah siap dengan

pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling

itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan

Ma Ing! Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah

pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak

saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan,

“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insafkah engkau?

Ma Ing kaget sekali dan menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam

dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang

mual dan hendak muntah.

“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.

Ma Ing seperti dalam mimpi lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan

terkejutlah ia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika ia merobek bajunya,

ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum

bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,

“Sungguh mataku seperti buta dan tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang

menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali jadi aku merasa takluk. Tidak tahu

siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”

Cin Hai lalu menggunakan kepandaiannya hingga dalam keadaan bersila,

tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga khikang yang

jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara Cin Hai

melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata

sambil tersenyum,

“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang ternama besar. Siauwte bername

Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”

Orang-orang tertawa dan memuji menyatakan heran dan kagum karena biarpun

telah memiliki kepandaian sehebat, itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi

sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.

“Kau sungguh pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhumu

yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak

berani bersikap sombong.

“Suhuku lebih bodoh lagi daripadaku, ia tak memiliki kepandaian apa-apa.”

Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bt

Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Ia lalu menjura lagi dan berkata

“Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali kalau ada jodoh kita bertemu

kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.

Setelah lima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan

memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu

memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.

“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Sejak pertama bertemu aku telah menduga

bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan

mata bersinar-sinar. Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara

terharu berkata,

“Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”

Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada

saat itu, dari luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba terdengar suara

orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali dan Cin Hai juga merasa kaget sekali

karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya dan

melompat keluar. Ternyata di situ telah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang

tertawa bagaikan dua orang gila!

“Ha, ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau

ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita

main-main sebentar!”

“Ji-wi Locianpwe,” kata Cin Hai dengan sabar dan suara sungguh-sungguh.

“Kita tak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan

menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar

berpengaruh tidak seperti tadi ketika ia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin

dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.

“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah

berhutang kepada kami dan sekarang kaulah yang harus membayar!” Setelah berkata

demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan

juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin

Hai! Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhunya dulu, yaitu

Liong-coan-kiam, dan ia lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan

lawannya itu! Tiga orang ini bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka

bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga

bayangan pedang bercampur menjadi satu! Melihat pertempuran yang luar biasa

hebatnya ini, baik Lin Lin maupun Ang I Niocu tak berdaya untuk membantu karena

kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya

bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, malah mungkin akan mengacaukan

pertahanannya.

Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin dan ia melihat betapa gadis muda ini

meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta kedua mata basah

dengan air mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!

Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba menjadi perih seperti tertusuk

pedang. Ia maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai!

Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu

dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.

“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.

Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar ketika pedangnya beradu dengan tasbeh Pek

Moko, hampir saja ia mendapat celaka.

Setelah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba terdengar teriakan ngeri dan

tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko telah mengendur dan

tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin

Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena

tangan yang memegang itu menggigil!

Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini

memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru

berkali-kali,

“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”

Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum lalu mengerling ke arah Ang I

Niocu yang juga telah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan

dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa

malu-malu lagi lalu memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.

Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai telah mendapat

luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, akan tetapi ujung pedang

Liong-coan-kiam juga terdapat tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun

telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!

Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu

bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan tentang Pendekar Bodoh yang

luar biasa dan lihai itu! Dalam perjamuan itu, mereka benar-benar telah disuguhi

pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya!

Cin Hai dibaringkan dalam sebuah kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis

di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat.

Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh

Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai telah kena pukul tasbeh di pundak kanannya

hingga menderita luka dalam yang hebat juga.

“Tak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka

ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini benar-benar telah

mendapat latihan khikang yang tinggi hingga luka ini takkan membahayakan

jiwanya.” Ia lalu mengeluarkan tiga belas butir pel putih dan memberikan pel itu

kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan jika semua pil telah

ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”

Lin Lin cepat menerima pel itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu

pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri

memasukkan pel itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberinya minum air. Dengan

sangat mesra gadis ini lalu menggunakan saputangannya untuk menyusut peluh yang

berkumpul di jidat Cin Hai hingga melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan

Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu

sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya

dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan

kepadanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga

tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!

Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena ia hendak bertanya

kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya,

akan tetapi ketika ia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di

dalam kamar lagi! Ia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan

Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya

kepada kakaknya ini barangkali melihat Ang I Niocu.

“Ia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada

semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau

barangkali ia cemburu, karena tidak melihatkah kau betapa mesra dan akrab

hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat

kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin akan tetapi gadis ini

dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,

“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai

adalah keluarga kita sendiri dan ia dengan gagah berani telah berhasil membela

nama baik kita, tidak pantaskah kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka

cemberut gadis ini meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.

Biauw Suthai dan Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan

meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai

dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh ia mengaso. Melihat kebandelan

anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu

ia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.

Benar seperti ucapan Biauw Suthai, setelah diberi makan obat pel itu, pada

keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu

melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu.

Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam

hatinya terhadap Lin Lin makin mendalam dan berakar. Bibinya juga seringkali

datang menengok, sedangkan pamannya biarpun tiap hari sedikitnya satu kali

datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin,

Kwee Bun dan Kwee Siang tak pernah datang menengok. Hanya Kwee An yang sering

datang dan tiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan

minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.

Pada hari ke tiga, Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di

belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan

Ang I Niocu dan memikir dengan heran mengapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika

diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu ia hanya merasa menyesal

mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia

masih pingsan. Akan tetapi ia tidak kecewa. Ia tidak mengerti mengapa kini

setelah berkumpul dengan ie-ienya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang

I Niocu lenyap. Ia tidak tahu bahwa dulu ia hidup sebatang kara dan hanya

mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang ia telah berada di rumah Loan Nio,

bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah

dapat merebut hatinya dengan diam-diam.

Ketika ia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu

memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”

Cin Hai tersenyum. Ia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam

saja, bahkan ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dalam taman itu. Akhirnya

suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi

tidak tega. Ia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”

Lin Lin berlari-lari menghampiri dan wajah gadis ini menjadi merah, matanya

bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.

“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan bersembunyi

di sini? Kukira engkau...”

“Kaukira apa?”

“Kukira engkau pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu

menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.

“Kalau aku pergi, kenapakah?” “Kalau engkau pergi, aku... ahh... ah, Engko

Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis

itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin

Hai.

Cin Hai menerima pil itu dan memandang wajah Lin Lin yang berada di

dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai

terdengar menggetar penuh perasaan.

Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang mata bertemu dengan pandang

mata Cin Hai, ia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.

“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...” katanya berbisik.

Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu

menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kaupandanglah aku dan jawablah pertanyaanku

tadi!”

Tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di

dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”

“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”

Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang

terpegang akan tetapi tidak dapat. “Sudah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa

malu sekali. Telanlah piI itu!”

Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai

lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.

“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”

“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”

“Jawablah dulu!”

Dengan tersenyum kemalu-maluan dan matanya yang indah mengerling tajam Lin

Lin mengangguk!

Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini

hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah pohon-pohon itu

menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”

“Ah, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.

“Dan daun-daun itu, melambai-lambai kepada kita. Burung-burung itu pun

bernyanyi karena hendak ikut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh

membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”

“Sudahlah, kautelan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tapi hatinya

berdebar-debar karena gembira dan bahagia.

“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah

dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit

ini!”

“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda

itu. Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa

lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.

“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”

Cin Hai lalu meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya

yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang

indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam

suara suling itu, ia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai

kepadanya!

Setelah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin

berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau

semenjak dulu baik sekali kepadaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian

melawan Guruku untuk membelaku? Ah, aku tidak dapat melupakan semua kejadian

itu!”

Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.

“Ha, kau mengingatkan akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan

yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel!” Cin Hai tertawa dan matanya

memandang penuh menggoda.

Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ah, lucu sekali...”

“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.

“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan

nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin

Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari. Cin Hai mengejarnya

sambil berkata,

“Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!” Lin Lin berlari

memutari pohon dan kembang, Cin Hai mengejar dan mereka berkejar-kejaran

bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.

Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang dan dengan wajah tak senang ia

berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!” Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong

lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa, akan

tetapi Cin Hai berkata,

“Pergilah, Lin-moi! Ie-thio tentu ada hal penting maka ia memanggilmu.”

Lin Lin lalu masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang duduk

melamun dengan penuh kebahagiaan.

Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihatnya ayahnya duduk seorang diri

dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta

menegur,

“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”

Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah,

Ayah?”

“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”

Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari

Kwee Tiong.

“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia

keluarga kita sendiri dan bukankah ia seorang pemuda yang baik dan gagah serta

telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.

“Betul, akan tetapi engkau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan ia

seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis

dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”

“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah.

“Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan

dia!” Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya hingga ia berani

bersikap bandel terhadap ayah ini.

“Lin Lin.” Kwee In Liang menghela napas. “Engkau harus taat kepadaku dalam

hal ini. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang

melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan engkau

bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”

“Ayah!” Gadis itu berseru.

“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang

anak yang puthauw (tidak berbakti)??”

Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!

“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke

kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis

tersedu-sedu.

Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia

memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,

“Lin Lin, aku telah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka

kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan

usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”

Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Ia memandang kepada Loan

Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan

dengan Cin Hai, maka pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini membuatnya bingung

dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.

“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku

tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah!

Kalau kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku

akan bicara dengan Ayahmu.” Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang

karena menahan isak tangisnya!

“Sudahlah, tenangkan hatimu dan serahkan persoalan ini kepadaku.” Setelah

menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar

Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.

Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak

dapat menahan sabar menanti hasil daripada pembicaraan ibu tirinya dengan

ayahnya, maka setelah menanti sebentar, lalu ia menggunakan kepandaiannya

meloncat keluar dari jendela kamarnya, lalu dengan hati-hati sekali ia mengintai

di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap

dengan Loan Nio!

Ketika Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk

memasuki kamarnya, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat

suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan

memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke

atas genteng. Alangkah herannya ketika ia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai

pula, maka diam-diam ia menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian

lain. Ia tidak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk

mendengarkan.

“Tidak, tidak, sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan

dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan

tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat

keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apa kau pikir

aku harus berbesan dengan pemberontak?”

“Tapi ayahnya telah meninggal dunia dan tidak perlu kiranya kita

membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.

“Hem, macan mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya!

Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu! Nama busuk pula!”

“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia seorang anak

yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”

“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau

bisa tahu?”

“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”

“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus meniadi mantu keluarga Gan di

See-tok, dan habis perkara!”

Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas

genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata

mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.

Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, tetapi bukan

karena sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya

dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dulu, yang telah dapat

dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ienya dan terutama dengan Lin

Lin, kini timbul kembali. Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang,

dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih

direndahkan!

Timbul keangkuhan dan kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja ia tidak

ingat kepada Lin Lin, tentu ia telah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang

yang berani merendahkan ayahnya!

Dengan hati terluka, Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke

kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi,

ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil

menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar

sambil berseru,

“Hai-ko... kau hendak ke mana...?” Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin

Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi ia mempercepat larinya!

Akan tetapi, karena serangan batin yang hebat itu dan karena nafsu marahnya

menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali

dan tiba-tiba ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan

rasa sakit ini dan lari terus sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil menangis

dan berteriak-teriak.

“Engko Hai... tunggu... Engko Hai...”

Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tak kuat lagi. Hari

mulai gelap dan kebetulan sekali ia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Ia

lalu membelok ke situ dan seorang hwesio tua menyambutnya.

“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar kepadaku. Aku sedang terluka dan

tolong kaucegah siapa saja yang memasuki kamarku.”

Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat

sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai lalu menutup kamar itu dan duduk di

atas pembaringan lalu bersamadhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.

Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari

yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak

lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat

bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh

hwesio tua tadi.

“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”

Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi telah

berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”

Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan

dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan

suara keras sekali.

“Tak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” kata hwesio

tadi dengan masih sabar. Dan kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin,

maka ia berkata.

“Kalau tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”

Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan

Lin Lin ke kamar Cin Hai.

“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar

kamar.

Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini

menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu.

Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”

Maka ia lalu menjawab dari dalam,

“Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri

kata-kata Ayahmu tadi?”

Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar

mempunyai hubungan dengan orang di dalam kamar.

“Hai-ko, jangan kausamakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara

memohon.

“Sudahlah Lin-moi, kaupulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali kalau

tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana

seorang diri. Lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang

terhormat. Ingat, aku seorang keturunan pemberontak hina!”

“Engko Hai...!” Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat ia lalu mendorong

daun pintu kamar Cin Hai. Ia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat rebah

di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu

basah oleh air mata!

“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil

mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.

Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati

yang tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.

“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...” katanya

dengan penuh kasih sayang.

Lin Lin menyusut kering air matanya dan di antara air mata yang membasahi

bulu mata yang panjang dan bagus ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar

suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.

“Kalau kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan

kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”

Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat dikandung

badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta

dengan sepenuh hati dan nyawa.”

Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kaumaafkanlah kata-kata Ayahku.

Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi

dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan

minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”

Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tak baik seorang gadis

gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”

“Habis, bagaimanakah baiknya, Haiko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”

“Puterinya begini keras hati dan kukuh, mengapa ayahnya tidak?” Cin Hai

menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka

biarlah kita menunggu sampai ia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”

“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”

Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat

Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin

Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang

kembali”

Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”

“Aku hendak pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan

tentang orang tuaku.”

“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”

“Tentu saja, Lin-moi, kaukira aku akan merasa senang berjauhan dengan

engkau?”

Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan.

“Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan

akan mencarimu sampai dapat!”

Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai

diharuskan berjanji bahwa pemuda itu betul-betul akan kembali. Akan tetapi belum

lama gadis itu pergi, tiba-tiba ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali.

Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai. “Celaka,

Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya akan tetapi

lalu menangis dengan sedih.

Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin

Lin. “Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”

Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,

“Celaka, Hai-ko! Rumah telah kedatangan musuh, perwira-perwira jahanam itu

datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”

Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai lalu menarik tangan Lin Lin dan diajak

keluar dari kuil itu. Ia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik

tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka menuju ke rumah

keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.

Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, Kwee Tiong dengan pedang di tangan

lalu menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali layangkan kakinya, Lin

Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu

mencelat jauh.

“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata

beringas. “Engkau main gila di luar, tak tahu di rumah ditimpa malapetaka! Aku

akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!” Pemuda yang sudah kalap ini lalu

menubruk maju, akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya

hingga ia roboh dengan lemas, tak dapat berkutik maupun berteriak lagi.

“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan

bersama Lin Lin ia lalu lari memasuki rumah.

Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat kedua kaki Cin Hai

terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah!

Di sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan

Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!

Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan, Kwee In Liang menderita luka parah di

dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata

telah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Juga Kwee Sin, Kwee Bun

dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena

biarpun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh

lebih kuat daripada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan

sekali. Cin Hai tak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Ia mengangkat

jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantu.

Kemudian ia lalu menolong Kwee An dan Kwee In Liang. Setelah menotok jalan darah

dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga

setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia

lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.

Kwee An lalu dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut

luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah

diurut pundaknya oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya. Untuk

beberapa lama kedua matanya memandang sayu seakan-akan tidak dapat mengenal

keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya makin

terang hingga ia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua

tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu ia menggerak-gerakkan

bibirnya.

Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap

kata-kata orang tua ini.

“Lin Lin kaujaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau...

kau... balaskan sakit hati ini... jangan kaukawini Lin Lin sebelum kaubalaskan

sakit hati ini”

Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.

“Cin Hai... kau berjanjilah…” suara orang tua itu makin lemah.

“Aku berjanji Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena ia

merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalas sakit hati bibinya yang

terbunuh secara kejam.

“Aku aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu...

kalau sudah berhasil kau betul-betul mantuku yang baik…” setelah berkata

demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir. Lin Lin menubruk jenazah

ayahnya dan jatuh pingsan! Setelah sadar, ia menangis dengan sedih sekali dan

menjambak-jambak rambutnya sendiri karena merasa menyesal mengapa kejadian itu

terjadi di luar tahunya!

“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada

di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban.

Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Kalau engkau dan semua menjadi

korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”

Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee

Tiong lalu dibebaskan totokannya dan dengan kata-kata tajam Cin Hai berhasil

mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong

menuturkan peristiwa yang hebat itu.

Ketika Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan

perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang

perwira yang dulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama

tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lain yang menjadi anggauta

daripada Santung Ngo-hiap, yakni orang pertama dan ke dua, sedangkan yang ke

tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang

adanya!

KEDATANGAN mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus

kekalahan mereka yang lalu, akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ,

mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee! Tentu saja

Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An dengan

gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat

melukai beberapa orang perwira, akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan

terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, hingga akhirnya semua kena

dirobohkan! Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio

sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang, Kwee

Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu, cepat

melarikan diri dan bersembunyi hingga ia terhindar daripada kebinasaan!

Mendengat penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela dan

mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu,

“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau mempersalahkan adikmu lebih jauh.

Ketahuilah sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku

untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk

supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih

baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti kalau Kwee An sudah

sadar, kita bisa mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.

Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam akhirnya

Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan

sedih.

Setelah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air

mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku

bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dulu

mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari

Santung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”

“Hm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kautenangkanlah

hatimu, Saudaraku. Besok aku berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha

untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”

“Jangan Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee

An berkata penuh semangat.

“Kenapa?”

“Kaukira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak

mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!

Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menanti sampai sembuh dan kita

akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega

dan ia lalu jatuh pulas.

Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin

bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut

merasa berduka dan gemas serta berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit

hati itu.

Dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang

sangat telaten dari Lin Lin dan Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada

lukanya yang dideritanya. Setelah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali,

barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.

Ketika mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut

membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan

Cin Hai yang amat dicintainya dan ia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk

menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam

ruang belakang Cin Hai berkata,

“Lin Lin, kau sendiri tahu betapa pentingnya perjalanan yang akan kulakukan

bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi sangat berbahaya maka

biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”

Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya

inilah maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi

tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau

memang ada bahaya, apa kaukira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal

di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau

tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu

berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”

Cin Hai menjadi serba salah. Ia memang harus membenarkan pendapat gadis ini

akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi

perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau gadis ini dibiarkan

ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah

beban saja, karena ia harus melindungi Lin Lin yang ia cinta.

“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku?

Engkau mendengar sendiri pesan terakhir Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan

dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”

Akan tetapi dengan sikap bandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil

membanting-banting kaki dan berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”

Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak

ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,

“Sudahlah jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dulu dengan kakakmu

dan Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita

untuk merudingkan persoalan ini.”

Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An.

Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.

“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut

pergi, karena kepandaianmu belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini.

Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”

“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” jawab Lin Lin sambil berdiri

dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.

Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku

percaya penuh akan ketabahanmu,” kata Biauw Suthai, “akan tetapi, ketahuilah,

bukan soal takut dan berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut,

maka tidak saja engkau takkan membantu, bahkan akan menambah beban kepada

Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”

“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tidak minta digendong,

teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu

asal teecu boleh ikut.”

“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku,

akan tetapi apabila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal

ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang

harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah engkau akan senang apabila

pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena ikutmu?” .

Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab,

hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya.

Akhirnya ia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan

keinginannya.

Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga

Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai

dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni

ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja dan mempergunakan

kepandaian mereka berlari cepat.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam

kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu

berkata kepada Pek I Toanio,

“Anak itu kecewa karena ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak

panah asmara telah tertancap di hatinya, dan selain itu, ia pun merasa bersedih

karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Kaupergilah,

hiburlah hatinya dan katakan bahwa kami akan tinggal di sini untuk sementara

waktu dan menemaninya.”

Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam

kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat

tidur dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya! Kakak

seperguruan yang sangat mencintai sumoinya ini lalu memeluk pundaknya dan

berkata menghibur,

“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini

lemah.”

Lin Lin bangun dan duduk di dekat sucinya, “Suci aku tidak sedih karena

tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tidak

dapat ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”

“Sumoi, kalau begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak

memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini

menemanimu untuk sementara waktu.”

Tiba-tiba wajah gadis yang muram itu berubah terang dan ia tersenyum! Pek I

Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja

menangis sekarang sudah tersenyum.

Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan ia sendiri mengatur dua buah

kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta

kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya.

Ia berlatih giat sekali karena ia pikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang

berilmu tinggi, ia harus mempertinggi kepandaiannya pula!

Pada suatu sore ia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil

mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang

gerakan-gerakannya. Setelah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap

dengan Biauw Suthai.

“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”

“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur

tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu

Pun Su yang luar biasa. Biarpun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan

tetapi sebenarnya ia telah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat

gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”

“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”

Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira.

“Muridku, kepandaian manusia tidak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha,

tentu ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian

silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang

luar biasa seperti Bu Pun Su.”

“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin

bertanya.

“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya

dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah secabang. Ketahuilah, kalau aku tidak

salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah

susiok-couwnya. Dalam hal ilmu silat, biarpun Ang I Niocu memiliki gerakan yang

indah dan lebih matang, akan tetapi ia masih kalah setingkat oleh Sietaihiap.”

“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu

takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah

dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya. Gurunya heran

mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi dapat

mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di belakang mereka ketika nenek

ini mengerling, ternyata Ang I Niocu telah berada di belakang mereka,

bersembunyi di balik sebatang pohon.

“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja

Suthai ingat kembali betapa ia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu

itu.”

“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak

terhadap orang lain. Pula, bukankah ia telah membantu pihakmu dalam pertempuran

dulu itu?” kata Biauw Suthai yang merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang

I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.

“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena teecu juga tidak

mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena ia... kawan baik Engko

Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, kalau ia tidak

sombong, mengapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko

Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan

meninggalkannya pergi?”

“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tidak jauh dari

kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan

duduk!”

Ang I Niocu keluar dari belakang pohon itu dan Lin Lin cepat berdiri dan

memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran

sekali ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu pucat sekali dan dari kedua mata

yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.

Akan tetapi, ketika pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I

Niocu mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik, kata-katamu semua benar

belaka. Memang aku seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi

hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan

senasib belaka...” Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan menahan rasa

sakit yang menyerang dadanya, kemudian ia berkata lagi, kini suaranya terdengar

tegas, “Akan tetapi, dalam hal kepandaian, agaknya kau masih harus belajar

banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apalagi kalau hendak menyamai ilmu

kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku,

bukan? Nah, marilah kita main-main sebentar!”

Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun ia tidak menjadi jerih ia lalu

menarik keluar belati pendek yang menjadi senjata ampuh baginya. Biauw Suthai

hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan

menjura,

“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, jangan Suthai salah sangka. Aku hanya

bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas

lagi, ia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin,

jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I

Niocu!”

Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin,

“Nah, kaumaju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku

sungkan-sungkan lagi.”

Lin Lin adalah seorang gadis yang masih muda sekali dan belum mempunyai

banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, maka ketika mendengar ucapan

Ang I Niocu, ia merasa bahwa ia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa

mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu menyerang dengan belatinya. Ang I Niocu

mengelak cepat dan keduanya lalu bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa

belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali jauh lebih cepat

daripada gerakan pedang. Lagipula, gadis ini telah mendapat didikan ilmu silat

semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti

bahwa gadis ini telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan

oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan

sekali dan gerakannya gesit bagaikan seekor burung walet.

Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki

kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman luas daripada Lin Lin. Juga,

kalau Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya

dengan tenang. Nona Baju Merah ini memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu

Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan dan

lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan

Lin Lin yang makin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat. Ang I Niocu

sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri daripada

menyerang. Ia membiarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya

menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak, hingga ia hanya

sedikit mengeluarkan tenaga, sedangkan Lin Lin bagaikan seekor naga yang muda

dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!

Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar dan

Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin

Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar

galak, sedangkan Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang. Rambut Ang I

Niocu yang diikat dengan saputangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar

dalam gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir

dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.

Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan kagum. Karena asyiknya

ia menonton, Biauw Suthai tak terasa lagi kadang-kadang menggerak-gerakkan

tangan seakan-akan ia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu.

Kalau Lin Lin membuat kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa dan

membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik

dalam sebuah penyerangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan

lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat

pertempuran itu.

Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai dimana kepandaian

gadis itu. Maka setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba ia merubah gerakannya

dan kini melancarkan serangan-serangan hebat hingga pedangnya berkelebat cepat

dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung karena cepatnya gerakannya. Lin Lin

terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang

terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,

“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”

Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh

lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah

itu tidak bermaksud buruk. Maka buru-buru ia simpan belatinya dan menghampiri

Ang I Niocu.

“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi

petunjuk.”

Ang I Niocu ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos

dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik

Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian

Hai-ji”

Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, ia bertanya,

“Adik Lin Lin, mengapa wajahmu nampak murung? Bagaimana dengan keluargamu,

baik-baik saja bukan?”

Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang

menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak

hatinya hingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu

menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya. Telah

dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia

gagal. Makin dilupa, makin ia teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak

dapat menahan hatinya lagi. Ia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan ia

menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat ia kembali ke kampung itu dan dengan

diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin

dan Biauw Suthai.

Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak

tertahan lagi Lin Lin lalu memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan

sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika ia memandang ke arah

Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat kepadanya hingga ia hanya

mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.

“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik.”

Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh

Biauw Suthai.

Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan

matanya tidak beda seperti seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh

pelayan mengeluarkan hidangan dan ia melayani tamunya dengan hormat dan

bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam

Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini

tidak ada.

Ketika mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga

Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.

“Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu ikut campur

dalam urusan-urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka

bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan

bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya

kepada Lin Lin.

“Mereka telah pergi lima hari yang lalu, untuk mencari musuh-musuh kami itu

dan membalas dendam!”

Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut

pergi?” Pertanyaan ini mengandung dua maksud, pertama-tama karena ia memang

merasa heran mengapa Lin Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati orang tuanya.

Kedua kalinya karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan

antara gadis ini dengan Cin Hai.

Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin menjadi marah dan cemberut.

“Inilah yang menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh

menggemaskan!”

Pek I Toanio ikut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau

membawa Sumoi oleh karena memang kalau Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam

itu akan lebih sukar lagi.”

“Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” Kata

Biauw Suthai dengan sabar. “Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal

seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat itu datang kembali?”

kata Kwee Tiong yang tak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang

pengecut.

Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada

bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.” Lin

Lin memandangnya dengan berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini

membela dan membenarkannya. Pada saat ia hendak menyatakan kemenangannya kepada

guru dan sucinya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah

berkata pula,

“Akan tetapi betapapun juga, kau harus tunduk kepada nasihat Gurumu.”

Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tidak jadi membuka mulut. Akan tetapi di

dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat

ia membujuk-bujuk agar wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut

membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju. Lin Lin gembira

sekali dan ia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena ia tidak mau

berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.

Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin telah pergi dari rumah itu

bersama Ang I Niocu. Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk

membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-geleng

kepalanya dan berkata kepada Pek I Toanio,

“Muridku, biarpun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena ia

pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik

kita pergi mencari mereka itu untuk membantu apabila mereka berada dalam bahaya.

Keduanya lalu berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi kecewa dan khawatir

sekali. “Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi

apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”

Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka

katanya dengan ketus, “Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya?

Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal

di rumah seorang diri saja merasa takut.”

Akan tetapi Biauw Suthai yang tak mau banyak bicara dengan pemuda ini

berkata, “Kwee-kongcu, kalau engkau merasa takut, kaupergi saja kepada Suhumu

dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru dan murid ini meninggalkan Kwee Tiong

tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah. Kwee Tiong

lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah

keluarga Kwee dan ia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak

Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana ia berlutut sambil menangis dan

menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.

Tong Gak Hosiang hanya bisa menghela napas, dia lalu menasihati muridnya

untuk berdiam saja untuk sementara waktu di kelenteng itu.

Setelah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, Cin Hai dan Kwee An tiba

di kota raja. Di sepanjang perjalanan, kedua anak muda ini menuturkan pengalaman

masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai,

anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin suka

kepada Cin Hai dan sepanjang perjalanan tiada hentinya ia minta petujuk-petunjuk

dan nasihat-nasihat tentang persilatan. Dengan melihat permainan silat Kwee An

saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya

hingga ia dapat memberi petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An

dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.

Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama

kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang

disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani

sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi telah mengunjungi

Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para

perwira Sayap Garuda.

“Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira,

terutama kelima Santung Ngo-hiap.”

“Sayang sekali bahwa sekarang para perwira sedang mengadakan pertemuan

besar hingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.

“Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.

“Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak

diangkat menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,”

jawab penjaga itu. Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya

mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata,

“Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat itu tak

seorang pun boleh memasuki En-hiong-koan.”

Kwee An dan Cin Hai merasa mendongkol sekali. Mereka saling pandang dan

saling memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir

berbareng mereka mengulur tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh

dengan tubuh lemas karena tertotok jalan darah mereka oleh Cin Hai dan Kwee An!

Dengan tenang kedua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke

ruang belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jerih sedikit

pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.

Ternyata ruang belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu telah

terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini merupakan ruang berlatih silat

atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari

panggung itu, dan di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul yang bertubuh

tinggi kurus, dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang

kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk

di sebelah hwesio itu.

Pada saat itu, memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para

perwira yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan

ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima

yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam

istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya dengan kesempatan

ini? Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan

mulia.

Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang

sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di

lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala

hwesio di kuil raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat

pula menjadi penasihat para perwira, ini kedudukan yang tinggi, karena

sebenarnya hwesio ini bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai

Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.

Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka telah diadakan pemilihan dan

para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada saat Cin

Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang

bergumul di atas panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak

gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua

dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya

pemuda ini.

Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka

melalui kepala para perwira lalu melompat ke atas panggung di mana dua orang

perwira itu sedang mengadu kepandaian.

Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang

seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung

seakan-akan orang melempar ayam saja!

Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing

melihat siapa yang datang mengacau, ia menjadi pucat karena ia telah mengenal

Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.

Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di situ sunyi senyap

karena semua orang masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka

itu. Siapakah orangnya yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada

saat perwira-perwira mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang

berada di situ? Mungkin setan pun berani mengacau maka tindakan kedua orang

pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!

“Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan

sengaja hendak mengacau dan kami sebenarnya tidak mempunyai urusan sesuatu

dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini,

terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka

tampil ke muka dan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang biadab!”

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat

ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan

angkat pundak. Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh

karena ia memandang rendah sekali kepada kedua orang itu, maka katanya dengan

suaranya yang tinggi nyaring,

“Eh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”

Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring,

“Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan

Tan Bu, kelima kawanan yang disebut Santung Ngohiap Ma Ing, Un Kong Sian dan

tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir seorang hwesio keparat bernama Hai

Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di

tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”

Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Alangkah beraninya

kedua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira

kelas tinggi, bahkan Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan

Beng Kong Hosiang karena mereka itu telah dianggap perwira-perwira yang tinggi

kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan

yang kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Santung Ngohiap. Lebih-lebih

lagi nama terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini adalah sute (adik

sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!

Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ,

kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biarpun wajah mereka menjadi berubah

ketika nama-nama mereka disebut, tetapi karena berada di rumah sendiri dan

mempuyai banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat

mereka tabah dan berani. Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu lalu berdiri dan

menghampiri kelima saudara Santung Ngohiap yang duduk di dekat Beng Kong

Hosiang. Juga lima jago dari Santung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga

orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, berdiri dari kursinya hingga

ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.

Sebetulnya nama Santung Ngohiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka

adalah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, ke dua adalah adiknya Lauw Houw.

Kedua saudara inilah yana dulu ikut membasmi keluarga Kwee. Orang ke tiga adalah

seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah

satu-satunya orang dari kelima jago dari Santung yang tidak pernah memusuhi

keluarga Kwee dulu, akan tetapi karena ia juga menjadi anggauta Santung Ngohiap,

maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara

seperguruannya. Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian.

Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya

seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di

rumah keluarga Kwee dulu, maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma

Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!

Demikianlah, kelima Santung Ngohiap itu dan kedua saudara Tan Song dan Tan

Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,

“Eh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau

apa?”

Sambil berkata demikian, ia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti

oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing.

Juga para perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda

yang mengacau ini, pada bergerak mendekati panggung hingga Cin Hai dan Kwee Ang

seakan-akan hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!

Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hem, hm, tidak

kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para

perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut

yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata

demikian, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah

berada di tangannya! Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya

yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka telah mengambil keputusan untuk

bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.

Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!” Dan tahu-tahu

hwesio yang tinggi kurus ini telah berada di atas panggung, mendahului semua

perwira dan ia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.

“Tidak malukah kalian?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju.

“Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar?

Cuwi-ciangkun, jangan kau bikin malu kepada pinceng!”

Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai

penasihat para perwira dan terkenal sebagai seorang yang amat disegani dan

ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua

orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan

kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali! Ia telah melihat gerakan kedua

orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan ia maklum bahwa di antara kedua

pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, sedangkan pemuda yang ke dua itu

tidak berbahaya.

Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka

dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.

Beng Kong Hosiang tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid

siapa hingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?”

“Aku bernama sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan

suara tenang karena ia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan

kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang

namanya telah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh

keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!”

“Hem, mereka itu dibunuh karena mereka telah memberontak dan berani

menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah berani

mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatanmu ini saja sudah cukup

menjadi alasan untuk menghukum kalian!”

“Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan

untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah

karena ia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di

kalangan perwira Sayap Garuda.

“Ha, ha, ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak

tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun,

marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!” Beng Kong

Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau kalau pihaknya disebut curang dan main

keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan,

maka ia sengaja memanggil Lauw Tek yaitu saudara tertua dari Santung Ngohiap

atau perwira yang pada saat itu hadir di situ. Ia maklum bahwa kepandaian Lauw

Tek cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai,

dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!

Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh dan melompat ke atas panggung

menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,

“Dulu kau masih kuberi ampun hingga jiwamu tidak sampai melayang, apakah

karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?

Kwee An mengenal orang ini sebagai seorang di antara mereka yang menyerbu

rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan

menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan sambil tersenyum menyindir Lauw Tek

menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka berdua lalu bertempur hebat.

“Ha, ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong

Hosiang dan ia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah

jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai. Sambaran ini hebat dan kuat, akan

tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu

pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja

lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh Liong-coan-kiam. Hwesio ini

terkejut sekali karena ia tidak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai,

maka tadi ia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan

ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin

pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, akan

tetapi ternyata penuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat

mengelak serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan

bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?

Ia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini

dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke

depan ke arah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan

pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya ialah secepat kilat

ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang

untuk merampas pedang lawan itu! Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bahkan

mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang

mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak diteruskan

dan kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai menggerakkan

lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah hingga tak ampun lagi ujung

lengan baju itu terbabat putus!

Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia mengira

bahwa dalam satu dua gebrakan saja ia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini.

Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan

ia sendiri menderita rugi karena ujung lengan baju yang merupakan senjata

baginya itu telah terbabat putus! Dengan muka terheran-heran ia mengeluarkan

senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata

pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal

dilipat dua dan oleh karena itu setelah dilipat menjadi pendek dan dapat

diselipkan di pinggangnya.

Sambil membentak hebat, Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan

menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali seperti seorang petani mencangkul

tanah, akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir dan

balas menyerang dengan pedangnya.

Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan dan kepandaiannya

untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang betul-betul lihai itu.

Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,

“Eh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”

Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia

menahan senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai kau mau

apakah?”

Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang

Cu dan mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata demikian ia mendesak makin

hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak

hebat.

Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu

tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An

menjadi murid Eng Yang Cu. Ketika itu, Santung Ngohiap masih tinggal di Santung

dan menjadi jago yang ditakuti karena selain lihai juga terkenal ganas.

Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Santung dan

mendengar tentang keadaan Santung Ngohiap, lalu sengaja menantang pibu kepada

mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tidak tahan

mendengar betapa di Santung ada Santung Ngohiap yang menjagoi dan berlaku

sewenang-wenang. Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari

Santung Ngohiap kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu, akan tetapi secara licik

kelima jago Santung itu lalu mengeroyok hingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan

melarikan diri. Semenjak itu, Santung Ngohiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.

Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal

ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian

Kwee An, ia dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu.

Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas

dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.

Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan

serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi, biarpun masih muda Kwee An

bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas

dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.

Pada saat itu, dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara

orang berseru, “Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee

An, kau mundurlah!”

Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu

gurunya. Ia lalu mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek. Eng Yang Cu

adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah

putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya

adalah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.

“Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!”

Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas. Para saudaranya seketika melihat

kedatangan musuh lama ini, lalu datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih

hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Kwee An yang melihat betapa

pihak lawan mengeroyok, tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya

lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan

kedatangan suhunya itu.

Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Liong-san Kiam-hoat,

Ngo-lian Kiam-hoat, dan Sianli-utau yang pernah dipelajarinya, juga

kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua

gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tidak berdaya.

Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai,

sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk telah membingungkan hwesio itu.

Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya

hingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.

Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua

lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan

pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang

yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya tempur luar biasa

sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang dan ginkang dipersatukan

merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar. Khikang semacam ini

jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang

bulat hingga sangat melelahkan tubuh, ia sendiri akan mendapat celaka oleh

karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka jarang sekali ia keluarkan

kepandaian ini. Untuk menggunakan tenaga khikang ini, paling lama ia hanya kuat

bersilat sampai tiga puluh jurus saja.

Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima

jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini

jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.

Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi terkejut sekali dan permainan

Santung Ngohiap menjadi kacau balau hingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan

melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira

mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar,

sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan

sendiri. Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam,

lalu sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggauta Santung

Ngohiap dan ketua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu mana

musuh-busuh besar muridnya, hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua

pemuda itu. Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu dan serangan

pemuda ini disertai kegemasan yang meluap hingga kedua saudara Tan itu roboh

tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti

memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing,

dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam

penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni orang tua ini dan hanya

menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang

Liong-koan-kiam!

Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu telah dapat dirobohkan, tiba-tiba Cin

Hai melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.

“Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak

berdosa. Orang-orang yang telah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanyalah

enam orang yang telah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa,

ia hanya diberi hajaran saja demikianpun Beng Kong Hwesio yang sombong hanya

diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap

Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua

orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!”

Akan tetapi, di antara sekalian perwira itu, mana ada yang berani menjawab

dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap

sedia dengan senjata di tangan, walaupun hati mereka telah dibikin gentar oleh

kehebatan ketiga orang itu!

Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu

mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para

perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat

mereka di atas panggung lagi. Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan

sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana. Keadaan menjadi kalut

sekali, karena semenjak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh tahun

yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani

mengganggu mereka. Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh

seorang tosu tua telah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira

telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah

dikalahkan orang itu, kini roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat

sekali.

Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia lalu memerintahkan

barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, akan tetapi pada saat itu, Cin

Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah

berhenti di dalam sebuah hutan.

Cin Hai diperkenalkan oleh Kwee An kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang

dengan kagum kepada Cin Hai.

“Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu

sungguh-sungguh membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhumu yang mulia?”

Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhunya

karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tidak suka bahkan membenci segala nama

besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An

lalu mewakilinya menjawab,

“Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”

“Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apabila

kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhumu walaupun

mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe

itu, akan tetapi setelah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”

Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan

kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek

ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang

diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Santung Ngohiap yang telah

membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat

hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.

“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tak berdaya menolong

Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai hingga aku tidak mempunyai

kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.

“Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan semua itu berkat bantuan

Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu.” “Musuh belum

terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. Masih ada dua orang musuh besar yang

memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang

lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.

Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah,

memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat

keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong

Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu

terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya

bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan

terbalas!”

Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah,

memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat

keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong

Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu

terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya

bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan

terbalas!”

Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan kepada muridnya agar berlaku

hati-hati dan agar supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu

pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.

“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto

takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya. Kwee An merasa

terharu atas pembelaan suhunya itu dan menghaturkan terima kasih dan selamat

berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.

“Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat

kepada suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhunya

itu masih berada di Gua Tengkorak?

“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di

Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata ia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu

dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke

manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”

Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut

pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja

mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena

tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para

perwira.”

Mereka lalu menanti sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja

di waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang

tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.

“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan

tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah

orang ke tiga dari Santung Ngohiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, ia

agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita tentang

tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati

dan tidak membunuhnya.”

Dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan

Kwee Ang dengan mudah dapat melompati tembok kota di bagian yang tidak terjaga

dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa

menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk,

dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu,

yaitu di dalam sebuah gedung besar yang kuno.

Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi

baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat

oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah berdiri di situ dengan tangan

memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!

“Hm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya

sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti

kedatanganmu berdua!”

Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya dan Kwee An cepat

menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar

memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut

karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.

“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang

kami?”

“Kalian diam-diam memasuki kotaraja dan mencari rumah kediaman Ma-ciankun.

Masih hendak bertanya mengapa aku menanti dengan pedang di tangan di sini? Aku

adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas

di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kauhadapi dulu anaknya!”

Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya telah

menyerang lagi kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang

lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik

sekali, maka ia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh

perhatian. Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda

sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah daripada

kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu

menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya seperti seekor naga yang

menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan,

ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!

JUGA Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata

merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi

pemuda itu dan tak dapat mendesak!

“Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan

serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang

dengan ganasnya.

Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng,

“Hoa-ji,jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika

hendak bicara dengan aku!”

Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya mengeluarkan seruan kecewa, akan

tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin

Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah keren.

“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku ada keperluan

apakah?”

Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan

kami. Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua,

karena tidak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon

pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan

Sip, kedua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”

Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian otang-orang muda memang terlalu

berani dan tidak memandang sebelah mata kepadaku! Kaukira aku ini seorang

pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Biarpun

kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu

untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”

Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh.

Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh

mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini

mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,

“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku hingga mentertawakan sikapku

yang bodoh?”

“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa

teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu.

Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi mengapa kau sudi

menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal

itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi

pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus

dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan

keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah orang-orang yang telah melakukan

keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu

tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau telah melakukan sesuatu yang

adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu

atau kedudukan mereka sebagai anggauta Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan

pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa

perlunya mereka bersembunyi daripada kami? Kalau kau menolak untuk

memberitahukan tempat tinggal mereka, itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan

mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh

kami!”

Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak dan

ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan

tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela

napas dan berkata,

“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah

seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi

keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan

menganggap aku merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan

tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa

penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas

yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di

perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain

telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”

Cin Hai menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang

benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali

dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”

Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas

genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.

Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara orang

menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru

yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!

“Eh, eh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang

tadi?” Kwee An menegur tidak senang.

“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab

pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang

gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah

utara!”

Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. “Mengapa kami tidak berani?

Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana

kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak

seperti kau?”

Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!

” Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.

“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai

sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan Ayahnya.” Cin

Hai menegur dengan suara menyesal.

“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran

sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat mengalahkan pemuda itu. Setelah

pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur? “Dan lagi kita hendak melewati

Pai-san. Kalau kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan diterwakan

oleh seorang kanak-kanak?”

Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena

tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak

itu!

Setelah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk

dusun tentang rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An

tiba di lereng bukit Pai-san.

Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di situ subur. Hal

ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau

mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai

Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai

Kuning yang besar itu.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang

ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang

menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang

bergerak maju melawan arus air. Setelah dekat, ternyata yang duduk di dalam

perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian

nelayan yang bertubuh kurus bagaikan tengkorak hidup dan berwajah gembira.

Biarpun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu dapat

menggerakkan perahu dengan lajunya, hingga dapat dibayangkan betapa kuat

tenaganya.

Tiba-tiba terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu

diiringi bunyi riak air. “Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang anggur

dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!

Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang berserakan tulang rangka sisa

korban dingin dan lapar!!”

Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini

adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dulu keadaan rakyat di

bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika

lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung

bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut

istana Hua Cin. Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara

kehidupan raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tidak mempedulikan

keadaan rakyatnya yang sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan,

maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya

untuk membuat syair itu.

Syair ini semenjak dulu dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena

dianggap sangat menghina kaisar, dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang

mengenalnya lagi, apalagi menyanyikannya, karena apabila terdengar oleh kaki

tangan kaisar, tak ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan

dijatuhi hukuman keras. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu

bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang

yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tahulah seorang yang luar

biasa dan berilmu tinggi.

“Bagus sekali syair itu, seakan-akan kulihat Tu Fu menjelma kembali.”

Dengan suara keras Cin Hai memuji.

Ketika itu perahu kecil tadi telah tiba di depan mereka dan nelayan itu

lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh

yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.

“Hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.

“Kenal? Dia sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu

mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.

“Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar untuk memberi

tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia yang akan merasa bahagia biarpun

dalam hujan karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?

Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku, biarlah

gubukku ini hancur lebur, biarlah aku mati kedinginan, aku akan mati dengan mata

meram dan jiwa tenteram!

Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah

gembira sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata

dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan

kepalanya di pundak pemuda itu.

Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan, dan ketika

ia memeluk Cin Hai kedua tangannya merangkul. Cin Hai merasa seakan-akan ia

ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Ia merasa terkejut

sekali dan tahu bahwa diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.

Maka ia lalu menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan

tekanan yang hebat ini. Ia hampir tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan

hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.

Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya dan Cin Hai merasa lega

sekali. Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya dan ia menggunakan ujung

lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.

Kakek nelayan itu setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki

dengan mata berseri dan wajah gembira, lalu berpaling kepada pemuda baju biru

yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka. “Eh, anak

nakal, pemuda inikah yang kaumaksudkan? Ah, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu

kalah!”

Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah

Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang inilah!”

Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka tercengang, karena

setelah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa pemuda ini benar-benar

berwajah tampan sekali dan sikapnya pendiam dan agung! Ma Hoa lalu melangkah

rnenghadapi Kwee An dan berkata,

“Hem, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah

senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma

Hoa lalu melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia. Kwee An berdiri

bingung karena ia merasa jerih juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan

tenang ini. Ia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling

pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan

itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang

pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,

“Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal

itu!”

Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka

ia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah

kakek itu.

Ma Hoa ketika melihat Kwee An berdiri bengong, lalu membentak,

“Tidak lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?”

Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia

mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?

Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An

dengan cepat menangkis dan membalas menyerang. Sebentar saja keduanya bertempur

seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan,

membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.

Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Ia tak hanya mengagumi

kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi ia mengagumi kenyataan bahwa

kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang

lebih mengherankannya lagi, Ma Hoa biarpun sikapnya congkak sokali, akan tetapi

di dalam pertempuran itu agaknya tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee

An. Ini dapat dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit

dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut! Kwee An tak pantas disebut

murid Kim-san-pai yang lihai kalau ia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia

merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul

kepandaiannya, akan tetapi karena berkali-kali Ma Hoa memperlambat gerakannya,

ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba

kepandaiannya saja. Oleh karena itu, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang

paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sinar pedangnya

bergulung-gulung, akan tetapi ia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda

lawannya itu. Sungguh suatu pertempuran yang hebat dan indah dipandang.

Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa

keduanya tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya ia telah merasa

khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena

kalau ia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, itu berarti bahwa mereka

telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya. Laginya, ia merasa suka sekali

kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan

tamasya alam yang indah di situ telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak

terasa pula ia mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya

dengan senang sekali hingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya

memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.

Cin Hai memang pandai sekali menyuling. Ketika suara lengking sulingnya

melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa

tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin

hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu

yang membuat tarian mereka lebih indah.

Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua

matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini

perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah

menangis. Oleh karena inilah, maka ia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!

Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu terpengaruh oleh suara

sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu

telah berjalan dua ratus jurus lebih! Ia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia

menghentikan tiupan sulingnya. Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu

terhenti dan yang terdengar kini hanya riak air. Keadaan yang sunyi ini

melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu hingga dengan sendirinya

mereka lalu melompat mundur. Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah,

akan tetapi aneh sekali. Sekarang Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran

karena tidak dapat mengalahkan pemuda itu bahkan ia memandang ke arah pemuda itu

dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka

di dalam hatinya kepada pemuda itu.

“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan

berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi kembang gula. “Mereka itu

cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu

mengangguk sambil tersenyum.

“Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh

yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tak ada pemuda

lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, Ha, ha!” Kakek nelayan

yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.

Kwee An merasa bingung dan tidak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan

tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee

An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda

itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang-kadang

sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan

tiba-tiba ia menjadi mengerti! Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri.

Mengapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis.

Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula!

Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagaikan

kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani

berkata-kata lagi.

“Bukankah cocok sekali mereka?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada

Cin Hai. “Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun takkan

mampu menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee,

mengapa kau diam saja?”

Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe,

maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan

tentang perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhunya karena

kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”

“Ah, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee,

bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti ia suka kepadamu?”

Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tidak berani

bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung penuh pertanyaan, yaitu bagaimana

kakek ini dapat menduga demikian?

Agaknya kakek nelayan ini dapat membaca pikiran orang karena setelah

tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,

“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan

suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He,

Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”

Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhunya yang selalu bersikap

terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan

pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali orang membicarakan tentang perjodohan

dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi!

Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung

perahu itu meninggalkan mereka!

“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka

kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Kalau dia

pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh

menolak murid Si Nelayan Cengeng!”

Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun

Su bahwa di antara tokoh-tokoh luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang

disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat maupun di dalam

air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhunya, maka mereka berdua

lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.

“Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan teecu yang bodoh. Sebagaimana

dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal perjodohan, bukan teecu

menampik, akan tetapi harus teecu minta nasihat Suhu terlebih dahulu.”

“Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.

“Suhu adalah Eng Yang Cu.”

“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha, ha, aku suaah menduga bahwa engkau tentu

anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tak kuduga bahwa imam tua itu masih mau

mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan

dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju

sepuluh bagian!”

“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe, akan

tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan

perjodohan!”

Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang

mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan

penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya dan tanah di mana kakinya

terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!

“Apa katamu? Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan

yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan

tempat ini!”

Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena ia

cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam akan tetapi keras hati dan tak

kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin

marah orang tua itu.

“Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama sekali tidak menolak dan

bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar dan dipilih

sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini

berada dalam keadaan berkabung dan sekarang sedang melakukan perjalanan dengan

teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan

keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu.”

Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa

keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa

yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu

hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air

mata yang membasahi pipinya.

“Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan

seorang perwira? Ah, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan

bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi

kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata

kepada Cin Hai,

“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah maju pesat karena ia selalu

melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tak dapat

melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah

bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah

engkau mengerti ilmu dalam air?”

Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa ia hanya dapat

berenang sedikit saja.

“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap

menghadapi hwesio itu, baik di darat maupun di air!”

Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua

minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An

mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong-kiam-hwat atau Ilmu Pedang

Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta

gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia

tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan karena kepandaian pemuda itu katanya

sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain

di dalam air. Karena Cin Hai memang telah memiliki lweekang yang tinggi dan

dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu

dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.

Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma

Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak meninggalkan

Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang,

tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu

menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An

tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!

Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu dan kebetulan Kwee An

mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan

pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan

pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa

cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat

pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar

tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah

kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis

ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.

Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya ketika melihat pakaian muridnya

itu. “Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian

seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu

hendak pergi melanjutkan perjalanan.”

Memang orang tua ini terlalu sekali. kejujurannya yang luar biasa hingga ia

menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu

menjadi jengah dan malu sekali.

“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah,

apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!” Biarpun ia keras

hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhunya yang menganggapnya

sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala ia bertindak maju.

Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan

gemetar ia melolos pedangnya dan diberikan kepada suhunya tanpa mengeluarkan

sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya

akan terdengar menggigil. Nelayan Cengeng gembira, lalu ia berkata kepada Kwee

An dengan suara memerintah,

“Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan

pedangmu kepada tunanganmu!”

Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima pedang itu, kemudian ia mencabut

pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba

Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,

“Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus

kauberikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”

Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran kepada Cin Hai, akan tetapi

hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin

Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar

kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”

Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan kedua

orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan

pedang itu. Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak

berani mengangkat muka dan tidak melihat ia mengangsurkan pedang, maka gadis itu

tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan

serba salah, terpaksa ia menggerakkan bibirnya memanggil,

“Moi… eh… Siocia, kauterimalah pedang ini!”

Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan

cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang

dan ia lalu tertunduk kembali!

“Ah, salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, kau harus

memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”

Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia bersorak-sorak dan

meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar, benar...! Bagus...”

Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali

lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini

lalu lari ke perahunya mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng

tertawa terbahak-bahak.

“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekas kembali!” kata Kong

Hwat Lojin sambil bertindak pergi.

Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau

sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau

kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”

Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan

gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat ia dapat

menekan perasaannya dan berkata, “Aah, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam

membikin engkau berbahagia sekali?”

Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai.

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian

dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di

pinggir Sungai Liong-kiang itu!

Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan

Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup

secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai yang cukup

besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.

Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu

mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini,

banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok hingga mereka dapat berbicara

dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai

dan Kwee An. Dari mereka ini kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah

milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama

karena ia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada

Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang diangkut ke dalam perahu itu adalah

sumbangan-sumbangan dari pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada

Pangeran Vayami.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba

mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenal

dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya

yang gundul licin.

Pada saat itu, perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan

tempat itu, sedangkan para pemeluk agama yang berdiri di tepi sungai berlutut

memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.

Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas

perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah.

Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan

pemuda itu dengan bentakan,

“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurangajaran

di sini?”

“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata, kau

masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.

Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat dan mengenal

wajah Kwee An, “Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan

kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau

begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna

agar kau tidak menjadi penasaran!”

Sambil berkata demikian, ia maju ke arah Kwee An, akan tetapi pada saat

itu, pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda

yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak

dengan suaranya yang halus,

“Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang

halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena

pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah

seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.

Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya

dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,

“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan

kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?

Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai

berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat

bahwa kopala agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh

lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas

hormat, diikuti oleh Kwee An.

“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat

ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke

atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada

Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini,

karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu

jiwa dengannya.”

Pangeran Vayami tersenyum halus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan

sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa

selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini berpengaruh dan

cerdik.

“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan

tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu adalah menjadi tamu kami dan oleh

karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan

segala tenaga, bahkan dengan jiwaku sekalipun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang

mukaku dan tidak mengganggunya selama dia masih berada di sini!” Setelah berkata

demikian, pangeran itu menggerakkan kedua tangannya dan bertepuk tangan tiga

kali. Tiba-tiba dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang

berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.

Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka ia lalu menuding

kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui

kedosaan dan perbuatanmu dan tentu tidak begitu pengecut untuk lari dari

tuntutan balas kami. Kalau kau memang laki-laki maka harap kau mau turun ke

darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih

pandai!”

Hai Kong Hosiang tadi telah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke

dalam perahu, maka ia maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai daripada Kwee

An, maka ia berkata,

“Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang

tak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga

pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau

ikut campur?”

“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah mempunyai hutang

padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di

depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang

hendak kaubunuh dulu itu siapa? Lihat mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat

bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan

budimu dulu!”

Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan

Ang I Niocu di dalam gua Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jerih.

Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama

malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, maka tentu saja

ia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.

“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan

hidup?”

“Hwesio keparat kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.

“Ha, ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun

kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani

kalian.” Cin Hai menjura kepada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini

membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!”

Pangeran Vayami sambil tersenyum berkata. “Cobalah kalau engkau dapat,

karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.” Ia lalu memberi

tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan

mengurung Cin Hai serta Kwee An!

“Saudara An, kaulawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan

kera tua ini!”

Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki “kera tua”!

Ia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering

itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit

dan waspada, ia lalu mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.

Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee

An yang memutar pedangnya dengan hebat. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu

hanya memiliki tenaga hebat dan kuat bagaikan kerbau jantan, akan tetapi

kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi, hingga Kwee An tak sampai terdesak

oleh mereka. Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tidak mudah merobohkan mereka

karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Biarpun serangan lawan-lawannya tidak

cukup gesit dan berbahaya, namun karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali

saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Maka ia berlaku tenang

dan hati-hati dan menjaga diri dengan kuatnya, sedikit pun tak memberi waktu

kepada mereka untuk dapat memukulnya.

Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Pendeta

ini benar-benar telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang

pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng. Karena berkali-kali bertemu dengan

lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain,

dan semenjak kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih

diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya.

Bahkan dalam perjalanannya ke utara, ia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama

untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu. Maka dalam

pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat

pendeta ini jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur di dalam Gua

Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya

seakan-akan berubah menjadi seeor ular berbisa yang masih hidup, sangat

berbahaya sekali. Biarpun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam tiap

serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini

berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati

sekali. Ia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu,

karena dengan ilmu silat ini ia dapat bergerak gesit sekali dan tubuhnya

berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan

yang tak kalah hebatnya.

Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai

dan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini

berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri. Ia kagum

sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong

Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Namun, betapa

herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan

silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah. Memang untuk

mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sengaja mencampur permainan

silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang ia mengeluarkan jurus

Liong-san-kiam-hoat, Ngolian-kiam-hoat, bahkan seringkali ia mengimbangi

permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan

jian-coa-kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular. Hai Kong Hosiang tercengang dan

heran sekali hingga ia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan maling

rendah! Dari mana kaucuri ilmu pedangku?”

“Ha, ba, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang

tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu

pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya

dan Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai

benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut, akan tetapi jauh

lebih sempurna.

Padahal sebetulnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya

saja karena ia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah

dimainkan itu, ia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat memperbaikinya.

Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi

cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jerih. Tak disangkanya bahwa pemuda

ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu silat-ilmu silat ini

mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel

tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jerih. Namun, karena melihat

bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, ia memperkuat hatinya dan

sambil membentak keras ia menyerang lagi. Kini tangan kirinya mencabut keluar

sebatang sabuk ular yang penuh bisa. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini

bahkan baru keserempet sedikit saja, racun ular yang mengenai kulit dapat

menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke

dalam daging dan meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya. Baru saja

sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai telah mencium bau yang amat amis, maka

tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Ia lalu menggunakan

tangan kirinya mencabut keluar sulingnya dan untuk mengimbangi lawan, ia

mempergunakan dua macam senjata pula di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di

tangan kiri suling bambunya!

Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan

peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah

menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan

matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu

menyerang sambil berteriak,

“Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”

Cin Hai diam-diam merasa girang melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, dan

ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan

kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan-gerakan sulingnya tidak

dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan

kedua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.

Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san-kiam-hoatnya telah

berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi

terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa kedua anak muda yang

mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan jika dilawan terus

akan membahayakan keselamatannya, maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa

Mongol. Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tak

berani membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu

menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah hingga sebentar saja

api menyala hebat di atas perahu itu. Ia lalu melompat dan hendak turun ke dalam

perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air. Akan tetapi, melihat

kecurangan pangeran ini, Kwee An meninggalkan ketiga pengeroyoknya dan ia

mengejar pangeran itu sambil berteriak,

“Jangan kau berlaku curang!” Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan

pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang masih menyala. Kwee

An terkejut karena serangan ini hebat juga dan diserangkan ke arah pakaiannya.

Cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah

diserangkan pula ke arah mukanya! Kwee An miringkan kepala dan selagi ia hendak

membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil menendang lututnya.

Biarpun ia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas lututnya

dan karena ia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka,

akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di

pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan

jatuh tercebur ke dalam air!

Cin Hai terkejut sekali akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai

Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat.

Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat

ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,

“Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!” Akan tetapi, Hai Kong

Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa

jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tak

dapat dirobohkan, juga keadaannya berada dalam bahaya. Api di atas perahu telah

mulai membesar dan bahkan kini telah memakan tiang besar di tengah perahu! Oleh

karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian

hingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa

Hai Kong Hosiang kertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.

Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang akan

tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan

orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena

perahu besar dimana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu telah

hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang. Kwee An

yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan

terpaksa ia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya ia pernah

berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin ia akan mati di

dalam permainan arus amat kuat itu! Ia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus

amat deras dan sungai itu sangat lebar, maka ia hanya mempergunakan

kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan

membiarkan dirinya hanyut di permukaan air. Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh

sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana Cin Hai dan Hai

Kong Hosiang bertempur telah lenyap dari pandangan matanya. Ia masih melihat

betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan

keselamatan Cin Hai.

Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin

Hai, karena sungguhpun pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan

tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka

telah bertempur lebih dari dua ratus jurus. Sungguh harus ia akui bahwa inilah

lawan yang paling tangguh yang pernah ia jumpai, kecuali Hek Pek Moko. Kalau

dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai

Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apalagi sabuk ular di tangan

kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.

Sebetulnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su,

boleh dibilang menjadi raja ilmu silat, karena ilmu ini membuat ia dapat

mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh

karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian hebat ini Cin Hai belum mempunyai

dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang

sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut

kurang agresip. Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu

gerakan yang dapat merobohkannya, akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah

sekali oleh karena untuk dapat menyerang ia hanya dapat memetik dari jurus-jurus

Ilmu Silat Liong-san yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin atau Ilmu Silat

Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.

Paling banyak ia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang,

akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir, dan pula, apa artinya ilmu

silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal

serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.

Maka biarpun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik akan

tetapi juga amat sukar baginya untuk menjatuhkan lawan yang luar biasa

tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali ia telah berhasil

menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi

hwesio ini mempunyai tubuh kebal karena ia telah mempelajari dan memiliki ilmu

kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga ilmu lweekang

hwesio ini sudah cukup tinggi hingga sering kali kalau suling Cin Hai menotok

jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk

menutup jalan darahnya itu dan mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan

itu! Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan ia tidak menyangka bahwa juga Hai

Kong Hosiang merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati

bahwa apabila pemuda ini telah matang latihannya, tentu ia takkan sanggup

menghadapinya lebih lama daripada seratus jurus!

Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan

bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di

dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main! Pada saat

itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar

hingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang di tangan Cin Hai telah

disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak kaget akan

tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga papan yang terbakar itu

kena tertindih tubuhnya dan padam. Dalam kemurkaannya, hwesio itu menggunakan

kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengar suara keras ketika tiang

yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi

roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk, tiang yang terbakar dan layar yang

masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!

Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada

bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak

melompat akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi digunakan untuk menyapu

tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali

penarik layar yang bergantungan di tiang itu. Oleh karena ini, gerakannya

melompat membawa tiang itu dan layar di atas roboh ke arah dirinya! Ia mencoba

mengelak akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya hingga

kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar dan tebal menyelimuti tubuhnya!

Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang dapat

menyelamatkan kakinya dan kaki itu tidak menjadi patah walaupun tertimpa tiang

sebesar itu, akan tetapi ia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari

selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan

termakan api! Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu

sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup dan panik. Asap api telah masuk ke

dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu,

Hai Kong Hosiang tiba-tiba merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali

menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini,

tak terasa pula ia memekik-mekik. “Tolong... tolonglah jiwaku...”

Pada saat itu, Cin Hai telah berdiri di kepala perahu dan telah siap untuk

terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Ia memandang ke arah

Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar dan ia merasa girang

karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang. Tadinya ia bersiap sedia,

karena kalau hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak

mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu.

Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu

melepaskan diri daripada kurungan layar dan tiang! Cin Hai tersenyum, memasukkan

pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak

mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya

mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!

Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong

itu, lenyaplah perasaannya bermusuh terhadap Hai Kong Hosiang. Yang terlintas

dalam pikirannya pada saat itu hanyalah adanya orang yang terancam bahaya maut

dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal

berpeluk tangan melihat orang dimakan api? Ah, hatinya tak sekejam itu dan ia

menjadi tidak tega sungguhpun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan

menancapkan pedangnya di uluhati hwesio itu!

Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai lalu melompat ke dekat layar dan tiang

yang masih mengurung Hai Kong Hosiang dan dengan menggunakan sepatunya ia

menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.

Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang

menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang

datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah

sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang! Melihat muka

hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, Cin Hai lalu menendang

pergi tiang yang menindihnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengangkat

tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Ia melompat ke pinggir perahu dan

selagi ia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba ia merasa pundak kirinya

sakit sekali dan mendengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!

Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia

digendong oleh Cin Hai itu menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah

swan-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan

kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah

berkurang sedangkan Cin Hai masih sempat menutup jalan darahnya walaupun agak

terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat hingga ia

merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh. Cepat Cin Hai

menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya dan Hai Kong Hosiang ke dalam

air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu

terbanting di air yang mengalir cepat itu. Hai Kong Hosiang jatuh dengan

terlentang hingga untuk beberapa saat ia gelagapan. Akan tetapi, hwesio ini

telah mempelajari ilmu di dalam air, maka cepat ia dapat membalikkan diri dan

dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia

mencari-cari mangsanya. Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ dan selagi Hai

Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari bawah permukaan air,

sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah

Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas.

Walaupun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun Cin Hai dengan mengeraskan

hati dan mengumpulkan tenaga di tangan kanannya dapat melancarkan pukulan hebat

itu yang tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan

dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa, hingga tenaga

Cin Hai tinggal setengah bagian saja dan walaupun dilakukan dari dalam air namun

tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Cin Hai

tidak kelihatan kepala dan tubuhnya dan hanya tangan kanannya saja nampak

memukul dari dalam air, sedangkan tangan kirinya telah tak berdaya sama sekali.

Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya

telah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing dan matanya menjadi

gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia

telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu. Adapun Cin Hai yang

lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan balasan

yang hebat ini pun lalu menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh

Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tidak merasa bahwa ia telah

ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami. Juga Hai Kong Hosiang ditolong oleh

pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam sebuah

tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara

yang dibangun model gedung bangsa Han.

Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, setelah mendapat perawatan dari

seorang tabib Mongol, luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan

Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi dalam beberapa hari. Juga Cin Hai telah

sadar dari pingsannya, akan tetapi ia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia

merasa heran mengapa ia mendapat perawatan sedemikian baiknya dari Pangeran

Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.

Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup dan

berada di tempat itu pula, ia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu,

akan tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang

ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan ia diberi tugas

membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa

Pangeran Vayami adalah seorang yang terhormat dan yang harus ditaati perintahnya

karena pangeran ini adalah calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.

“Hai Kong Beng-yu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah

berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku

membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan

kepandaiannya. Ketahuilah bahwa ia telah terkena pengaruh madu merah dari

tabibku dan sebentar lagi ia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”

Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia batalkan niatnya hendak membunuh

pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa gembira akan

muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin. Ternyata di daerah utara

terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar

biasa jahatnya dan yang sama sekali tak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok

pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan

bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapai

semacam obat yang disebut madu merah. Madu merah ini memang madu dari bangsa

tawon yang langka terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya terdapat di daerah

salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan

tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan yang dapat membuat orang menjadi lupa

akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia

penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan

perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini

akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan

kepandaian Cin Hai, maka diam-diam ia menggunakan obat mujijat ini untuk

mencengkeram Cin Hai, dan memperalatnya!

Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua

kepercayaan Vayami hingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu

merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa itu adalah obat untuk menguatkan

tubuhnya. Memang benar, tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali dan luka akibat

totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh, akan tetapi ia merasa makin hari makin

malas dan semua hal yang telah terjadi berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan

ketika telah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak

mengenal lagi hwesio ini! Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ

dan tidak mempunyai kehendak lain. Biarpun pikirannya telah dipengaruhi obat

mujijat itu, namun tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya

kepandaiannya dan julukannya saja yang ia masih ingat, yaitu “Pendekar Bodoh”!

Demikianlah, dengan secara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat

menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia

dan yang menurut akan segala perintahnya. Ini tidak mengherankan karena pangeran

itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang

cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu.

Selain Pangeran Vayami, tak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini,

karena betapapun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!

Setelah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu

membawa rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan

kaisar yang hendak bersekutu dengannya.

Rombongan ini setelah menyeberang sungai lalu melanjutkan perjalanan dengan

naik kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang

mempunyai tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang

sembarangan dan dinamakan “Pek-gin-ma” atau Kuda Perak Putih yang dapat lari

seribu li dalam sehari tanpa berhenti! Pangeran yang cakap ini nampak gagah

sekali naik kuda yang berbulu putih itu, hingga jubahnya yang berwarna merah

darah nampak mencolok sekali. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini

bersikap gembira dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol

dengan sikap ramah dan agung. Memang hatinya sangat gembira dan girang karena

kini ia telah mempunyai seorang penjaga pribadi yang juga menunggang kuda

bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang

memang sudah kelihatan bodoh itu kini benar-benar nampak bodoh sekali karena

tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan seorang sedang duduk di atas kuda

sambil mimpi!

Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang

rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung.

Pada malam harinya, penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa

Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya.

Pangeran ini namanya telah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya

seperti seorang Buddha hidup dan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat

menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu

akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh! Oleh karena itu, maka semua

penduduk, tua muda, laki-laki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak

ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan

hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan serombongan pemain musik

memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat. Gadis-gadis bergembira ria

dan menari di depan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah

menyatakan bosan. Memang ia tidak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena

gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar bagaikan laki-laki

dan kulit kehitam-hitaman.

Tiba-tiba, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan

merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu

nampak seorang wanita berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya

berbeda dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian

cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.

Gadis ini tidak saja kulitnya begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi

juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan dan gerak-geriknya lemah gemulai

menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya

mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para

gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum hingga mereka

menghentikan tarian mereka dan kini berdiri merupakan sederet barisan yang

bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati

tarian Gadis Baju Merah itu.

Tiba-tiba Hai Kong Hosiang berseru di antara sinar obor yang membuat

wajahnya nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!” Dan ia segera mencabut keluar

senjatanya yang mengerikan itu, akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya segera

mengangkat tangan dan berkata,

“Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!

” Ucapan ini merupakan perintah karena pangeran itu benar-benar tidak suka

melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Oleh karena ini, sambil menggigit bibirnya,

Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.

Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah

ini telah dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan

tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan

tariannya. Sambil menari ia mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah

heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot

sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan

seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian

seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya dipandang.

Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan

wanitanya yang halus itu dapat menduga adanya bahaya yang mengancam. Apalagi

ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula! Aneh

pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika

ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju kepadanya penuh

kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu hingga

berani membentak Hai Kong Hosiang, ia lalu menari lebih indah pula untuk membuat

pangeran itu benar-benar mabok!

Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap

hari dia melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang

demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apabila ia

menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu

bertepuk-tepuk tangan dan memuji,

“Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan

kau datang ke mari!”

Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu

menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang

pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.

Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain di

bibirnya yang merah,

“Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat

tinggalmu?”

“Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!”

kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya sekali!”

Akan tetapi baik Pangeran Vayami maupun Ang I Niocu tidak mempedulikan

ucapan pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba

bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya

hamba adalah seorang perantau.”

“Ah, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan?

Kebetulan sekali, aku pun suka kepada orang-orang gagah dan maukah kau ikut

dengan rombonganku?”

“Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran

yang suci ini.”

Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis

yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I

Niocu mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat

wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu

berkata pula,

“Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka

itu, bahkan hamba pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua berada

dalam rombongan Paduka?” tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin

Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.

“Ha, ha, ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar

di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku

berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha,

ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang

ini.”

“Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.

Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan

memberi berkah dengan kedua tangan dilambai-lambaikan kemudian dengan berani

sekali ia memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu

menuju ke kemahnya, pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya untuk

menyediakan meja perjamuan dan ia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan

gembira.

Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu

berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai.

Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan ia menceritakan

sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.

Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai telah

berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja

yang berada di depannya dan sekali ia bergerak, ia telah menangkap tangan

Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami

menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.

“Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau mempunyai niat buruk!”

tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.

“Mundur, atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” Ang I

Niocu membentak. Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan

keluar dari kemah.

“Lekas kau perintahkan supaya kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu

memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami. Pangeran ini merasa kesakitan

dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda

Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu

memerintah pula,

“Sekarang kaupanggil Cin Hai ke sini!”

Cin Hai takkan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah

Pangeran Vayami memberitahukan hal ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu

memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai

tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil

termenung,

“Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah dan bagaikan sebuah

robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I

Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.

Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami

memandang dan menatap mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam ia mengerahkan

tenaga sihirnya hingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan

berada di bawah pengaruhnya sama sekali.

Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh

di sana, kalau tidak aku takkan ampunkan Pangeranmu ini!” Terpaksa dengan

mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil

memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh

dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang

telah berada di bawah ancaman pedang.

Dengan tangan kanan masih memegang pedang dan ditodongkan kepada Pangeran

Vayami, Ang I Niocu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan

tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekati tidak

mempedulikannya dan tetap memandang kepada Pangeran Vayami bagaikan seekor

anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah. Tiba-tiba Pangeran

Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!” Memang ia

telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ang I Niocu

sama sekali tidak mengerti bahasa itu.

Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah

memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu

yang memegang pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang

keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,

“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”

Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk

telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu ia merasa seperti mendengar

suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam

mimpi membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya. Ini

tidak aneh, karena dulu ketika ia masih kecil, memang suara panggilan yang

keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut “Hai-ji” atau anak Hai

inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya

sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka

kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tak mudah terhapus

oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.

Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan

bingung, tak tahu harus berbuat apa.

“Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru, akan

tetapi Ang I Niocu segera berkata,

“Hai-ji, mari kau ikut aku!”

Ternyata suara Ang I Niocu lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai hingga

sekarang ia betul-betul berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah

membayangkan kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu. Tiba-tiba dari

belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,

“Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!”

Oleh karena tadinya pemuda ini taat sekali kepada Pangeran Vayami, maka

Pangeran Vayami tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka

kini mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis

serbuan Hai Kong Hosiang! Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang

berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa

jerih! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia takkan menang menghadapi

Cin Hai dan Ang I Niocu.

Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke

arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di situ dan kendalinya dipegang oleh

seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tak berani menghalangi karena ia

maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi

dia!

“Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata

lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke atas kuda itu. Cin Hai pun hanya menurut

dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang

roboh pelayan yang memegang kendali dan ia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma

itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke

atas, lalu berlari secepat angin! Hai Kong Hosiang sambil menyumpah-nyumpah

mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah mereka, akan tetapi dengan kebutan

lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.

Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari

cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan

kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen! Ang I Niocu mencabut

saputangannya yang digulung merupakan cambuk dan ia membujuk kuda Pek-gin-ma

dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi.

Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan

keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai

duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka besar yang

duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!

“Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya

sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi

manusia robot itu!

Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang

bulan. Tiba-tiba ia menjawab juga,

“Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya

demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.

Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah

perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali

dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok

sebentar pengalamannya semenjak ia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga

Kwee.

Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka

sekali kepada Nona Baju Merah ini hingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di

kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang ia mengeluarkan isi

hatinya, dan menuturkan betapa ia dan Cin Hai telah saling mencinta. Ia

menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama

sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam

daripada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.

Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,

“Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi

meninggalkanku untuk membalas dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa

khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau ia sampai menemui bahaya?

Kalau aku boleh ikut, biar kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai

terbinasa sekalipun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”

Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia memandang dan

melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia

terisak-isak, Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan

terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.

“Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya

kita akan dapat membantu mereka bukan? Apalagi dengan adanya kau yang lihai, aku

takkan takut menghadapi siapapun juga.”

Karena bujukan-bujukan ini, akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan

demikianlah, dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri

untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis

ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin

Lin, sudah menjadi tugasnya untuk menemukan mereka kembali. Bukankah ia mencinta

kepada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong nafsu, akan

tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita

yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis

pilihan Cin Hai.

Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa

Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar

itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang

jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan

memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.

Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan

Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Santung Ngohiap

dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa girang

dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong

Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka

ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara. Ang I

Niocu menyetujui pula dan begitulah mereka pada keesokan harinya melakukan

pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.

Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua

orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan

lain ialah Nelayan Cengeng dan muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng

In yang berpakaian laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan

seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong

Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.

Beng Kong Hosiang dan tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua

orang pemuda yang mengacau di Enghiong-koan telah mengejar ke utara, maka mereka

merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula.

Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk

seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan. Biarpun para

perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka

tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki, dan mereka menyangka bahwa

pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.

Beng Kong Hosiang melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu,

dapat menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian,

maka setelah menjura ia berkata,

“He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan

perahumu, berapa saja upahnya yang kauminta, tentu pinceng bayar lunas!”

Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap

mereka baik-baik, ia lalu menjawab,

“Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu

ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana

ini hendak menuju ke manakah?”

Melihat sikap pelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Ben Kong

Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan

dengan siapa, maka ia lalu menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah, bahwa pinceng

adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana

dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka janganlah kau banyak bertanya

dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”

Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka

telah mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong

Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka dapat menduga

bahwa rombongan ini tentulah mengejar Cin Hai dan Kwee An yang telah melanjutkan

perjalanan pada beberapa hari yang lalu.

“Beng Kong Hosiang, kalau kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke

utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian.”

Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,

“He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan

perwira-perwira kaisar? Apa kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan

banyak tingkah lagi!”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,

“Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah

kalian boleh atau tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan

kalau kalian hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!”

Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu

tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia

tidak akan melayani lagi, akan tetapi di situ tidak ada lain perahu dan perahu

kecil nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan

suara halus,

“Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tidak sudi

menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu yang mulia?”

Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali

hingga kedua matanya keluar air mata.

“Ha, ha, ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri.

Sungguh lucu! Ketahuilah aku adalah seorang nelayan tua yang malang-melintang

disungai ini untuk mencari ikan. Aku lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari

pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tidak suka pula melihat

hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio

demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”

Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi

Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan ia segera bertanya dengan

heran, “Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?”

“Ha, ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa

sangkutannya dengan kau?” jawab Nelayan Cengeng itu. Jawaban yang tidak karuan

ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan

Cengeng adalah seorang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang

gila.

Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata, lalu mendekat

ke pinggir perahu dan membentak, “Orang tua kau lekas keluar dari perahu dan

berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap

lagi!”

Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari

perahu ke darat dan menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma

Hoa dan segera pemuda itu terkurung rapat. Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan

sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini

tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan senjatanya

yang aneh yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang

tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat daripada kayu hitam dan

keras.

Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar, maka

sebentar saja Beng Kong Hosiang sangat terdesak oleh gerakan dayung yang

mengamuk bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka

dua orang perwira lalu membantunya dan yang lima orang lain masih saja

mengeroyok Ma Hoa segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali. Nelayan

Cengeng biarpun tidak terdesak akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang

cukup hebat itu disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai membuat ia

tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.

Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang

I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah

rombongan perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia

telah dapat memilih pihaknya. Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, “Kaubantulah

pemuda itu!” Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan

menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari

samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat kaisar, jangan kau

menjual kesombongan di sini!” Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng

Kong Hosiang terkejut sekali.

Baik Beng Kong Hosiang, maupun Nelayan Cengeng pernah mendengar nama Ang I

Niocu, maka kini melihat seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah

datang menyerbu dengan kepandaian yang demikian tinggi dan indah gerakannya

segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak

gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa ia menghadapi bantuan seorang

yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha,

ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau

belum mencuci tubuh hingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!”

Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!

Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apalagi kalau yang

menghadapinya belum pernah melihat atau mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan

itu akan menjadi makin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja, ia dapat

mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng dan akhirnya dengan

tipu gerakan Bidadari Menyebar Bunga ia berhasil melukai tangan mereka hingga

senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak

kesakitan dan melompat mundur. Dan pada saat itu juga, Nelayan Cengeng juga

telah berhasil menghantamkan dayungnya yang mengenai paha Beng Kong Hosiang.

Hwesio itu terhuyung-huyung dan Nelayan Cengeng sambil tertawa-tawa mendupak

pantatnya hingga hwesio itu menggelundung dan masuk ke dalam sungai!

“Ha, ha, mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil

tertawa geli!

Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Dara muda ini ketika melihat betapa

pemuda yang tampan dan memiliki ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh

lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan

berbahaya sekali, lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai

berputar-putar di tangannya! Tadinya memang Lin Lin telah memiliki ilmu pedang

yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan

kepadanya, kini kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya

lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.

Sebaliknya Ma Hoa ketika melihat seorang gadis manis menyerbu dan membantunya,

menjadi girang sekali dan sekarang timbullah semangatnya. Gadis yang berpakaian

sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring dan pedangnya membuat gerakan kilat

hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!

“Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dar

mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus. Lin Lin

kaget dan marah mendengar ini, karena ia menganggap bahwa “pemuda” ini sungguh

kurang ajar hingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.

Sementara itu, para perwira ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen

ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah dikalahkan, dan dilempar ke dalam

sungai, menjadi takut dan jerih. Mereka lalu membalikkan tubuh dan melarikan

diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu

lari, bahkan yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu

sedikit pun.

“Ha, ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut

Nelayan Cengeng!!” berseru nelayan tua itu dengan tertawa geli sampai kedua

matanya mengeluarkan air mata.

Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi

hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!

Terimalah hormat dari aku yang muda!”

Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu

bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum

sekali!”

Sementara itu melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam dan

mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu

pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”

Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda

ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia

tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan

telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,

“Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira

aku ini siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?”

Lin Lin menjadi makin terheran dan marah ketika melihat “pemuda” itu tidak

marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa

“pemuda” ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan

suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita! Selagi ia

berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba Nelayan Cengeng

juga tertawa dan berkata,

“Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda

ceriwis yang layak dipukul! Ha, ha, ha!”

“Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi makin marah! Lihat, mukanya sudah

menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa. Lin Lin

menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak

menampar mulut “pemuda” itu, tiba-tiba Ang I Niocu yang bermata tajam sambil

tersenyum berkata kepadanya,

“Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita!

Apakah kau tak dapat menduganya?”

Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam sedangkan Ma Hoa lalu

melepaskan kupiahnya hingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke

bawah menutupi pundaknya. Kini “pemuda” itu berubah menjadi seorang gadis yang

cantik jelita dan yang sedang tertawa manis kepadanya. Lin Lin juga tertawa dan

mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa

menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.

“Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat

kau semanis ini, aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?”

tanyanya.

“Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang menyangka engkau bukan

seorang pemuda aseli? Namaku adalah Kwee Lin.”

Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she

Kwee? Eh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda bernama... Kwee An?”

Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci

Hoa, apakah engkau bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang

mencari dia!”

“Ha, ha, ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan

sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang

kaubantu itu adalah calon Soso (Kakak iparmu) sendiri!”

Lin Lin tercengang dan memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk

kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”

Ma Hoa tak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang

yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan

ia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali. “Ah, benar engkau telah menerima

pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Eh, calon ensoku yaqg baik, sekarang

beritahukanlah kepadaku di mana adanya calon suamimu itu?”

Ma Hoa mengerling dan cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau

tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang

berada!”

Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa

benar-benar Cin Hai dan Kwee An telah di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat

perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.

Nelayan Cengeng lalu menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan

pengalaman mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu

yang lalu. Mereka memberitahukan bahwa kedua anak muda itu telah melanjutkan

perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong

Hosiang.

Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan

muridnya, maupun Ang I Niocu dan Lin Lin telah kurang hati-hati dan mereka tidak

tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke

dalam sungai dan kini bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari

permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini

mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika

mendapat kenyataan bahwa “pemuda” itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng

In yang ia kenal baik!

Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit

untuk melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di

dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi ia malu untuk menyatakan hal ini

dan pula ia khawatir kalau-kalau ia dikenal oleh para perwira hingga kedudukan

ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan

kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.

Setelah semua orang pergi, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak

keluar dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng

Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu

mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!

Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin

Lin merasa girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa

Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka

kini telah dapat mengikuti jejak kedua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk

ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!

Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di

tempat yang sunyi dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi.

Gerakan kedua orang dari depan itu demikian cepat hingga Ang I Niocu dan Lin Lin

maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan setelah dekat

ternyata bahwa dua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee

dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dan sepasang matanya

mengeluarkan sinar kejam.

Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang selain cerdik, juga

berwatak pengecut sekali. Ketika ia mendengar bahwa kawan-kawannya telah tewas

di dalam tangan anak-anak muda yang membalas dendam keluarga Kwee, ia lalu

cepat-cepat pergi mengunjungi suhunya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan pandai Boan

Sip dapat membujuk suhunya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya.

Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di

tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya

Lin Lin juga girang oleh karena tak disangka-sangkanya ia dapat bertemu dengan

musuh besarnya di tempat itu.

“Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin

sambil mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan

sengitnya. Boan Sip tertawa besar dan menggunakan pedangnya menangkis sehingga

sebentar saja mereka bertempur dengan seru dan hebat.

Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan

Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio.

Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah

ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Ia berlaku hati-hati sekali oleh

karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi. Sebaliknya melihat gerakan

pedang Ang I Niocu yang lain daripada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa

kagum dan membentak,

“Nona yang gagah siapakah namamu?”

Akan tetapi Ang I Niocu mana sudi memberitahukan namanya dan sambil

menyerang terus ia berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah

pedangku akan menyambar lehermu!”

Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhunya, “Suhu, Nona Baju

Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!”

Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa

ia berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama

mendengar nama besarmu. Nah, kauperlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat

sampai di mana tingginya!”

Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan

tangan kosong, akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam

Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini

benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I

Niocu mengigit bibir dan memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio

yang amat tangguh ini.

Sebaliknya, biarpun sudah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan

kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi

kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan Sip makin rapat

mengurung dirinya hingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya!

Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi makin gugup oleh karena melihat

betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan

gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip

mengenai pergelangan tangannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan

disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak. Perwira muda itu lalu

menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus

mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan

pedang lawan! Ia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan

pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan

Sip hingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!

Boan Sip tertawa lagi. “Ha, ha, ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan

kau mencari aku untuk membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!” Ia

mengangkat pedangnya ke atas, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lin Lin

perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Ia lalu

membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!

“Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar,

akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya hingga terpaksa

Ang I Niocu melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak

karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut. Setelah mendesak Ang I

Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah

itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga ia dapat merobohkan

gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,

“Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh

bertemu kembali!”

Ang I Niocu hendak mengejar, akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan

juga oleh karena merasa bahwa ia kalah tinggi kepandaiannya, Ang I Niocu

mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat

menangkap hwesio ini dan tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin

Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia lalu mengendurkan larinya dan

bermaksud untuk mengikuti hwesio itu dengan diam-diam agar mengetahui ke mana

mereka membawa Lin Lin.

Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi telah memberi kesempatan

kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau

diikuti olehnya hingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya. Ang I Niocu

kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan sedih dan marah lalu

berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh

karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka,

bahkan ia lalu tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya ia bertemu dengan

rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran

yang mata keranjang itu, ia berhasil menolong dan membawa lari Cin Hai yang

keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.

Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan

keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya

sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apalagi sekarang ia bertemu dengan Cin

Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.

Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang

diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar

keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol setolol-tololnya. Celaka

betul!

Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan

ia merasa jengkel sekali mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah

bahwa pemuda itu adalah “Pendekar Bodoh”! Ketika angin malam yang sejuk meniup

mukanya dan muka Cin Hai yang duduk di belakangnya, pemuda itu tertawa senang

dan berkata,

“Angin sejuk! Angin enak!”

Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat

turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.

“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.

Timbul harapan Ang I Niocu mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini. Ia

segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”

“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”

“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak dan

tiba-tiba gadis itu menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu hitam sambil

menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa

amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas

melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang ia

perbuat? “Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin

Hai dengan penuh perhatian. Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai

teringat ketika ia masih kecil dan ketika ia merantau dan menderita kelaparan.

Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang

menderita kelaparan!

Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung

ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya

terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tak salah lagi Kwee An

tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, sedangkan

Cin Hai tertawan musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An

juga tak dapat diharapkan selamat.

“Hai-ji... Hai-ji, kaucobalah untuk mengingat-ingat! Di manakah adanya Kwee

An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.

“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu

apa-apa!”

Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Ia

pikir dalam keadaan seperti ini, ia harus menggunakan ketenangan dan mencari

akal. Kalau ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan makin

mengacaukan urusan. Ia harus lebih dulu mencarikan obat memulihkan ingatan Cin

Hai yang telah lupa akan segala apa ini.

Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai melanjutkan

perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin

Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap

tentang hal-hal dahulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu, akan tetapi

pengaruh madu merah memang mujijat sekali. Cin Hai biarpun merasa senang sekali

mendengar penuturan Ang I Niocu dan tiap-tiap kali gadis itu bercerita, ia

memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu

tidak dapat mengingat hal yang terjadi di masa lalu!

Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat

jejak Boan Sip penculik Lin Lin hingga makin hari makin gelisahlah hati Ang I

Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat!

Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya hingga

malam itu amat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda

culikannya berjalan dengan perlahan, Cin Hai berjalan di sebelahnya dan keduanya

tak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Ketika mereka melalui

daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar dan hitam hingga menyeramkan

tampaknya di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba Ang I Niocu mendengar suara

tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!

“Setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah,

karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang

yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?

“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” tiba-tiba Cin Hai berkata,

oleh karena biarpun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman

telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya. Kalau telinga Ang I Niocu tak

dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi

gema yang keras, adalah Cin Hai dapat menangkap suara itu dengan jelas dan tahu

bahwa yang tertawa adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga

khikang di dalam suara ketawanya hingga terdengar dari tempat jauh dan amat

menyeramkan.

Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya

ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu.

Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat

terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan satu tempat terbuka yang kering

dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya. Dan

ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam

dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu

dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di

tempat itu.

Di tempat terbuka itu, di atas tanah, melihat dua tumpuk

tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar

dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di

atas tiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang

berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, dan yang seorang lagi

berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di

atas! Kedua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua

tangan seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan

sekali. Apalagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam

ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup! Muka itu

tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikitpun juga hingga merupakan

tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya sedikit di atas kepala itu

diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.

Orang ke dua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak

itu adalah seorang hwesio tinggi besar dan bermuka menyeramkan dan ketika Ang I

Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain

ialah Hai Kong Hosiang! Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini,

akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia

maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang seperti rangka itu

menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali. Harus diketahui bahwa

tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di

puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apalagi

kalau harus mengerahkan tenaga mengadu khikang! Lebih-lebih kalau berdirinya

dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong

Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan

kehebatan Hai Kong Hosiang. Pada saat itu, biarpun Hai Kong Hosiang telah

mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan

tetapi kakek tua renta yang berjongkok di puncak tumpukan tengkorak ke dua itu

tak bergerak sedikitpun juga, sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun

kedua tangannya, biarpun hanya dengan gerakan perlahan saja, namun tubuh Hai

Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong

dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih

tinggi daripada tenaga Hai Kong Hosiang!

Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan

Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras,

“Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi

tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah

kakek tua renta itu. Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan

Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia

mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!

Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh.

Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat

gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan

maut ini. Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasai datangnya tenaga hebat

ini, segera menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan dan mengerahkan

tenaga khikangnya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan

Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu

kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai

yang tidak lemah!

Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa

kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai daripada Cin Hai. Hal ini

belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai

Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini

berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat

diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!

Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba

berseru keras sekali. Kemudian keduanya lalu bergerak dan meloncat turun dari

tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan! Ketika Ang I Niocu memperhatikan,

ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di

antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, di tengah-tengah tumpukan,

tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi terdapat sebuah kepala yang bukan

tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke

sana ke mari dan masih berambut sungguhpun rambutnya telah putih semua!

Sedangkan di tengah tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi

pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh

menyeramkan. Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I

Niocu berubah rasa girang oleh karena ia segera dapat mengenal suara ketawa

terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya orang luar biasa itu, entah bagaimana

telah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta

itu.

Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang

membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari

tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan

sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan

dari dalam tumpukan itu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua

sekali dan yang sama sekali tidak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua

bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan

Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta

dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

Hai Kong Hosiang menjadi pucat sekali ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum

akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek

tua renta yang bukan lain adalah supeknya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki

Sianjin, orang yang sudah tua usianya hingga telah gagu tak dapat bicara pula,

maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supeknya ini untuk

melawan Bu Pun Su.

“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu

teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih

berdiri sambil tertawa. Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan telinganya untuk

mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi

lidahnya telah membeku dan ia tak dapat berbicara lagi. Maka ia lalu menatap

wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu

Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, lalu

mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama

tingginya. Ia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu

karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan,

menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah

Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia

hendak menyatakan bahwa Kam Ki Sianjin mempunyai tingkat yang sama rendahnya

dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak

berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si

Tengkorak Hidup.

Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu

Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut

sekali oleh karena belum pernah ia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu

menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata

kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk

pundaknya, Ang I Niocu berkata,

“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan ia adalah

musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin

Hai. Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras,

“Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

“Baik! Kalau dia musuhmu, aku, akan menyerang dia!” Ia lalu melompat dan

menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan

mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas

tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan

hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali.

Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dan Kam Ki

Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama

sekali, yang ada hanyalah dua bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan

dua iblis sedang bertempur.

Tak terdengar suara tangan atau kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat

mereka bertempur itu bertiup angin keras yang membuat tengkorak-tengkorak yang

tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak

itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang

merasa sibuk sekali. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja, terutama Cin

Hai, ia takkan dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan

seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas,

akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan

Cin Hai!

Sebetulnya, selama beberapa hari ini, kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama

lweekang dan khikangnya, telah naik dan maju pesat sekali oleh karena ia

mendapat latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supeknya, yaitu Kam Ki

Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini

menghadapi dua orang muda yang tangguh itu, ia tak berdaya dan terdesak hebat.

Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya

maut.

Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia

bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan

pertempuran, dan kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang

dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia

hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan

kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

Bu Pun Su masih tertawa bergelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri

berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek

tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata

kosong.

“Bagus, Im Giok. Kau telah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang

Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!” Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu

mendekat, lalu ia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol,

“Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus

menyembuhkannya!”

Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia

mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

“Cin Hai, kaumajulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!”

berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal

nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

“Anak tolol!!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah

muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan. Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak

dan setelah tujuh kali menyerang dengan gagal, barulah ke delapan kalinya Bu Pun

Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini

dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena

biasanya tiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan

kakek jembel ini!

Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci

yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut

kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat

oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat

dingin! Akhirnya, setelah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia

berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu

maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan

ketika melihat Ang I Niocu, ia tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhunya

berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu datang di sini dan...

dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”

Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya girang sekali melihat

betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan

keharuan hatinya hingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

Ang I Niocu lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pemuda itu berada dalam

rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Kemudian

dukun bangsa Mongol itu melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa

rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberi madu merah.

Maka teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu ia berkelahi mati-matian dengan Hai

Kong Hosiang dan akhirnya ia hanyut dalam sungai dalam keadaan pingsan. Cin Hai

berlutut lagi di depan suhunya dan berkata,

“Baiknya Suhu datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau

tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

“Ha, ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai

sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih.

Hai, Im Giok, setelah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu

Pun Su kepada Ang I Niocu.

Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan ia

pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu takkan bersedih?

Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhunya yang lihai, yaitu Bo Lang

Hwesio!” Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I

Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai,

ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu

biar kau lari sampai ke neraka sekalipun!” Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya

dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu

mengangguk-angguk maklum.

“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, kali

ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak

dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu

Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu

berkata,

“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan

mencari tunanganmu, Cin Hai!”

Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut sambil

menghaturkan terima kasih, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang,

ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

Setelah suhunya pergi, mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa

dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang

lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,

“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan

mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya dengan Kwee An ketika

bertempur dengah Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami, hingga

Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan

penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang

si keparat itu!”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda

putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca

coret-coretan di atas tanah yang berbunyi, “Kuda dan dukun yang dipinjam harus

dikembalikan kepada pemiliknya!”

Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang

berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan

berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.

Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira

yang lihai itu. Biarpun Boan Sip mempergunakan ilmu larinya yang cukup tinggi,

akan tetapi tak lama kemudian ia dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang

Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang telah disediakan

oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran

musuhnya.

Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang

Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh

karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.

“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena engkau ingin

mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini telah

kautawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali.

Boan Sip, aku tidak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi

urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan

gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama engkau minta pembelaanku

dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu,

kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”

Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio

mengawaninya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan

berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya.

Oleh karena ini maka ia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam

sebuah kamar saja dengan tak berdaya melarikan diri oleh karena jalan darahnya

telah ditotok hingga ia tak dapat mempergunakan tenaganya!

Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah

persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tak dapat diikuti

dengan pandangan mata hingga kalau kebetulan ada orang yang melihat bayangan

itu, ia takkan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang

atau bayangan apa.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya,

dapat mendengar desir angin yang lain daripada desir angin biasa. Selagi ia

masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng

terdengar orang berkata,

“Bo Lang! Percuma saja engkau bersamadhi kalau perbuatanmu tidak sesuai

dengan jubah pendetamu!”

Bo Lang Hwesio terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang begitu tinggi ilmu

ginkangnya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal

Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih

puluhan tahun lamanya. Belum pernah ia bertemu dengan orang yang memiliki

kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biarpun sedang dalam

samadhi, ia sama sekali tak mendengarnya!

“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan tak berujud, kau

masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio, akan tetapi orang di atas

genteng terkekeh--kekeh dan menjawab,

“Bo Lang Hwesio aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kautawan,

apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling,

lebih baik kuminta terang-terangan!”

Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani

dan menantang, maka tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor

burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas

genteng.

Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap

tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru

keras, “Ah... Bu Pun Su! Apakah kehendakmu dengan malam-malam datang di sini?

Apakah kau hendak mengganggu pinceng pula?”

“Ha, ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia

tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san oleh karena kau hendak merusak

persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau

telah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”

“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tapi

jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio

sekarang!”

“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala,

sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar

nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”

“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela

muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya?

Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang

membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan kami perlakukan

baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya

hingga kalah oleh muridku!”

“Ha, ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan

Lin Lin Siocia dengan baik-baik aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut

lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”

“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio yang lalu menyerang dengan pukulan

tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya hingga biarpun gerakan

tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek

jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!

“Bagus, lweekangmu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang lalu mengelak

dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka. Pukulan ini tertuju

kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio dan untuk menilai kehebatan pukulan ini dapat

diukur dari suara genteng pecah, dan ternyata genteng di belakang Bo Lang Hwesio

yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang

menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar ini tidak mengenai sasaran.

Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar

saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas

genteng itu.

Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi

setingkat daripada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia

tak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih

akhirnya Bo Lang Hwesio tak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi

oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat hingga bagi Bo Lang Hwesio,

tubuh lawannya seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan

mengeroyoknya dari seluruh jurusan. Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su,

tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir, akan tetapi Bo

Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai di puncak kesempurnaan,

sedangkan tenaga lweekangnya sudah jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.

Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka

kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan

kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jerih

dan berseru,

“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”

Setelah berseru demikian, Bo Lang Hwesio lalu melompat ke belakang dengan cepat

sekali dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin

tertiup angin dan ketika ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena

jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong. Ia bergidik oleh karena maklum

bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu jiwanya telah melayang sejak

tadi. Ia menghela napas dan menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia

tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke

dalam rumah. Ia harapkan saja kakek itu tidak akan mencelakakan Boan Sip.

Akan tetapi, tak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan

tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,

“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan

di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”

Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh

aku. Biarpun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu

masih berada di dalam rumah!”

“Hm, kalau begitu kau bersumpah!”

Mendengar bahwa benar-benar ia tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio

marah sekali, akan tetapi ia tidak berdaya untuk membantah, apalagi ia sendiri

yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka ia merangkapkan kedua tangan di dada

dan bersumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul biarlah Buddha yang suci

akan mengutukku!”

“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali

berkelebat, tubuh kakek jembel itu telah lenyap.

“Bu Pun Su, lain kali kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan

tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.

Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak membohong ketika ia katakan bahwa

sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah

demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama

sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari

tempat itu!

Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua

yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh

Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai

yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu. Ketika ia tiba di tepi

sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang

kelihatan berdiri di kepala perahu. Seorang di antaranya adalah seorang

berpakaian asing dan ternyata bahwa ia adalah seorang Turki yang berkulit hitam

dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang

dan lebar, terbuat daripada kain berbulu yang indah.

“Eh, eh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”

“Yo-suhu (nama aselinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil

berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.

Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang akan tetapi ia lalu memerintahkan

kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang

diminta oleh Boan Sip.

“Heran sekali, siapakah adanya orang yang begitu ditakuti oleh

Boan-ciangkun?” tanyanya.

“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su

dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri,

sedang mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”

“Aah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat

baikmu?”

Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang berilmu tinggi pula, maka ia

segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi

Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua

orang.”

Kemudian Yusuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu

dan yang kini tangannya telah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara

kurang senang,

“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”

“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi dapat

kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku

sayang kepadanya.”

Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya, “Memang Suhumu benar. Tak pantas

membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki

itu lalu menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang

Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat tangan Lin

Lin. Sekali ia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!

Boan Sip terkejut sekali oleh karena ia tahu bahwa Lin Lin kini telah

terlepas daripada pengaruh totokan, dan inilah yang memaksanya tadi untuk

mengikat kedua tangan nona ini.

“You-suhu, kalau ia dilepas, ia berbahaya sekali!”

Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan

sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.

Sebaliknya, Lin Lin ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya telah bebas,

merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, akan tetapi tali

yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat

mulur hingga tak mudah diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang

asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas! Ia tak tahu bahwa

Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan

baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekalipun, orang Turki ini pasti

akan dapat membukanya dengan mudah!

Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali kepada Boan Sip, ketika merasa

dirinya telah bebas segera meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil

berseru,

“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!” Lin Lin lalu

menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan ketika Boan Sip hendak

menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan

tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia

tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini, akan tetapi tiba-tiba dari

samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahu-tahu

sabuk itu telah melingkar pergelangan tangan yang melakukan pukulan hingga

sekarang menjadi gagal. Ketika ia hendak melepaskan sabuk yang melibat

pergelangan tangan lengannya, tiba tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang

dipegangnya dan tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!

“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau berada di dalam perahuku dan aku

berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan

membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita

semua tenggelam?”

Lin Lin ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, maklum bahwa

orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk sejenak menjadi

ragu-ragu. Apalagi ketika mendengar bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah

sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

Sebaliknya Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi

marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin sambil membentak, “Perempuan

rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak

pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru

saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk

membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!”

Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju

menyerang Lin Lin dengan muka buas!

Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah dengan cepat ia dapat mengelak dan

balas menyerang dengan kepalan tangannya.

“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf, akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip

tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau berkelebat dan

tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah terlepas dari pegangan dan ternyata

gagangnya telah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.

“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.

“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau,

orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam

bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di sini, jangan kau takut

diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa,

maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?” Suara orang Turki ini sekarang

terdengar amat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang

asing yang aneh dan lihai ini, maka oleh karena ia memang merasa lelah sekali,

ia lalu masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa

aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah

beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas

sebuah pembaringan bambu yang kasar!

Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu

memberi teguran dan nasihat kepada Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah

dan kepala ditundukkan.

Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini

sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan Perang Turki yang telah siap

di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Yousuf sebenarnya masih seorang

bangsawan keturunan pangeran dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka ia

telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak

dengan para perwira bangsa Han yang dapat dibujuk untuk bersekutu dengan tentara

Turki dan untuk bersama-sama menjatuhkan pemerintah yang sekarang. Di antara

perwira-perwira yang mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang

diam-diam juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan

janji-janji yang muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali

tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini mempunyai tujuan tertentu,

yaitu untuk menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena

menurut penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya

di pulau kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan

mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.

Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu telah lama mengadakan

perhubungan dengan Yousuf bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan

pertemuan di sungai itu, hingga bukan tidak disengaja bahwa Yousuf telah menanti

di sungai dengan perahunya. Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi

di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawan-kawannya atau rombongan

perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas

untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan

perwira pengkhianat ini belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh

orang-orang Turki.

Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu

meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.

“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini

adalah tugas penting dan besar maka janganlah urusan pribadi mengacau tugas

penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini

lebih berkuasa daripada kau, maka kau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”

Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akai

kelihaian dan kekuasaan Yousuf maka ia tidak berani membantah.

“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih

baik dia disingkirkan agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?

Yousuf menggeleng kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa!

Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu

telah melihat perahuku, dan yang lebih panting lagi, ia telah melihat aku! Hal

ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat seorang asing di

sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan

kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali? Apalagi ia telah melihat bahwa kita

saling kenal?”

“Nah, mengapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air

sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan

dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.

Kembali Yousuf menggeleng-geleng kepala dan menggunakan tangan kirinya

untuk membikin beres sorbannya yang terbuat daripada kain kuning.

“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah

kepercayaan suci yang kami pegang teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak

sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia

dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat kepada

orang-orang wanita!”

Boan Sip mengangguk-angguk maklum dan ia sama sekali tidak pernah mengira

bahwa orang Turki yang cerdik ini sebetulnya hanya menggunakan alasan kosong

belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!

Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat membawa Lin Lin yang

masih tertidur di dalam bilik perahu, dan makin lama sungai yang dilalui perahu

makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.

Tiba-tiba para penumpang perahu itu terkejut sekali oleh karena perahu itu

telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip segera

memandang dan mereka melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu

mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung. Dua orang

ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis

yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu!

Bagaimana mendadak Nelayan Cengen dan Ma Hoa dapat muncul di sungai itu??

Ini adalah akibat daripada malapetaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu

dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar. Sebagaimana

diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan

Lin Lin, melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, suheng dari

Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira dapat mendengar percakapan mereka dan

dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa “pemuda” itu adalah gadis atau puteri dari

Ma Keng In, perwira Sayap Garuda! Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu

dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar!

Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan

mereka ini semua dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau

pengkhianat!

Untung sekali bahwa Ma Hoa dapat melarikan diri. Di depan sidang pengadilan

yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma

Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,

“Memang Ma Hoa adalah anakku, dan aku merasa menyesal dan bosan dengan

kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan

benci melihat sepak terjang kawan-kawan sejawatku, yang menjadi perwira kerajaan

tidak untuk menjaga keamanan rakyat bahkan sebaliknya berlaku sewenang-wenang

dan mengandalkan pengaruh untuk menindas dan mencekik orang-orang lemah! Aku Ma

Keng In, merasa berbabagia bahwa anakku yang tunggal itu tidak mengikuti jejakku

yang sesat, dan benar-benar menjadi seorang pelindung rakyat yahg gagah perkasa!

Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong

Hosiang dan Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”

Tentu saja ucapannya ini merupakan keputusan terakhir dan ia beserta

keluarganya semua mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar malapetaka yang

dialami oleh seluruh keluarganya itu ia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si

Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya

menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat daripada tangis muridnya

sendiri.

Tiba-tiba Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah

teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar

yang mempergunakan kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”

Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih

itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di

sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada

hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka

dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang

mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki dan mereka yang dengan

diam-diam mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!

Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap

Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka

juga kedua orang ini sekalian mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta

mengharapkan untuk bertemu dan menggabung dengah Ang I Niocu dan Lin Lin.

Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu

ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar bergerak ke hilir. Mata Nelayan

Cengeng yang tajam segera melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap

Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja ia

menabrakkan perahunya yang kecil kepada perahu depan itu hingga mengejutkan para

penumpang perahu di depan itu!

Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat

kepada nelayan tua itu,

“Eh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha, ha, ha, ha!

Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata

demikian, ia mengangkat dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu

sekerasnya. Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja

memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air, hingga sebentar saja air

sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!

Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka

berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu

dengan orang gila!”

Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu oleh

karena bagian yang pecah demikian besarnya hingga sebentar saja air yang

mengalir masuk sudah demikian banyaknya sukar dibendung lagi!

“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru dan tubuhnya lalu meloncat, diikuti

oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang ditumpanginya

mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan

mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!

Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seakan-akan kejadian itu

merupakan suatu hal yang lucu sekali, bahkan Ma Hoa dalam kesedihannya ikut

tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.

“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya ketika melihat Boan Sip yang

berpakaian perwira.

“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhunya lalu mendayung perahu

kecil ke pinggir.

Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang

sudah hampir tenggelam,

“Cici Hoa! Lo-cianpwe!!”

“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan Lin Lin yang telah

membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir

tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!

“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan

heran.

“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh

besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”

Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di

pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!

Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang

menangkis sambil tersenyum mengejek. “Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!”

katanya. Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang

cepat gerakannya hingga ia menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang

sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya. Melihat datangnya serangan

yang lihai ini, Boan Sip lalu melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan

bertempurlah mereka dengan hebat dan seru, Lin Lin yang tidak bersenjata lalu

menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini

ia lalu mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.

Sementara itu, Nelayan Cengeng berhadapan dengan Yousuf yang masih

kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini telah datang dekat, Yousuf

berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,

“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini

memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah perahuku? Kalau betul

demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis yang memasuki

tubuh manusia!”

Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah

mengejek oleh karena betapapun juga ia merasa mendongkol sekali melihat

perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang

mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata dari

kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu

mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.

“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!” Yousuf tangannya dilempangkan

ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian ia membentak

keras sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan,

“Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”

Tiba-tiba suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini

menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan

ia merasa seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Ia tidak

tahu bahwa benar-benar Yousuf mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh

jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng

mengerahkan lweekangnya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini

hingga Yousuf berseru,

“Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau

tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”

Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena ia mengerti

bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan menyangka betul-betul ia sedang

kemasukan setan sungai. Maka ia segera menjura dan berkata,

“Tuan, kau sungguh lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami

orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di

dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang

sempurna. Salahkah dugaan ini?”

Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.

“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Perwira yang sedang bertempur

itu memang kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua

bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat sekali, dan apakah maksudmu merusak perahuku

dan mengganggu perjalananku?”

“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti

berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah, bahwa perwira itu telah

melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan seorang gadis yang

menjadi sahabat muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”

“Hem, siapa yang hendak melindungi dia?” kata Yousuf yang percaya penuh

akan kegagahan Boan Sip. Akan tetapi ketika ia menengok dan memandang ke arah

pertempuran, ia menjadi terkejut sekali. Biarpun Boan Sip berkepandaian tinggi,

akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu

pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin

yang mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis

sambil main mundur saja. Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapapun juga

Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan untuk menyaksikan dan

membuktikan adanya pulau emas itu. Kalau Boan Sip sampai kalah dan tewas,

bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang

tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus

membantu. Yousuf membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip, akan

tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng

telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.

“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda pula. Kita tua sama tua

boleh main-main, kalau kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali

tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau tidak turun tangan terlebih dulu.

Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan takkan

mengganggu sedikit pun!”

Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran tak dapat dihindarkan lagi, maka ia

lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa

nelayan ini biarpun kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai

sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, maka ia dapat menduga bahwa orang ini

tentulah seorang ahli lweekeng yang tinggi ilmu kepandaiannya.

“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka

engkau berani main-main. Ketahuilah aku bernama Yousuf, dan di dalam negeriku,

aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Kauminggirlah dan percayalah bahwa aku pun

tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya

pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”

Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng dapat mempercayai omongannya, oleh

karena semenjak tadi pun ia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat

atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip,

mana ia memperbolehkan lain orang menolong perwira jahat itu?

“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama

Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Khong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”

“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!” Sambil berkata demikian,

Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas dan

kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada

gagangnya nampak dihias emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga

bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.

“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju. Gerakannya gesit dan

cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa ia

sedang mempergunakan ilmu ginkangnya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini

membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan. Melihat serangan

ini, tahulah Khong Hwat Lojin bahwa ia berhadapan dengan orang pandai maka ia

pun segera menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat.

Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan bunyi bagaikan suling

sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan

membuat debu mengepul ke atas!

Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah

pertempuran yang amat hebat dan dahsyat, sehigga dua orang pendayung perahu

Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini ke duanya berjongkok dengan tubuh

menggigil karena ketakutan.

Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah amat terkenal dan

jarang ada jago dapat menandinginya, akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang

jago dari bangsa lain yang memiliki silat tinggi dan sama sekali asing baginya.

Demikianpun Yousuf, baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga

keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu

perkembangan gerakan lawan.

Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi

seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh karena ia harus menghadapi

serangan dua singa betina yang sedang mengamuk hebat! Sambil bertempur, Lin

berkata, “Cici, kita harus buat mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi

malapetaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima

kasih kepadamu apabila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi makin bersemangat untuk

segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada

tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan

mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya, sedangkan Lin Lin juga

menggunakan dayung di tangannya untuk menyerang kalang kabut hingga Boan Sip

makin terdesak saja. Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan bingung,

tiba-tiba ia menginjak sebuah batu yang bundar licin hingga ia tergelincir dan

terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma

Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat

nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!

Melihat betapa musuh besarnya telah menggeletak di atas tanah dalam keadan

tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan

ia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan

terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri

berlutut dan berkata perlahan,

“Ayah, anak yang puthau (tak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada

anjing terkutuk ini!” Kemudian ia menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya,

ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan

kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin

Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan

Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur

hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan. Dayung Si

Nelayan Cengeng sungguh-sungguh hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi tentu,

orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa mempergunakan ginkangnya untuk

menghindarkan diri dari sambaran dayung!

Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin

berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”

Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat

bahwa Boan Sip sudah dibinasakan ia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur

menahan gerakan dayungnya.

Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau

orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”

“Ah, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun hebat

dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.

Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta

pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.”

Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah

ia menghela napas dan berkata,

“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya

mati di ujung senjata!”

Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Ia

memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah,

biarpun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat

masing-masing.”

“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga kembali air matanya mengalir.

“Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik

hanya satu yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing

asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat

baikmu!”

Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang Han memang aneh dan

patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan

tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketatanegaraan dan segala

politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan

dengan perwira itu?”

Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang

oleh karena ditolak lamarannya oleh Ayah terhadap diriku, lalu mengajak

kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku

telah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika

aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia

berhasil menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa

aku lari dan bertemu dengan kau.”

“Hm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus

dibayar jiwa pula!”

“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Aku mendengar dari percakapanmu

bahwa kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.

Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja.

Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan.

Ketika ia dan beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu,

telah timbul dalam hatinya cita-cita ini. Dengan memiliki semua harta kekayaan

itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan

menggantikannya. Memang masih ada darah pangeran dalam tubuh Yousuf dan

sayangnya ia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam

tangannya! Kini, melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa

yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara

dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela

membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekalipun. Perasaan inilah yang merupakan

cita-cita ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin. Ia juga

ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja

dan membujuk Lin Lin agar suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan

inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya. Ia telah melihat

kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah

menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Kalau ditambah dengan dia

sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat,

akan sanggup mengusir musuh yang manapun juga?

Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin

Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahu telah

rusak dan tenggelam.”

Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia

lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak

aku masih kecil, seringkali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas, dan dalam

beberapa hari ini, telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”

Yousuf memandangnya tajam. “Telah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah

kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”

Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu, dalam

perantauannya dengan Ma Hoa, ia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang

juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam

mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha

Merah itu, juga hendak mencari pulau ini.

Yousuf terkejut sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran

Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dengan kunjungannya ke pedalaman dan

hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu.

Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”

Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng bertanya

lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa

namanya?”

Yousuf telah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek

nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar

dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung

Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya,

memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau

kecil lain itu.”

Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua

orang ini bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap

pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula

keinginan tahunya dan ia ingin sekali melihat dan menyaksikan dengan mata

sendiri keadaan pulau yang telah dikenal dalam dongeng itu.

Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua

pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, ia

menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui dimana adanya dia sekarang.” Lin Lin

menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami bertemu dengan

Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ah, sekarang

menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun

harus mencari Cici Im Giok! Eh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak

mengobrol sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kauceritakanlah,

bagaimanan kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”

Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Kini mendengar

pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba kedua matanya menjadi merah dan ia mengeraskan

hati untuk menahan keluarnya air matanya. Lin Lin terkejut dan memegang

lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”

Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa lalu menceritakan malapetaka yang menimpa

keluarganya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar

itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir

butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tak dapat menahan

lagi kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar

keluarnya, “Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua,

tinggal aku seorang diri... sebatangkara...!”

Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya lalu bertangis-tangisan oleh karena

memang terdapat banyak persamaan antara mereka berdua, oleh karena seperti juga

Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.

“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih mempunyai kawan-kawan

baik seperti Suhumu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok

adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan

menolongmu!”

Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan

mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang masih bercakap-cakap dengan

Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh kedua orang ini, yaitu

Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!

“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja,

ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan

kedua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan

saputangan.

Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf

mencari Pulau Emas itu.

“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku mencari saudara dan

kawan-kawanku?”

Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita tidak tahu ke mana

perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari

mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali

kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini hingga bukan

tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu.

Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, maupun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio

itu dan apabila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka

akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik daripada kita

berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”

Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I

Niocu sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai

Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang

bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia

berkata,

“Terserah kepada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan

percaya penuh kepadamu, orang tua!”

Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi

girang sekali, akan tetapi ia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,

“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu

begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”

Nelayan Cengeng biarpun sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam.

Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri ketika mendengar kata-kata

persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang

membuatnya menjadi hati-hati. Akan tetapi, sambil tertawa ia menjawab pertanyaan

Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah

berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam

air yang benar-benar hebat.

Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke

dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara

seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang

menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian

gurunya. Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh

perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan

tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring

hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng

berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu

dapat didorongnya ke pinggir hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggir

sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.

“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku

kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!”

Sambil berkata demikian Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah

melompat ke darat. Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa sambil

mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,

“Sudahlah di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik

kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”

Kedua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang

karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik

kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ

oleh karena ia tak memerlukan tenaga mereka lagi. Ia merogoh kantongnya dan

memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan

girang.

Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa,

dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh

aliran sungai yahg deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng

yang kuat sekali. Sebelum senja hari, perahu mereka telah sampai di mulut sungai

dan memasuki laut yang luas!

Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke

Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An!

Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami dan

menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu hingga ia

terjatuh ke dalam sungai, Kwee An telah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang

dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran

air sungai itu amat deras dan kuatnya, hingga usahanya gagal bahkan tubuhnya

hanyut dengan cepatnya!

Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak,

pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu

karang yang banyak menonjol di permukaan air. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya

dan menggunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut berenang sambil mengikuti

aliran air dalam cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga ia dapat

menghindarkan diri daripada tubrukan dengan batu-batu karang. Ia masih dapat

melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong

Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan

keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan

yang tajam sekali hingga ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga

keselamatan dirinya sendiri.

Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana

ia terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An berenang ke

pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat

tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali

oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke

arah dirinya. Kwee An cepat berenang ke tepi, akan tetapi, kembali ia terkejut

oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu,

terdapat pula di darat dan memenuhi tepi sungai. Agaknya mereka sedang berjemur

diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.

Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa

buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan panjangnya sampai ada

sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka

binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan

menyerbu.

Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas

ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah

berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik

menghadapi puluhan ekor di darat daripada belasan ekor di air, oleh karena

binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air

masih rendah. Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi

dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan

cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lalu menggenjot tubuhnya

melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya

itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia lalu menendangkan kaki kanan

ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan

ke darat.

Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak hingga ke mana saja

ia melompat, ia selalu disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan

dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya

untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga

sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan. Akan tetapi yang datang

makin banyak saja hingga Kwee An kehabisan tenaga dan menjadi ngeri dan jijik.

Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang yang terluka

dan makan daging kawan-kawannya sendiri, sedangkan yang lain-lain masih saja

menyerbu dengan hebat. Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang

mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan

untuk melawan air hingga ia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang

cepat hingga tiba-tiba ia merasa kaki kirinya sakit sekali. Ia menengok dan

melihat bahwa seekor buaya telah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat

Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya

berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu! Binatang itu merasa

kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan

cepat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya, dan

dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu

mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua

buaya yang berani mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan

malang melintang di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih

hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke

sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan

pemandangan matanya berkunang-kunang.

Ia melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan

sebuah cambuk panjang di tangan dan suara orang itu terdengar keras dan besar

ketika menegur,

“Pemuda kurang ajar dari manakah berani mengganggu dan membunuh hewan

ternakku?”

Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu, merasa seperti bertemu dengan

iblis sungai, oleh karena siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu

sebagai hewan ternaknya selain iblis sungai? Pemuda itu tak dapat menguasai

dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.

“Aku... aku... lelah...” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan.

Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!

Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di

atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat daripada bambu pula. Ia

segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih.

Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera

menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia

dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang

telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.

Biarpun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata telah

didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang,

“Eh, anak muda, kau sudah bangun?”

Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari

pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada di tangan kirinya. Si

Kate memasuki bilik itu dan berkata sambil tertawa, “Nah, kaumakanlah.

Kesehatanmu tentu akan pulih lagi seperti sediakala!”

Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, tiba-tiba ia

merasa lehernya seakan-akan tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu

akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah

pucat sekali hingga tidak nampak perubahan itu. Pada saat itu ia telah mengenal

orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang lihai dan

yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir

cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia

berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,

“Terima kasih, Lopek. Kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku

mengucapkan banyak-banyak terima kasih.” Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia

tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu

siapa adanya dia dan kalau iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada dekat, tentu ia

akan pergi mengejarnya!

“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau

gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga aku

menderita rugi bukan sedikit!” katanya lalu keluar dari pintu dengan

langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.

Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak

mencurigainya, hingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Ia maklum bahwa

Iblis Hitam ini lihai sekali apalagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang

tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau

Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.

Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini,

Kwee An yang telah merasa lapar sekali, lalu makan daging yang masih panas

mengepul di atas piring itu. Ia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan

tetapi oleh karena perutnya lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan

daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta

gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki

perutnya! Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat

berjalan, akan tetapi dengan pincang dan tak mungkin untuk melarikan diri, oleh

karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan

ia amat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan

Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran

Vayami!

Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa.

Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.

“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”

KweeAn tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan

tadi?”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu

tengkuk KweeAn berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha,

anak muda. Memang kaupantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah,

daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”

Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya

yang liar itu demikian enaknya. Kini ia mengerti mengapa Iblis Hitam ini

memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.

“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?

Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya

buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja akan tetapi sekarang telah

menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang gagah dan orang besar

saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini.

Tahukah kau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga

puluh potong uang emas? Ha, ha, ha!”

“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa dan baik hati. Aku telah

berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah

kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang

budi kepadamu!”

“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada

perhitungan budi!”

Kwee An terkejut dan heran sekali, oleh karena ia benar-benar tidak

mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa

maksudnya?

Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak

tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”

Bukan main terkejutnya Kwee An. Ia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah

menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi ia maklum akan

kelihaian iblis ini, maka ia pikir untuk sementara waktu baik ia tidak

membantahnya dan tinggal diam saja.

“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di

sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang dengan mata

tajam dan pandang mata menyelidiki.

“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran

baik. Ia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali

lebih tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka ia lalu melanjutkan,

“Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”

Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran.

“Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”

“Aku adalah seorang perantau dan ketika aku hendak menyeberang sungai ini,

aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi.

Akan tetapi aku kalah dan ia melemparku ke dalam sungai.”

“Ha, ha, ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau telah bertempur

melawan Hai Kong dan kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan

namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”

Kwee An merasa mendongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk

memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata,

“Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani

membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kauberikan kepadaku itu kurang

sedap didengar!”

Hek Moko memandangnya dengan mata melotot. “Apa? Kurang sedap didengar?

Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu hingga kau merasa kurang patut

bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko memiliki kepandaian

yang jauh lebih tinggi darimu. Kau harus menurut segala kata-kataku oleh karena

kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau

hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kuatir, aku akan melatihmu dan dalam

beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, biar ada tiga

orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!!”

Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee

An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!

Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga

bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini mempunyai seorang putera dan putera itu

meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya

hingga tiba-tiba saja mengakui ia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An

merasa girang juga oleh karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis

yang berbahaya dan lihai ini!

Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera

yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini meninggal

dunia karena terserang semacam penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan

puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan

berotak miring. Tentu saia kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih

dan membuat ia menjadi makin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi

sutenya, ia merupakan sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan

mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.

Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari

satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang

nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suhengnya oleh

karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin

Moli yang telah lama minggat dan mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi

piauwsu dan mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang

I Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan

akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!

Sejahat-jahatnya manusia, ia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang

bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pun Hek Moko biarpun manusia ini

telah terkenal sebagai iblis yang jahat dan kejam, akan tetapi kini setelah

bertemu kembali dengan puteranya, ia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali

hingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam

hatinya terhadap iblis tua ini. Kwee An memang telah kehilangan ayahnya dan dulu

ia telah lama meninggalkan ayahnya, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu, maka

kini biarpun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, namun mendapat

perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan

silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap

Iblis Hitam ini!

Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar

biasa ini, sedangkan Hek Moko menyebutnya Siauw-moi atau Setan Kecil. Kwee An

belajar dengan tekun dan rajin dan biarpun ia merasa girang menerim latihan ilmu

silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia

bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji

dan ganas! Akan tetapi baru satu bulan saja mendapat kemajuan pesat sekali, oleh

karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan

pelajaran ini, mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang

sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu

berkata,

“Siauw-mo anakku, sekarang kau takkan kalah menghadapi Hai Kong!”

Kwee An menghaturkan terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang

juga anakmu mau pergi mencari Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang

lalu!”

“Bagus, bagus! Tidak ada orang di dunia ini yang boleh menghina anakku! Aku

akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”

Kwee An terkejut, karena ia ingin mencari Cin Hai, bagaimana ia bisa

nembawa serta ayah angkatnya ini? Ia lalu mencari akal dan berkata,

“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong

akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua!

Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaianmu, sudah

cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotori tangan untuk

menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut

pergi?”

Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab, ia memikir bahwa anaknya ini benar

juga dan pantas alasan-alasannya, maka ia lalu mengurungkan maksudya hendak

ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini!

Tetapi kau harus lekas kembali, dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama,

Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan

lama lagi!”

Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh sanubarinya. Ia lalu

menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata,

“Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian,

Kwee An lalu meninggalkan tempat itu. Ia segera menuju ke tempat di mana dulu

dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi

dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri

termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih. Tiba-tiba terdengar

gerakan perlahan di belakangnya dan ia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang

datang! Benar saja, suara Hek Moko segera terdengar dan Iblis Hitam itu telah

berada di belakangnya.

Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang

beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang

buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua

yang membuat ia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An

dengan tajam dan ia mengangguk-angguk sambil berkata,

“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi ia cukup baik menjadi

anakmu!”

Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah

Susiokmu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”

Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan ia lalu berlutut

memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”

Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu

menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”

Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.

“Siauw-mo, kau takkan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu telah

pergi mencari Pulau Emas! Bahkan aku dan Susiokmu ini pun hendak pergi ke sana

pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai

Kong Hosiang!”

Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebetulnya ia tidak senang harus pergi

bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau

Emas dan dimanakah letak pulau itu?” tanyanya.

Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa ketika

mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko dapat menemukan anak

perempuannya itu dalam keadaan mati! Ong Hu Lin, mantunya yang menjadi suami Pek

Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang

gila, di tengah jalan lalu mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika

isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah

membunuh isterinya ini! Ketika Pek Moko mendengar tentang hal ini, lalu mencari

Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh

kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tidak karuan macamnya lagi!

Peristiwa ini membuat Pek Moko berduka sekali hingga seluruh rambutnya memutih

dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu. Kemudian dengan kebetulan Iblis

Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan

agaknya dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, dan oleh

Pemerintah Kaisar sendiri! Ia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek

Moko dan setelah ia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee

An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau

Emas.

Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar

kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apabila Hai Kong

pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke

sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula ia lalu menyatakan kesediaannya

untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek

Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.

Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan telah sembuh dari pengaruh madu

merah yang mujijat dan setelah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat

mengingat semua kejadian telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak

tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin. Terutama sekali ia merasa gelisah

dan bingung jika teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh perwira Boan

Sip! Ingin sekali ia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan

dan menumpahkan rasa dendam dan marahnya, akan tetapi ke mana harus mencari

orang she Boan itu?

Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun

tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepaniang perjalanan.

Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan

minta ia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.

“Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” kata

Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walaupun aku dapat

mengimbangi semua serangannya. Ia agaknya sudah kenal baik serangan-seranganku

yang berdasarkan Liong-san-kun-hwat dan Ngo-lian-hwat, hingga dapat berjaga diri

dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan

jauh lebih kuat daripada dulu.”

Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan

jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang telah banyak mengalami

pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,

“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!

Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia

maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya,

maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan

Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.

“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.

Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal

dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas

menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang

paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya

serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi Cin Hai dengan amat mudahnya mengetak

dan menangkis serangan ini dengan tepat dan sempurna.

“Kaubalaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu

sambil mengirim tusukan. Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena ia tidak

mengenal lain ilmu pedang maka ia pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut

yang ditirunya dari Ang I Niocu.

Tentu saja serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui perubahan atau

perkembangannya oleh Ang I- Niocu hingga gadis ini mudah saja mengelak atau

menangkis.

“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, tidak ada gunanya! Pakailah ilmu

pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.

Cin Hai tahu kekeliruannya oleh karena menghadapi gadis yang menjadi ahli

Silat Bidadari itu, sungguh tolol kalau mempergunakan ilmu pedangnya dan kini

memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat yang dipelajarinya dari Kanglam

Sam-lojin. Ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat

tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa yakni

mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki

kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang

ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai

dan ilmu silat yang ia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.

Memang kalau menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat

tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya, akan tetapi apabila

menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan matang ilmu pedangnya, pemuda ini

hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, akan tetapi juga sukar

untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali kedua macam ilmu silat yang

telah dipelajarinya itu, hingga menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek

Moko atau Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu pemuda ini menjadi pihak

yang selalu didesak dan diserang, sungguhpun harus diakui bahwa semua serangan

itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan amat mudah oleh karena ia telah

tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!

Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk digunakan menyerang

anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau

mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali oleh

karena boleh dibilang di dunia ini tidak ada keduanya bila dicari orang yang

dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap serangan-serangannya yang

dilakukan sampai semua jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak

terdesak sedikit pun! Akan tetapi biarpun serangan-serangan Cin Hai luar biasa

dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan

kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari

anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.

“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.

Cin Hai menahan pedangnya. “Memang benar, Susiok-couw hanya memberi pokok-pokok

dasar ilmu silat kepadamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan

penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu

menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kaugunakan untuk menyerang

lawan?”

Dengan tersenyum Cin Hai berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat

Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tidak menghendaki, biarpun diminta

sampai menangis pun takkan ia berikan!”

Ang I Niocu memang sungguh-sungguh sayang kepada Cin Hai, maka pada saat

itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa

dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut terhadap

seorang lawan yang mana pun juga, akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang

lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya? Apalagi sekarang

masih ada seorang musuh yang amat tangguh, yaitu Hai Kong Hosiang yahg agaknya

dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Kalau pemuda ini

tidak memiliki ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan mendapat celaka

dari tangan Hai Kong Hosiang.

Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis

itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan

hari telah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawa dingin.

Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar,

benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai hingga pemuda ini tentu

saja menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan

oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.

“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin

Hai.

Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada

saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana bisa menciptakan ilmu pedang? Jangan

mentertawakan aku, Niocu!”

“Anak bodoh! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi

memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang malas dan

kurang semangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau

memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi

satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kauanggap tepat dan

lihai?”

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena memang belum

mengerti. “Niocu, tolong kauberi tahu kepadaku, bagaimana caranya!”

Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji,

terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari

itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka kalau kau memang tekun, kau pun pasti

akan dapat mencipta ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya

begini. Kauperhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kaulihat dan lalu

kaupilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang

kauanggap lihai dan baik, boleh kaupilih. Kemudian gerakan-gerakan ini lalu

kaurangkai menjadi semacam ilmu pedang yang lihai. Tentu saja kau harus

merubahnya sedikit agar tidak sama dengan aselinya lagi, dan bahkan harus

diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai

kemampuan seperti ini.”

Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya.

Mengapa tidak ia coba? Memang tidak enak kalau selalu mempertahankan serangan

orang, dan pula memang memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu

menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri.

Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.

Cin Hai lalu duduk termenung dan ia lalu bersamadhi mengumpulkan seluruh

perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah

dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya

telah jernih oleh latihan-latihan napas dan samadhi, maka sebentar saja di dalam

otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya. Di antara

semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko yang paling dahsyat dan kejam,

sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah

dan baik. Ia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati

gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram

dan membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak

menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu.

Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Ia melihat

betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam,

bahkan di situ ia lihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san

Kun-hwat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau

mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu

tidak padam. Setengah malam lebih Cin Hai tiada hentinya bergerak ke sana ke

mari sambil memejamkan mata. Ia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu,

sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikitpun

tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya mernandang pemuda yang disayanginya itu

dengan penuh harapan.

Setelah lewat tengah malam tiba-tiba Cin Hai menghentikan

gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Ia memandang kepada Ang I

Niocu dan berkata, “Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasihatmu tadi.

Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”

Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu

dengan pedang, Hai-ji!”

Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi,

“Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang

persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini

aku terlalu lemah dan tidak mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan.

Aku tidak ingat bahwa tak perlu aku kerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan,

karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis dan tak perlu

menggunakan seluruh perhatian lagi. Oleh karena kesalahan itu, maka dulu aku

tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat

kumasuki untuk merobohkan lawan.” Setelah berkata demikian, ia menghampiri

serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ.

Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir

tak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang,

maka semua daun-daun itu yang berbentuk runcing bagaikan ratusan senjata

menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.

Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata

musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang

tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak

itu. Ia lalu menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat

dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat dan mengintai rumpun itu, akan

tetapi makin lama makin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang

bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata

itu! Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu

bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh

atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin

Hai berlaku cepat dan hati-hati dan tiap kali daun-daun itu bergerak dan

sebatang pohon kecil nampak, biarpun hanya sekilas, namun dengan pedangnya telah

memasuki lowongan itu dan tepat ujung pedangnya menusuk batang itu tanpa

mematahkannya!

Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang

masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa

begitu bergembira, hingga diam-diam ia pun menggerakkan kedua tangan dan

bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai! Ia melihat betapa

gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, maka sambil menggerakkan kedua

tangannya, ia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini

dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendeknya, Cin Hai pada saat itu sedang

menciptakan semacam ilmu pedang bersama-sama Ang I Niocu. Cin Hai mencipta ilmu

pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya!

Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu

dan ketika ia membuka daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang

puluhan jumlahnya itu semua telah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai!

Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!

Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu

mengajak ia sekali lagi bertanding dan ia harus mempergunakan ilmu pedangnya

yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat! Tiap jurus

apabila Cin Hai menyerang selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu dan

kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja

Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh! Ternyata bahwa Cin Hai telah

menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, oleh karena ilmu

pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu

silat lain yang telah dilihatnya. Ia menggunakan kesempatan untuk mengisi

lowongan-lowongan dan menyerbu bagian-bagian yang lemah dari gerakan-gerakan

aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakah

kebalikan daripada gerakan ilmu silat biasa!

Ang I Niocu merasa girang sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi

seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki

gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan aseli.

Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya melatih, atau

lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan

nasihat-nasihat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak

beristirahat.

Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar kemudian Cin Hai

kembali melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu

melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.

Walaupun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditiru oleh Ang I Niocu, akan tetapi

oleh karena untuk mempergunakan ilmu pedang ini harus sebelumnya dimiliki

kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana

yang telah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi

Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su,

orang lain tidak mungkin mempergunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!

Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam,

akhirnya ilmu pedang ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Cin Hai hingga

Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Ketika ia mencoba untuk melawan ilmu pedang

ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat

dirampas oleh Cin Hai.

“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai

Kong Hosiang biarpun Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi,

kionghi! (Selamat).”

Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi,

kionghi! Akan tetapi hati-hatilah kau, Cin Hai agar ilmu jahat ini tidak merusak

hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”

Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su telah

berdiri di dekat mereka!

“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tidak kusangka bahwa kau

yang bodoh ini dapat mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena

kau melatih dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka

apabila menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang

melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”

Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena memang betul seperti

yang dikatakan oleh gurunya ini. Tadi ia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh

karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya hingga

memungkinkan ia menyambar dan merampas pedang gadis itu, sedangkan kalau

bertempur dengan lawan yang melawan mati-matian, maka untuk merobohkannya ia

harus mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!

“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,”

katanya.

Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh ia berkata,

“Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”

Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai

kepercayaan penuh akan kesaktian suhunya, maka setelah memberi hormat sekali

lagi, ia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan menyerangnya dengan hebat. Pedangnya

berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan ia telah mempergunakan

jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya. Ia maklum bahwa suhunya memiliki

mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang

mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga telah tahu akan pergerakan

lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan

jurus ke lima ini. Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga

memikirkan kemungkinan apabila menghadapi seorang yang telah mempunyai

kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun

Su, maka dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan

dengan gerakan-gerakan terbalik! Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika

pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan kanannya akan

ditusukkan ke depan, akan tetapi belum juga pedangnya menusuk, secepat kilat

gerakan itu telah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum

sabetan ini diteruskan, telah dibalikkan pula dan menjadi sebuah serangan

memutar ke arah leher!

“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena

guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan

serangan muridnya. “Hayo kauserang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang

liar ini!” katanya dan Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang

terus.

Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai di tingkat

tertinggi hingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat

bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga biarpun pedang Cin Hai

hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat

melukainya! Namun benar-benar kali ini Bu Pun Su menghadapi semacam ilmu pedang

yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkangnya saja maka ia

dapat mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang! Ang

I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata

terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah ia melihat

kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin

Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!

Ilmu pedang Cin Hai semuanya ada tiga puluh sembilan dan setelah dimainkan

semua, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas

terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tak kuat lagi!” Ia lalu berlutut dengan

muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak

serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia

telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!

“Ha, ha ha.” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan

dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kau kecewa, Cin

Hai. Ketahuilah, ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kehebatannya jauh

melebihi dugaanku semula!”

“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.

“Siapa mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu ini, kau boleh

menjelajah di seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap

pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga

melihat ilmu pedangmu ini! Kaukira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu

maka aku tak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah,

dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan

kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala

apa sudah ditentukan oleh takdir hingga kau yang tidak mempelajari ilmu

menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Dan jangan

kauanggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si

Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ah, kau terlalu

mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak

sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kalau sewaktu-waktu kau akan

menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang kau telah berhasil menciptakan

semacam ilmu menyerang, maka biarlah agar jangan kepalang tanggung, kau pelajari

juga Ilmu Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) dan Ilmu Silat Tangan Kosong

Kong-ciak-sin-na.”

Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala

menghaturkan terima kasih.

“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im

Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.

Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu

silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian

oleh kedua pendekar muda itu. Pek-in-hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya

hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini gerakan ilmu silat yang

sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang hingga dari kedua kepalan tangan yang

memainkannya keluar uap putih bagaikan awan yang dapat menolak setiap hawa

serangan yang bagaimana jahat pun dari lawan! Uap ini terjadi dari keringat yang

berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang yang panas dan

disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Biarpun lawan menggunakan

ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan

lain-lain, apabila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-in-hoat-sut ini

akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh

karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!

Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak-sin-na atau Ilmu

Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul,

juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh

hingga tepat sekali dipergunakan dengan tangan kosong apabila menghadapi lawan

yang bersenjata.

Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan

sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,

“Cin Hai dan Im Giok! Biarpun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum

bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”

Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I

Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.

“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau

tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan dengan kawan-kawan baik. Sekarang

ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang

berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apabila pulau ini sampai

terjatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku

menyaksikan dengan mata sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol

dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan

secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan

pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur

melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana

saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat

bertemu dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang

aku hendak pergi!”

Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang

bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa mereka secara

membuta mereka harus menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul

dan biarpun tidak jelas, namun kalau tidak nyata takkan dikeluarkan dari mulut

kakek luar biasa itu.

Tanpa menunda lagi, Cin Hai dan Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tak

lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah

timur itu. Di situ tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka

keduanya lalu mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju

ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan

hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui. Setelah mereka berlari selama

dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang

ketika melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai

mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya. Dua orang menghampiri mereka

dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”

“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua hendak menyewa atau

membeli sebuah perahu.”

“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ah, Kongcu. Di sini tidak ada

yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”

“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran, dan tak senang, oleh karena menyangka

bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.

“Kongcu hendak membeli perahu, sedangkan sebuah perahu adalah sama dengan

seorang isteri bagi seorang nelayan. Siapakah yang mau menjual perahu atau

isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai

perahuku ini. Biarpun kecil, tetapi kuat dan laju!”

Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”

“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.

Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain ikut bicara, bahkan

bertanya tentang maksud kepergian mereka.

“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?”

tanyanya tak senang.

Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk ikut

campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”

Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?

Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin,

dan dua orang memiliki sebuah perahu saja.”

“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”

Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah

Pulau Emas?”

Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak

menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga

tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan

kepalanya. “Ya, kami mencari Pulau Emas!”

Tiba-tiba seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata

kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini.

Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka

lagi apabila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”

Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,

“Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”

Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya lalu berdiri hendak

meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu lalu

meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya

dari pedang itu kini menempel di leher seorang nelayan,

“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan

hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di

lehermu!”

Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Benar-benar Pulau Emas itu

pulau berhantu dan setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio,

harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan

biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami.

Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati

dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang

besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi

ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Akan tetapi, pada suatu

malam, perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak

dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan

menakutkan yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”

Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan

ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan

ceritamu!”

“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu

mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira

itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya

dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk

kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan

tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami

dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biarpun kecil, akan tetapi

maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika

kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan

sekali pukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan

bocor hingga tenggelam!”

“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru. Nelayan yang bercerita

itu menjadi kaget karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng tetapi

sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah mendesaknya lagi. “Teruskanlah,

teruskanlah!”

“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu

menjadi marah dan melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun

tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat melompat ke darat! Kami berdua tak

dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan

berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki

bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang telah memecahkan

perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang

pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”

“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena

tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar

penuturan ini.

“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar,

karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan

Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.

“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu

sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu

dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya

remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya

bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”

Baik Cin Hai maupun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!

” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu

masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”

Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?

Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi,

“Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”

“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat

melihat siapa menang siapa kalah. Tiba-tiba mereka berhenti bertempur dan

agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia

menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang telah

tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat

melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”

“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia,

kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya hingga nelayan itu

terkejut dan takut. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?

“Selanjutnya? Tidak ada apa-apa lagi. Mereka berempat setelah memperbaiki

perahu lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan

hadiah uang!”

“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin

Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan

omong.

“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang

merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambil seorang

satu! Perahu ini kami ambil!”

Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua

nelayan itu menjadi bingung, “Eh, Siocia, eh... Toanio, nanti dulu, perahu...

perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”

Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian!

Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk

membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”

Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu

itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya

melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan

tetapi mulut tidak berani bersuara!

Dua hari kemudian ketika perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat

pohon-pohon buah lenci di dekat pantai.

Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan ia

mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan

buah. Cin Hai setuju, oleh karena ia pun merasa ingin makan buah yang segar

nampaknya itu. Mereka lalu mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil

itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali,

timbul kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan

memilih buah sesuka hati mereka.

Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan

ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali.

Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah

air, dan agaknya ia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu

mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari

atas pohon.

Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba

dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut

Agama Buddha) yang bertubuh pendek tapi gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu

sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis

seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah. Mukanya yang

bulat itu selalu tersenyum ramah, tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan

gemuk hanya menutup kedua pundak dan lengannya saja, sedangkan tubuh atas bagian

depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar

kelihatan menambah kelucuannya.

Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa dan berkata, “Ai, ai,

kalian sepasang burung dara yang bahagia! Mengapa melayang turun dari pohon dan

berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”

Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, sedangkan Ang I Niocu dengan

muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan

minggirlah!”

Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Eh, eh, mengapa

marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”

“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang

lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”

Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu

itu? Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”

“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju dan

mengayun kepalan tangan menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I

Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat

bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.

“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja

tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat

hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.

Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa

saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, segera menarik kembali

perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.

“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.

Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan

keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan

hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu

tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang mewek dan menangis, matanya

yang sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih hingga membikin sedih pula

kepada orang yang melihatnya.

Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu

biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak

memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya

mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu

Silat Kong-ciak-sin-na hingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan

dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja

menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa

girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun

Su ini memang betul-betul luar biasa.

Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian,

sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh

terguling-guling dan mengeluh kesakitan.

“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan agar

lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”

Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis menoleh ke arah hwesio yang

masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.

“Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”

Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu lalu melompat mundur dan berkata

sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!” Ang I Niocu menjadi geli

hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.

“Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa hendak mencuri perahu kami?”

tanyanya.

Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata.

“Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng

Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami kira bahwa

kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka

kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat

pakaian dan kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apabila kau mengaku

wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”

Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Aku adalah

Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”

Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan

kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh

saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi yang pintar?” Biarpun tosu ini

mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek

seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka

sesenang-senangnya!

Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu

bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebetulnya

mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”

Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami

hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”

“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.

“Kau... sudah tahu?”

“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”

“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana

letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”

Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu

saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,

“Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk

ditumpangi empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekalian menjadi

penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak kenal jalan, sedangkan

kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling

menolong?”

Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai

mengangguk dan berkata,

“Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita sama-sama mencari pulau itu dan

kalian berdua menjadi petunjuk jalan!”

“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali!

Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan

terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka

berempat sama-sama tertawa gembira. Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka kepada

dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah

orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.

Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam perahu kecil itu telah sampai

di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari Pulau Kim-san-tho. Atas

petunjuk kedua pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan melalui pantai yang

curam dan batu-batu karang yang tinggi.

Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan

hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan yang cepat sekali

gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang

telanjang.

Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu ketika melihat bahwa yang

menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya

burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih

dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak mencengkeram daging gemuk itu!

Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit, akan tetapi berat badannya

membuat perahu berguncang!

“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah dan gadis ini dengan cepat

lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya

ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak tendangannya dan melayang ke atas

lagi!

Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga ia merasa

kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio

pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya

tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi saja, dan biarpun hatinya berdebar

ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin

nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar hendak menangis tersedu-sedu oleh

karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.

Kini burung rajawali menyambar turun dari atas dengan cepatnya. Ang I Niocu

yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar

itu, berkata kepada kawan-kawannya,

“Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!” Ketika

burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang

I Niocu cepat menghantam dengan tangan kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun

oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya

seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu! Akan tetapi pukulan itu bukanlah

pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang hingga biarpun burung itu

menangkis dengan sayap, namun tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena

sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu

mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa berhamburan ke arah perahu bagaikan

hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng

Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran

burung itu.

Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka

dan hanya terpental dan kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di

atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar

pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,

“Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”

Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung

rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan

kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan

tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya ia marah sekali

kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.

Burung ini adalah semacam Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat

dan yang disebut raja segala burung. Ketika ia menyerang Ang I Niocu, gerak

tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari

atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya. Ang

I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan

seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului

melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya. Burung Kim-tiauw itu kembali

secara aneh dapat mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali ia

menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara

Ang I Niocu di atas perahu dan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.

Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir dapat memenggal leher burung itu,

tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga

Ang I Niocu menjadi makin marah dan penasaran saja. Biarpun Ang I Niocu belum

berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu telah rontok

ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tidak

mendapat kesempatan menyerang gadis perkasa itu.

Sebenarnya kalau ia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah

berhasil membunuh Kim-tiauw itu, akan tetapi ia berada di atas perahu yang

bergerak-gerak hingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali. Setelah

berkali-kali gagal serangannya, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya

dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I

Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat dan mengeluarkan bunyi

seperti orang mengeluh panjang, ia lalu terbang pergi dengar cepat sekali hingga

sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.

Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut,

hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan

tetapi Ceng To Tosu lalu ber kata sambil menghela napas panjang,

“Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”

“Eh, mengapa, kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak

berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.

Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas,

dan burung itu di daerah ini terkenal burung pembawa rezeki dan kebahagiaan.

Kita telah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali,

apalagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”

Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu

berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?” Biarpun Cin Hai tidak

setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa

gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan

kekuatirannya, hanya berkata memuji,

“Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”

“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka di

udara Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja udara!” kata Ceng Tek Hwesio

yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang

menyenangkan hatinya!

“Dan raja udara itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu

yang gemuk!” kata Cin Hai dan semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu

yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa, dan ia hanya mengutarakan kegelian

hatinya dengan mewek makin menyedihkan!

Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang

mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada

waktu itu menjadikan sebab terjadinya hal-hal yang hebat oleh karena tiga bangsa

sedang berusaha merampasnya!

Kerajaan Turki di waktu itu yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas

di laut timur Negara Tiongkok telah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di

antaranya Yousuf yang cerdik dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau

itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim sejumlah besar

tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini. Mereka tidak berani melalui daratan

Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apabila mereka melalui daratan pedalaman

Tiongkok, mereka akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan

gagalnya usaha mereka, oleh karena Tiongkok selain mempunyai daerah luas yang

berbahaya, juga memiliki banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara

Turki yang menjelajah negaranya. Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil

jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara

Tiongkok dan masuk di daerah Mongol dan mereka ini pun tidak tinggal diam dan

melawan barisan asing yang tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu

bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini dapat

dihalau oleh barisan Turki yang kuat.

Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan

terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar

sekali bagaikan seorang raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala

botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke

mari tidak terawat. Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang aneh

pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak macam kain kembang yang

ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta ini lebih pantas

disebut seorang pengemis jembel!

Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia menjadi jago nomor satu di

seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan

pendeta yang telah seringkali merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam

bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok,

maka Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.

Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak

rintangan, oleh karena setiap penghalang yang kuat selalu hancur apabila

berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin

juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikangnya sudah mencapai

tingkat tinggi sekali.

Oleh karena adanya gerakan tentara Turki inilah yang membuat bangsa Mongol

gelisah sekali. Mereka ini merasa pun akhirnya dapat juga mencari tahu akan

rahasia Kerajaan Turki dan dapat mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak

mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok. Maka, bangsa Mongol lalu menguasakan

kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini

pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang

Pangeran Vayami datang ke istana kaisar. Setelah Vayami bertemu dengan kaisar

secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki

bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merampas sebuah pulau di Laut Tiongkok

yang mengandung banyak emas! Secara cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan

hendak mengadudombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam

pangeran yang cerdik dan licin ini telah mempersiapkan kaki tangannya untuk

secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia mengambil siasat “Membiarkan Dua Ekor

Anjing Berebut Tulang” dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari

sementara kedua anjing itu masih bergumul!

Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan seorang bodoh, dan seandainya ia

sendiri bodoh, namun para penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang

berpemandangan luas. Oleh karena ini biarpun kaisar telah masuk dalam

perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang dikepalai oleh Beng Kong Hosiang

dan beberapa orang perwira tertinggi kepandaiannya bahkan kepala bayangkari,

seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui

Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong

Hosiang dan lain-lain perwira, bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara

dekat tapal batas Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara

Turki itu berkumpul. Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk

tetap menemani Pangeran Vayami dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung

itu dalam perjalanannya kembali ke negerinya, sedangkan sebetulnya kaisar ini

bukan hendak menjaga keselamatan orang, akan tetapi bahkan ingin mengawasi dan

mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi usaha-usaha kecurangan yang mungkin

hendak dilakukan oleh Pangeran Vayami yang cerdik. Oleh karena ini, Hai Kong

Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio ini pun lalu mengajak supeknya, yaitu

Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.

Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam

Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan

kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau Emas itu. Hai Kong Hosiang walaupun

seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung emas

itu, maka ia pun lalu menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau

itu dari dekat dan kalau mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong

Hosiang tidak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya

mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan

merugikan, pendeknya kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang

bertugas mengawasinya.

Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di

tepi pantai laut, mereka berhenti dan memasang kemah. Sementara itu, bagian

perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk keperluan menyeberang.

Biarpun mereka telah lebih dulu menyediakan segala keperluan untuk membuat

perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak

diseberangkan ini tidak kurang dari seribu orang, maka pembuatan perahu itu

makan waktu berhari-hari.

Dan pada waktu mereka sedang sibuk membuat persiapan menyeberang, datanglah

tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan

perwira-perwira lain! Tentara Tiogkok lebih banyak jumlahnya dan karena mereka

datang di waktu hari telah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah

pimpinan Lui Siok In yang pandai, lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara

Turki. Kemudian, serentak tentara Tiongkok, yang sudah mengurung ini memasang

obor hingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan siang hari!

Tentu saja, ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala mengelilingi

tempat mereka, tentara Turki menjadi panik. Akan tetapi, Balutin dengan

senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, berhasil menyuruh

anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan untuk memasang dan memegang

obor pula, kemudian ia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan

musuh.

Lui Siok In dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan sayap garuda

menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat

tertinggi, diikuti oleh perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju

menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,

“Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena

sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya, maka lebih baik kamu menyerah saja

agar menjadi orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!”

Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara

kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta

Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In

dan berkata, “Hai, Perwira muda! Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu

ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan majukan segala perwira hijau untuk

bicara dengan aku!”

Mendengar dirinya disebut “perwira hijau” oleh pengemis jembel yang gemuk

sekali ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.

“Bangsat jembel, siapakah kamu?”

Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku

siapa? Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah Balutin atau boleh juga

kausebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat

bicara dengan aku!”

Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti

seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal

semenjak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini pernah

disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk

memimpin barisan, oleh karena kaisar pun telah mendengar dari Pangeran Vayami

yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan pemimpin besar. Lui Siok

In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejerihannya, maka sambil tertawa ia

berkata,

“Aha, tidak tahunya pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan

yang disohorkan sangat gagah perkasa itu hanyalah seorang pengemis jembel yang

terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah pemimpin barisar ini dan

namaku Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan

enak dan tak usah mampus di ujung senjata!”

Balutin memandang heran dan hampir tak percaya bahwa panglima besar tentara

Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,

“Agaknya Tiongkok sudah kehabisan orang gagah, maka terpaksa memajukan kau

sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'

Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di

dekat situ. Daun-daun pohon itu bergantungan di atasnya dan ia lalu menggerakkan

kedua tangannya menampar ke arah daun-daun pohon itu. Angin besar keluar dari

kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai dauh pohon

itu lalu rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua

tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu bergerak-gerak di udara

dan tak dapat melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan

kini bermain-main di udara bagaikan hidup!

Lui Siok In terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang

mempergunakan kepandaian khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia

maklum bahwa daun-daun ini biarpun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan

tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan bagaikan senjata-senjata hasia

hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan

tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu

hingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.

Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba Balutin lalu membuat

gerakan dengan kedua telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas lalu

menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang

sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana

ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar. Ia lalu berseru keras

dan membuat gerakan dengan jari-jari tangannya pula yang ditelentangkan. Dari

kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh.

Daun-daun yang tadinya dari atas melayang naik kembali dan terapung-apung di

tengah udara. Pertempuran hebat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama dan

menegangkan hingga semua tentara yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan

hebat ini menahan napas. Kedua panglima itu berhadapan dengan mata saling

pandang dan kedua tangan bergerak-gerak dan diulur ke depan seakan-akan dua

orang pengemis sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu melayang-layang di

tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.

Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya

dan tenaga khikangnya masih kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu.

Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi

tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat

itu mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di

udara itu mulai mendesak turun dan makin mendekati kepala Lui Sok In.

Perwira she Lui itu maklum bahwa apabila adu khikang ini diteruskan,

keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat ia lalu membuat gerakan

Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan

berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas

tanah. Ia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak ia akan

terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara

bergulingan itu ia memulihkan aliran darahnya kembali dan membebaskan ia

daripada serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.

Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha! Hanya begitu

saja kepandaianmu, Perwira muda! Dan kau berani bersombong hendak menawan aku?

Ha-ha-ha!”

“Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah

sekali dan ia lalu mencabut pedang dan menyerang Balutin dengan hebat. Balutin

hanya tertawa dan ia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping.

Seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang

panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini

ternyata oleh Sui Siok In bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang

nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan

berkilau bagaikan emas. Maka keduanya lalu bertanding hebat sekali dan para

tentara yang tadinya bersorak-sorak saja menyaksikan pertandingan ini, lalu

bergerak maju makin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak telah melompat

maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling

gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!

Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di

bawah sinar obor dan terdengarlah pekik jerit kemenangan tercampur keluh

kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh dan membasahi tanah yang terpaksa

harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!

Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus

saja maklumlah Lui Siok In bahwa ia takkan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini,

maka ia lalu berteriak memberi perintah hingga beberapa orang perwira maju

mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok Balutin.

Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka

tentu saja ketika ia pun ikut menyerbu dengan perwira-perwira lain, Balutin

mulai terdesak. Akan tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat

mereka yang aneh dan cepat hingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang

mendesak hebat!

Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi

marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang

bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang

semenjak tadi, yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang

menyerangnya dengan ganas, maka ia cepat menangkis dan kedua orang ini bertempur

seru sekali. Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin

dengan paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat tenaganya hingga terdengar bunyi

keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi,

tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras

benturan tenaga itu! Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang

berseru keras dan ia menyambitkan sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak

cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak

panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang

bertempur di belakang Balutin!

Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu

menubruk maju ke arah Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku

Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke arah dada dan tangan kanannya ke arah

leher lawan! Serangan ini hebat sekali dan Balutin berseru keras, menundukkan

kepala untuk menghindari serangan leher dan serangan tangan pada dadanya ia

tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan

ganas sekali hingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, maka tangan kirinya

itu berhasil mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru

kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke dada lawan.

“Buk!” terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan jitu

menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras sekali datangnya hingga

dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh hwesio itu terpental

ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman

tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas hingga tubuh Balutin

terbawa maju.

Balutin cepat sekali menggunakan jarinya mengetuk sambungan siku lawannya

yang telah mati itu. Urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu ketika

kena totokan ini menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas

hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.

Balutin memandang ke arah lengan kirinya yang telah menjadi matang biru

karena cengkeraman lawan tadi! Ia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan

ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka di lengan kirinya tidak berbahaya, maka ia

lalu mengambil senjatanya lagi dan mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah

pukulan tongkatnya.

Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan

para perwira hanya ingat bersenang-senang saja selama ini, tidak kuat pula

menghadapi tentara musuh. Apalagi mereka baru habis melakukan perjalanan hingga

keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari

beristirahat di situ, maka biarpun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang

jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.

Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat kelihaian Balutin,

Lui Siok In lalu memberi perintah mundur, sedangkan ia sendiri pun lalu melompat

mundur. Tentara Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera

diutus untuk mencari bala bantuan!

Tentara Turki tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang

lebih penting, yaitu menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang

dan mengurus korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga jaga saja

kalau-kalau pihak musuh menyerbu lagi.

Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum

tentu akan dapat segera datang maka pihak Turki mendapat kesempatan untuk

menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan

perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang

dulu bersama-sama pergi mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan.

Ketika bala bantuan yang diharapkan datang jauh letaknya dari tempat itu pihak

tentara kerajaan pun lalu mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar hingga

terjadi pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini

terlambat dua hari hingga tertinggal jauh.

Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami,

pangeran bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama Sakia Buddha itu berlayar

ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini

telah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu

ini berlayar cepat ke tengah samodra. Ketika terjadi pertempuran di malam hari,

Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang melihat dari atas perahu mereka. Akan

tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh tepi dan mendengar suara

teriakan mereka yang berperang. Diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di

dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. Ia telah memberi perintah

kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakia Buddha untuk dengan diam-diam

menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.

Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para

pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau

itu, setelah berhasil mencari dan mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu

diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung minyak bakar agar pulau itu

terbakar habis!

Sebetulnya, ketika mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami

pernah pergi menyelidiki dan ia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari, pulau

itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali seakan-akan gunung di pulau

itu seluruhnya terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang, Akan tetapi,

ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas

yang bercahaya di waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga

kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan,

ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya ia membuat penerangan,

hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu

tercium api, lalu bernyala hebat! Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung

minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air mujijat yang

mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang berkobar dan

terbakar dengan mudah sekali. Oleh karena inilah, ia menggunakan tipu daya untuk

membakar telaga itu apabila emas sudah terdapat oleh kaki tangannya, agar semua

orang yang berada di pulau itu dan hendak mencari emas, termakan habis oleh api

yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!

Tentu saja ia tidak memberitahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki

Sianjin tentang tipu dayanya ini, oleh karena ia pun maklum bahwa kedua orang

tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat menduga

pula bahwa kaisar telah mencurigainya!

Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai

Kong Hosiang menuju ke pulau itu untuk memberi kesempatan kepada anak buahnya.

Demikianlah, perahunya hanya berputaran melalui pulau-pulau yang banyak sekali

itu, dan ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami

merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang

perahu-perahu Turki telah menyeberang ke pulau itu! Ia menjadi gelisah sekali,

terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan mengejar pula.

Celaka, pikirnya, pulau itu tentu akan penuh dengan tentara kedua pihak dan

mungkin sekali akan terjadi perang hebat di pulau itu. Bagaimana anak buahnya

akan dapat bekerja baik?

Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak

buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong

Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini

mendapatkan akal baik.

Ketika itu, Hai Kong Hosiang juga berdiri di kepala perahu dan melihat

betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh

perahu-perahu tentara kerajaan, dan hwesio ini memandang dengan kuatir. Ia dapat

menduga bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak

demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!

”Hai Kong Bengyu,” kata Pangeran Vayami. ”Apakah kau dapat menduga apa yang

menjadikan kegelisahan hatiku?”

Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu

menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia

pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.

“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah

mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa

barisan kerajaanmu telah kalah perang! Dan apakah kau tega melihat hal itu

terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai

maka memang sebaiknya kau dan supekmu tinggal saja di sini.”

Pangeran Vayami di samping mencela juga menyinggung-nyinggung hati pendeta

itu, akan tetapi Hai Kong Hosiang diam saja, seakan-akan tidak mengerti akan

maksud sindiran Pangeran Vayami.

”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu

tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama

Balutin atau Pouw Lojin, amat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han

(Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”

Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan ia memandang kepada

Vayami dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami tidak mempedulikannya bahkan

berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia menambah

omongannya seperti berikut,

“Celaka sekali. Aku mendengar bahwa suhengmu yang bernama Beng Kong Hosiang

juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan Suhengmu terkena celaka, oleh

karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti

itu?”

“Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kaukira aku

takut kepada segala macam orang seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhuku akan

menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang

ajar!” Dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia

pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula?

Hai Kong Hosiang lalu memberitahu kepada supeknya yang gagu itu, dan Kiam

Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki.

Hai Kong Hosiang lalu menurunkan sebuah daripada perahu kecil yang berada di

situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan berkata,

“Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah

berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok,

Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong

Hosiang telah menotok jalan darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh

terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak lagi.

“Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau

tidak bisa sembarangan bergerak.” Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak

dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya

memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.

Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang dan

Kam Ki Sianjin mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua

barisan itu menuju. Di atas pulau itu telah terjadi pertempuran hebat lagi

antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan. Akan tetapi, kembali

Balutin mengamuk dan puluhan perajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak

perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak seorang pun yang dapat menandingi

kelihaian pendeta gemuk ini.

Ketika tiba di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar tentang

kematian suhengnya di tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil

mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan menerjang Balutin sambil

berteriak,

“Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat

sekali. Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan

hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan tandingan yang setimpal dan

seimbang, baik dalam kepandaian maupun dalam kehebatan tenaga mereka. Tak

seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang

perwira yang mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja

telah roboh dan tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini.

Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Adapun Kiam Ki Sianjin

yang sudah tua itu memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan

penuh perhatian dan siap menolong apabila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.

Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas

laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali mendekati pulau itu. Tiba-tiba

kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain

adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan

Ceng To Tosu. Melihat perahu besar yang terombang-ambing seakan-akan tidak ada

orangnya yang mengemudikannnya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke

atas perahu itu dan meninggalkan tosu dan hwesio itu di dalam perahu kecil.

Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak

bagaikan patung batu. Juga Vayami terkejut sekali melihat kedua orang ini, akan

tetapi ia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum

bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka ia lalu mengulurkan

tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.

Pangeran Vayami lalu berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai

dan Ang I Niocu.

“Terima kasih, Taihiap. Sukur engkau datang menolong, kalau tidak entah

bagaimana dengan nasibku yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, ia mengerling

kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir

dan takut!

Cin Hai dan Ang I Niocu merasa sebal dan benci melihat pangeran ini, akan

tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh

pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.

“Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan berada dalam keadaan

tertotok orang? Siapakah yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di

sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan lagi.

Pangeran Vayami menghela napas da ia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang

indah model bangsawan Han itu. “Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati

palsu!”

Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat

Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah di mana dia!”

Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum

bahwa di antara Hai Kong dan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar

sekali hingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan ia teringat pula bahwa

dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh

besarnya. Maka ia lalu mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi

keuntungannya sendiri.

“Sebagaimana kauketahui Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar,

akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut

ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supeknya yang gila dan gagu itu, ia

memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di

sini dan mengetahui tempat itu dia lalu menotokku dan mencuri perahu kecilku dan

bersama dengan Supeknya ia lalu menuju ke sana!”

Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba Ang I Niocu dan Cin Hai teringat

kepada si tosu dan si hwesio yang tak kelihatan lagi, dan ketika mereka

memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh

meninggalkan tempat itu!

”Hai...!!” Ang I Niocu berteriak marah ”Kembalilah kalian!!”

Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si

hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan

hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk

mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,

“Lihiap janganlah mengejar, mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka

ikut dibakar hidup-hidup!”

Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut dan memandang kepada pangeran yang

tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah gelap dan

angin bertiup kencang.

“Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I

Niocu tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena ia pun tidak mempunyai

urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena marah saja dan kini

kedua pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.

Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku menceritakan kepada kalian,

lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini karena aku hendak memperlihatkan

sebuah pemandangan indah kepada kalian!”

Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar perahu besar itu

bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu,

memutarkan perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to dan berada di belakang pulau

setelah melakukan pelayaran lebih dari dua jam.

“Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.

Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi

tercengang sekali melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas

Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung

runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan

mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih

kuning kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang

pohon-pohon yang gelap dan hitam. Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan

penuh takjub hingga gadis itu untuk beberapa lama berdiri tak bergerak bagaikan

patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya,

segera minta keterangan dari Vayami!

“Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua!

Tentu kau juga telah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan

telah saling gempur dan sekarang ini pun saling bertempur mati-matian di atas

pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu, semua orang yang berjumlah ribuan

itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka

tidak tahu bahwa mereka telah berada di tepi neraka, Ha, ha! Juga Hai Kong yang

jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun

akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha, ha, ha!”

Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali dan ia lalu

membentak, “Pangeran Vayami! Kaujelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?

Setelah berusaha sekerasnya untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya

yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi,

“Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah

segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi

harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini.

Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di

tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!”

Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha

yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai

hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa

ia adalah seorang Mongol. Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa

Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh

karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu

besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas

mereka.

Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum

bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka setelah melihat

munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk

menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan kedua orang gagah ini kepada

Hai Kong Hosiang apabila hwesio itu muncul untuk mengganggunya. Oleh karena ia

menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak mempunyai hubungan sesuatu

dengan Turki maupun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu

melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan

kecerdikannya.

“Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta

di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama

sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat

diketahui pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku

yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum

tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apabila mereka

telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di

pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku

memerintahkan agar seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka

mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!”

Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai

yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang

dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke

pulau itu, maka cepat bertanya,

“Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?”

Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi

tak lama lagi!” katanya sambil memandang ke arah pulau dan diam-diam pangeran

ini juga merasa kuatir sekali oleh karena orang-orangnya yang ditunggu-tunggu

belum kelihatan muncul seorang pun.

Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana

adanya seorang Turki Yang bernama Yousuf?” tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin

Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini ia

dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.

Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Ia pernah bertemu dengan

Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu

pertama dari Kim-san-to. “Kau mencari setan itu? Ha, ha, ha! Tentu dia juga

berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau

dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”

“Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan

suara gemetar.

“Kawan-kawannya?” kata Vayami yang menyangka bahwa kawan-kawannya yang

dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. “Ha, ha, ha!

Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu.”

“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar,

pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas

papan perahu. Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil memegang-megang

pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.

“Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!”

“Jangan Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau

berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.

“Lin Lin berada di sana, bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi

menolongnya?” tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu

kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.

Akan tetapi, pada saat itu, ia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi

oleh banyak perahu-perahu kecil dan tiba-tiba dari perahu-perahu kecil itu

berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah. Ternyata

orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakia Buddha

yang berilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan

senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali hingga terpaksa Cin Hai melompat

mundur ke dekat Ang I Niocu bersiap sedia menghadapi keroyokan.

Pangeran Vayami ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, menjadi

girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik

oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis

Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu ia telah memaksa Ang I Niocu untuk

menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang ia percaya

akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,

“Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tapi jangan ganggu gadis itu

dan tawan dia.”

Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah

tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha itu lalu menyerbu dengan

mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang

masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah. Semua pendeta itu adalah

orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas

pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak

rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan

Cin Hai menjadi bingung juga. Akan tetapi, kedua orang muda ini memiliki ilmu

kepandaian sempurna terutama Cin Hai, maka baru beberapa jurus mereka bertempur,

dua orang pengeroyok telah dapat dirobohkan. Sungguhpun demikian, kesetiaan anak

buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur

bahkan makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang

lihai, biarpun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan untuk

mentaatinya asal keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh

kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh

oleh pemimpin agama itu.

Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua

pengeroyok ini bukanlah hal terlalu sukar bagi mereka berdua, akan tetapi mereka

tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah.

Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau

itu!

Pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga

bayangan orang melompat ke atas perahu dan mengamuk dengan hebat disertai suara

tertawa menyeramkan! Ketika Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah

Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng

juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama

kedua iblis ini? Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat

semua pendeta Sakia Buddha, Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan

maksud hendak menyusul Lin Lin. Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi

terkejut sekali oleh karena di dalam kekalutan itu, Ang I Niocu telah

mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu

dan mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!

“Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai, akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan

kepadanya sambil menjawab,

“Jangan, Hai-ji. Biarlah aku saja yang menyusul, jangan kita berdua

terancam bahaya bersama. Kautunggulah saja, aku akan membawa Lin Lin kepadamu!”

Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!

Cin Hai bingung sekali dan ia melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa

semua pendeta Sakia Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi

alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu

kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini telah dipukul hancur dan tenggelam

oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!

Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap hingga sukar

mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu

berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak

berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai

Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia

sendiri harus enak-enak menunggu!

Sementara itu, dalam kegembiraan mereka mengamuk dan membasmi para pendeta

Sakia Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain

dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang

melihat mereka, tidak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok

oleh banyak lawan hingga tak mendapat kesempatan bertanya lagi. Amukan Hek Mo-ko

dan Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama

sekali Pek Mo-ko yang masih menderita sedih karena kematian puterinya, kini

mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko maupun Pek Mo-ko

tidak mempunyai alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini dan mereka

bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu

dikeroyok! Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asal mereka bisa

bertempur dan membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka

sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang

ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam! Sedangkan Kwee An yang juga tidak

mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang

kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, ia menjadi menyesal

akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan

pembunuhan besar-besaran.

Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha

ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko!

Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke

dalam laut. Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui

bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu!

Kalau ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika ia

masih hidup pun tentu ia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal! Anak

buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikitpun emas di pulau itu, biarpun

sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas

sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan

ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan

barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di

atas bukit itu! Danau itu mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi

hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang!

Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk berenang secepat

mungkin, akan tetapi di dalam air ia tidak seleluasa seperti di darat di mana ia

boleh mempergunakan ginkangnya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian

renangnya memang kurang sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan ia tidak

kuat melawan ombak air hingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar

juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya. Keadaan di atas

permukaan laut itu lebih gelap lagi dan penunjuk jalan satu-satunya bagi Cin Hai

ialah cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.

Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat

dan gadis ini tanpa mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, lalu berlari

naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin. Ketika ia naik makin tinggi, sungguh

luar biasa, karena cahaya terang itu makin menghilang dan keadaan di atas bukit

sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali Ang i

Niocu berseru keras memanggil,

“Lin Lin…” Suaranya yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar

bergema keras sekali, bahkan terdengar lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih

berenang di laut!

“Niocu...!” Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu.

Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biarpun ia mengerahkan

khikangnya, di dalam air itu suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh

bunyi riak ombak yang menggelora.

“Lin Lin...!” terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini

membangunkan semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat

maju lebih cepat.

Ang I Niocu berlari terus ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia sudah

berjanji kepada Cin Hai untuk menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia

bertekad takkan kembali sebelum mendapatkan Lin Lin. Ketika Ang I Niocu tiba di

sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan kedua matanya

terbelalak dan ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya oleh karena

tiba-tiba matanya menjadi silau. Di bawah, tak jauh dari situ ia melihat

pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di bawah puncak itu ia

melihat api besar sekali berkobar-kobar dan bernyala-nyala seakan-akan neraka

sendiri terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar

oleh kaki tangan Pangeran Vayami!

Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, “Lin

Lin…! Lin Lin…! Di mana kau…??”

Akan tetapi suara teriakannya yang keras ini seakan-akan hanya menambah

besar berkobarnya api yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata

terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia melihat seakan-akan bayangan

Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum dan

melambai-lambaikan tangan kepadanya! Ang I Niocu menggigil dengan penuh

kengerian dan mukanya penuh keringat. Ia menggosok-gosok kedua matanya akan

tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja. Sambil berseru ngeri dan

takut, Ang I Niocu berlari ke sana ke mari sambil memekik-mekik memanggil nama

Lin Lin,

“Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!”

Akan tetapi, sampai serak suaranya memanggil-manggil dengan kerasnya sambil

berlari-lari menubruk sana menubruk sini, namun yang dipanggilnya tidak juga

menjawab atau muncul.

Nyala api di danau yang membesar dan membubung tinggi itu nampak juga oleh

Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang

makin keras kepada Balutin sambil berteriak minta supeknya membantu. Kiam Ki

Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan

bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin

sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Ia mencoba berkelit, akan tetapi

serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang

dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah

lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas!

Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat

bagaikan terbang, kakek gagu ini meninggalkan tempat pertempuran menuju ke

pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu!

Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan

seakan-akan membakar awan-awan di atas itu. Ia makin bingung dan gelisah, lalu

berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.

“Niocu...! Lin Lin...!” Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan

suara ombak menderu.

Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh

Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di

atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi

terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan

Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka! Cin Hai membelalakkan matanya

dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang

I Niocu lapat-lapat.,

“Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!”

Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya

seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai akibat daripada letusan dahsyat

itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu

diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula!

Cin Hai mencoba berseru lagi. “Niocu... Lin Lin...!” akan tetapi suaranya

tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia merasa betapa tubuhnya menjadi

lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan

tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.

“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu...”

Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan

dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia memandang ke sana ke mari mencari-cari,

akan tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan

menyambar lagi dan ia terombang-ambing menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya

menjadi lemas dan ketika ia telah merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan

wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam

bisikan,

“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu...”

Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya

menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Ia

segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya, dan itu adalah perahunya yang

siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang telah dilarikan oleh Si Hwesio

dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu! Agaknya perahu itu terpukul ombak

dan terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu! Dengan sekuat tenaga

Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam

perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.

Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan

meletus, maka minyak yang telah menjadi api itu membakar seluruh pulau, bahkan

kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga

seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah

menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.

Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa

dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang tak dapat melarikan diri,

sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak dapat menghindarkan diri

dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi, telah terpukul oleh

letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk

hebat.

Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak dan kembali ke pantai

daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, ia merasa kepalanya

masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata ia telah berada di dalam

perahu kecil itu semalam penuh oleh karena waktu itu telah menjelang pagi!

Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke

air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.

Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara

senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget

berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri, dekat pantai di mana air laut

masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang

sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang dekat, maka yang bertempur itu

adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah yang membuat ia kaget dan heran,

sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di

dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu

bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng!

Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah yang membuat hati Cin Hai

berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua

itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin

Lin dan Ma Hoa berada di situ!

Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang

lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si

Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara

tak sabar,

“Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?”

Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang

lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan

Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan

mati-matian!

“Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?” tanya pula Cin Hai dengan muka pucat

dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.

“Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?” tanya Si Nelayan Cengeng dengan

terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu yang amat mengkhawatirkan ia

segera menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan

Yousuf!”

Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai tiba-tiba menangis tersedu-sedu,

menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, “Lin

Lin... ah, Niocu...!” lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi!

Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh

kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian

pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu

membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.

Seribu satu macam hal yang telah berada di ujung lidah mereka hendak

diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu

oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan

pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu,

ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee

An,

“Mengapa mereka saling hantam sendiri?”

Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu,

“Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah

mereka saling membunuh.”

Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu

hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh

kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang

telah lemas.

Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang

bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar biasa, telah

mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit

ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada

terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena

pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko

mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.

Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat

bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa

bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali.

Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek

Mo-ko.

Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini

tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton

oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita

melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.

Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami

dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah

Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat

hingga menjadi takut dan memutar arah perahu. Tiba-tiba terjadi letusan hebat

itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan

terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan ketiganya

lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka

itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak

kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan

merasa ngeri juga.

Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan

Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang

itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka? Kwee An tak terasa

pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua

orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang

kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu?

Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke

dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng!

Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya

cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai

dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu

yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil.

Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas

dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas

perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi

ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat. Kaget sekali Nelayan

Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang

berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan

mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,

“Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau

kemasukan setan Pulau Kim-san-to?”

Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu

dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan

menyerang lebih hebat lagi.

“Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan

Cengeng!” Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan

menyerang makin hebat lagi.

Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang

bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memilih hak. Ia

telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan

golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis

jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng

terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar hudtimnya

dan berseru,

“Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!”

Continue Reading

You'll Also Like

25.5K 254 13
Bagi para peminat dan pembaca cersil (cerita silat) , mereka akan menyebut kisah trilogi Pendekar Rajawali identik dengan nama Kim Yong (Jin Yong/Chi...
531K 3K 10
Berisi cerita pendek dengan tokoh yang berbeda-beda! ⚠️Mature content with a sex, deep kiss, and vulgar words⚠️ ⚠️Setiap cerita bisa membuatmu sange...
195K 227 4
21+
29.7K 513 32
Lanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu karya terbaik Liang Ie Shen. Sangat dir...