The Free Nightingale

By diahsulis

7K 277 20

[WARNING: Mengandung adegan yang mengganggu bagi sebagian kalangan, termasuk perang dan kekerasan mendetail] ... More

Halaman Dedikasi
PART I - The Caged Bird
P0. Pelarian
P2. At-Tulab

P1. Kematian Seekor Kucing

420 42 6
By diahsulis

Sebagian orang bilang kematian adalah awal. Sebagian yang lain mengatakan, kematian adalah akhir. Keduanya sama-sama tak terhindarkan, terdefinisi oleh pedang tak kenal ampun bernama takdir dan tak tersentuh kehendak manusia.

Entah mana yang benar, aku sendiri tidak tahu sampai detik ini.

Satu-satunya yang aku tahu, ketika seseorang mati, kau harus menguburnya. Seperti yang dilakukan Elma pada Nike hari ini.

Kucing belang tiga peranakan kampung itu konon sudah bersama anak-anak Panti Asuhan At-Tulab selama bertahun-tahun. Jauh lebih panjang dari yang bisa diharapkan bahkan dari para manusia yang bisa berumur puluhan tahun. Makhluk kecil ini telah menemani anak-anak panti melalui ratusan terjangan peluru, rudal, dan artileri, melewati serangan malam maupun fajar yang tak kenal henti maupun kenal ampun. Bertahan hidup lebih baik dari sebagian anak, sambil menemani mereka dalam berbagai keadaan, suka maupun duka.

Sayang sekali aku hanya bertemu kucing ini lima kali. Jika lebih sering ada di panti, mungkin akan ada semacam ... ikatan batin terbentuk antara aku dan dia.

Di sekelilingku berbagai kecamuk emosi bermunculan: kebanyakan tangisan. Semua anak merasa kehilangan, apalagi mereka yang sudah lama ada di panti ini. Tapi beberapa anak yang lebih tua mencoba untuk menguatkan yang lain. Idris terus tersenyum menghibur Isya, Elias menghibur lima anak lain di sekelilingnya, sementara Elma, meski memeluk dua anak balita, mata tajam Elma tidak lepas dari Mischa yang duduk diam di depan makam.

Benar, hanya diam.

Tidak ada air mata, tidak ada sikap menunduk yang menunjukkan duka.

Tidak ada sama sekali.

Dan gadis muda itu menunjukkannya tanpa takut ataupun malu.

Sama sekali tidak ragu menunjukkan identitasnya sebagai Maha di antara para Manusia.

Di tengah tangis, Mischa bersikukuh memasang wajah datar tanpa simpati, pantulan jernih dari wajahku sendiri. Dalam diam, dia terang-terangan tidak menyukai situasi ini.

Beruntunglah kakek Ilyas sudah memperingati Elma buka suara terkait opini pribadinya. Jadi di bawah pohon kurma terdekat dari panti, kami memakamkan Nike. Pohon itu sudah tua dan tidak lagi berbuah selama tiga tahun. Daun-daunnya berguguran lima helai di setiap bulan dan kini hanya tersisa lima pelepah di puncak pohon, tapi ini satu-satunya tempat teduh dengan sedikit pasir yang ada di belakang panti, tempat yang paling mudah digali.

Kami memakamkan Nike setelah membungkus bangkai kucing itu dengan kain-kain yang didapat dengan susah payah oleh anak-anak dari bekas-bekas rumah di Izul. Sebuah kemewahan, jika dilihat dari segi ekonomis dan sisi objektif, tapi anak-anak mulai menangis lagi ketika aku mengungkapkan alternatif kantung kresek untuk pembungkus Nike, jadi Idris mengalah dan mengajakku berkeliling Izul, mengais-ngais sisa kain apa saja yang bisa digunakan untuk membungkus Nike.

Seperti selayaknya menguburkan Manusia.

Ah, padahal kain kafan saja kemewahan di sekitar sini.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana Idris, aku, Elma, dan Elias harus sangat berhati-hati dalam menyelinap ke balik banyak reruntuhan peradaban di Izul, berharap dapat mengais-ngais sisa harta karun apa pun di bekas bekas ibukota yang telah mati sambil berharap tidak menemui satu pun tentara. Dari fraksi mana pun.

Kami harus menjaga langkah setiap detik selama lima jam pencarian demi menjaga seluruh anggota tubuh kami dari kolom-kolom rapuh bangunan tinggi, intaian mata-mata yang tidak terlihat di dalam bayagan, sisa ranjau, hulu ledak aktif, senapan yang masih terisi, atau granat yang masih menyala. Semua hanya demi kain kafan ala kadarnya untuk mengubur seekor kucing kecil.

Elma kelihatannya berpikiran sama. Kain-kain itu akan lebih baik jika digunakan untuk menambal lubang di selimut panti jadi kaki Idris tidak akan membeku kedinginan di musim salju. Tapi di sinilah kami, tak tega dengan tangisan anak-anak yang lebih kecil sampai mengorbankan keperluan selimut utuh hanya untuk kepuasan batin semata.

Seekor kucing yang dibayar dengan selimut tunggal penyambung nyawa lima puluh anak panti At-Tulab di musim dingin yang akan segera tiba.

Kakiku menendang debu dan pasir di sekitar makam dengan kepala tertunduk, berharap dapat melakukan apa pun selain terdiam tanpa kata di tengah situasi campuran tegang, sedih, dan canggung ini. Apa pun selain menyaksikan kepedihan berlebihan yang seharusnya telah lama berlalu sambil membuang-buang waktu untuk pura-pura masih berempati.

Idris masih berlutut di samping Isya, masih juga menepuk-nepuk pundak kecil gadis itu berkali-kali. Meski tidak kunjung membuahkan hasil, Idris tidak pernah berhenti. Mulutnya tidak pernah berhenti menggumamkan penghiburan tentang jiwa yang telah tenang, senyum yang harus muncul, dan hari-hari yang terus berlanjut, sementara bibirnya tak lelah menyunggingkan senyum sedih yang tampak welas asih alih-alih ejekan. Di sisinya, Mischa menempel seperti koala pada pohon eucalyptus.

"Aku tidak mengerti kenapa kalian semua menangisi bangkai."

Dan itu dia, ledakan yang kami harapkan tidak akan pernah terjadi, tapi nyatanya kejadian juga.

Belasan pasang mata langsung berpaling ke arah Mischa. Sang Maha, sang angsa di antara para itik itu, berdiri dengan angkuh di depan makam Nike yang masih segar. Wajahnya tidak terbaca, minim dari ekspresi apa pun, meski dia bocah sebaya.

Berbeda dari Idris, di sampingku, Elma gantian melotot ke arah Mischa. Aku rasa, setersinggung apa pun dia pada kenaifan anak-anak, Elma masih lebih tidak terima kalau Maha seperti Mischa bicara lancang.

"Jaga bicaramu! Ada anak-anak di sini!" Elma bangkit berdiri. Matanya berapi-api.

"Tapi dia sekarang sudah jadi bangkai." Mischa menunjuk tanah tanpa ragu. "Dia sudah ada di dalam sana dan tidak akan bangun lagi. Kita sudah menangisinya selama enam menit, tiga puluh detik."

"Sudah cukup, Mischa!" Elma menghardik. "Bacalah situasi sedikit, dasar kau—

Kata-kata Elma berhenti. Aku tidak melihat lirikan, tapi entah kenapa, aku merasa Elma menatap ke arah sini. Jika bukan matanya, mungkin dari benaknya, meski itu tidak terdengar masuk akal. Memandangku lewat benak, memangnya Elma apa? Manusia super?

"Kau belum menyelesaikan kalimatmu." Itu bukan pertanyaan dari Mischa.

Di sisi masing-masing perempuan yang ada di jurang pertengkaran itu, aku dan Idris bertukar pandang. Kebingungan kami saling beresonansi.

Mischa, bukannya penghuni asli panti At-Tulab. Dia lebih seperti ... tanggungan panti ini, untuk entah berapa lama. Kakek Ilyas menampungnya atas nama niat baik, tapi semakin lama Maha ini di tengah Manusia, semakin ... jelas perbedaan di antara kami.

Semakin meruncing pula konflik di antara kami.

Dua minggu lalu, Mischa dibawa oleh kakek Ilyas dalam keadaan sekujur tubuh penuh luka dari distrik Sibla di kota Al-Tahsim yang baru saja hancur lebur dibombardir. Perban melingkupi seluruh tubuh bocah kecil itu selayaknya mayat yang baru saja keluar dari peti mati.

Tapi dia tidak menangis. Dia tidak pula gemetar ketakutan.

Sepenuhnya, dia hanya terluka secara fisik. Tidak secara emosi. Seperti batu apung yang diangkat dari air, dia ... sepenuhnya terlihat hampa.

Dan aku benci bagaimana di lebih dari satu kesempatan, kami tampak serupa.

"Dia satu-satunya yang selamat." Kakek Ilyas berpesan. "Tentara Aliansi akan segera menjemputnya. Kami sudah memberi kabar lewat jalur komunikasi yang masih tersedia di Izul. Pihak Aliansi terdekat dari sini akan segera menjemputnya."

Saat itu kami tidak bisa membayangkan. Sesuatu yang luar biasa jika satu keluarga Maha dengan satu orang anak kecil bisa bertahan di kota yang sudah diambil alih oleh tentara pemerintah pro-Union satu tahun sebelumnya. Meski di sini tidak ada portap, mayat-mayat para Maha yang dipajang di Al-Tahsim sudah cukup untuk membuat kami tahu perjuangan berat seperti apa yang mereka lalui di kota kekuasaan Union. Membayangkan keluarga ini bertahan satu tahun di sana sama sekali tidak pernah terpikirkan dan kami sangat penasaran dibuatnya. Untungnya kakek Ilyas berhasil membendung rasa penasaran kami dengan meminta kami menanti Mischa untuk bercerita sendiri, dengan begitu ia tidak akan langsung pasang mode defensif karena diinterogasi sekumpulan anak yatim-piatu barbar.

Beberapa bulan kemudian, Mischa barulah angkat bicara, itu pun hanya kepada Suster Magdalena yang sesekali berkunjung ke panti untuk mengadakan sekolah Minggu. Dari mulut suster Magdalena—Suster juga berlinang air mata saat menceritakannya kembali—kami mendengar kisah menyedihkan satu keluarga Maha yang terjebak di tengah-tengah kota yang digempur serangan udara siang dan malam dari tiga fraksi besar yang bertempur, dengan tujuh puluh persen kekuasaan bergeming di tangan pasukan anti-Maha milik Union.

Bagai barisan tentara Kamikaze, anggota keluarga Mischa berguguran satu demi satu. Ayahnya adalah yang pertama mati. Dia tewas tiga bulan sejak serangan udara terfokus di Sibla. Mischa melihat sendiri bagaimana tubuh ayahnya hancur berkeping-keping terkena serbuan rudal entah dari pihak mana.

Kebersamaan Mischa dan ibunya lantas berakhir dengan cepat saat sang ibu juga direnggut paksa oleh eksekusi publik yang disiarkan secara langsung oleh ekstrimis pro-Union.

Kisah yang cukup menyedihkan untuk mengguncang batin seorang anak tujuh tahun sampai ke akar-akarnya, tapi anehnya, sepanjang cerita itu, Mischa tidak bergeming. Tidak pula berkedip.

"Ayahku mati sebagai pahlawan. Ibuku mati dengan tragis. Mereka berdua tidak memiliki makam. Aku masih hidup."

Tidak terdengar seperti kalimat yang akan keluar dari mulut manusia yang baru saja terkena tragedi beruntun.

Tapi itulah Maha. Mereka ... memang bukan Manusia.

Tapi sementara semua orang keheranan dengan sikap tenang tanpa emosi bak robot dari Mischa, aku hanya kepikiran satu hal:

Markas Aliansi terdekat dari sini, kemungkinan di sekitar Jahra. Seharusnya tidak masalah, tapi kalau barikade perbatasan Quwait tidak memberi Aliansi akses masuk, penjemputannya akan lama.

Terlepas dari lamunan, aku mendapati Elias menghela napas dan aku harap itu pertanda baik.

"Dia memang hanya seekor kucing. Seekor mamalia. Peliharaan, bisa dibilang. Kami juga tahu, menangisinya tidak akan membuatnya hidup kembali." Elias mencoba meredam suasana. Anak lelaki itu memelankan suaranya. "Tapi Nike adalah teman kami yang berharga. Dia juga bagian dari anak-anak At-Tulab meski hanya seekor kucing. Kematian dia juga adalah kehilangan bagi kami semua. Dan aku harap, meski kamu tidak bisa mengerti konsep duka, Mischa, kamu bisa lebih membaca situasi sebelum bicara lebih dulu. Hanya karena kau anak kecil, bukan berarti tidak akan ada yang menghajarmu kalau kau berulah di sini."

Bukan itu yang aku duga akan keluar dari mulutnya.

"Semuanya, tolong tenang dulu." Idris menepuk-nepuk bahu anak-anak di dekatnya, berusaha agar kemarahan tidak menular lebih jauh di antara anak-anak. "Jangan bertengkar dulu sekarang, oke? Ingat, kita masih berada di makam Nike."

Bujukan Idris biasanya berhasil. Bujukannya selalu berhasil.

"Benar, kita sedang ada di makam, karena itu berhentilah membuat ribut," Elma menimpali, masih terdengar kesal.

"Bukan aku yang membuat lebih banyak suara dari tadi." Mischa beralasan. "Suaraku paling banyak hanya dua puluh satu herts. Tapi kalian, dengan semua tangisan dan rengekan kalian, malah mungkin menghasilkan suara yang lebih mengganggu."

Itu adalah panggilan terakhir bagi amarah Elma yang sudah ada di ubun-ubun. Dengan segera, gadis kecil itu berderap ke arah Mischa. Tangannya teracung.

"Kau—kau dan kaummu yang selalu saja membuat masalah, kau dan kerusakan otak kalian yang tidak bisa menghasilkan emosi itu! Dasar robot tidak tahu perasaan!"

Aku buru-buru berdiri di tengah mereka dan menahan tangan Elma. Dan tangan Mischa.

Elma jelas tidak bisa menghindar dan hanya terkesiap ketika pergelangan tangannya ada di genggaman tanganku. Tapi untuk Mischa, Maha kecil itu agaknya lebih dari sekadar kaget saat melihat refleksnya kalah dari kecepatan tanganku.

"Tidak ada tamparan," kataku mutlak, pada mereka berdua.

Tamparan Elma tidak akan banyak berpengaruh di tubuh Mischa, tapi tamparan Mischa yang Maha, minimal bisa menggores wajah Elma. Bahkan kalau kendalinya buruk, bisa lebam pipi anak itu nanti.

Sayangnya, refleks itu memberi lebih banyak hal dari sekadar insiden yang berhasil dicegah kepada Mischa.

"Kau ... refleks tadi itu...." Aku langsung melepaskan Mischa tanpa pikir dua kali. Sebelum dia mulai berpikir yang aneh-aneh lagi.

"Makamkan Nike." Aku mengingatkan. "Perintah Kakek."

Mataku mendelik Mischa tanpa berniat untuk beramah tamah.

"Minta maaflah." Kemudian aku menengok Elma. "Kau juga."

Elma menunjuk dirinya sendiri dengan tidak percaya.

"Minta maaflah," ulangku sambil memicingkan mata, tahu sebenarnya dia paham apa kesalahannya.

Elma tampak tak senang. Tatapanya menatap ke segala arah, mencoba menungguku untuk mengubah pikiran sebelum ia sadar itu percuma. Ia pun akhirnya fokus ke depan, ke arah Mischa.

"Maaf," ujarnya dengan bibir mengerucut dan kening yang berkerut-kerut. Setidaknya ia menatap Mischa langsung.

Mataku kembali ke Mischa yang masih belum lepas dari rasa herannya. "Minta maaflah."

Terpelatuk oleh ucapan itu, kobaran kemarahan kembali menyala di mata Mischa. "Aku hanya mengungkapkan fakta."

Aku memandangnya dengan wajah penuh tanya. Memangnya mengungkapkan fakta keji tanpa perasaan, tidak bisa baca situasi, dan hampir menghajar seorang Manusia hanya karena kematian seekor kucing,semua itu tidak dihitung salah?

Sayang, aku belum sefrontal Elma untuk mengkonfrontasi anak kecil soal hal-hal seperti itu.

"Minta maaflah."

Idris, tanpa terlihat sakit hati karena telah dicampakkan, sudah kembali menghampiri sisi Mischa dan menepuk pundak anak kecil itu, mungkin sadar jika itu mungkin kali terakhir aku memberi peringatan.

"Kalau dua orang yang bertengkar saling meminta maaf, tidak akan ada lagi yang bertengkar. Kita hidup satu atap. Kita berlindung di bawah naungan yang sama. Kita diasuh oleh orang yang sama. Kita harus saling melindungi, bukannya memusuhi." Idris tersenyum membujuk. "Bukankah Kakek Ilyas berkata seperti itu?"

Berbeda dari perintahku, perintah Idris didengar oleh Mischa. Sama seperti Elma, dia tidak memandang ke depan. Kepalanya menunduk. Kakinya bergerak gelisah.

"Maaf." Kata itu bergulir pelan dari mulutnya sampai aku kira sudah melewatkan sesuatu.

Idris bertanya padaku dalam diam. Aku mengangguk. Bocah Lelaki itu tersenyum, lantas menepuk-nepuk bahu Mischa dengan binar bangga yang tidak dibuat-buat.

"Baiklah, kalian berdua sebaiknya kembali ke Panti sekarang." Idris menyuruh.

Mischa memandangnya hendak protes, tapi tangan Idris yang keburu terangkat mengunci mulut semua orang yang ada di sana.

Tidak ada kemarahan yang meletup, tapi tangan yang teracung dari laki-laki muda itu selalu menjadi acuan diam yang efektif, bahkan bagi kakek Ilyas sekalipun.

Continue Reading

You'll Also Like

Zayn By SN Aisyah

Science Fiction

108K 5.1K 36
"Dia seperti mata kuliah yang diampunya. Rumit!" Kalimat itu cukup untuk Zira menggambarkan seorang Zayn Malik Akbar, tidak ada yang tidak mengenal d...
7.9K 202 9
ini cerita cerita pendek selingan dari cerita utama,
Damian By Ariel

Science Fiction

290K 15.9K 36
"maafkan aku Violetta" Tentang Damian yang begitu menyesal atas segalanya yang dia lakukan kepada istrinya. Menyesal telah mengabaikannya, menyesal...
3.6K 333 7
Kenalin gw John atau sering di kenal dengan irrad gw pindahan dari sekolah di Philipina dan gw udh mau setahun di sini gw sekolah di salah satu sekol...