SWEET HUGS

By putrarsya

1.5K 199 13

Kadang, hanya perlu sebuah pelukan untuk menyatakan rasa cinta. Written for Sweetest December Event #HinataCe... More

Sweet Hugs

1.5K 199 13
By putrarsya

SWEET HUGS

Dedicatet for Hinata Centric 2017

.

.

.

Hujan.

Kata itu selalu disertai dengan cuaca dingin dan air yang turun dari langit, terkadang disertai petir atau hanya gerimis yang mengundang. Untuk wanita yang sedang memandang butiran air yang mengalir di kaca jendela di sebuah apartemen, segala macam hujan dia suka.

Dia suka ketika aroma hujan yang menyentuh tanah pertama kalinya, dia suka ketika butiran air itu mengenai wajahnya, dia suka hawa dingin yang tak begitu menyengat seperti musim dingin yang membuatnya harus memakai berlapis-lapis pakaian tebal setiap kali ia keluar rumah.

"Kau tak berfikiran untuk main hujan-hujanan diluar, kan?" Suara bariton dari arah belakang membuat Hinata sedikit kaget.

Tak lama punggungnya menghangat karena pelukan dari pria berkuncir seperti nanas. Hinata tersenyum ketika mengingat lagi ucapan lelaki di belakangnya, jelas sekali ada nada kesal dalam kalimat yang dia lontarkan.

"Kalau kau mau menemaniku....boleh juga," bilang Hinata dengan nada menggoda.

"Kalau begitu kita juga bisa mandi sama-sama setelah itu, bagaimana?" Tak perlu waktu lama untuk melihat rona merah di tulang pipi Hinata, dia hanya bisa menutupinya dengan menunduk malu lalu menyikut perut Shikamaru. Yang disikut malah tertawa karena sifat kekasihnya yang pemalu.

"Bagaimana hmm?" Tanya Shikamaru masih berusaha menggoda gadisnya.

"Shika-kun." Seru Hinata, masih berusaha menyembunyikan pipinya yang kini telah berubah merah sepenuhnya. Dan Shikamaru hanya bisa tertawa.

"Bagaimana kalau aksennya warna pearle saja?" Shikamaru menghirup aroma lavender yang menguar dari tubuh Hinata. "Jika terlalu banyak warna turquoise sepertinya tampak membosankan."

"Pearle? Kenapa?" Tanya Hinata tak percaya.

Tadi pagi ketika Shikamaru ditanya oleh wedding planner mereka, jawaban Shikamaru adalah terserah Hinata, lalu sekarang kenapa tiba-tiba dia memilih eksen pada konsep pernikahan mereka?

"Matamu.... mengingatkanku pada mutiara," bisik Shikamaru. "Aku suka jika konsep warnanya nanti mengingatkanku padamu."

Untung saja Hinata bisa menahan diri agar tak berbalik badan ketika jawaban Shikamaru terlontar, jika tidak, maka pipinya yang terasa panas ini bisa membuat Shikamaru semakin senang.

"Kau sekarang pandai sekali merayu, hm" kata Hinata.

"Buku dari Ino memang sangat berguna, kalau aku tidak membacanya maka aku tak akan sesering ini melihat wajahmu yang memerah" bisik Shikamaru, lalu mengecup pucuk kepala Hinata. Memberikan efek semakin tebalnya warna merah pada tulang pipi si gadis Hyuga.

Ino Yamanaka. Gadis cantik yang berprofesi sebagai model juga sahabat Hinata, memang memberikan sebuah buku dengan judul yang tak biasa pada calon suaminya.

'How to be a good boy friend' judulnya saja sudah mengacu pada cara belajar untuk menjadi 'A good boy friend', yang bisa Hinata bayangkan hanyalah hal-hal sepele seperti memberi bunga, candle light dinner, atau kata romantis lainnya. Tapi siapa yang akan menyangka, jika didalamnya ada cara untuk menggoda dan membuatnya merona.

"Hujan ini sungguh merepotkan." Nada suara Shikamaru memang mengeluh, tapi semakin eratnya pelukan lelaki itu, cukup agar Hinata tahu jika Shikamaru sedang mengungkapkan sebuah afeksi yang terbelenggu.

"Apa mencintaiku juga merepotkan untukmu?" Tanya Hinata dengan nada menggoda, dia tahu jika jawaban Shikamaru nantinya tidak akan jauh dari hukum fisika disertai godaan yang bisa membuatnya terpana.

Atau bisa saja jawabannya,

"Memang sangat merepotkan, hingga aku tak bisa mengendalikan diriku untuk segera menjadikanmu wanita Nara secara sah."

Sangat sederhana tapi tidak terduga.

.

.

.

Empat gadis dengan warna rambut yang berbeda kini tengah berada di cafe untuk bertukar cerita, gadis bersurai indigo yang sekarang telah meremas bagian ujung roknya adalah bahan obrolan ketiga gadis yang sekarang tertawa.

"Aku sungguh tak menyangka, jika Shikamaru akan membaca buku pemberianku," kata Ino masih tertawa karena cerita Hinata.

"Tapi itu bagus bukan? Setidaknya dia tidak menggodamu dengan rumus aksioma atau gravitasi dan gaya," celetuk Sakura yang diberi anggukan oleh Tenten sang kakak ipar.

"Karena itu juga, dia bisa mengeluarkan isi otaknya untuk memikirkan konsep pernikahan kalian." Tenten menambahkan.

Hinata hanya menggigit bibir bawahnya, menahan malu karena godaan dari teman-temannya. Meski begitu, Hinata tak menyangkal mereka, karena buku dari Ino memang memberikan beberapa keuntungan untuk Hinata.

"Jadi bagaimana persiapanmu?" Tanya Sakura.

"Hanya tinggal memilih menu dan gaun, kurasa untuk gaun aku akan mengambil disainer rekomendasi dari Ino-chan."

"Kau tidak akan menyesal, dear" kata Ino meyakinkan.

"Lalu menunya?" Tanya Tenten.

"Shikamaru-kun sudah memilih makanan eropa, sekarang aku butuh usul kalian untuk menu pembuka dan penutup yang harus aku pilih." Jawab Hinata, lalu menggigit bagian bawah bibirnya.

"Tenang saja, aku akan membantumu memilih...." kata-kata Sakura terpotong oleh dering telepon Ino yang nyaring.

"Oh... astaga! Aku lupa jika aku ada pemotretan satu jam lagi," kata Ino dengan mematikan teleponnya yang terus berdering "Deidara pasti akan meracau lagi jika aku terlambat." Tambah Ino dengan nada mengeluh.

"Apa kau akan pergi?" Tanya Hinata dengan mengerutkan kening.

Ino membuat wajah sedih dan mengangguk. "Maafkan aku Hinata, tapi aku sudah membuat Deidara kesal kemarin. Jika aku mengabaikannya hari ini, dia pasti membuatku pusing." Katanya setengah mengeluh.

"Itulah tak enaknya jika pacaran dengan orang yang satu profesi dengan kita." Kata Sakura, mensyukuri di dalam hati jika Sasori—sang suami—bukanlah seorang dokter sepertinya.

"Aku tidak suka dengan lelaki yang main boneka," bilang Ino setengah menyindir Sakura.

"Kau bilang apa pig?" Sakura menggeram.

Jika Tenten dan Hinata adalah manusia yang masa bodoh, maka mereka akan diam saja melihat perang lingual kedua sahabatnya. Tapi tuhan sungguh sangat baik sehingga menghadirkan Tenten dan Hinata sebagai penengah.

"Hey Miss Entertain, bukankah kita sudah berjanji untuk mengobrol tanpa gangguan?" Tanya Tenten, menyebabkan Sakura mendengus.

"Gomen, Miss karateka. Aku benar-benar harus mengambil pemotretan kali ini, karena Deidara sendiri yang akan jadi pasanganku."

"Ck, kau masuk dunia model hanya untuk itu?" Tanya Sakura sarkastik.

"Iya." Ino menjawab tanpa ragu, yang menyebabkan Sakura mendengus sebal.

"Ingatkan aku untuk membubuhi minumannya dengan obat peningkat nafsu makan saat kita berkumpul lagi." Dan ucapan Sakura menyebabkan menguarnya tawa terbahak dari Ino.

"Iam so sorry girls, tapi aku benar-benar harus pergi sekarang." Ino berdiri dari kursinya, meminta maaf sekali lagi dan pergi seperti tsunami.

Hinata menghela napas. "Kurasa aku akan menemui Hanabi saja, dia pasti bisa mengantarku untuk melihat tempat resepsi."

Sakura dan Tenten memasang wajah masam. "Lain kali akan aku borgol Ino jika kita berkumpul lagi." Kata Sakura berapi-api.

Tenten tertawa dan Hinata tersenyum, mungkin momen seperti ini akan sangat jarang terjadi jika mereka berempat telah mempunyai anak. Hinata menarik napas dalam sebelum dia menarik lembaran kertas di meja yang berisi daftar menu makanan untuk resepsi pernikahannya.

"Baiklah, ayo kita pilih menunya kalau begitu." Kata Hinata.

.

.

.

"Bagaimana jika kita tambahkan lampu-lampu di atas?" Seorang wanita dengan potongan rambut bob tersenyum pada Hinata saat ia mengutarakan sebuah ide untuk dekorasi pesta.

"Kau memang pantas menjadi wedding planner terbaik di jepang, Konan-san." Hanabi berkata meyakinkan, membuat Konan tersipu dan mengucapkan terimakasih, lalu memandang Hinata untuk menanyakan kepastiannya tentang ide yang dia buat.

"Itu akan sangat indah." Komentar Hinata.

Konan dan Hanabi tersenyum puas. Mereka telah merancang sebuah taman di selatan Hiroshima menjadi sebuah tempat resepsi yang—mereka bilang—akan menjadi tempat paling indah untuk pernikahan Hinata dan Shikamaru.

Hinata tidak ingin itu menjadi berlebihan, dia ingin pesta pernikahan yang sederhana. Sebuah gedung di tengah kota tokyo adalah pilihan awal Hinata, tapi Nara Yoshino telah membuat Hinata tidak bisa berkutik untuk mengutarakan pilihannya. Ibu mertuanya itu telah memesan tempat disalah satu resort milik keluarga Uchiha, dan menyewa taman didekat danau buatan tak jauh dari resort—yang nanti akan dijadikan tempat resepsi itu berlangsung.

"Sekarang semua sudah selesai, anda tinggal kemari dua hari sebelum pernikahan untuk melihat hasilnya." Jelas Konan.

Hinata mengangguk dan melihat taman yang terbentang indah. Satu minggu lagi dia akan menikah disini, dan Hinata tidak sabar untuk menunggu hari itu berlangsung.

"Kalau begitu, kita hanya harus melihat baju pernikahan nee-chan dan Shikamaru-nii." Bilang Hanabi.

Hinata melihat jam tangannya dan mendesah. Sekarang waktu telah menunjukkan angka lima, Shikamaru pasti menunggunya di kantor untuk mengetahui kemajuan dari persiapan pernikahan mereka. Melihat Hanabi yang akan melangkah kembali ke resort, Hinata berbicara.

"Sepertinya kita pulang saja Hanabi, hari sudah sore dan aku harus ke kantor Shikamaru-kun untuk membicarakan ide baru kita."

Hanabi mengerutkan kening. "Apa dia masih bekerja? Seharusnya dia meluangkan waktunya untukmu Nee-chan, kenapa kau harus mengurus persiapan pernikahan kalian sendirian?" Hanabi menggeleng. "Yang menikah, kan kalian berdua." Lanjutnya tidak terima.

"Aku tidak ingin Shikamaru-kun meninggalkan pekerjaannya sekarang, dia sudah sangat sulit mengajukan cuti untuk bulan madu kami. Aku tidak mau pekerjaannya terbengkalai dan berakibat pada honeymoon kami." Ucapan polos Hinata tak urung membuat Hanabi terperangah dan Konan hampir tertawa terbahak.

"Ucapanmu terdengar seperti kau menyimpan tenaga Shikamaru-nii hanya untuk bulan madu kalian. Memang Nee-chan ingin berapa ronde untuk malam pertama kalian?"

Hinata sudah tersedak udara saat mendengar pertanyaan Hanabi, sedangkan Konan kini telah tertawa terbahak. Hinata tidak menyangka, jika ucapan polosnya diartikan menjadi hal yang mesum di otak mereka.

.

.

.

Shikamaru menggosok mata hitamnya yang lelah. Dia melihat jam di layar komputer dan mengerang. Sangat tidak beruntung untuknya, sekarang sudah jam sebelas lewat. Bahkan jika ia ingin untuk menyelesaikan proyek game barunya, itu tidak akan selesai malam ini. Yang artinya, dia akan membuat Hinata menunggu lagi.

Dia mematikan komputernya, pikirannya tidak tenang karena sebuah bungkusan berisi makan malamnya yang Hinata berikan sore tadi. Bungkusan itu tidak tersentuh sama sekali. Dia lupa, dan dia menyesal.

Sambil mengerang, Shikamaru meregangkan tangannya di atas kepala lalu mengambil bungkusan itu. Saat dia melihat kotak kayu yang ia kenal dari restoran sushi yang sering ia kunjungi dengan calon istrinya, perutnya bergemuruh. Sebelum dia membuka kotak, sebuah pesan teks masuk ke dalam telepon genggamnya.

Jangan makan sushinya kalau kau lupa memakannya. Pulanglah, aku memasak sup iga untukmu sebelum aku pulang, dan aku sudah menyimpannya di kulkasmu. Jangan bekerja terlalu larut dan tidurlah tepat waktu.

Hinata. H.

Shikamaru tidak bisa menahan senyum konyolnya. Bagaimanapun juga, dia adalah pria beruntung yang bisa mendapatkan Hyuga Hinata.

Dengan cepat, jari-jari Shikamaru melayang di atas keyboard ponselnya.

Aku akan tetap memakannya, karena ini adalah makan malamku darimu. Untuk masakanmu, kuharap kau datang besok pagi untuk menghangatkannya. Apa kau benar-benar sudah pulang?

Shikamaru. N.

Shikamaru tidak melepas telepon genggamnya, masih tersenyum dengan konyol. Tak lama teleponnya bergetar, dan dia membukanya dengan kecepatan yang melebihi supersonic.

Aku sedang berjalan ke area parkir apartemenmu, kenapa?

Hinata. H.

Shikamaru melebarkan matanya, dan dengan segera menelpon Hinata. Dering kedua suara merdu menjawab teleponnya.

"Moshi-moshi."

"Menginaplah." Kata Shikamaru cepat.

"Maaf, aku bicara dengan siapa?"

Shikamaru menarik satu alisnya tinggi-tinggi, dia menjauhkan telepon genggamnya dari telinga dan memastikan nama yang dia hubungi tidak salah. Ketika dia melihat nama Hinata terpampang jelas, Shikamaru mendengus dan menjawab. "Seorang pria yang akan menjadi suamimu dan ayah dari anak-anakmu."

"Aku menerima telepon dengan jawaban yang sama satu minggu yang lalu, dan dia ditemukan meninggal karena merindukanku." Suara Hinata bergetar karena menahan tawa.

Shikamaru menyeringai. "Ya, aku adalah arwah orang itu."

Hinata menghisap udara. "Apa sekarang alam baka juga menyediakan telepon genggam?"

Shikamaru tertawa dan kemudian berhenti. "Apa kita akan membahas hal yang tidak penting ini?"

Hinata tertawa terbahak. "Kau butuh untuk melemaskan ototmu Shika-kun, dan tertawa bagus dalam hal itu."

"Kau sering mengkhawatirkanku, tapi tidak sering merindukanku."

Hinata terbatuk kecil. "Aku tidak bisa menginap di apartemenmu, Shika-kun, aku harus mengepak vas pesanan pelanggan malam ini."

Shikamaru mendengus, "Apa kau tidak mau mengatakannya padaku?"

"Kita baru bertemu tadi sore, bagaimana bisa aku merindukanmu secepat itu." Jawab Hinata.

"Tapi aku merindukanmu setiap waktu." Keluh Shikamaru, lelaki itu bisa menebak jika wajah kekasihnya tengah merona saat ini.

Ada jeda dari Hinata sebelum dia menjawab dengan gagap. "Kau..kau perlu...untuk tidur malam yang cukup, jangan banyak bekerja dan pulanglah sekarang, aku akan ke apartemenmu besok pagi."

Shikamaru tersenyum sangat lebar, lalu berkata. "Kau juga, sunshine, sampai bertemu besok pagi."

Saat dia meletakkan teleponnya, ketukan dari arah pintu mengagetkan Shikamaru. Dia menjauhkan ponselnya dan terbatuk dengan kepalan tangan di depan mulutnya, dengan cepat menghilangkan senyum konyolnya, lalu berkata dengan parau.

"Masuk."

Kaede masuk dengan nampan berisi kopi yang masih mengepul dan memberikannya pada Shikamaru.

Saat Shikamaru meniupnya, ada sedikit gelombang di atas cairan gelap itu, kaede melirik kotak sushi di meja Shikamaru dan berdecak. "Apa kau melupakan lagi makanan dari calon istrimu?"

Lelaki Nara itu menaruh cangkir kopi di meja setelah dia menyesapnya sedikit, bergumam "mhmm," lalu meraih ransel di kursinya dan kotak sushi yang belum tersentuh. Bersiap pulang.

"Hey, habiskan dulu kopinya." Kata Kaede jengkel.

"Kopimu terlalu manis."

Kaede mendecih. "Lalu kenapa kau memintanya?"

"Tadi aku perlu, tapi sekarang tidak." Mata Kaede menyipit, mengumpati Shikamaru dari bibirnya yang hampir tidak terbuka. Sebelum Kaede membuka mulutnya untuk benar-benar mengumpatinya, Shikamaru bertanya. "Apa kau sudah menyelesaikan desain untuk setiap struktur bagian?"

"Itu akan selesai besok pagi."

"Skenarionya?"

"Sudah aku sebar pada tim lainnya tadi siang."

Shikamaru mengangguk. "Selesaikan tiap struktur besok pagi dan MPC menyusul setelah itu. Suruh semua tim pulang sekarang."

Kaede berkedip cepat. "A-apa?"

Shikamaru mendengus, lalu berkata. "Pulanglah, aku tidak perlu karyawan yang bekerja terlalu keras."

Bagaimanapun, Shikamaru adalah direktur yang tidak benar-benar tidak bertanggung jawab. Kaede tahu, karena ia adalah teman satu kuliahnya, yang sekarang tengah menjabat sebagai sekretarisnya.

Kaede sedikit kaget dengan suasana hati Shikamaru saat ini. Sudah dua hari dua malam Tim Shikamaru menginap di kantor dan menyelesaikan proyek game baru mereka, dan kesempatan untuk pulang yang Kaede idamkan sudah Shikamaru berikan. Sebelum Shikamaru bisa merubah pikirannya atau membuat suara, Kaede dengan cepat mengangguk dan berlari keluar dari ruangan Shikamaru seperti badai.

Ketika Kaede keluar dari ruangannya, Shikamaru juga bersiap untuk pulang. Dia meraih bungkus sushi di mejanya dan berjalan menuju pintu.

.

.

.

"Tujuh puluh jam dua puluh empat menit." Kata Shikamaru menerawang.

Hinata berjalan dari arah dapur ke meja makan dengan mengerutkan keningnya. "Apa?" Tanyanya.

"Perjalananku ke rusia." Shikamaru menjawab, "Itu perlu waktu dua puluh dua jam dua puluh empat menit di pesawat, jika kugabungkan dengan lama aku tinggal, maka semuanya menjadi tujuh puluh jam dua puluh empat menit."

Hinata menggigit bagian dalam bibirnya untuk menahan senyum yang akan mengembang di wajahnya. Sejak dia datang satu jam yang lalu, Shikamaru telah berada di ruang tengah apartemennya dengan wajah frustasi. Hinata tahu, hari ini adalah dimana mereka harus berpisah selama tiga hari dan dua malam untuk urusan bisnis Shikamaru.

"Apa aku tidak pergi saja?"

Hinata berdecak, "Kau harus pergi Shika-kun."

Shikamaru menyumpit jamur tiram yang di oseng dengan brokoli, lalu menggerutu. "Bukankah aku akan menikah lima hari lagi? Bagaimana bisa mereka menyuruhku untuk menemui investor di benua yang berbeda! Tidak masuk akal."

Hinata menghela napas pelan, memaklumi kemarahan calon suaminya yang tidak mendasar. Gadis itu menggeser kursinya lebih dekat pada Shikamaru dan mendorong sup Iga buatannya kemarin malam untuk lelaki itu makan.

"Apa aku suruh Naruto saja sendirian ke sana?" Shikamaru tidak menyerah.

Hinata menatap tajam kekasihnya. "Shika-kun kan direkturnya, bagaimana bisa hanya pemegang saham yang pergi."

Shikamaru mendengus, menyumpit lagi jamur dan memakannya kesal. Penerbangannya dijadwalkan pukul sepuluh siang, dan itu tinggal dua jam lagi. Itulah kenapa Shikamaru ingin Hinata menginap tadi malam.

"Ck, kenapa sih kau menolakku kemarin?"

"Kemarin aku harus mengepak vas keramik pesanan pelanggan karena Neji-nii lupa untuk mengepaknya." Kata Hinata, "Itu akan berlalu dengan sekejap, Shika-kun." Hinata mendengar Shikamaru bernapas pelan dan tersenyum saat dia tidak mendengar lagi alasan dari Shikamaru.

Ketika Hinata berdiri dari kursinya, Shikamaru bertanya. "Apa kau perlu bantuanku untuk acara pernikahan kita?"

Hinata berjalan menuju kamar Shikamaru dan mengeluarkan beberapa baju untuk ia tambahkan ke dalam koper yang berada di ruang tengah, lalu dia menjawab. "Seharusnya kita mengukur lagi baju pengantin kita hari ini, tapi itu tidak masalah, karena tiga hari tidak akan mempengaruhi ukuran badanmu."

"Lalu hari ini kau akan ke butik dengan siapa?" Shikamaru meninggalkan sarapannya yang telah habis dan menghampiri Hinata.

"Ino-chan akan menemaniku." Jawab Hinata, tangannya sibuk melipat kemeja Shikamaru dan memasukkannya ke dalam koper.

Shikamaru duduk di sebelah Hinata dan menarik tubuh gadis itu ke pangkuannya, menyebabkan Hinata hampir memekik karena sentakan yang tiba-tiba.

"Shika-kun!"

Shikamaru menahan Hinata saat gadis itu akan beranjak dari pangkuannya. "Biarkan aku memelukmu seperti ini, kita hanya punya waktu satu jam sebelum aku berangkat ke bandara."

Hinata berhenti menolak dan mulai memeluk Shikamaru. Perasaan hangat itu masih sama, Shikamaru selalu bisa membuat jantungnya berpacu walau hanya dengan pelukannya. Dari empat tahun yang lalu hingga detik ini, rasanya selalu sama. Hangat. Dan nyaman. Hinata masih ingat pelukan pertamanya dengan Shikamaru, saat itu mereka basah kuyup karena kehujanan, tetapi mereka bersuka cita karena saling mengatahui perasaan masing-masing. Pelukan pertamanya yang basah dan hangat.

Sekarang dia bisa merasakannya hampir setiap hari, dan jika mereka telah menikah, maka Hinata bisa merasakan pelukan hangat ini selamanya.

.

.

.

Saat pesawatnya meluncur di landasan pacu di Narita, Shikamaru harus melawan keinganan untuk berteriak senang. Baginya, tidak ada yang benar-benar seperti rumah. Dia mengetuk kakinya tidak sabar saat dia menunggu pesawatnya berhenti. Dua hari yang lalu terasa seperti selamanya. Bahkan dengan semua kasino yang Naruto ajukan padanya, dia tidak tertarik. Shikamaru terus merencanakan apa yang harus ia lakukan setibanya di jepang, atau memikirkan tentang pesta pernikahan yang akan diadakan dua hari lagi.

Dia melihat jam dan dia mendengus. Pukul dua pagi. Hinata pasti masih tidur di rumahnya. Tidak akan masuk akal bila dia datang ke rumah mertuanya hanya untuk menculik Hinata dari tidur lelapnya. Pemikaran itu membuat langkah cepat Shikamaru dari pintu masuk mulai memelan.

Dia akan menelpon Hinata nanti siang, mungkin dia bisa memberikan kejutan untuk calon istrinya dengan datang tiba-tiba ke tempat kerjanya. Shikamaru melangkah dengan cepat untuk mengambil koper dan pergi dari bandara dengan senyum tidak pernah lepas dari wajahnya.

.

.

.

Sejak mendapatkan pesan dari Tenten di tempat kerjanya, Hinata mencengkram teleponnya hingga jemarinya memutih. Apa yang terjadi dengan Shikamaru?

Sekarang, setelah setengah jam dia berada di taksi, menghadapi kemacetan kota tokyo yang padat, akhirnya Hinata sampai di rumah sakit. Dia turun dari taksi dan hampir terjatuh, kedua kakinya seperti tidak bertulang saat berulang kali membaca pesan dari Tenten jika Shikamaru mengalami kecelakaan.

Tanpa bertanya pada resepsionis, Hinata terus berlari menuju ruang gawat darurat. Tubuhnya menegang ketika dia memasuki ruangan dengan aroma obat yang kental, melangkah pelan menuju gorden putih yang menutupi seluruh ranjang. Memuntahkan semua rasa kekhawatiran itu, Hinata menarik gorden dengan tangan gemetar agar terbuka.

Hinata melihat Shikamaru sedang berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan di depan dada, sedang berargumen dengan Naruto yang kepalanya terbalut perban dan lengan di gips. Shikamaru perlahan menoleh ke samping hingga mata mereka bertemu.

"Hinata." Kata Shikamaru terkejut.

Selama perjalanan ke rumah sakit, Hinata menahan semua air matanya. Dia berhasil saat itu, tapi sekarang terasa sulit saat dia melihat Shikamaru dengan keadaan baik-baik saja. Rasa syukur itu memenuhi dirinya, hingga dia tidak bisa menahan air matanya untuk tidak terjatuh. Tangisnya pecah saat dia melangkah dengan cepat dan memeluk Shikamaru.

"Ssh... ada apa Sunshine?"

"Kau...kau membuatku...takut." Gumam Hinata disela isakan. Dia mencengkram begitu kuat, Shikamaru hampir tidak bisa bernapas.

"Aku disini Sunshine, apa yang membuatmu takut?"

"Tenten-nee memberi tahu aku kalau kau mengalami kecelakaan di bandara." Hinata menekan wajahnya ke dada Shikamaru dan menghirup aroma woods dan amber dari parfum Shikamaru yang menenangkan.

Shikamaru memegang kepala Hinata dan menatap matanya.

"Aku tidak apa-apa Sunshine, aku sampai tokyo tadi malam karena aku mengambil penerbangan lebih awal."

Hinata mengernyit, "Kalau begitu, kenapa kau tidak menghubungiku? Kau juga tidak mengangkat teleponku tadi."

Shikamaru baru ingat, jika dia meninggalkan telepon genggamnya di apartemen karena terburu-buru ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Naruto.

"Aku lupa tidak membawanya." Kata Shikamaru menyesal.

Naruto tidak percaya, jika dia akan di tempatkan pada momen yang jika orang lain nilai sangat mengenaskan. Setelah ditinggal oleh Shikamaru di rusia, dia harus kembali pulang dengan luka dari kecelakaan karena terserempet mobil di bandara. Dan kini, dia harus melihat momen romantis sahabatnya dengan badan penuh luka dan status jomblonya.

"Apa kalian melupakan orang yang sedang perlu perhatian sekarang?" Naruto berkata dengan kesal.

Hinata dan Shikamaru sama-sama berpaling untuk menatapnya. Wajah Hinata memerah dengan pipi yang masih tersisa sedikit air mata, sementara tatapannya tampak panik karena malu dan melesat keseluruh ruangan. Hinata melepas pelukannya, ia mundur satu langkah dari Shikamaru.

Meskipun Shikamaru seharusnya meminta maaf pada Naruto, tapi dia hanya mendengus karena Naruto mengganggu momen kerinduannya dengan Hinata.

"Maafkan kami Naruto-kun, aku sangat menyesal. Melihat Shikamaru baik-baik saja membuatku senang sekaligus terkejut." Hinata menutup kesenjangan, "Kau tampak buruk, apa kau memerlukan sesuatu?"

Sebelum Naruto membuka mulutnya, Shikamaru berkata. "Dia hanya tergores, lukanya juga tidak parah."

Hinata mencubit perut Shikamaru dan membuat lelaki Nara itu protes, "Argh, sakit."

Naruto mendengus, "Kapanpun kalian selesai dengan keromantisan kalian, bilehkah aku mengingatkan jika aku sedang di rawat di sini."

"Gomen." Kata Hinata menyesal.

Shikamaru mendengus, "Kau saja yang bodoh, sebelum menyebrang seharusnya kau melihat kanan dan kirimu."

Naruto telah membuka mulutnya ketika Kushina berjalan melewati pintu dengan suaminya. Setelah itu, Kakaknya—Karin, dan Sakura yang berpakaian dokter menyusul di belakang mereka. Kushina memberikan Hinata pelukan cepat dan tersenyum pada Shikamaru sebelum menjerit pada Naruto.

"Apa matamu tidak bisa dipakai lagi Naruto? Kenapa kau tidak bisa melihat jika ada mobil menyebrang huh?"

Naruto memutar matanya. "Mobil itu yang salah, Kaa-san, dia yang tidak melihat jika aku akan menyebrang."

"Masih bisa menjawab, eh?"

Sebelum Kushina memberikan pukulan andalan keluarga Uzumaki, Shikamaru menginterupsi dengan permintaan pamit kepada mereka berlima. Setelah Kushina dan Minato berterimakasih karena telah menjaga Naruto, Shikamaru menarik Hinata untuk menyusuri lorong rumah sakit.

"Aku merindukanmu." Kata Shikamaru tiba-tiba, langkahnya tidak berhenti.

Hinata yang mendengar ungkapan rindu Shikamaru menundukkan kepalanya dengan pipi merona. "Aku juga sangat merindukanmu."

Perkataan Hinata mampu membuat Shikamaru berhenti mendadak dan mengagetkan gadis yang tengah merona di belakangnya. Shikamaru berbalik menghadap Hinata. "Apa?"

Hinata menggit bibirnya dan mengulang. "Aku sangat merindukanmu."

Shikamaru menarik Hinata ke dalam pelukannya, mengulang lagi momen kerinduan yang telah dirusak oleh Naruto beberapa saat yang lalu.

"Kenapa merindukanmu sangat merepotkan, Hinata?" Tanya Shikamaru.

"Karena kau sangat mencintaiku."

2 Hari kemudian.

Hinata memandangi bayangannya di cermin satu badan di kamar tunggu pengantin. Berbalik ke kiri dan ke kanan, membiarkan lapisan berombak dari gaun pengantinnya berputar di badannya. Dalam benaknya, gaun itu merupakan gaun terindah yang pernah dia lihat dengan korset berpayet mutiara dan manik-manik yang rumit.

Dia tidak menyangka jika Ino memberikan hadiah seindah ini untuk pernikahnnya, tapi kala hari pernikahan itu telah tiba, Hinata tidak terlalu yakin.

"Kurasa gaun ini terlalu berlebihan, aku terlihat seperti terlalu tua untuk memakainya."

"Tidak! Tidak sama sekali." Bantah Ino, menyesuaikan mahkota sederhana di kepala Hinata.

Sakura yang berada tepat di belakang Hinata, mengangguk saat dia membantu menata kerudung panjang dari bahan tipis yang halus. "Jangan bodoh, Hinata, kau terlihat sangat cantik."

"Jika Shikamaru melihatmu lagi dengan gaun ini, dia pasti akan mengurungmu di penginapan dan tidak mengijinkanmu pergi." Kata Tenten dengan senyum nakal.

Hinata mendesah. "Aku berterimakasih pada kalian karena telah berusaha menghiburku, tapi aku benar-benar terlihat tua dengan gaun ini."

Sakura mendengus. "Ok, jangan memancing pujian lagi." Meremas bahu Hinata, Sakura memutar tubuh Hinata. "Kau adalah pengantin tercantik yang pernah aku lihat sepanjang hidupku. Saat kau mulai berjalan di altar nanti, kau akan membuat Shikamaru takjub."

Air mata menggenang di mata Hinata karena pujian Sakura, "Oh tidak! jangan menangis dulu dan merusak riasanmu." Sakura berteriak.

Hinata mendorongnya menjauh, "Ok. Ok! Aku tidak akan menangis."

Pintu kamar di dorong terbuka. Konan, sang wedding planner, bertepuk tangan. "Baiklah, sudah waktunya nona-nona."

Ino tersenyum dan memberikan Hinata buket bunga kecil padanya. "Gadis ini akan menjadi wanita beberapa waktu lagi, berikan aku ide, Hinata, gaya apa yang disukai oleh para pria."

Hinata merona dengan tawa yang menguar dari teman-temannya. Tapi dia bersyukur, rasa gugupnya berkurang karena ucapan spontan Ino. Menarik beberapa napas, dia menenangkan dirinya. Setelah sekian tahun lamanya, akhirnya ini terjadi. Dia Menikah. Dengan lelaki yang sejak awal bertemu telah ia sukai, sayangi, dan cintai dengan proses yang menakjubkan.

Saat Hinata melangkah keluar dari penginapan, Hinata mendongak menatap langit. Cuaca cerah tanpa mendung. Ini seperti tuhan juga merestui pernikahnnya, pemikiran itu membuatnya tersenyum. Dia bersandar di lengan sang ayah, menikmati aroma jahe dan citrus dari parfum kesukaan ayahnya.

Ketika dia melihat taman yang telah penuh dengan deretan meja dan kursi, lampu-lampu di atas meja, gerbang besi yang telah dihiasi bunga dan sulur-sulur, lalu altar yang telah terisi dengan lelaki tampan yang menantinya, membuat Hinata tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Hinata menarik napas lagi dan melangkah melewati gerbang. Semua orang bangkit berdiri saat dia masuk, tatapannya jatuh pada Shikamaru saat dia akhirnya bisa menatap mata lelaki itu.

Keabadian seperti terlawati saat ayahnya dengan resmi menyerahkannya pada Shikamaru dan duduk di samping Hanabi.

Shikamaru tidak ingin ada pendeta untuk upacara pernikahan mereka, dia mengatakan jika janji itu akan lebih indah jika diucapkan tanpa perantara, dan Hinata hanya bisa merona saat keputusan Shikamaru terlontar.

Deidara dengan setelan armaninya melangkah menuju altar dengan map yang berisi janji kedua mempelai, memberikannya pada Shikamaru dan juga Hinata.

Shikamaru membuka map itu dan berkata. "I, Shikamaru Nara take you Hinata Hyuga to be my wife, to have and to hold, from this day forward, for better for worse, for richer for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish, till death do us part. And here to i pledge you my faithfulness."

Dengan suara merdu yang khas, Hinata pun mengulangi sumpahnya dengan penuh percaya diri. Shikamaru mengambil cincin dari Kiba, pendamping prianya, dan menyelipkan di jari manis Hinata.

"With this ring, I promise." Kata Shikamaru.

Ketika Hinata menatapnya, Shikamaru berkedip padanya, dan kemudian Hinata tertawa akan kilasan sifat sombongnya yang muncul. Dia mengambil cincin kawinnya dari Ino dan menyelipkan di jari Shikamaru lalu mengulangi kata-kata Shikamaru.

Hanya beberapa detik setelah Hinata mengucapkan kalimat tersebut, Shikamaru menarik Hinata dan mencium bibirnya. Itu seharusnya adalah ciuman suci, tapi saat Shikamaru tidak ingin melepas Hinata, maka itu juga bertambah dengan gairah. Gemuruh tepuk tangan bergema di sekitar mereka kala Shikamaru menarik diri.

Melihat wajah sang istri yang telah sangat merah, Shikamaru membelai pipi Hinata, lalu berbisik. "Aku mencintaimu."

Hinata tersenyum dan menjawab. "Aku sangat mencintaimu."

Owari.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 336K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
407 67 8
Cantik, pintar, ramah, sopan, rajin, menguasai tiga bahasa asing, dan pemegang beasiswa sejak tahun pertama. Siapa yang tidak kenal dengan Hyuga Hina...
569 65 4
Kakashi yang menduduki posisi sebagai Hokage keenam tiba-tiba saja diperintahkan menikah oleh tetua Konoha dengan gadis pilihan mereka. Kakashi asli...
3.5M 26.9K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...