So I Love My Ex

Von aristav

4M 395K 17.7K

Series Campus 2 Bersahabat dengan mantannya mantan pacar? Why not? Berada dalam satu organisasi dengan mant... Mehr

Ex Circle
Si Cungkring
Dia Bukan Lagi Cungkring
Ketua Departemen Infokom
Aku, Kamu, Mantan Kita
Nano-Nano
Aku Masa Lalumu?
Jungkir Balik Hati Aluna(1)
Jungkir Balik Hati Aluna(2)
Another Side of Aluna
Siapa Pemberi Surat Tanpa Tuan Itu?
Pengabdian Masyarakat
Home is in Your Eyes
Dating?
Calon Mantu Tante Keya
Crazy
Maybe Tomorrow
Sekotak Susu dan Terbongkarnya Rahasia
Alunanya Zello
Cerita di Surabaya
Tertolak
Kesempatan
Honest
Kali Kedua
Hug
Believe Me
Berpisah Sementara
Berjalannya Waktu
Pada Waktu yang Tepat
Waiting for Yesterday
So I Love My Ex Tersedia di Toko Buku

Isn't Goodbye

86K 10.8K 702
Von aristav

           

Tidak ada yang abadi, termasuk kita. Perpisahan bukanlah akhir, mungkin saja ia hanya sekat tipis yang akan hancur saat semesta menghendaki kita kembali lagi.

"Bang, lo itu ngapain dari tadi bolak-balik ngecek HP? Sampe nggak konsen lihat pertandingan," kata Arsyad saat ia melihat Zello sedang gusar.

"Nggak."

Arsyad mendengus, ia paham sekarang, Zello pasti rindu dengan pacarnya. Laki-laki itu mengambil ponsel Zello, membuka lock di layar ponselnya—Zello tidak pernah memakai sandi di ponselnya—lalu mencari kontak ponsel milik Aluna.

"Lo mau apa? balikin ponsel gue!"

Arsyad terkekeh geli, ia masih sibuk mencari kontak Aluna di sana.

"My Luna, haha?" goda Arsyad saat melihat kontak nama Aluna di ponsel Zello.

"Sialan. Sini balikin!"

Arsyad memberi isyarat Zello untuk diam, sementara ia masih melancarkan aksinya mengobrak-abrik ponsel Zello.

"Kalau cuma lo chat lewat LINE, dia bakal tetep diem. Makanya, peka sama cewek, ini telepon. Udah gue sambungin," ucap Arsyad, sambil menyerahkan ponsel itu pada Zello. Ia sibuk lagi menonton pertandingan La Liga, Barcelona vs Malaga yang ditayangkan malam hari.

"Lo gila? Ini udah malam."

"Halah udahlah, itu udah diangkat."

Zello melotot, ia beranjak meninggalkan Arsyad yang sibuk menatap layar televisi di depannya. Laki-laki itu berjalan ke arah teras, ia buka pintu rumahnya dan duduk di atas kursi rotan yang ada di teras rumah. Udara malam langsung menyambutnya saat ia memutuskan duduk di sana.

"Kenapa, Zell?"

Dahi Zello mengerut saat ia mendengar nada suara Aluna yang serak, ditambah ini sudah terlalu malam untuk Aluna yang masih terjaga.

"Aku ganggu tidurmu ya?"

"Nggak, kok. Belum tidur."

"Kenapa belum tidur?"

"Hah, nggak papa. Emang belum tidur aja. Kamu sendiri?"

"Lagi nonton bola sama Arsyad."

"Oh, udah dulu ya. Aku ngantuk."

Tutt...tuttt..

Sambungan telepon diputus Aluna begitu saja, membuat Zello heran. Ia menghela napasnya, tak bisa menebak Aluna dan segala perubahan mood gadis itu. Aluna kadang menjadi gadis yang mudah ditebak, namun lebih sering ia menjadi sosok misterius yang menyembunyikan banyak hal dari Zello.

Zello beranjak dari teras. Ia kembali ke dalam rumah dan menghabiskan sisa pertandingan yang sudah masuk babak kedua itu. Tapi, ia memang tidak bisa terlihat baik-baik saja, manakala rindu datang tanpa aba-aba dan menyiksanya tanpa iba.

***

Aluna tertegun memandangi ponselnya, beberapa hari ini ia memang tidak sempat menghubungi Zello. Sibuk mengurus maminya membuatnya lupa banyak hal. Keadaan sang mami setiap hari semakin parah. Sejak kedatangannya ke Surabaya, lagi-lagi ia dikagetkan fakta tentang maminya. Menerima fakta bahwa sang mami mengidap tumor payudara bukanlah hal mudah baginya, terlebih maminya telah menyembunyikan hal itu sekian tahun lamanya, membuat Aluna merasa seperti anak tidak berguna, karena tidak ada disaat maminya butuh. Dan, alasan penyakit lambung yang dulu pernah diutarakan maminya, adalah alibi sang mami untuk menyembunyikan penyakit sebenarnya. Ia ingat percakapan mereka beberapa hari lalu, saat pertama kali Aluna mengetahui hal sebenarnya dari Fandy.

"Om mau ngomong sama kamu, tapi kamu yang tenang ya?" kata Fandy waktu itu. Aluna menatapnya heran.

"Kenapa, Om?"

"Mamimu sakit."

"Sakit lamb—" ucapannya dipotong oleh Fandy.

"Tumor payudara, tumor ganas, mamimu nggak mau dioperasi. Katanya takut."

Tubuh Aluna mendadak kaku, ia melihat Fandy tak percaya, mereka ada di depan ruang inap maminya, sejenak setelah Rajendra menjemputnya di bandara, sepupunya itu membawa dirinya ke rumah sakit, menjelaskan kalau Alisa sedang sakit.

"Om nggak usah becanda!"

"Om nggak akan bercanda untuk alasan sepenting ini, Aluna."

"Ta—tapi bagaimana bisa, Om?"

"Genetik, nenek buyutmu dulu punya riwayat penyakit ini. Sebenarnya mamimu pernah operasi tumor payudara jinak sewaktu remaja, dan memang potensi menjadi ganas akan ada beberapa tahun setelahnya, sampai akhirnya mamimu didiagnosis menderita tumor payudara ganas. Selain keadaan fisik, semua jenis penyakit akan berkembang dengan cepat kalau keadaan psikisnya juga buruk, Al."

Lidah Aluna mendadak kelu, tubuhnya terguncang karena tangisan, ia menutup wajahnya yang mendadak memerah karena tangis, Om Fandy memeluknya, menyalurkan kasih sayang seorang ayah yang memang jarang didapat oleh Aluna. Siapa pun yang melihatnya saat ini pasti paham, kesedihan macam apa yang tengah dirasakan oleh gadis itu.

Aluna mengeyahkan ingatannya tadi, ia melihat jam di ponselnya. Pukul satu dini hari, ia masih terjaga, maminya baru saja tidur dua jam yang lalu, menyisakan dirinya yang masih sibuk dengan segala kecamuk di kepala. Ruang inap maminya ini menjadi tempatnya tidur beberapa hari ini, ia tak peduli walau harus tidur di atas kasur lantai yang dibawakan Om Fandy dari rumah, atau berteman dengan bau obat-obatan yang setiap hari mengganggunya, kesehatan mami jauh lebih penting.

Menghela napasnya, Aluna memutuskan untuk keluar dari kamar maminya. Ada Rajendra yang duduk di atas bangku, tepat di depan ruang inap maminya, Rajendra memang menemaninya menjaga mami malam ini, namun laki-laki itu tadi pamit ingin ke kantin untuk membeli kopi. Sejujurnya, Aluna merasa sungkan jika haru terus-terusan merepotkan keluarga omnya.

"Mbak Aluna nggak tidur?"

Aluna menggeleng, ia melipat kedua tangannya di depan dada. Memejamkan matanya sejenak.

"Sepertinya Tuhan terlalu sayang sama mami, ya Ndra? Sampai ngasih mami cobaan kayak gini?"

"Mbak..."

"Aku seperti anak nggak berguna, nggak tahu apa-apa tentang mami, kamu kenapa nggak ngasih tahu sih, Ndra? Kalau mami sakit parah kayak gini?"

Aluna membuka matanya, ia lihat wajah Rajendra yang sudah diliputi perasaan bersalah.

"Tante nggak mau Mbak tahu dan bikin mbak kepikiran, mbak harus fokus kuliah di sana."

Aluna mendengus, pandangan matanya menerawang. Rajendra yang ada di sebelahnya tak berucap apa-apa lagi, sepupunya itu tahu, Aluna butuh ketenangan.

"Aku udah mutusin..."

Aluna tak melanjutkan kalimatnya, ia lihat Rajendra yang menunggu ucapannya.

"Aku udah mutusin buat pindah kuliah."

"Mbakk!"

"Aku akan pindah kuliah di Surabaya, Ndra. Kamu tahu? Mami itu satu-satunya yang paling penting buatku, apa pun akan kuturkankan untuk hidup mami, aku masih bisa kuliah di sini. Aku bisa kehilangan apa pun, apa pun selain mami."

"Tante Alisa nggak akan setuju Mbak!"

"Bayangkan kamu ada di posisiku, Ndra. Keluargaku udah berantakan sejak aku kecil, aku udah sering lihat mami nangis. Nggak ada yang tahu seberapa lama lagi aku bisa bersama mami, selagi masih ada waktu, aku pengin berbakti sama mami."

Rajendra mengusap wajahnya, ia pandang Aluna lama. Ucapan Aluna memang ada benarnya, dan mungkin kalau ia berada di posisi Aluna, Rajendra bisa saja melakukan hal yang serupa.

"Kalau itu keputusan Mbak Aluna, besok aku akan bilang sama papa, biar papa yang bantu mengurus kepindahan Mbak ke sini."

"Makasih, Ndra."

Rajendra mengangguk, mereka masih diam sampai malam beranjak pagi, menyisakan Rajendra dan Aluna yang hanya diam dengan pikiran masing-masing.

***

Zello menyandarkan tubuhnya di atas kursi yang ada di bilik kerjanya. Laki-laki itu menghela napasnya, menatap beberapa tumpukkan novel yang tertata di mejanya. Aluna belum memberinya kabar juga semenjak dua hari lalu ia menelepon gadis itu. pekerjaannya jadi sedikit terlambat karena fokus pikirannya terbagi, membuatnya sering mendapat marah dari Andira karena tidak mampu menyelesaikan deadline yang diberikan.

"Kalau kamu masih kayak gitu, lama-lama kualitas buku yang kamu pegang bakal kacau," kata Andira menatap jengah sepupunya, ia berdiri di tenga pintu yang ada di bilik kerja Zello.

"Maaf."

"Maaf terus, kerja professional nggak butuh maaf ya. Udah sana ke loby, ada yang mau ketemu tuh," ucap Andira, sebelah alis milik terangkat, ia tatap Andira dengan tatapan bingung.

"Udah sana, ntar juga tahu siapa," kata Andira lalu meninggalkan Zello untuk kembali ke ruangannya.

Zello meletakkan kembali naskah yang tadi ia pegang, merapikan kemejanya sebelum berdiri menuju lobi untuk menemui seseorang yang katanya ingin bertemu dengannya. Laki-laki itu berjalan dengan badan tegap, matanya menangkap sesosok gadis yang sudah lama dikenalinya. Gadis yang sejak tadi ada di kepalanya dan menjadi buah pikir yang menyebabkan pekerjaannya kacau.

"Aluna?"

Zello hampir tak memercayai apa yang dilihatnya. Di depannya, Aluna sedang tersenyum, ia kelihatan baik-baik saja meski kantung matanya menghitam.

"Kamu udah balik?"

"Ya. Aku udah minta izin Mbak Andira, mau ajak kamu keluar. Ayo."

"Hah?"

Aluna sudah menyeretnya keluar dari gedung tempat ia bekerja, menghiraukan Zello yang dilanda perasaan bingung dengan sikap Aluna hari ini. Tiba-tiba datang dan mengajaknya pergi enta kemana, menaiki motor matic gadis itu yang sudah lama tidak Zello lihat.

***

Zello masih tidak paham ada apa dengan Aluna hari ini. Gadis itu memintanya untuk menyetir motor miliknya ke arah pantai, menghabiskan sore hari mereka di Pantai Ancol yang sebenarnya cukup ramai dengan beberapa pengunjung. Aluna telihat biasa-biasa saja, ia malah terkesan menikmati waktunya di sini.

Sampai malam tiba, setelah salat maghrib di masjid terdekat, Aluna masih betah berada di pantai. Angin malam menyambut keduanya, menerbangkan helaian rambut Aluna. Ia masih tak mau mengatakan alasannya mengajak dirinya ke pantai, selain obrolan ringan yang sejak tadi dimulai oleh Aluna.

Kedua anak manusia itu menyandarkan lengan mereka di pagar pembatas jembatan, menikmati debur ombak yang terdengar saling melempari bibir pantai. Aluna tersenyum tipis, sedetik kemudian, senyum itu lenyap dari kedua sudut bibirnya, ia melihat Zello lama.

"Nggak ada yang selamanya di dunia ini, kamu tahu kan?" kata Aluna, membuat Zello heran.

"Memang, lalu?"

"Kayak aku sama kamu, nggak bisa selamanya."

"Maksudmu?"

Aluna menarik napasnya, tangannya mendadak dingin. Ia takut melihat ke arah Zello, takut tak bisa melepaskan Zello saat ini.

"Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di Surabaya. Aku mau pindah kampus, aku mau ninggalin Jakarta."

"Apa?"

Tubuh Zello mendadak kaku, ia tidak paham dengan maksud Aluna, apa yang hendak disampaikan gadis itu. rasanya, ia tak lagi ingin mendengar apa-apa dari Aluna.

"Aku mau kita udahan. Aku bukannya nggak percaya sama kamu, tapi aku tahu komunikasi kita bakalan sulit nantinya, dengan segala pikiran negatifku, aku tahu kita nggak akan berhasil buat saat ini, Zell."

"Aluna!"

Zello nyaris berteriak, ia tak paham dengan pemikiran Aluna yang ingin mengakhiri hubungan mereka disaat mereka baru kembali bersama dan disaat Zello sangat menyayangi gadis itu. Ia guncang bahu Aluna dengan sedikit kencang, beruntung tempat mereka lumayan jauh dari pengunjung lain, jadi perdebatan itu hanya bisa didengar oleh mereka sendiri.

"Mamaku sakit, aku mau fokus rawat mama, aku juga mau fokus sama kesembuhan jiwaku. Zell, kita cuma ada di waktu yang nggak tepat. Suatu saat biarin aku yang ngejar kamu, kalau kita ketemu lagi di waktu yang bener-bener pas buat sama-sama."

"Kamu nggak bisa meninggalkanku Aluna. Jangan lagi."

"Aku pasti kembali Zell, tapi sekarang, aku mau kita sendiri-sendiri. Tolong, ngertiin aku."

Zello melepas cengkramannya di bahu Aluna, laki-laki itu menundukkan kepalanya, semua suara seakan pudar, tangisan Aluna seperti nada yang menulikannya. Debur ombak seperti suara yang membuatnya turut terguncang. Perpisahan mereka yang kedua ini terasa lebih menyakitkan, membuat napasnya nyaris hilang. Ia tak habis pikir dengan Aluna, terlebih dengan situasi yang mereka alami saat ini.

"Maafin aku, Zell."

Aluna memeluk tubuh Zello, bohong jika ia baik-baik saja. Ia sama hancurnya dengan Zello, mereka hancur bersama-sama. Namun pilihan tetaplah harus dipilih, dan perpisahannya dengan Zello kali ini adalah pilihan terbaik yang sudah ia pikirkan semenjak tahu maminya sakit setelah pulang ke Surabaya. Ia menyayangi Zello, namun mami jauh lebih berarti baginya.

Zello melepas pelukan gadis itu, ia seka air mata Aluna dengan jari telanjangnya. Laki-laki itu menatap Aluna dengan mata yang memerah, tak mengucapkan apa-apa, ia dekatkan wajahnya ke arah Aluna, menyapukan bibirnya di bibir milik Aluna, hanya kecupan ringan yang diiringi lumatan kecil, yang menyalurkan kekecewaan, luka dan segala rasa di hatinya untuk Aluna, membuat gadis itu mematung dalam keterdiamnnya. Ciuman pertama mereka sekaligus ciuman perpisahan yang menggoreskan banyak kenangan dalam diri Aluna.

"Aku tunggu kamu kembali," ucap Zello setelah melepas tautan bibir mereka. Ia memeluk Aluna dengan erat, sekali lagi, sebelum semesta memisahkan. Karena, memang tak akan benar-benar ada akhir yang membahagiakan dalam sebuah hubungan, perpisahan akan selalu mengiringi di balik setiap hubungan yang terbina.

"Ayo pulang," kata Zello, ia menggenggam tangan Aluna erat, sekali lagi, terakhir kali sebelum hilang, lenyap dan tak sisakan bekas.

THE END(?)

Wkwk kagak kok kagak -..- aku malu bikin adegan terakhir itu, astagaaaa jangan dicontoh ya dedek dedek gemes, dihalalin dulu aja dah. Apakah ini akan happy ending atau sad ending? Makanya komen yang banyak biar cepet lanjutinnya, oke.

Kutunggu komen kalian.

IG SQUAD: Aristavee, arzello.prakarsa, aluna_dewi ;)

G<o"

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

4.2M 474K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
2.7M 275K 53
🌻🌻🌻 Menyebalkan adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah ditipu oleh mantan kekasihnya sendiri. Dinara patah hati, harga dirinya dilucuti. P...
2.9M 116K 33
[Spin-off Adeeva dan Arga] [Bisa dibaca terpisah] Terbangun di kamar asing adalah suatu hal yang sangat mengejutkan bagi Jihan. Terlebih saat Bima Pr...
33.3K 5.4K 37
Pada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di...