Magician Academy [END]

By fallyndanella04

181K 10.9K 1.2K

Rie Ayanasaka, anak yatim piatu yang tinggal di daerah Nagoya. Hidupnya dilalui penuh penderitaan. Pandangan... More

Prolog
Chap. 1 : Dunia Sihir
Chap. 2 : Magic Battle
Chap. 3 : Magic Battle (2)
Chap. 4 : Fansclub Rie
Chap. 5 : O-Oniichan !?
Chap. 6 : Magic Black Organization
Chap. 7 : Creative Magic Battle
Character Info
Chap. 8 : Magic Black Organization Mulai Beraksi !
Chap. 9 : Queela's Death
Chap. 10 : Meet New Friend
Chap. 11 : Rie etc VS. Ten Beast and Chris's Identity
Character Info (part 2)
Chap. 12 : Chris Meet His Friends in Organization
Chap. 13 : The Mysterious Boy
Character Info (part 3)
Chap. 14 : Satoushi, Are You Fine ?
Chap. 15 : Who Are You ?
Chap. 16 : New Beast Type !?
Chap. 17 : Rie Fight With A New Beast
Chap. 18 : Penyusupan
Chap. 19 : Penyusupan (2)
Penjelasan
Chap. 20 : Family's Secret Carlay and Carley
Chap. 21 : Rie's Love Feeling
Chap. 22 : Akira's Feeling to Rie
Chap. 23 : Killer Rie and Shu's Parents
Chap. 24 : Fight With Skylen and Skylen's Past
Chap. 25 : Traitor from Academy
Chap. 26 : Found Kaname !
Chap. 27 : Meet a Traitor
Chap. 28 : Good Bye
Chap. 29 : The Five of You are Our Last Hope
Chap. 30 : Varl Wrath
Chap. 31 : Kay Another Personality
Chap. 32 : Kay Vs. Mark
Chap 33 : Rie's Color Eyes
Chap. 34 : Master Kayo...!
Chap. 35 : Rescue Master Kayo !
Q & A
Chap. 36 : Meet Again
Chap. 37 : Master Magic Black Organization muncul !
Chap. 38 : The Legend Weapon
Bonus Chapter : Legend Weapon
Chap. 39 : Master All Legend Weapon
Chap. 40 : War With Big Strenght
Chap. 41 : War With Big Strenght (2)
End Chapter&Epiloque
Ga Tahu Mau Ngasih Judul Apa
Bonus Chapter : A Mysterious Person From Past
Bonus Chapter : Shu's Child Time
Bonus Chapter : Carlay & Carley Past

Bonus Chapter : A Story of Ren & Rie

1.4K 72 76
By fallyndanella04

Saya kembali setelah hiatus lama banget dengan bonus chapter yang mungkin paling banyak reader-tachi tungguin. Yaitu ... kisah romantis antara Ren dan Rie yang tentu saja after war.

Sebenarnya aku ga yakin dengan chapter yang ini. Soalnya aku ga pandai bikin adegan romance gitu. Aku aja ga yakin bisa bikin fluff scene yang lebih menjurus ke unyu, apalagi romance :')

Tapi aku udah berusaha benaran lho bikin ini! Beneran! Ga bohong! TTwTT

Oh ya. Sebelumnya, maaf sekali untuk salah satu perequest bonus chapter, Febrine_08_Yananza. Requestmu terpaksa saya tolak karena saya sebenarnya sudah merasa lelah melanjutkan cerita ini :") saya ternyata tidak kuat menambah utang cerita sampai hiatus segini lamanya :") padahal cuma 3 kalau ditambah sama yang ini dan di lapak lain :") sungguh, maafkan saya Febrine_08_Yananza :")

Ya sudahlah. Lansung ke cerita saja, menggunakan sudut pandang ke tiga!

Bonus Chapter

A Story of Ren & Rie

By fallyndanella04

Normal Point of View

Pertarungan antar Black Magic Organization dengan para siswa dan siswi Magician Academy pun berakhir. Keadaan kota kembali damai. Tidak ada lagi kegelisahan. Semua kegiatan kembali berjalan dengan normal.

R•R

Magician Academy, satu tahun kemudian

"Jadi ... kapan kau akan menyatakan perasaan pada Rie, Ren?"

Ren yang sedang minum lansung tersedak dan terbatuk-batuk. Hal itu sontak membuat Jimmy panik.

"H-hei! Kau tidak apa-apa, Ren?"

Ren mengusap ujung bibirnya. Nampak masih sedikit terbatuk-batuk. "Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau bicarakan?" Tanya Ren sambil menatap tajam Jimmy.

Jimmy yang dulu akan gentar jika sudah ditatap tajam seperti itu oleh Ren. Namun, sepertinya semua pertarungan yang sudah ia lewati cukup untuk menguatkan mentalnya.

Jimmy mengangguk mantap. "Tentu saja aku sadar! Kau tahu, aku benar-benar greget dengan interaksimu dan Rie yang rasanya tidak maju-maju!"

Memang benar apa yang dikatakan oleh Jimmy.

Meskipun Ren dan Rie sempat ada peningkatan ikatan saat di markas Magic Black Organization, mereka sama sekali belum ada kemajuan hubungan.

Sepertinya sifat Rie yang polos itu membuatnya tidak menyadari perasaannya sendiri, dan sikap Ren yang mengulur-ulur waktu terus untuk menyatakan perasaannya membuat mereka belum ada kemajuan.

"Ah, ya. Ngomong-ngomong, kenapa Rie belum datang ya...?" Jimmy melihat sekelilingnya.

Sosok gadis yang mereka bicarakan belum terlihat. Padahal jam pelajaran hampir saja akan dimulai dan Rie termasuk siswi yang datang ke kelas cukup cepat.

Ngomong-ngomong, Magician Academy tidak pernah mengubah jumlah dan murid-murid di tiap kelas meskipun mereka sudah berada di tingkat selanjutnya. Jadi mereka akan selalu bertemu dengan orang yang sama selama 6 tahun penuh.

"Ia telat, mungkin." Ren mengendikkan bahunya tidak peduli--ralat, berusaha terlihat tidak peduli.

"Buu..~ kau tidak asyik, Ren." Jimmy mengerucutkan bibirnya. Ceritanya ngambek.

"Ahh! Rie, kenapa kau tidak membangunkanku lebih cepat!?"

Suara yang sangat Ren dan Jimmy kenali tiba-tiba terdengar. Itu suara Kay.

"Diam, bodoh! Kita telat karena salah siapa!? Bersyukurlah kau masih kubangunkan! Kalau aku kejam, aku pasti akan meninggalkanmu di kamar asrama!"

Lalu suara yang lebih mereka kenali muncul. Itu suara orang tersayang Ren //uhuk//, Rie.

BRAK!

Suara gebrakan pintu menarik perhatian satu kelas.

"Hosh ... hampir saja ... hosh ... telat." Rie berusaha menyelaraskan nafasnya yang terengah-engah.

Keadaan Kay tidak jauh beda dengan Rie. Bahkan mungkin lebih terlihat tidak baik dibanding Rie.

"Yoo!" Jimmy menyapa, ramah. "Ada apa, nih? Kenapa telat?" Tanyanya.

Rie menunjuk Kay. "Si bodoh ini salah menyetel alarm. Sudah kuduga harusnya aku saja yang menyetelnya tiap hari," jawab Rie kesal.

Lalu, perdebatan kecil pun kembali dimulai.

Ren menatap Rie dan Kay yang sedang berdebat dengan datar, namun Jimmy dapat merasakan bulu kuduknya merinding saat berada di dekat Ren.

Harus diingatkan, laki-laki seperti Ren, jauh lebih menyeramkan saat sedang cemburu.

Ren berdiri dari tempat duduknya, lalu menarik tangan Rie, menjauh dari Kay. Ren mendudukkan Rie di kursinya.

"Sebentar lagi Miss Eindy akan datang. Lebih baik kau juga duduk di tempatmu, Kay Lirgenda," perintah Ren dengan penekanan pada nama Kay, sukses membuat si empunya nama merinding.

Rie dan dan beberapa murid di kelas menatap bingung dengan kelakuan Ren yang tidak biasa.

Sepertinya, untuk kali ini mood Akusagaya Ren akan susah kembali.

R•R

Tok

Tok

Tok

"Silakan masuk."

Cklek

"Permisi. Maaf mengganggu pelajaran anda, Mister Andea. Kami membutuhkan Ayanasaka Rie dan Akusagaya Ren untuk membantu."

Rie dan Ren saling berpandangan bingung. "Kami?" Tanya Ren memastikan.

Siswi tersebut--diduga anggota OSIS Magician Academy karena menggunakan badget OSIS--mengangguk.

"Izin diberikan. Silakan ke luar dari kelas sementara, Ayanasaka dan Akusagaya," ujar Mister Andea.

"Baik." Ren dan Rie berdiri dari tempat duduk mereka. Mereka mengikuti siswi tersebut.

"Um ... kenapa kami dipanggil, ya?" Tanya Rie kepada siswi tersebut.

Siswi tersebut menoleh. "Maafkan saya. Tetapi saya juga tidak tahu. Ketua OSIS hanya menyuruh saya memanggil kalian," jawabnya.

Rie menyilangkan tangan. "Ketua OSISnya ... Kazuto-san, kalau tidak salah," ujar Rie kepada Ren. "Kenapa memanggil kita, ya?"

Ren menatap lekat-lekat wajah Rie yang sedang serius. Diam-diam ia membatin.

'Manis.' Ren tersenyum kecil tanpa ia sadari. 'Saat sedang serius, Rie sangat manis dan mempesona.'

"Ren?" Panggilan Rie membuat lamunan Ren buyar.

Ren tersentak. "Ah, ya? Ada apa, Rie?"

Rie mendengus. "Kau melamun tentang apa, Ren?" Tanya Rie penasaran.

Seakan tidak memberi waktu untuk menjawab, siswi di depan mereka memotong. "Akusagaya, Ayanasaka, ini adalah ruang ketua OSIS. Pasti ia sudah menunggu kalian. Saya masih ada tugas. Jadi, kalian boleh lansung masuk."

"Terima kasih sudah mengantar kami," ujar Ren dengan senyum kecil di wajahnya.

Siswi itu terkejut sesaat lalu tersenyum dengan wajah sedikit merona. Ia mengangguk mengiyakan lalu pergi meninggalkan Ren dan Rie.

Entah kenapa, Rie terganggu dengan wajah merona siswi tadi terhadap Ren.

'...Aku tidak suka pemandangan tadi... kenapa ya?' Pikir Rie.

"Sekarang ganti kau yang melamun, Rie."

Suara Ren menyadarkan Rie. Ia menoleh ke arah Ren yang sedang terkekeh melihatnya.

Ah, ya. Setelah pertempuran melawan Magic Black Organization, Ren memang cukup sering berekspresi sekarang. Berbeda dengan saat dulu.

Terutama, saat ia sedang bersama Rie.

"Nah, ayo masuk." Ren mengetuk pintu ruang ketua OSIS.

Tok tok tok

Hening sejenak.

"Masuk."

Suara itu milik Kazuto, namun terdengar letih.

Ren dan Rie saling berpandangan bingung sebelum Rie mengangkat bahunya. Ren membuka pintunya.

Pemandangan yang pertama kali mereka lihat adalah Aikawa Kazuto, sang ketua OSIS yang 'katanya' sangat tegas dan bertanggung jawab, kini tepar di meja kerjanya.

Dengan tumpukan berkas yang kira-kira masih setinggi 30 cm.

"Kazuto-san?" Panggil Rie.

Sontak kepala Kazuto mendongak. Matanya terlihat berbinar. Ia segera berdiri. "Akhirnya kalian datang!"

Ren dan Rie terdiam, bingung.

Kazuto mengangkat tumpukan berkas yang tinggi itu dan lansung menyerahkannya kepada Ren.

"Tolong bantu kerjakan berkas ini! Aku sudah menyelesaikan sebagian besar sendirian. Tidak masalah, kan, aku meminta bantuan kalian? Tolong, ya? Berjuanglah! Oh ya, jangan sampai kalian meminta bantuan Yuu-kun dan Shu karena mereka hanya akan menghancurkan berkasnya!"

Kazuto lansung mengambil langka seribu dan ke luar dari ruangan ketua OSIS setelah menyelesaikan omongan panjang lebarnya.

Rie dan Ren sampai tidak bisa berkata apa-apa sebelum Rie mendesis kesal.

'Apa-apaan Kazuto-san?'

***

2 jam kemudian

"Sekarang aku mengerti perasaan Kazuto-san saat mengerjakan berkas-berkas laknat ini."

Meskipun tinggi berkas itu 'hanya' 30 cm, tapi untuk Ren dan Rie yang bukan anggota OSIS, itu sudah cukup membuat mereka tepar.

(Mereka belum merasakan mengerjakan 75 cm berkas sendirian dengan tenggat waktu hanya 3 jam. - Kazuto)

"Taruh saja berkas itu di meja Kazuto-san." Rie menunjuk berkas yang mereka kerjakan tadi dan meja Kazuto bergantian.

Ren mengangguk. Ia berdiri dan mengangkat berkas itu dengan susah payah. Susah payah karena tangannya sudah letih setelah menyelesaikan berkas-berkas itu.

Setelah meletakkan berkas itu, Ren menghampiri Rie. "Mau ke kantin?" Tawarnya.

Rie mengerutkan keningnya. Ia melirik jam di ruangan ketua OSIS. "Ini masih waktu jam pelajaran. Bukankah kita harusnya kembali ke kelas?"

Ren mendengus. Ia menarik tangan Rie untuk berdiri dan berjalan ke luar ruangan, masih dengan tangannya yang menggenggam tangan Rie.

"Setelah mengerjakan berkas itu? Tidak, terima kasih," tukasnya.

Rie menghela nafas dan tersenyum kecil.

R•R

"Mau apa?"

Rie menelisik kertas menu di hadapannya. "Ehm ... apa ya? Kalau roti melon boleh?" Tanya Rie.

Ren mengangguk. Ia beranjak pergi menuju bagian penjualan.

Tidak lama kemudian, Ren datang dengan membawa sebungkus roti melon untuk Rie dan sepiring Curry Rice untuk dirinya.

Ren menepuk bungkusan itu ke kepala Rie. "Jauh-jauh ke kantin hanya untuk membeli roti melon?"

Rie menerima bungkusan itu sambil terkekeh. "Aku tidak lapar, sih," ujar Rie.

Tawa kecil Rie, sangat manis.

Saking manisnya, sudut bibir Ren ikut menaik. Mengukir senyuman kecil di wajahnya.

Ren duduk di bangku depan Rie.

Ia memakan pesanannya sambil sesekali memperhatikan Rie yang memakan roti melonnya dengan riang.

Ren masih bimbang. Ia ragu menyatakan perasaannya pada Rie.

Akan bagus jika Rie juga menyukainya. Tapi, bagaimana bila tidak? Mungkin rasa nyaman saat bersamanya akan menghilang, berubah menjadi rasa canggung.

Ren ... tidak mau itu terjadi.

Ren ... tidak mau persahabatan mereka berdua merenggang hanya karena penolakan.

Memang benar, bahwa ikatan erat yang hancur hanya karena cinta itu sangat sepele. Ren setuju akan hal itu.

Tapi, kenyataan berkata mereka yang ikatan eratnya menghilang hanya karena cinta jauh lebih banyak dibanding mereka yang ikatannya tetap terjalin erat meskipun sempat terhalang oleh rasa cinta.

Ren sungguh, sungguh sangat ingin berada di samping Rie selamanya. Tapi ia takut dengan konsekuensi yang akan terjadi jika Rie menolaknya.

'Kenapa pikiranku terlalu rumit?'

Tiba-tiba kata-kata itu menghantar otak Ren. Membuatnya tertegun akan pikirannya sendiri.

'Kenapa hanya untuk menyatakan cinta, aku sampai susah-susah memikirkan konsekuensinya?'

'Tapi ... aku tidak ingin menyesal karena sudah melonggarkan persahabatan kita karena aku menyatakan cinta.'

'Jadi, aku lebih memilih menyesal karena tidak mengatakannya dibanding menyesal karena sudah mengatakannya?'

Sekali lagi, Ren tertegun.

Ren memandangi wajah Rie. Ia tidak ingin kehilangan senyum manis yang sering terukir di wajah Rie.

Namun, Ren juga tidak mau kalau harus menyerah sebelum mencoba.

Ia tidak mau dinilai sebagai seorang pengecut.

Ren meletakkan sendok yang tadi ia gunakan untuk makan.

"Rie."

"Hm~?"

Ren terdiam. Ia sudah terlanjur memanggil Rie, akan mencurigakan jika ia berkata tidak ada apa-apa.

"Ada apa, Ren?" Rie memiringkan kepalanya, bingung.

"Rie..., kalau ... misalnya ada seseorang yang menyatakan cinta padamu, apa yang akan kau lakukan?"

Rie menatap Ren bingung.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Hm..., tergantung siapa yang menyatakannya, sih. Kalau aku tidak suka, ya, mau tidak mau kutolak." Rie bertopang dagu.

"Kalau begitu, bagaimana kalau yang mengatakannya teman dekatmu? Seperti Akira atau Kay," tanya Ren lagi.

Rie terdiam sejenak. Ia berhenti mengunyah rotinya dan tampak seperti berpikir.

"Itu ... mungkin berat untuk menolaknya. Tapi mereka sudah kuanggap sahabat. Daripada aku menggantung mereka, aku lebih ingin memberi jawaban yang jelas meskipun menyakitkan. Aku juga berharap hubungan kami tidak berubah menjadi canggung. Yah, walaupun itu jarang terjadi..."

Ren seperti mendapat sedikit pencerahan. "Jadi, meskipun mereka menyatakan cinta padamu, kau tetap akan bersahabat dengan mereka, kan?"

Rie mengangguk. "Tentu saja."

Pikiran rumit Ren seketika terasa terangkat. Ia menghela nafas lega dan tersenyum kecil, menandakan kalau ia cukup lega.

"Kalau begitu .... aku mencintaimu, Ayanasaka Rie."

Rie membulatkan kedua bola matanya. Ia terlihat hampir tidak percaya perkataan Ren.

"H-huh? Haha, Ren, kau bercanda, iya, kan?" Rie tertawa garing.

Ren mendengus geli. "Kau tahu sendiri aku tidak pernah pandai bercanda, Rie." Ren menekan nama Rie.

Ren berdiri. Ia mengangkat piring bekas makanannya tadi. Ia tersenyum seakan menenangkan Rie.

"Kau tidak perlu menjawab ini secara lansung. Kau dapat mendiskusikannya dengan siapa pun. Seperti katamu tadi, walau kau menolakku, hubungan persahabatan kita tidak akan berubah. Jadi, kau tidak perlu panik."

Dan akhirnya, Ren berjalan meninggalkan Rie setelah memberikan tepukan dan elusan kecil kepada rambut Rie.

Rie tidak berkata apa-apa. Kepalanya menunduk. Entah kenapa, selera makannya hilang mendadak.

R•R

Dua hari berlalu, Rie masih belum memberi jawaban atas pernyataan Ren. Ren akhirnya berpikir bahwa ia mungkin ditolak.

Sampai suatu hari, saat di mana Ren baru selesai melaksanakan piket kelas sendirian (Jimmy yang jadi teman satu piketnya sedang sakit), Rie mendatangi Ren.

"E-eh... um, selamat siang?" Rie menyapa dengan gugup.

Ren yang awalnya melongo lansung tertawa kecil. "Rie. Ini sudah sore menjelang malam, lho."

Rie melihat jam yang tergantung di kelasnya dengan gugup. "A-ah. Kau benar. Maaf."

Ren mendatangi Rie dan tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Ada apa memanggilku, Rie?" Tanya Ren.

Rie menunduk. Wajahnya merona. "Itu ... soal pernyataan Ren dua hari yang lalu ..."

Ren terdiam.

"Aku... sudah bertanya kepada Nii-chan. Aku bilang kalau aku selalu berdebar saat berdekatan dengan Ren. Aku juga merasa tidak enak jika melihat Ren dekat dengan gadis lain. Rasanya jantungku akan meledak saat Ren memberikan perhatian lebih kepadaku."

Mata Ren membulat mendengar rentetan kata-kata yang mengalir dari kedua bibir Rie.

"Tapi Shu Nii-chan malah memukul kepalaku pelan dan mengatakan bahwa ketidakpekaanku sudah keterlaluan. Ren ...," panggil Rie di akhir kalimatnya.

"Ya?" Tanya Ren dengan wajah sedikit merona seperti Rie.

"Ren ... apa 'rasa' ini benar-benar rasanya mencintai seseorang? Aku tidak tahu, Ren. Aku tidak pernah merasakannya selama ini."

Ren menunduk. Ia menatap mata Rie yang memandangnya lekat.

Senyuman muncul di wajah Ren. Rona merah tidak dapat disembunyikan lagi. Entah kenapa rasanya jiwa Ren bergejolak bahagia.

Ren mendekati Rie dan lansung melingkarkan kedua lengannya di tubuh --yang baginya-- mungilnya.

"Iya... kau benar-benar bodoh dan tidak peka," gumam Ren pelan.

"Hah!?" Rie hampir mendongak jika Ren tidak memeluknya sampai kepalanya bersender di dada bidang Ren. Wajahnya memanas.

"Kau masih belum pernah merasakan perasaan itu, kan? Tidak apa-apa. Aku juga, kok. Kita akan mempelajari rasa itu bersama-sama. Kau adalah kekasihku yang pertama dan akan menjadi yang terakhir juga. Aku berjanji." Ren mengeratkan pelukannya.

Rie menggenggam erat pakaian Ren. Ia mengangguk pelan. "...Ya."

Warna jingga yang menghiasi kelas karena terbenamnya Matahari menambah suasana hangat di antara mereka.

R•R

8 tahun kemudian...

Pada pagi hari yang cerah. Di sebuah gedung yang tidak besar namun juga tidak kecil. Terdapat seorang wanita berambut abu-abu dengan manik merah yang indah.

Seorang pria berambut biru tua dengan manik hijau muda mendatangi perempuan itu dengan terburu-buru.

Perempuan cantik yang tengah mengenakan gaun pengantin yang indah berwarna putih menggerutu. "Kau telat, Ren."

Pria yang dipanggil Ren tersebut memasang senyum bersalah. "Maaf, Rie. Jangan memasang wajah kesal begitu, tidak cocok dengan gaun indah yang kau kenakan."

Wanita yang dipanggil Rie tersebut mendengus. "Kau hanya memuji gaunnya?"

Ren terkekeh. "Tentu saja kau juga cantik. Kau tahu itu, aku tidak perlu mengatakannya karena itu sudah pasti."

Rie merona. "Huh ... dasar," gerutunya.

"Ayo-ayo! Kita tidak boleh telat acaranya!"

Skip

"Akusagaya Ren, apa anda bersedia menikahi Ayanasaka Rie dan selalu bersama dalam suka dan duka, senang dan susah, seumur hidup?"

"Aku bersedia."

"Ayanasaka Rie, apa anda bersedia menikahi Akusagaya Ren dan selalu bersama dalam suka dan duka, senang dan susah, seumur hidup?"

"Aku bersedia."

"Silakan kedua mempelai berciuman."

Ren dan Rie saling berhadapan. Manik mata mereka saling beradu.

Ren mendekatkan wajahnya kepada Rie. Ia menyentuhkan keningnya ke kening Rie sambil tersenyum. "Kau tahu, Rie? Aku ... rasanya bahagia."

Rie terkekeh kecil. "Tidak hanya kau yang berbahagia, Ren."

Dan kedua bibir tersebut saling bersentuhan lembut.

***

Mereka dulu hanya teman sekelas.

Mereka dulu hanya sepasang rekan yang berjuang dan bertarung dalam tim dan pihak yang sama.

Mereka dulu tidak memiliki hubungan yang jelas.

Namun, sekarang mereka telah mengikat janji setia yang sama di gedung pernikahan.

Mereka dulunya tidak lebih dari teman.

Seiring berjalannya waktu, sebuah perasaan asing muncul di hati mereka.

Perasaan asing yang sangat berharga.

Perasaan yang mengikat mereka untuk bersama selamanya.

-END-

Finish...
Maafkan sayaaa!! Aaaa bahkan saya merasa belum cukup umur untuk menulis adegan kissing!! Huwaa!! Semua demi kelansungan cerita dan demi menyenangkan hati para pembaca shipper RenRie!!

Maaf juga jika ini tidak memuaskan ... TTwTT

Yah ini adalah bonus chapter terakhir di Magician Academy ... sekali lagi maafkan saya ya, Febrine_08_Yananza :")

Akhirnya... dengan ini, saya selaku author / penulis story Magician Academy menyatakan bahwa kisah ini TAMAT.

Kapan-kapan mampir ke storyku yang lain ya >w< !

Bye-bye~!

Continue Reading

You'll Also Like

126K 1.4K 15
Selamat Datang Ke Kampung Celah Bedah Siri 4 , Adault Malay Scandel Story , kesinambungan dari siri siri sediada . Banyak berkisar peristiwa yang ber...
743K 16.6K 21
Nadhira Sofea Bertahun lamanya dia menyimpan perasaan. Rasa yang membungakan hatinya. Rasa yang sangat indah hingga dia mencatat segalanya di setiap...
7.5K 823 43
" Who are you ? " " No one. " " What do you want from me ? " " Nothing. " " Then why are you following me ? " " To protect you. " " From what...
12K 936 47
Karakter yang ada didalam novel saya menceritakan gadis muda yang termasuk dalam sebuah dunia novel yang dibacanya. Gadis tersedut telah menjadi Pute...