LOVELY KARENINA (SUDAH TERBIT)

Bởi dindinthabita

219K 7.8K 1.1K

Karenina Ara adalah gadis blasteran Indonesia-Jepang-Yunani yang kuliah di jurusan Designer Paris. Dia gadis... Xem Thêm

PROLOG
BAB 1
BAB 3
BAB 4
BAB 5
VIDEO TRAILER LOVELY KARENINA RILIS
FAKTA ALI & NINA
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
EPILOG
TANYA READER
EXTRA PART : MALAM PERTAMA; EXPLISIT SCENE
CATATAN AUTHOR
MINI STORIES ALI DAN NINA SUDAH PUBLISH

BAB 2

6.1K 561 18
Bởi dindinthabita

Nina menatap kagum gadis berambut panjang itu dan tangannya bergerak membelai permukaan kanvas itu, merasakan betapa nyatanya wajah cantik itu di matanya. Dia mendekat dan mencoba mencari tahu pelukis yang menciptakan lukisan indah itu. Dia menunduk dan menemukan goresan kuas dengan garis tipis singkat. Nina membungkuk dan menurunkan ujung jarinya pada goresan nama sang pelukis dan mengeja tulisan pendek yang nyaris berupa garis tajam. "A...li...Ali..." Nina menegakkan punggungnya dan tersenyum cerah.

Dia menatap kembali lukisan gadis cantik itu dan berkata lirih. "Kamu ada kan? Aku akan menemukanmu dan menjadikanmu model gaun pengantinku. Karena Cuma kamu yang pantas."

Nina membalikkan tubuhnya dan mencari petugas galeri dan bertemu dengan seorang wanita berkacamata yang sedang menggantung sebuah lukisan lainnya. Dia mendekat dan menyapa ramah. "Bonjour, Madame..." Nina membungkukkan tubuhnya dan tersenyum.

Wanita berkacamata itu menoleh dan menjawab sapaan Nina dengan sama ramahnya. "Bonjour, mademoiselle. Apa ada yang bisa kubantu?" dia menatap Nina dari balik kacamata beningnya.

"Apakah aku boleh bertanya tentang salah satu lukisan di sini, Madame?"

"Oui. Lukisan yang mana?" wanita itu melepaskan tangannya dari sisi lukisan yang berhasil digantungnya.

Nina melirik lukisan yang dikaguminya yang berada di bagian dalam ruangan dan menjawab dengan riang. "Lukisan gadis berambut panjang di deretan paling belakang. Ma Belle, Natalie. Apakah aku boleh tahu di mana aku bisa bertemu pelukisnya?" jantung Nina berdegup tak sabar menanti jawaban wanita berkacamat di depannya.

Wanita itu menoleh ke arah lukisan yang Nina maksudkan dan dia kembali menatap gadis lincah yang ada di depannya itu. Dia menatap gadis itu dengan tatapan penuh pengertian dan rasa iba. "Maaf, Nona. Pelukisnya menutupi identitas dirinya. Tak ada yang pernah bertemu dengannya bahkan tempat tinggalnya. Maafkan aku." Dia meminta maaf dan tersenyum hangat.

Nina tidak percaya bahwa si pelukis tak diketahui oleh petugas galeri. Jika demikian bagaimana bisa lukisannya bisa terpajang di geleri tersebut. Karena pemikiran itulah, Nina memegang lengan wanita berkacamata itu. "Bagaimana mungkin sang pelukis menutupi identitasnya sementara lukisannya bisa tergantung di galeri ini?"

Dia menatap wanita berkacamata itu dan mendapati keraguan di sepasang mata hijau itu. "Anda tahukan? Bisakah aku menemukannya? Ali. Nama pelukisnya Ali kan?" jujur hati Nina begitu menggebu-gebu.

Wanita itu bisa melihat sinar mata penuh harapan di sepasang mata yang berbinar ceria itu. Namun seluruh petugas galeri sudah mendapat pesan dari kurator galeri bahwa sang pelukis Ma Belle, Natalie tak ingin dirinya diketahui dunia.

Sang pelukis menutupi identitasnya dan bersembunyi di balik lukisan indahnya. Yang ingin bertemu dengan sang pelukis bukan hanya gadis manis belia di depannya, sudah banyak yang ingin bertemu dengan pria tertutup itu, namun semuanya harus puas hanya bertemu dengan Tuan Benoit.

"Jika kamu ingin membeli lukisannya, aku akan segera membungkusnya dan bawalah ke kasir..."

"Tidak! Tidak! Aku ingin bertemu dengan pelukisnya! Aku ingin dia memberitahuku di mana keberadaan gadis yang menjadi modelnya." Nina membantah dengan antusias sehingga membuat wanita di depannya melongo.

"Apakah kamu berpikir bahwa gadis yang dilukisnya nyata? Oh, sayang...tak ada wanita sesempurna wajah Ma Belle, Natalie. Dia hanya hasil imajinasi si pelukis." Mau tak mau wanita itu tersenyum, memaklumi sikap percaya diri Nina yang mengatakan bahwa model di dalam lukisan ada di dunia nyata.

Lama kelamaan Nina menjadi jengkel atas jawaban dan respon wanita di depannya. Dia mencucutkan bibirnya dan menunduk dengan kecewa. Dia menghela napas dan mengangkat sekilas pandangannya dan bergumam. "Anda sama sekali tidak tahu bahwa aku amat membutuhkan si pelukis..." Nina menarik napas dan memutar tubuhnya. "Mercy, Madame."

Dia berlagak putus asa dan melemaskan kedua bahunya dan menanti reaksi lanjutan dari wanita berkacamata itu.

"Nona...tunggu sebentar.."

Nina menghentikan langkahnya dan mengembangkan senyumnya sebelum dia membentuk wajah putus asa ketika membalikkan tubuhnya untuk menatap wanita yang tampak berdiri sedikit cemas.

"Ya?" Nina menampilkan wajah susah dan merasa terlonjak girang di dalam hati ketika mendengar kalimat wanita berkacamata.

"Eng...jika kamu memang membutuhkan informasi si pelukis, kamu bisa menghubungi Tuan Lefevre. Dialah yang mengurus semua transaksi lukisan dari si pelukis ke Tuan Benoit, kurator dan pemilik Yvonne Lambert Galeri."

Nina menahan jerit kegirangannya dan tetap mempertahankan sikap sok tenangnya. Dia menatap wanita itu dengan sedikit antusias.

"Anda yakin? Bagaimana caraku bisa menghubungi Tuan Lefevre?" Ayo,cepatlah! Sebelum kamu berubah pikiran...

Nina nyaris tak sabar ketika wanita bermata hijau itu mengeluarkan ponselnya dan mencoretkan sesuatu di salah satu kertas laporannya dan merobeknya untuk Nina.

"Ini nomor Tuan Lefevre." Dia menyerahkan sobekan kertas itu dan disambar dengan cepat oleh Nina.

"Tapi jangan katakan bahwa aku memberi nomornya. Karang apa saja asal tidak menyebutkan namaku dan ciri-ciriku."

Sobekan itu menghilang dengan cepat ke dalam saku baju Nina dan dia mengedipkan matanya. "Tentu saja, Madame..."dia membaca nama di papan kecil yang tersemat di dada wanita itu. "Madame Loanna..." Nina melebarkan senyumnya selebar wajah mungilnya dan melambai. "Tenang saja! aku akan menyembunyikan namamu! Mercy!"

Wanita bernama Loanna itu menatap punggung gadis ceria yang berlalu itu dan menghela napas seraya menepuk pelan dahinya. Dia menatap lukisan Ma Belle, Natalie dan mengangkat kedua tangannya seperti orang meminta maaf. "Maaf Tuan Ali, aku terpaksa memberikan nomor Tuan Levefre...tatapan memelas gadis itu tak bisa kuabaikan."

****

Ali mendorong pintu Yvonne Lambert Galeri dan bertabrakan dengan seseorang yang berlari dari arah dalam. Dia terpaksa menggeser kakinya dan memegang bahunya yang ditabrak dengan keras oleh gadis berambut panjang yang menatapnya sekilas dan berseru lantang.

"Je suis désolé, monsieur (Maafkan saya, Tuan)!" dan gadis itu melesat keluar dari galeri.

Ali mengerutkan dahinya dan menurunkan masker yang menutupi hidung dan mulutnya ke lehernya. Dia melihat gadis yang menabraknya itu meraih sepeda dan mengayuhnya amat cepat, membuat Ali menggelengkan kepalanya.

"Gadis yang kasar..." dia bergumam pelan dan melanjutkan langkahnya memasuki galeri. Dia kembali menarik maskernya, menutupi area hidung dan mulutnya. Ali menuju bagian pameran lukisan di mana Loanna berada sedang mendata lukisan-lukisan.

Kemunculan Ali membuat wanita itu terlonjak kaget, menatap pria itu dengan horor seakan sedang tertangkap basah melakukan pelanggaran besar. "Oh, anda..."

Ali melepas maskernya dan menunjukkan wajahnya pada Loanna. "Ini aku." Ali melihat sekilas wajah pias Loanna dan dia menarik ujung bibirnya sedikit hingga menciptakan seringain kecil. "Ada apa? Apa kemunculanku mengejutkanmu?"

Loanna menghembuskan napasnya dan berkata dalam hati. Sebenarnya iya! Baru saja aku membocorkan jati dirimu pada gadis asing yang memiliki nomor ponsel Tuan Levefre dan tiba-tiba kau muncul seperti hantu!

Dia tersenyum cepat. "Ah, tidak juga. Anda ingin mengambil lukisan Ma Belle, Natalie? Bukankah biasanya 3 bulan sebelum menggantinya dengan lukisan lainnya? apakah ada yang ingin membelinya?"

Ali berjalan menuju lukisan Natalienya dan menatap wajah kekasihnya dengan sepasang tatapan lembut. Dia menelusuri permukaan kanvas dengan ujung jarinya. Dia menjawab Loanna dengan pelan.

"Ma Belle, Natalie mendapatkan kesempatan untuk dipamerkan bersama lukisan para pelukis hebat di Louvre selama 1 bulan."

Itu adalah berita luar biasa bagi seorang pelukis muda yang berjuang mengepakkan sayapnya untuk diakui dalam dunia seni Paris. Bisa memamerkan lukisan di museum Louvre adalah pencapaian terbesar bagi pelukis jalanan seperti Ali Rasyid.

"Sungguhkah? Semoga Ma Belle, Natalie bisa menetap di Louvre dan kurasa anda harus membuat replikanya." Loanna sangat gembira mendengar perkembangan luar biasa itu.

Ali lah satu-satunya pelukis yang paling tertutup dan tidak memiliki ambisi seperti para pelukis jalanan yang diketahuinya selama ini.

"Aku berharap demikian." Ali menatap Loanna yang tampak terpukau pada lukisan kekasihnya dan dia memasang kembali maskernya. "Aku pergi." Dia membalikkan tubuhnya dan terhenti pada kalimat tanya Loanna.

"Ah, apakah model di lukisan Ma Belle, Natalie ada di dunia nyata?" dia menjadi ikut penasaran akibat keyakinan gadis ceria yang ditemuinya.

Sejenak Ali terdiam dan menatap Loanna dengan tajam. Wanita itu memasang wajah meminta maaf. "Jika anda tidak ingin menjawab, aku tidak memaksa..." Loanna mengalihkan tatapannya dan terdiam sesaat mendengar jawaban sang pelukis yang sarat emosi.

"Gadis di dalam lukisan itu nyata." Ali menjawab dengan usaha besar untuk membendung duka di dalam hatinya. Dia bersyukur bahwa telah memasang kembali maskernya sehingga Loanna tidak melihat bibirnya yang bergetar. Hanya tatapan matanya yang pekat tampak diselimuti kabut kesedihan yang amat nyata di mata Loanna yang terpaku.

Ali memasang tudung kepala jaketnya dan sekali lagi berkata pada Loanna. "Dia nyata. Gadis itu ada di dunia nyata."

Dia memutar tubuhnya dan berjalan cepat menuju pintu keluar galeri diikuti pandang mata Loanna.

Dia nyata! Dia selalu nyata dan hidup di dalam hatiku! Dia tak pernah meninggalkanku! Ali mempercepat langkahnya dalam menyusuri jalanan Paris yang indah dan berhenti tepat di tepi jembatan Seine, menatap sungai yang mengalir tenang dan orang-orang yang menikmatinya dengan para kekasih dan tawa bahagia.

Ali mencengkram tepian jembatan dan menatap pedih pada gembok-gembok yang memenuhi pagar jembatan. Dia seakan melihat Natalie di sana, menatap sungai Seine dan mengucapkan harapannya untuk berumur panjang.

Ali menutup wajahnya dan mengerang tertahan di balik maskernya. Tuhan, salahkah jika aku meminta Nata kembali padaku?Meski hanya dalam mimpi? Dia menekan dahinya pada telapak tangannya dan ada butir airmata muncul di sudut matanya.

*****

Jakarta.

Baskoro mengunjungi Wanda sore itu dan menatap wanita itu dengan tatapan memelas. "Tidak bisakah Tante membujuk Ali untuk kembali ke Jakarta dan menjadi reporter lagi?"

Wanda menatap sahabat anaknya yang selama ini amat setia berada di samping anaknya dalam segala situasi apapun.

Pria muda itu tampak kehilangan kata-kata akan pilihan yang dilakukan Ali semenjak meninggalnya Natalie. Dia menghela napas berat.

"Ali belum memiliki rencana kembali ke Jakarta, Baskoro. Tante dan Om sudah membujuknya untuk kembali bahkan Marshal sudah menyempatkan dirinya ke Paris setengah tahun lalu dan mendapatkan jawaban TIDAK dari Ali."

Wanda melemaskan kedua bahunya dan menekan pelipisnya yang berdenyut. "Anak itu bersikeras tak sanggup lagi memegang kamera. Tangannya bergetar kuat dan Marshal sudah membuktikannya."

Bas terdiam dan melihat linangan airmata di balik kacamata bening Wanda. Dia menumpukan kedua tangannya di lutut dan memejamkan matanya. Bahkan sudah berjalan tiga tahun, Ali masih belum sanggup menerima kenyataan bahwa Natalie sudah tiada. Stasiun televisi mereka selalu sabar menanti Ali kembali bergabung, kenyataannya tak ada reporter sebaik dan sehandal Ali.

"Maafkan Tante, ya Bas. Tante tidak bisa memaksa Ali untuk kembali ke Jakarta selama pedih hatinya belum sembuh."

Bas mengangkat kepalanya dan menatap mata Wanda dengan putus asa. "Sampai kapan, Tante? Sampai kapan bayangan Natalie memeluk Ali? Sampai kapan Ali berada di dalam taman mimpinya bersama Natalie?" Bahkan suara Bas terdengar bergetar dan ragu.

Wanda menggelengkan kepalanya. "Tante tidak tahu. Mungkin hingga Tuhan membuka mata hati Ali, menyadarkannya bahwa kekasihnya telah tiada. Untuk sementara kita lebih baik menerima keputusannya."

Bas sudah tak bisa berkata apa lagi mendengar kalimat Wanda. Dia berpamitan tak lama kemudian dan duduk di dalam mobilnya memperhatikan rumah sebelah tante Wanda yang tampak sepi dan tenang.

Kenangannya seakan membawanya beberapa tahun lalu pada seorang anak gadis berseragam abu-abu yang mengejar van yang akan membawa mereka ke bandara menuju Banjarmasin.

Tepat di depan rumah Tante Wanda dan Bas begitu senang mendapati kenyataan bahwa sahabatnya telah membuat seorang gadis manis menunggunya kembali.

Bas memejamkan matanya dan membayangkan Natalie yang lembut dan tak pernah sekalipun berbicara keras pada siapa saja. Gerak geriknya yang tenang dan penyayang selalu berhasil membuat siapapun di stasiun televisi menanti kemunculannya setiap akhir pekan.

Gadis yang cantik bersama rambut panjangnya yang berponi. Gadis yang memiliki banyak mimpi di bola matanya. Gadis yang berhasil membawa Ali merasakan kehangatan sebuah cinta dan kepercayaan. Gadis yang meninggalkan Ali dalam kesedihan mendalam.

Tanpa sadar rasa sesak mendera dada Bas dan dia membuka matanya. Dia mencengkram erat setirnya. Mungkin inilah yang dinamakan takdir dari Tuhan. Tak ada satupun manusia yang bisa melawan takdir.

Tapi Nata, Ali berhak bahagia. Kumohon lepaskanlah Ali..kamu sudah tenang di sana, kumohon lepaskanlah Ali... Bas menekan dahinya pada permukaan setir dan mendesah lirih. Pilu.

*****

"Bonjour, Monsieur Lefevre."

"Bonjour, Mademoiselle. Dengan siapa ini?"

"Saya Karenina Ara. Mahasiswi dari Jurusan Fashion Designer di ESMOD." "

Ah, mahasiswa ESMOD! Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya sangat berterima kasih jika anda bersedia membantu saya."

"Ya, apa itu?"

"Bisakah saya bertemu dengan pelukis Ma Belle, Natalie?Pelukis Ali?"

"....."

"Halo? Anda masih di sana Tuan Lefevre?"

"Hm...ya saya masih di sini...."

"Bisakah?"

"Tuan Ali Rasyid merupakan pelukis yang sulit, Nona. Dia tidak suka bertemu dengan orang lain."

"Tapi dengan anda dia bisa bukan?"

"Eee...ya..hanya dengan saya dan Tuan Benoit saja. dia tidak menerima pertemuan dengan orang lain selain kami."

"Saya ingin bertemu dengan pelukis itu, Tuan. Berikan saya kesempatan untuk menemuinya.."

"Saya tidak bisa sembarangan memberikan informasi tentang dirinya..."

"Saya mohon Tuan Lafevre. Saya sangat tertarik dengan lukisannya."

"Anda seorang calon designer. Bagaimana bisa anda ingin bertemu dengan seorang pelukis. Anda seharusnya bertemu dengan Versace atau Vera Wang.."

"Saya membutuhkan lukisannya. Model yang dilukis oleh si pelukis. Kumohon Tuan Lefevre..."

"....."

"Saya mohon, ini tentang tugas akhir..."

"Hm...baiklah...saya hanya bisa mengatakan bahwa pelukis Ma Belle, Natalie tinggal di apartemen studio di Rue de Dantzig distrik 15 Paris, di dekat Georges Brassens Park dan stasiun kereta api bawah tanah Convention. Hanya itu yang bisa saya berikan pada anda."

"Mercy, Tuan Lefevre!!"

"Nona! Bagaimana anda bisa mendapatkan nomor saya?nona...?"

Tut Tut Tut

******

Nina menatap Agnes dan Lucille dengan sepasang mata berbinar-binar. Kedua temannya itu menatapnya dengan bingung dan tidak yakin akan niat Nina untuk menemui sang pelukis hanya demi gadis dalam lukisan yang belum tentu ada di dunia nyata.

"Aku mendapatkan alamatnya! Yeah, meskipun pria barusan tidak memberikan secara jelas apartemen mana yang ditinggalinya, aku akan mencarinya!"

Agnes mengerutkan dahinya, saat itu mereka sedang berada di kamar Nina yang sejuk oleh udara sore Paris yang menyusup dari jendela yang terbuka.

Mereka bisa melihat Menara Eiffel dari kejauhan di antara gedung-gedung yang menjulang di Paris.

"Belum tentu gadis itu ada!" dia berulang kali menyerukan keheranannya.

Tapi Nina dengan yakin mengatakan bahwa gadis berambut panjang itu nyata. Dia meraih tasnya dan menatap kedua temannya.

"Aku yakin dia nyata. Kalau tidak mengapa dia demikian hidup? Matanya! Ya, matanya! Matanya memancarkan vitalitas hidupnya!" dia mengikat rambutnya menjadi ekor kuda.

Lucille menatap Nina yang sedang berkemas.

"Kau mau ke mana?"

Nina mengigit karet yang akan melingkari rambutnya dan tersenyum cerah. "Aku akan mencari apartemen si pelukis!"

"Sekarang?" seru kedua temannya.

Nina memasang sepatunya dan tertawa. "Ya. Sekarang! Hanya Ma Belle, Natalie yang pantas menjadi model gaun pengantinku!"

Nina melempar kedua tas temannya dan berkata riang. "Apa kalian akan menemaniku?"

Agnes dan Lucille berpandangan. Keduanya meraih tas dan menggantungnya di bahu masing-masing.

Agnes menghela napas dan tersenyum. "Hanya kali ini. oke? Jika gagal, kau harus menyerah dan mencari model lain!"

Nina tertawa dan membalikkan tubuhnya, membuka pintu kamarnya dan menuju tangga samping di mana menuju jalan raya.

TBC.....

apakah Nina berhasil menemui sang pelukis? nantikan bab selanjutnya yaaa...

love dindin ^^

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

436K 40.1K 98
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
2M 10.7K 24
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
509 60 20
Tersedia dalam bentuk novel Dari bayi, Rayhana diadopsi oleh keluarga Kyai, diasuh dengan penuh kasih sayang. Qais, Abang angkatnya pun begitu menyay...
472K 33K 43
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...