The Perfect Enemy

Por LaurentiaMira

56 0 0

Seorang pengusaha, kaya dan sangat berkuasa, tewas mengenaskan di ruang pribadinya. Tak seorang pun tahu bahw... Más

Bab 2
Bab 3

Bab 1

39 0 0
Por LaurentiaMira

Udara dingin menyeruak di sela-sela pagi yang mulai menjelang. Sesosok pria, dibalut mantel tipis berwarna hitam, tertelungkup di sebuah jalanan kecil berbatu. Lelaki itu tak bergerak. Rambut panjang menutupi sebagian wajah. Tubuh kakunya menarik perhatian beberapa orang yang lewat namun tak ada yang memiliki keberanian untuk mendekat. Seorang ibu yang hendak berdagang ke pasar bahkan lari terbirit-birit mendapati lelaki itu terbujur diam bak mayat. Sekelompok pelajar SMU berjengit menjauh sementara seorang pria setengah baya tampak ragu – hendak menolong atau membiarkan saja si lelaki misterius terkapar tak tentu nasibnya.

"Sopo wong iki?" (siapa ini?)

Terdengar logat Jawa yang kental dari salah seorang pria.

"Ndak tau. Mungkin orang gila? Atau jangan-jangan sudah mati?"

Salah seorang pria berwajah keriput, menyurukkan sapu lidinya ke tubuh yang dimaksud. Tak ada reaksi. Lelaki asing itu tetap bergeming.

"Mati!" seru beberapa orang dengan was-was. Kasak-kusuk penuh prasangka beredar di udara. Desas-desus menyebar dengan cepat: 'Ada mayat tak dikenal di desa mereka!'

"Kita kuburkan?" tanya seorang warga.

"Lapor polisi!" usul yang lain.

"Nanti urusannya jadi panjang. Kita bisa repot kalau ditanyai macam-macam!" bantah yang pertama.

Si pembawa sapu lidi sudah berjongkok. Tangan keriputnya diarahkan ke kantong-kantong jaket. Tak menemukan apa yang dicari, ia merogoh ke dalam saku belakang si pria asing dan menemukan sebuah dompet. Namun belum sempat memeriksa isinya, tubuh kaku itu tiba-tiba bangkit dan mengagetkan semua orang.

"Masya Allah!" pria lanjut usia itu terjengkang ke belakang. "Kau masih hidup, toh?"

"Sial kalian semua!" umpat si pria dengan geram. Matanya menatap nyalang sementara tinjunya teracung – siap untuk memukul.

Beberapa warga bergegas melerai perkelahian.

"Mas! Tenang, Mas! Ojo nesu!" seru beberapa orang. (Jangan emosi!)

"Dia mabuk," ujar si pria lanjut usia sambil membersihkan kain sarungnya yang kotor oleh tanah. "Napasnya bau alkohol."

Lelaki beruban itu membuka dompet yang masih digenggamnya dan mengeluarkan tanda pengenal si pria asing.

"Ferry Sudjarwo," ujar si lelaki lanjut usia, "Itu namamu?"

"Hei! Kembalikan!" hardik Ferry dengan garang.

"Kau seorang sarjana hukum?"

"Apa urusannya denganmu?"

Ferry menyerang si pria lanjut. Suasana ricuh seketika.

Sang kakek berseru-seru minta tolong. Para wanita menjerit histeris sementara yang pria berusaha menyelamatkan korban dari amukan Ferry.

Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat.

Seseorang memukul tengkuk Ferry dengan keras. Tak cukup disitu, tangan lain merenggut tubuhnya hingga jatuh lalu mengantukkan dahinya ke tanah kasar berbatu. Ferry bisa merasakan aliran darah menetes dari puncak kepala sementara kedua sisi tulang rusuknya tak luput dari amarah orang-orang yang bergantian menendangnya. Lelaki itu hampir saja berteriak kesakitan saat seseorang menyikut tulang punggungnya dengan keras. Dan ia hampir kalap saat beberapa orang mencemoohnya. Namun sedikit akal sehat di sudut otaknya mengatakan semua itu tak akan berguna. Perlawanan hanya akan membuat orang-orang ini lebih beringas.

Ferry Sudjarwo tampak seperti sebuah boneka kayu saat seseorang menarik tubuhnya. Ia berdiri dengan kaki dan tangan terkulai tanpa tenaga. Kepalanya tertunduk lunglai.

"Wis meneng? Ora iso perang meneh?" (Sudah menyerah? Sudah nggak bisa melawan?)

Tersirat kepuasan dalam suara berat dan kasar itu. Pemiliknya, seorang lelaki jangkung berambut gimbal, terkekeh dengan bangga. Ia dan teman-temannya berhasil mengeroyok seorang pemabuk hingga babak-belur. Salah seorang bapak bahkan menambahkan 'kesenangan' tersebut dengan menghantamkan bogem keras di perut Ferry. Laki-laki itu tersedak, batuk-batuk, dan muntah. Sontak semua orang menjauh sambil tertawa dan menghinanya.

Bagaikan tertiup angin kencang, tubuh Ferry yang kekar berubah ringkih. Seakan tanpa tenaga, ia doyong menghadap tanah sementara kakinya terseok-seok. Kepalanya pening oleh pukulan dan tulang rusuknya seakan remuk. Suara orang yang tertawa di sekitarnya semakin keras. Tubuhnya dioper kesana-kemari. Tangan demi tangan menyorongkan tubuhnya bagai bola ke segala arah. Ferry tak bisa melepaskan diri.

"Pemabuk edan!" umpat salah seorang warga.

"Orang gila!" hardik yang lain.

Berikutnya tubuh Ferry dihempaskan ke tanah. Ia baru saja akan berdiri tegak saat sebuah kekuatan lain menginjak tubuhnya hingga rebah. Bau tanah lembab memenuhi seluruh rongga hidungnya. Ia bisa merasakan kaki si penyerang di atas kepalanya, mempermainkan seolah-olah ia adalah keset sabut kelapa.

"Pergi! Sampean bakal ciloko lantaran ra cepet lungo!" (Kamu akan celaka kalau nggak segera pergi)

Seseorang menjatuhkan dompetnya, diikuti dengan langkah kaki orang-orang yang menjauh.

Hening sejenak. Pengang yang bikin bising. Dingin. Kesejukan yang menyusul setelah nyeri. Mulutnya pahit – meski seharusnya amis darah. Kepalanya pening, tak jelas memori apa yang tersisa di balik tempurung. Sekejap ia ingin mati saja.

"Kamu oke?" Seseorang menghampiri.

Ferry tak perlu mendongak. Entah bagaimana ia tahu seseorang akan datang mencarinya. Dan entah bagaimana ia yakin sekali kalau orang itu adalah...

"Bro Sius!" Ferry berseru parau. Tubuhnya gemetar dan memar. Bibirnya sobek sedangkan mata sebelah kiri bengkak. "Baik sekali Bro Sius mau berkunjung!"

"Aku pikir kamu sudah sembuh. Ternyata – "

"Jangan banyak bicara, Bro! Bantu, donk!"

Laki-laki penolongnya itu, bertubuh tegap dan berkulit hitam. Seorang pria asli Flores yang tumbuh besar di tanah Jawa. Bernama lengkap Alsius Dengua, ia mewarisi darah bangsawan dari para leluhurnya – status yang terasa usang pada era republik.

Alsius meraih Ferry dan membantunya duduk. "Kamu mulai kecanduan lagi, Bro," katanya. "Kalau bukan mati gara-gara alkohol merusak livermu, cepat atau lambat kamu bakal mati dikeroyok."

"Sebetulnya aku sudah berencana pulang ke panti," Ferry menyahut – kelelahan. "Dan..., hei! Siapa yang Bro maksud tadi? Aku bukan pecandu! Ndak lagi."

"Oh, ya? Lalu darimana asal tremor-mu kali ini?"

Ferry mengamati gemetar di kelima jari kanan, lalu cepat-cepat menyembunyikannya di balik tangan yang satunya. "Aku baru dipukuli! Ingat?" ia menantang.

"Ah, ya! Kemarin malam kamu mabuk – "

"Aku hanya minum sedikit," Ferry menyanggah.

"Benar! Dan minuman yang 'sedikit' itu membuatmu nggak sadarkan diri. Kau tergeletak di kampung-entah-apa-ini dan orang-orang menghajarmu. Tapi kamu nggak mau disebut pecandu!"

"Aku tahu kamu mau bilang apa. Kamu bakal bilang kalau hidupku kacau dan sudah saatnya memperbaiki diri. Kamu bakal bilang aku ndak bisa mengelola diri sendiri!"

"Dan nggak bertanggung jawab," tambah Alsius.

"Ya! Itu juga. Padahal sebetulnya aku baik-baik saja. Aku..., sehat!"

"Teruskan saja menyangkal! Kamu juga tahu kalau sifat seperti itu khas para pecandu. Orang-orang seperti kalian senang mengingkari kenyataan."

"Hei!" Ferry geram.

"Jaga sikapmu, Bro!" Alsius balas menghardik. "Kalau aku nggak sengaja mencarimu, berkeliling dari satu bar ke bar lainnya untuk mencari informasi, kamu pasti masih di sini."

"Aku memang masih di sini."

"Nggak akan lama lagi. Kamu akan ikut aku ke panti."

Ferry mengepalkan kedua lengannya kuat-kuat. Terkadang pendampingnya di panti rehabilitasi bisa teramat menjengkelkan. Bro Sius menempel terus padanya – seperti kutil yang tak bisa dibuang. Ke mana pun ia melarikan diri, Bro Sius selalu berhasil menemukannya. Seperti sekarang ini.

"Kamu nggak mau mengangkatnya?" tanya Alsius kemudian.

"Apa?" Ferry kebingungan.

"Teleponmu bunyi. Apa alkohol juga merusak saraf pendengaranmu?"

"Sindir terusss...!" Ferry mengumpat. "Biar kau puas."

Alsius tertawa sementara Ferry mencari-cari ponsel di antara kantong jaketnya. Saat ditemukan, benda itu sudah berhenti bergetar.

"Ah, sial! Terpaksa harus aku yang balik menghubungi."

Alsius menunggu Ferry menyelesaikan panggilannya.

"Ada apa?" ucapan kasar, khas Ferry, mengawali pembicaraan.

Sejurus kemudian hening. Ferry mendengarkan dengan khusuk. Tak sampai lima menit kemudian pria itu berkata, "Aku akan ke sana. Persiapkan saja semuanya!"

Telepon diputus. Laki-laki itu tersenyum. "Kali ini aku ndak akan ikut denganmu, Bro. Ada pekerjaan baru yang menunggu."

"Membela penjahat lagi?"

Senyuman Ferry melebar. Seringainya tampak aneh di antara semua lebam dan noda darah itu.

"Jangan nyengir di depanku! Wajahmu jadi jelek sekali," ujar Bro Sius.

Ferry tertawa keras-keras.

"Tampang temanmu pasti lebih jelek lagi," katanya. "Ada lubang sebesar bola tenis di kepalanya. Seseorang membunuhnya."


###


Pengusaha Ferdinand Adipraja ditemukan tewas di ruang pribadinya.

"Astaga, memalukan sekali!"

Venecca Limanjaya memekik dengan suara tertahan. Ia pun segera membekap mulutnya erat-erat.

Bukan hanya memalukan, tapi jenasah di hadapannya ini tampak mengerikan. Laki-laki tersebut ditemukan tanpa pakaian. Karet pengaman yang terpasang di kemaluan korban menyisakan kasak-kusuk di antara petugas forensik. Mereka memperkirakan bahwa sebelum tewas sang korban bersiap untuk melakukan hubungan intim dengan seseorang – yang hingga saat ini belum diketahui identitasnya. Genangan darah merembes pada sarung bantal dan seprai di bawah mayat yang, walaupun dengan lubang besar pada bagian kepala, tetap utuh tanpa adanya upaya pemotongan bagian tubuh tertentu. Venecca tidak mengerti betul mengenai macam-macam senjata, tapi ia hampir yakin sang pelaku menembak korban dari jarak dekat. Serpihan-serpihan otak menempel di kepala tempat tidur. Benar-benar bikin bulu kuduk merinding, umpatnya tanpa suara.

"Pelakunya ndak mungkin perempuan."

Venecca mendelik. Arjuna, polisi senior yang sama-sama ditugaskan untuk menangani kasus tersebut, memandang tanpa ekspresi. Pertama kali melihatnya, Venecca baru mendarat di Yogyakarta kurang dari delapan jam. Hanya sepuluh menit perkenalan dan basa-basi, mereka langsung berkendara ke tempat kejadian perkara, sebuah café berlantai tiga di jantung Kota Yogyakarta. Venecca naik lebih dulu ke lantai dua tempat jenasah sang pengusaha ditemukan. Seakan tertahan sesuatu, Arjuna berlama-lama di lantai dasar sambil berbincang dengan beberapa orang yang tidak dikenalnya.

Sekarang, laki-laki itu berdiri di sampingnya – dengan rokok tanpa bara terselip di sudut bibir dan sebelah tangan tersembunyi pada saku celana.

"Mengapa Bapak menduga pelakunya laki-laki?" tanya Venecca.

"Tanda yang ditinggalkan terlalu mencolok," kata Arjuna. "Dengan memasangkan karet pengaman, kita semua akan berpikir kalau pelakunya perempuan. Dengan begitu, penyelidikan hanya akan berpusat pada beberapa orang saja. Padahal aku yakin pelakunya laki-laki."

"Hmm..., perkiraan waktu meninggal?"

"Menurut Dokter Abdullah, sebelas jam yang lalu. Artinya...," Arjuna melirik jam tangannya – berhitung. "Sekitar pukul sepuluh malam."

"Café tutup sejak jam sembilan."

Arjuna membenarkan. "Kau sudah menanyai orang-orang?"

Venecca menggeleng.

"Darimana kau tahu café tutup jam sembilan?"

"Jadwal buka dan tutup tergantung di pintu masuk." Dahi Venecca berkerut, heran sendiri dengan pertanyaan Arjuna yang tiba-tiba penuh selidik. Bukankah bagus kalau ia menjadi bawahan yang cerdas dan kritis? Mengapa Arjuna sepertinya malah tak suka?

"Yah..., sebagai polisi baru kamu harus pintar membawa diri. Jangan berlagak! Ndak boleh lancang. Urusan pembunuhan Ferdinand ini adalah tanggung jawabku. Kamu hanya boleh menanyai saksi, sesuai dengan perintah yang kuberikan. Mengerti ndak?"

Venecca keberatan tapi toh mengangguk juga.

"Semua pelayan sudah kuperiksa," kata Arjuna lagi - pongah. "Kemarin mereka sudah pulang sejak pukul sembilan. Hanya tersisa dua orang satpam; itu pun berjaga di luar."

"Ada rekaman CCTV?" tanya Venecca.

Ujung bibir Arjuna membentuk lengkungan tipis – makin sombong. "Salah seorang anak buahku sedang memeriksanya."

"Berapa lama kita akan dapat hasilnya?"

"Hmm..., semoga ndak akan lama," kata Arjuna. "Sementara menungu, kita temui Dokter Abdullah dulu."

Venecca mengikuti langkah Arjuna yang mendekati salah seorang petugas forensik sebelum mendengarnya bertanya, "Apa yang bisa Anda simpulkan, Dokter?"

Dokter Abdullah bertubuh kecil, hampir ringkih. Rambut kelabu pria itu menunjukkan usianya yang sudah melampaui setengah abad. Meski demikian, dari balik kacamata silindrisnya, Dokter Abdullah masih awas dalam menganalisis sesuatu.

Sebelum menjawab pertanyaan Arjuna, dokter patologi itu memperbaiki letak kacamata yang terpasang di wajahnya yang tirus dan berkata, "Ada dua kemungkinan. Kedua-duanya akibat luka di kepala."

"Maksud dokter?"

"Selain luka tembak yang menghancurkan isi otaknya, pada bagian kepala belakang juga ditemukan luka akibat pukulan benda tumpul."

Arjuna mengernyit kasihan. "Mana yang lebih dulu?"

"Saya belum tahu," ujar sang dokter. "Tapi kemungkinan besar korban dipukul sebelum ditembak. Untuk apa memukul kepala yang sudah terburai?"

Arjuna tak menyahut. Masalah ini dijamin bakal heboh. Sang korban, Ferdinand Adipraja, terkenal sebagai pengusaha sukses yang menguasai hampir delapan puluh persen bisnis properti di Yogyakarta. Beliau juga terkenal handal dalam usaha kuliner. Puluhan rumah makan maupun café meraup ratusan juta rupiah setiap bulan. Salah satunya adalah Gong Café – tempat di mana racikan espresso selalu ditunggu pengunjung, sekaligus lokasi di mana pemiliknya ditemukan tewas mengenaskan. Maka tak heran jika sekarang pun wartawan dari beragam media sudah memadati halaman café dan menunggu berita.

"Saya berharap Dokter ndak terlalu cepat memberikan penjelasan," Arjuna mengingatkan.

"Pada siapa? Pada nyamuk-nyamuk itu?" Sang dokter mendengus sinis. "Kau paling tahu kalau aku membenci wartawan. Keingintahuan mereka betul-betul mengganggu. Ada terlalu banyak pertanyaan untuk jawaban yang sama. Menyebalkan!"

Arjuna tersenyum, menenangkan dokter senior itu dengan menepuk punggungnya.

"Siapa dia? Aku belum pernah melihatnya."

Venecca mengerjap, sadar dia harus memperkenalkan diri. "Saya Venecca Limanjaya." Ia menjabat tangan Dokter Abdullah dengan ramah, sebisa mungkin menemukan sekutu di daerah baru.

"Baru lulus akademi kepolisian," Arjuna menyambung. "Langsung ditempatkan di bagian pembunuhan mendampingiku."

"Ndak menyangka kalau gadis semuda dan semanis Anda haus darah," Dokter Abdullah berujar ketus.

Venecca bungkam. Senyum yang tadi bertengger, hapus begitu saja. Bukan kali pertama orang-orang meremehkan perawakannya yang tak biasa sebagai polisi. Rambut Venecca hitam legam, tampak kontras dengan kulit wajah yang putih bak mutiara. Tidak ada eye shadow berlebih yang menghiasi mata bulat wanita tersebut. Juga tidak tampak blush on norak yang biasa mewarnai pipi. Lekuk bibir yang sempurna, berpadu padan dengan posturnya yang padat dan ramping, seringkali mengundang cemooh dibandingkan pujian dari sesama rekan aparat. Mereka membencinya bukan karena ia cantik, tapi meragukan kemampuannya. Mereka takut Venecca hanya akan menghambat pekerjaan mereka yang sudah menumpuk. Seperti Dokter Abdullah saat ini, ketika mengamatinya dengan sinis. Ia benci tatapan itu!

"Kupikir kau harus pensiun, Jun," kata Dokter Abdullah kemudian.

"Dari kepolisian?" Arjuna menampik. "Aku masih terlalu muda."

"Bukan! Maksudku, dari konferensi pers setiap kasus yang kautangani." Dokter Abdullah tertawa samar. "Biarkan nona cantik ini yang melakukannya. Kurasa wajahnya sangat cocok dengan kamera."

Arjuna ikut menilik wajah Venecca, membuat sang gadis merah padam karena malu bercampur marah.

"Kau benar," kata Arjuna. "Pipinya yang merah bisa sangat menggemaskan."

"Jangan lupa bibirnya."

"Hmm..."

"Saya mohon hentikan!" Venecca angkat suara. "Jangan membandingkan penampilan dengan kemampuan saya! Saya mendapat pelatihan yang sama dengan semua polisi di ruangan ini. Saya berkompeten, sama seperti Anda juga!"

"Kau ndak takut dengan para pembunuh? Ndak ngeri melihat darah?" Dokter Abdullah menggoda jahil.

"Tugas saya adalah memastikan semua orang yang melanggar hukum, mendapat sanksi yang sepadan." ujar Venecca.

"Dengan wajah cantikmu?"

"Saya terlatih sebagai polisi. Saya mampu."

"Kau terlalu lembek."

"Tidak saat bertugas."

Dokter Abdullah bergeming. Ia memandang Venecca lekat-lekat, mengukur dan menilai.

Arjuna menunggu sebelum akhirnya melerai. "Cukup perkenalannya! Kapan Anda akan membawa benda ini pergi, Dok?"

Perhatian Abdullah kembali terarah pada jasad yang tergeletak. "Sekarang juga," ia menyahut. "Kurasa pemeriksaan di TKP sudah cukup. Selanjutnya akan kulakukan di rumah."

Arjuna, membayangkan ruang bedah mayat yang dimaksud Dokter Abdullah sebagai 'rumah', tersenyum miris. Setidaknya ada seseorang yang mencintai pekerjaannya, pikir Arjuna.

"Begitu selesai mengotopsi, aku akan mengirimkan laporannya padamu," kata sang dokter. "Ingat! Jangan merecoki aku dengan telepon ataupun datang ke laboratorium! Kalau aku belum menghubungi, itu artinya penyelidikanku belum selesai."

"Aku mengerti," Arjuna mengangguk patuh.

"Andi!" Dokter paruh baya itu meneriakkan sebuah nama.

Kira-kira berjarak dua meter dari tempat mereka berdiri, seorang dokter muda menoleh. Usia pemuda itu kira-kira tiga puluh tahun. Mungkin ia baru meninggalkan bangku kuliahnya satu atau dua tahun yang lalu. Mengambil spesialis patologi, tentu saja. Kacamata tebal menggambarkan sikapnya yang kikuk namun teliti. Dengan langkah terseok ia mendekati Dokter Abdullah.

"Cepat sedikit!" bentak sang dokter senior. "Seharusnya kau berolahraga! Otot-otot tubuhmu seperti marshmallow."

Andi, berusaha tampil lebih gesit, hampir tersungkur karena tali sepatunya sendiri.

Dokter Abdullah menertawakan. Arjuna menggelengkan kepala. Venecca memandang tanpa berkedip, merasa iba.

"Bereskan semuanya!" perintah Dokter Abdullah. "Kita kembali ke rumah sakit."

"Kami akan memeriksa tempat lain," ujar Arjuna – ditanggapi acuh oleh si dokter.

Arjuna dan Venecca pun menyingkir. Mereka berjalan ke arah kamar mandi untuk melihat adakah tanda mencurigakan lain.

"Hii..., orang kaya tapi jorok sekali!" Venecca menutup hidungnya.

"Kenapa?" Arjuna ikut melongok. Tak sampai lima detik ia melengos.

"Seharusnya tim forensik sudah mengambilnya sebagai sampel, kan?" tanya Venecca sambil menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.

"Entahlah," jawab Arjuna acuh. "Yang jelas aku jijik melihat tinja berserakan seperti itu. Masih lebih baik melihat darah ketimbang taik."

Venecca berpikir sejenak, kemudian berbalik, dan masuk ke kamar mandi.

"Perempuan gila!" umpat Arjuna.

Venecca keluar beberapa menit setelahnya, menggenggam sebuah benda berlapis tisu. "Akan kuserahkan pada tim forensik," katanya.

"Untuk apa?" Arjuna bertanya.

Venecca mengangkat bahu. "Kupikir akan berguna."

"Buang atau bawa, terserah padamu. Tapi sebelum itu, bantu aku menyelesaikan ini!"

"Tapi..."

"Periksa nakas di samping tempat tidur!"

Venecca merengut. Dengan enggan dimasukkannya bungkusan tisu tadi ke dalam tas, berharap isinya tidak bocor dan mengotori seluruh isi tas.

"Apakah korban menderita penyakit tertentu?" Venecca memperlihatkan sebuah botol obat yang ditemukannya di dalam nakas. "Ada banyak yang seperti itu."

"Ndak ada keterangan apa-apa," Arjuna bergumam. "Tapi aku hampir yakin ini adalah obat herbal untuk penyakit jantung. Kudengar jantung Pak Ferdinand memang agak lemah."

"Perlu dijadikan barang bukti?"

"Untuk apa? Botol itu kosong. Kau ini senang mengumpulkan barang yang nggak berguna, ya? Merepotkan saja!"

Arjuna berlalu. Selama beberapa saat Venecca masih bergeming di tempatnya. Ia memeriksa botol lain yang serupa. Semua kosong. Tanpa label pula. Venecca mendengus dan ikut berlalu.

Beberapa menit sesudahnya dilalui mereka dalam diam. Masing-masing mengamati setiap sudut, mencari bukti tertinggal. Bubuk hitam tipis bertebaran di mana-mana. Beberapa barang sudah dimasukkan ke dalam plastik dan dilabeli.

"Sepertinya tidak ada upaya perampokan," akhirnya Venecca berpendapat.

"Oh, ya?" Kedua alis Arjuna terangkat, menyiratkan pertanyaan.

"Brankas milik korban tidak terbuka," kata Venecca, menunjuk pada sebuah kotak besi yang tersimpan di dalam lemari pakaian.

"Kecuali kalau sang pelaku mengetahui nomor kombinasinya," sanggah Arjuna.

"Berarti orang dekat," Venecca berspekulasi, "Istri, barangkali?"

Kedua rahang Arjuna mengeras. Bisu sesaat. "Ndak mungkin," ujarnya parau.

"Mengapa?" Venecca ingin tahu.

Arjuna tak sempat menyahut. Seorang petugas lain menghampiri sambil membawa laptop.

"Hasil rekaman CCTV?" Arjuna bertanya. Tampak lega.

Sang petugas ber-laptop mengangguk.

"Dia bernama Sadiyo," Arjuna memperkenalkan sambil lalu. "Apa yang kautemukan?"

"Ada seseorang yang datang," sahut Sadiyo sembari tersenyum pada Venecca. "Sekitar pukul setengah sepuluh."

"Wanita?" tanya Venecca bersemangat.

"Pria. Heru Ariandi Salim."

"Siapa?" tanya Arjuna.

"Heru Ariandi Salim?" Venecca menampik. "Artis itu sempat terkenal tiga atau empat tahun lalu karena memenangkan piala Citra sebagai pemeran pendukung pria terbaik. Hanya saja sesudahnya, dia nggak pernah main film lagi. Apa hubungan Heru dengan korban?"

Pandangan bagaimana-kamu-bisa-tahu Arjuna ditanggapi senyum manis oleh Venecca.

"Tukang gosip!" sergah Arjuna kemudian.

"Berwawasan," balas Venecca – berbalik jengkel dan ketus. "Malam-malam begitu, apa yang dilakukannya di Gong Café?"

Sadiyo mengangkat bahu. "Heru langsung menaiki lantai dua. Sayangnya ndak ada CCTV di café di lantai bawah. Kamera di lantai dua juga tanpa kaset rekaman. Fungsinya hanya sekedar pajangan."

"Kalau begitu kita harus menanyai Heru," kata Arjuna.

"Kupikir harus secepatnya," Sadiyo mengusulkan. "Ini adalah rekaman CCTV yang lain." Lelaki itu menunjukkan file yang dimaksud. "Terekam dua hari sebelum korban ditemukan tewas."

Arjuna dan Venecca menjulurkan kepalanya, berusaha mengamati lebih dekat.

"Ada perkelahian," kata Venecca.

"Benar sekali," Sadiyo mengiyakan. "Laki-laki ini adalah Ferdinand Adipraja. Dan pria yang membelakangi kamera adalah ..."

"Heru," Arjuna mendesis.

"Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Venecca. "Kita tidak bisa melihat wajahnya."

"Benar. Tapi pantulannya terlihat pada cermin di belakang etalase. Perhatikan!"

Perlu waktu beberapa detik bagi Venecca untuk menelaah tayangan buram tersebut agar menemukan apa yang dilihat Sadiyo dan Arjuna.

"Sadiyo tidak mungkin salah," Arjuna berusaha meyakinkan Venecca. "Dia jenius. Seperti dokter bedah forensik, khusus rekaman CCTV. Lagipula kita bisa memperkuat dugaannya dengan menanyai para saksi mata."

Cukup adil, pikir Venecca. Aku lebih percaya keterangan saksi mata.

Arjuna beralih pada Sadiyo sebelum berkata, "Persiapkan penangkapan Heru! Secepatnya."

"Bagaimana dengan istri korban?" Venecca menyela. "Haruskah kita menanyai beliau?"

"Nyonya Ferdinand terekam dalam CCTV juga," Sadiyo menyela. Matanya berkilat jahil. Penuh rahasia.

Arjuna berubah gusar. "Apa maksudmu?"

"Sekitar pukul delapan malam Ibu Sri Wedari memasuki Gong Café lewat pintu belakang. Biar kucari dulu bukti rekamannya."

"Ndak perlu!" Arjuna menghentikan Sadiyo.

"Biar kulihat!" Venecca menanggapi sebaliknya.

Sang polisi senior menatap tajam Venecca sebelum berkata, "Perkiraan kematian korban terjadi pukul sepuluh. Berarti Sr.., ehm..., Ibu Sri Wedari ndak mungkin pelakunya."

Venecca menanggapi sikap canggung Arjuna penuh selidik. "Tapi nggak ada salahnya kita mengumpulkan informasi dari beliau."

"Ndak perlu hari ini," Arjuna menyanggah. "Dia pasti sedang sangat sedih sekarang."

"Tapi bukankah – ?"

"Janda Ferdinand hanya akan ditanyai sebagai saksi!" Arjuna menampik keras. "Di waktu yang sudah kutentukan!"

Venecca mengerjap. Bola matanya yang besar menuntut jawaban.

Arjuna tak menggubris. Ia berlalu begitu saja.

Sadiyo di belakangnya. Tersenyum dengan janggal..

Seguir leyendo

También te gustarán

21K 3.1K 31
جۆنگ کوک:بە نەفرەت بیت وازم لێ بێنە چیت لە من دەوێت تایهیۆنگ:ششـ ئازیزم بۆچی هاوار دەکەی ئارام بە بۆ باروودۆخت خراپە ༄༄༄༄༄༄༄ جۆنگ کوک:تـ تۆ چیت کرد ت...
146K 30.5K 98
Title - Dangerous Personality Author - Mu Gua Huang MC- Xie Lin x Chi Qing Chapter 161 + 2 extras ထူးဆန်းသည့် ပြန်ပေးဆွဲမှုတစ်ခုအပြီးတွင် ချီချင်းတစ်...
15.8K 622 30
MAFIA STEP - SISTER OF BANGPINK
6.1K 361 15
"he was her dark fairytale,and she was his twisted fantasy" 〜⁠(⁠꒪⁠꒳⁠꒪⁠)⁠〜 This is psychopathic Romance novel which is mix of office rom-com+marriage...