Putih Biru

By aryalawamanuaba

4K 201 13

Delapan besar novel pilihan International Novel Writing Contest yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan... More

Persembahan
Sepeda Alien Itu Rusak Lagi
Si Abang
Perjanjian Mie Gandum
Mawar Putih
Jangan Lewat Kepuh Agung
Jangan Lewat Kepuh Agung (2)
Bapak
Pencuri Jantung

Lagi-lagi Sujana

247 25 0
By aryalawamanuaba

Tiga bocah SMP kelas delapan itu telah menghabiskan setidaknya seperempat waktu belajar mereka dengan tertawa terkial-kial. Segera setelah mereka masuk ke dalam balai, berkelit dari terpaan napas malam yang dingin, konferensi langsung dimulai. Komang Adi memulai presentasi game ponsel yang baru saja diunduhnya dan mengisahkan bagaimana dia mematuk-matukkan jemarinya untuk menembak mati musuh. Putu Yasa lain lagi. Anak bertubuh gempal itu telah menghabiskan hampir semangkuk besar kue kelepon hijau buatan ibu Made sejak dia dijamu. Segera setelah Putu Yasa memasukkan dua butir kelepon hangat ke dalam mulutnya, bagai memasukkan koin ke dalam mainan time zone, dia mulai memenuhi rumah itu dengan celoteh mondar-mandir ala anak SMP,—dari masalah pelajaran, perangai guru-guru, teman yang aneh, hingga pacaran. Semakin banyak kelepon yang masuk ke dalam mulutnya, semakin banyak kosa kata yang dia rapalkan. Di menit berikutnya, saat telinga Komang Adi sudah jemu, dia mengangkat mangkok itu dan menyeretnya menjauh. Itu berhasil menghentikan asupan bahan bakar ke mulut Putu Yasa.

"Bocah-bocah itu," Darsana menggerutu sambil mengaduk adonan kue di dapur. Dari tadi kupingnya risih dengan gemuruh cekikikan yang datang dari balai. "Ingin belajar atau tidak, sih, mereka!"

"Itu kalimat yang ibumu lontarkan sebelas tahun yang lalu," pangkas ibunya dengan tenang. Dia memeras daun-daun kayu sugih untuk mengambil warna hijau muda yang gurih. "Rupanya sekarang kamu mengerti mengapa Meme dulu mengatakannya."

Darsana tersipu. Umur yang terpaut sebelas tahun dengan adiknya mungkin cukup membuatnya lupa bahwa dia dulu tak jauh berbeda. Hanya anak SMP kurang waras yang akan tetap diam membatu ketika berkumpul bersama teman-teman akrab. Tak ada yang lebih menyenangkan selain membicarakan topik tak berujung-pangkal ditemani semangkuk besar kue atau kacang tanah rebus,—sambil duduk lesehan dikelilingi buku-buku sekolah dan alat-alat tulis.

"Kamu dan Witarsih apa tidak ngelantur juga kalau kalian bertemu?" pancing ibunya. Titik pikirannya tetap mantap pada aliran sari daun hijau yang tengah mengucur, melumuri gumpalan besar adonan tepung beras yang lembut dalam baskom.

"Meme ada-ada saja," Darsana mengelak. Tangannya lagas mengangkat periuk berisi air lalu diletakkannya di atas sebuah kompor. "Dia gadis pendiam. Saya tak pernah berdebat dengannya," seusai berkata demikian, dia mengintip celah kompor dan memutar pemantik api. Api biru menggelepar jinak, mendesis memanasi dasar periuk yang menghitam.

"Oh, jangan salah sangka," tukas ibunya. Dia melempar daun-daun yang sudah diperas ke tempat sampah jauh di seberang ruangan. Buntalan dedaunan yang telah habis hijaunya itu masuk tepat ke dalam tempat sampah. Wanita itu tersenyum puas melihat lemparan sempurna itu. "Walaupun pendiam, dia gadis yang pandai. Dia tak pernah bicara yang tidak penting. Dia bisa diandalkan dalam situasi gawat."

Darsana duduk di hadapan ibunya, menghadap adonan kue yang siap diubah wujudnya menjadi ratusan bulatan pipih. Itu bakal menjadi pekerjaan fisik yang menyenangkan.

"Apa Meme menyukainya?" dia bertanya.

"Maksudmu?" ibunya menciutkan alis. "Dia akan menjadi istrimu, Wayan; bukan pembantuku."

Muka Darsana mendadak korsleting. Dia memperbaiki kata-katanya, "Maksud saya,—apa Meme tidak keberatan?"

Ibunya geleng-geleng. Kepalanya terserap dalam keheranan. Itu pertanyaan ala hakim yang sedang memutuskan perkara dengan cara-cara mekanik yang hitam-putih. Pedagang kue semacam dirinya benar-benar tidak menyukai hal-hal hitam-putih yang strik.

"Asalkan dia bisa menjadi kawan sejati dalam hidupmu, maka dia juga bisa menjadi kawan baik bagi ibumu."

Tersenyum Darsana mendengarnya.

Ibunya sibuk lagi menyusun kue di dalam panci besar dengan uap yang mengepul.

"Saya mau lihat Made," itu sebuah permohonan izin dari Darsana, tetapi kalimat selanjutnya bernada sebuah peringatan halus. "Biar saya yang mencuci semua perabot itu nanti."

"Biarkan saja mereka menikmati kue kelepon itu," ibunya menahannya. "Pikiran adikmu sedang lelah. Biarkan dia bercanda dengan teman-temannya."

"Tapi besok dia seleksi, Meme," Darsana bersikeras.

"Seleksi apa?"

"Made tidak cerita?"

"Mana sempat anak itu cerita kepada Meme," jelas ibunya. "Dia hanya mengadu pada abangnya sejak dia baru bisa bicara."

"Keterlaluan dia," gumam Darsana. Lanjutnya, "Dia seleksi olimpiade matematika tingkat provinsi. Lombanya bulan depan."

"Oh, begitu rupanya," ibunya menanggapi datar, lalu tertawa kecil sambil menatap khusuk pada corak warna adonannya. "Seorang ibu kadang tidak peduli anaknya seorang raja atau buruh. Dia hanya berpikir bahwa itu adalah anaknya yang tersayang. Satu-satunya kebahagiaannya adalah melihat anaknya tumbuh di antara orang-orang berbudi."

Darsana manggut-manggut sambil menyungging senyum ringan yang memutus perbincangan filosofis itu. Walaupun tak seserius bayangan ibunya, paling tidak dia harus menyelidiki apa yang ketiga remaja itu tengah bicarakan. Hitung-hitung bernostalgia,—mengingat lagi saat-saat dia SMP belasan tahun lampau. Itu adalah masa-masa sederhana yang menyenangkan dan menantang.

Balai tak jauh jaraknya dari dapur. Darsana tidak langsung masuk. Dia menunggu di ambang pintu, mencari titik lokasi di mana anak-anak itu tidak akan menyadari bahwa dia sedang memasang telinga. Ketiga kurcaci yang dipimpin oleh adiknya itu tengah membicarakan sesuatu. Menurutnya tidak ada salahnya sesekali mendengarkan mereka berbicara apa adanya.

Ketiganya sedang duduk lesehan di lantai, beralas tikar pandan yang tebal, dan diterangi lampu yang putih dari atas. Suara Komang Adi adalah gelombang berfrekuensi paling nyaring di antara mereka bertiga.

"Kamu pasti sudah benar-benar siap dengan seleksi besok," Komang Adi menebak. Dia melahap sebutir kelepon dan menggilasnya dengan deretan giginya. "Kalau belum siap ya bukan Made Sanjaya namanya."

Made hanya menaikkan alisnya. "Aku tidak tahu harus menyiapkan apa saja," dia berkilah dengan nada berkelakar yang gamang. "Itu malah membuatku pusing."

"Kamu selalu begitu," Putu Yasa menimpali. Kue kelepon di mangkuknya sudah hampir habis dilumatnya sedikit demi sedikit sejak awal pebicaraan mereka. "Sesantai apa pun dirimu, aku yakin Ketut Sujana tidak akan bisa menyalipmu."

"Bandit itu?" umpat Komang Adi. "Dia adalah kumpulan mimpi buruk buat sekolah kita. Aku tidak percaya dia juga ikut seleksi. Ikut-ikutan saja anak itu! Pengekor memalukan!"

"Mang!" Putu Yasa menebas cercaan Komang Adi sembari mengorek-ngorek sisa kelapa parut di mangkuknya. "Tapi otaknya juga encer. Dia juga kaya raya dan—"

"Dan sombong!" Komang Adi mengimbuhi sebelum Putu Yasa menyelesaikan kalimatnya. "Kenyataannya dia tetap saja tidak bisa menyaingi Made. Aku yakin sembilan puluh sembilan persen, Made yang akan lolos!"

Putu Yasa terkekeh. Katanya kepada Made, "Kamu tahu, De? Walaupun kulitmu gelap dan tak sekaya dia, banyak teman perempuan membicarakanmu," dia lalu menertawai ucapannya sendiri. "Aku benar-benar iri."

Made menyungging sebuah senyum pendek. Lesung pipinya terlihat samar dalam pendaran cahaya lampu. Tatapannya nyaris bagai serigala yang bijak, gelagat tenangnya bagaikan singa yang gagah, dan emosinya stabil bagai kura-kura yang sabar.

Tetapi kadang ketika jin kepintaran sudah lepas dari raganya, Made kembali lagi ke dalam dunia remaja yang waras, penuh canda tawa dan hal-hal konyol. Ketika dia tidak sedang kerasukan dedemit aritmatika atau aljabar, dia adalah anak desa hitam manis berambut pendek yang kerap terlihat menyelinap di antara pohon-pohon pacar yang ranum di sore yang hangat, menceburkan dirinya ke sungai yang cemerlang, dan pulang berbasah-basah.

"Sebenarnya, Sujana mengancamku," Made berkata setengah berbisik setelah dia membubuhkan garis lurus di bawah hasil penyelesaian soalnya. "Tapi kalian jangan katakan ini pada abang dan ibuku."

"Ancaman apa?" Komang Adi mantap menuntut jawaban. Rahangnya sudah menebal ketika mendengar nama Sujana. "Apa yang dikatakan anak itu padamu?!"

"Aku yakin dia pasti melakukan segala cara agar dia lolos," ungkap Made. "Aku takut kali ini dia benar-benar nekad. Lebih buruk dari tahun lalu."

"Mengapa kamu harus pusing memikirkan ulahnya?" hardik Komang Adi dengan suara ditekan. "Dia cuma iri padamu karena dia tidak bisa menandingimu."

"Aku tidak mau membuat masalah dengannya lagi, Mang; untuk kesekian kalinya," Made menekan tutur kalimatnya. Komang Adi mesti mendengarkan itu baik-baik. "Kalian ingat peristiwa semester lalu saat dia mengamuk di kantin karena aku juara kelas?"

Putu Yasa mengambil dua butir kue kelepon lagi. Dia sangat menggemari sensasi gula merah yang meluber di lidahnya. Mulut anak itu berhenti mengunyah tatkala Komang Adi melototinya dengan tajam.

Komang Adi manggut-manggut, "Aku mulai merasa bahwa dia punya otak psikopat."

"Itu dia," pecah Putu Yasa. "Dia memang psikopat."

Darsana yang masih berdiri di balik pintu masuk tak bergeming. Dia mungkin tak perlu ikut campur. Segala hal masih ada dalam tahap wajar. Manusia hidup kadang ada yang memusuhi. Asalkan tidak cari musuh.

"Made," Komang Adi mengalihkan perhatian kawannya, menjauhkannya dari pemikiran terburuk. "Semua akan baik-baik saja. Percayalah."

Mata Made menembus lekat-lekat ke dasar mata kawannya. "Kalau hanya demi sebuah kemenangan, lebih baik aku menyerahkannya kepada orang lain."

"Jadi kamu berpikir lomba ini main-main dan orangnya bisa diganti-ganti, begitu?!" lecut Komang Adi memotong arus pikiran Made.

"Entahlah."

Komang Adi mendebam meja dengan kepalan tangannya. "Dengarkan aku, Made!" pintanya dengan perut membara karena kesal. "Jika lomba ini biasa-biasa saja, mengapa kamu harus berjuang keras? Mengapa pak guru harus mempertahankanmu?"

Hambar Made mendengarnya.

"Ini bukan demi kamu atau kami," Lanjut Komang Adi. "Tapi ini demi sekolah!"

"Komang benar," Putu Yasa angkat bicara. Kue kelepon-nya masih tersisa separuh di rongga mulut. "Semua tahu kalau kemampuan Sujana tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Dan kamu ingin kami melihat anak sombong itu maju ke provinsi? Itu akan menjadi tangisan kekalahan paling konyol sepanjang sejarah sekolah kita."

"Pokoknya kamu harus maju," Komang Adi bersikeras. "Aku dan teman-teman mendukungmu."

Made tak banyak tanggap. Dia hanya membalas jajaran kalimat itu dengan anggukan yang dihayatinya separuh.


Kayu sugih (Dracaena angustifolia) atau pohon suji. Daunnya diperas untuk pewarna alami makanan.

Continue Reading

You'll Also Like

800K 95.8K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
1.5M 112K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
545K 20.6K 34
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
2.6M 271K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?