SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

169K 16.3K 709

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

25

3.8K 448 39
By SophieAntoni


***Warning: Typo

Ava Argani

Bayangan kabur yang tertangkap penglihatanku persis seperti gambaran detik-detik sang pemeran utama di film-film menangkap lagi kesadarannya setelah pukulan keras yang ia terima dari sang antagonis? Entahlah tamparan ini benar-benar membuat jiwaku sejenak terbang pergi. Aku bisa mengecap rasa asin di sudut bibirku. Kupejamkan mata sebentar untuk memulihkan kesadaranku. Aku bisa merasakan sepasang tangan meraih tubuhku.

"Non Ava." Suara Bik Imah yang terdengar khawatir masuk ke pendengaranaku dan memaksa kelopakku membuka. Tangan tuanya itu mengelus punggungku dan berusaha menarikku bangkit. Lamat-lamat suara denging di kuping kiriku menghilang dan aku bisa menangkap suara-suara teriakan marah yang bersumber tak jauh dariku.

"Kenapa kamu kasar sama Ava? Gimana kalau ada apa-apa sama dia?"

"Dia sudah keterlaluan dan dia pantas mendapatkannya. Memang ya...buah busuk akan selalu jatuh nggak jauh dari pohonnya."

Aku meringis saat nyeri di pipiku kian terasa saat aku berusaha bangkit dibantu Bik Imah.

"Va..." Mitha mendekatiku dan ikut memegang lenganku. "Kamu nggak apa-apa? Ya Tuhan!" Mitha tampak terkejut saat memandang wajahku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana rupaku saat ini namun dari ekspresi Mitha, tamparan Aldo benar-benar mengukir sesuatu di wajahku. Mataku menangkap sosok Aldo sedang terengah masih memandangku. Kilat di matanya menandakan amarahnya masih belum terkuras habis.

Bik Imah membantuku duduk di salah satu kursi meja makan. Ia berlari cepat ke dapur.

"Aku nggak tahu harus bilang apa saat semua teman-temanku mengirimi foto kamu dan laki-laki itu. Jadi begini kerjaanmu di luar sana? Mencari laki-laki yang sudah punya ikatan? Kamu memang nggak ada bedanya sama ibumu!" suara tinggi Aldo terdengar kembali. Dan kata-katanya kali ini justru meruntuhkan semua pertahanan yang susah payah kubangun saat ia tadi menanmparku. Aku tidak menangis saat itu namun sekarang....butir-butir air mataku menetes tak berhenti. Kerngkonganku tercekat.

"Nggak seperti..." aku menelan ludahku. "Nggak seperti itu." Aku terisak pelan. "Aku nggak punya hubungan apa-apa dengannya." Aku berusaha membela diriku. Namun Aldo tetap meraau mengeluarkan semua kosa kata yang paling menyakitkan. Aku mecoba menulikan pendengeranku namun tidak mampu.

Dari luar terdengar Mobil Mama memasuki pekarangan. Bik Imah yang sedang mencoba mengompres pipiku dengan air panas berlari tergopoh ke luar. Aku melihat Mitha berusaha membujuk Aldo untuk masuk ke kamar untuk mendinginkan suasana. Dan aku sendiri segera bangkit dari kursiku dan memutuskan kembali ke kamarku.

"Mau kemana kamu? Kita harus selesaikan semuanya di sini dengan Mama ada di sini!" perintahnya lagi.

Mama muncul lewat pintu samping bersama Abie dan Sashi. Aku tidak tahu apakah Abie dan Sashie menyaksikan kekerasan yang dilakukan Papa mereka padaku tadi.

"Ada apa ini? Siapa yang memukul siapa?" Suara Mama mengisi ruangan. Aku lihat Tania juga mengekor dari belakang dengan wajah penuh tanya.

"Papa pukulin tante Ava." Lapor Abie dengan wajah takut-takut memandang ayahnya. Sedang aku sibuk membersihkan wajahku yang basah sambil mengontrol perasaanku.

"Ada apa Aldo?" Mama memandang Aldo kemudian berganti memandangku. Dan hanya beberapa detik kemudian aku bisa melihat kelopak mata Mama membesar kaget. "Apa yang kamu lakukan?" Mama sekali lagi bertanya pada Aldo.

Tania berlari ke arahku dengan wajah cukup terkejut dan ia meringis melihat wajahku yang mungkin saat ini sudah berubah warna.

"Dia....dia bikin malu Ma! Tadi aku tiba-tiba ditelepon beberapa temanku, mereka bilang dia selingkuh sama pacar seorang artis dan berita beserta fotonya udah kesebar dimana-mana."

Aku tertunduk menahan air mataku.

"Apa maksudnya?" Mama mengeryit belum paham.

"Mama tahu Ayana Jayanti? Penyanyi terkenal itu? Mama ingat perusahaan tante Vina pernah ngundang dia nyanyi waktu acara ulangtahun perusahaannya? Nah perempuan itu. Dia punya fans jutaan, Ma dan sekarang semua orang udah tahu kenapa pacarnya mutusin dia. Itu semua karena...." Aldo menahan kata-katanya sambil memandangku.

"Itu nggak benar Bang! Media-media murahan itu yang suka memasang foto orang sembarangan. Seharusnya kita bisa tuntut mereka!" Tania tiba-tiba meradang.

"Kamu belain dia?"

"Tapi memang itu nggak benar. Laki-laki itu namanya Rama! Mama ingat tante Nia dan Om Reno? Tetangga kita di Tebet. Rama itu ponakannya. Dia mengenal baik Ava sejak belasan tahun lalu. Dan..."

"Cukup!" Teriakan Mama langusng memutus penjelasan Tania. Mama kemudian mengarahkan pandangannya ke arahku. "Kamu pacaran dengan dia?"

Aku menggeleng.

"Mereka nggak pacaran Ma. Rama yang menyukai Ava!" Tania mencoba membelaku namun sepertinya Tania salah langkah karena kata-kata itu justru membuat wajah Mama menegang.

"Saya seperti familiar dengan cerita ini." Suara Mama terdengar berat. "Nggak mungkin foto itu menyebar kalau...."Mama berhenti sejenak.

"Mama lihat sendiri foto-foto ini." Aldo mendekati Mama dan menunjukkan sesuatu di ponselnya. Aku sendiri tidak tahu foto seperti apa yang sedang mereka lihat. Seingatku peretemuan kami tadi hanya sekejap dan tidak ada interaksi berarti.

Beberapa detik kemudian. Mama memandangku kembali dengan tatapan yang tajam dan penuh kemarahan. Ia tidak berkata apa-apa namun langsung berjalan masuk ke kamarnya.

"Kamu lihat sendiri kan? Kamu sudah membangkitkan trauma Mama. Kamu masih mau tinggal di sini?" Aldo berkata sinis penuh kemenangan. Tania berjalan ke arahnya dan menyambar ponsel di tangannya. Ia menatap layar itu cukup lama dan memandangku. Aku tidak tahu apa arti tatapan Tania namun aku memilih berlari ke kamarku.

Aku mencari ponselku dan mulai mencari-cari foto-foto yang dimaksud. Dan setelah melihatnya, aku memejamkan mataku dan membiarkan genangan air yang menggantung di sana perlahan menetes keluar. Aku tidak pernah tahu Rama memandangku seperti di foto ini. Ini hanya momen beberapa detik yang kemudian dengan tepat ditangkap oleh kamera. Dan ternyata tidak hanya foto saat kejadian kemarin namun media-media itu mulai mngorek dokumen lama meraka dan mereka menemukan sosok yang sama yang tertangkap kamera mereka beberapa waktu lalu saat mereka pertama kali menemui Rama untuk konfirmasi. Ya, saat itu aku bahkan menghindar secara diam-diam namun aku salah aku masih tertangkap oleh mereka. Dan kejadian kemarin seperti potongan terakhir dari puzzle skandal cinta Ayana dan Rama. Aku adalah jawabannya. Mereka tentu saja dengan mudah mengambil kesimpulan. Aku adalah orang ketiganya. AKU! Dan tinggal tunggu waktu saja mereka akan mengorek pertemuanku dengan Rama.

"Ava." Tania muncul di ambang pintu kamarku.

"Mama kembali membenciku."

"Jangan bilang seperti itu." Tania mendekatiku dengan membawa kotak obat. "Gue obati dulu luka di bibir lo. Keterlaluan banget emang si Aldo..." Tania mendesah kesal.

"Aku....sebaiknya memang aku nggak kembali ke rumah." Kataku sedikit menyesal.

"Ngomong apa sih?"

"Aku harus pergi, Kak. Mama diam berarti Mama marah. Dan aku nggak bisa..." aku kemudian turun dari ranjang, menarik tas ranselku dari balik lemari kemudan memasukan baju-baju yang bisa kubawa. Aku tidak tahu aku akan pergi kemana saat ini. Namun untuk sekarang aku perlu pergi dari rumah, menghindar dari pandangan Mama.

"Nggak harus pergi Va! Gue akan bantu jelasin ke Mama. Aldo berhasil provakasi Mama tapi kan Mama belum paham cerita sebenarnya."

"Kakak nggak dengar kata-kata Mama tadi? Dia bilang dia familiar dengan cerita ini. Dia teringat kembali perselingkuhan Papa dengan perempuan dari masa lalunya. Penjelasan Kakak tentang aku yang jadi masa lalu Rama justru semakin memperkuat alasan Mama menganggap cerita ini sama." Aku mencoba membuat Tania paham karena menurutku Tania menganggap enteng rasa trauma Mama. Kakakku itu hanya bisa menghembuskan napas mendengar kata-kataku.

Aku kembali menyibukan diriku dengan memasukan pakaian ke dalam ransel. Ponselku kembali bergetar tak berhenti namun aku tahu itu hanya beberapa dari temanku yang sedang penasaran tentang aku yang tiba-tiba menjadi musuh nasional. Sebaiknya memang aku mematikan benda itu sementara.

"Erick yang nelepon nih." Kata-kata Tania dari belakangku langsung menghentikan gerak tanganku. Aku menoleh. "Lo nggak mau angkat?" tanyanya lagi dan membuatku terpaku. Tania kemudian mengambil ponsel yang masih bergetar itu dan membawakannya padaku.

Aku mengambilnya dengan agak ragu. Aku bahkan tidak berani memandang mata kak Tania.

"Halo."sapaku pelan dan bergerak agak menjauh ke sudut ruangan.

"Va? Kamu baik-baik saja?" kata-kata itu membuat kelopak mataku kembali panas. "Va? Hei..aku baru baca gosip-gosip murahan itu dan aku..." Erick terdiam saat mendengar aku terisak kecil.

"Va....aku baru tiba di Jakarta besok. Kalau misalnya malam ini kamu mau ke suatu tempat kamu bisa ke apartemenku. Please, tenangkan dirimu okey...aku tahu rumah pasti bukan tempat yang nyaman buat kamu saat ini."

Aku masih terisak dan tidak merespon kata-kata Erick. Tangisku ini lebih kepada keputusankku untuk akhirnya memberitahukan Tania tentang kenyataan antara aku dan Erick. Aku tidak ingin di situasi seperti ini, namun aku tidak bisa mundur lagi.

"Aku akan menelepon manajer apartemennya sekarang dan dia akan memberikan kuncinya sama kamu. Aku tahu pasti sesuatu terjadi. Kamu keluar dari rumah malam ini juga. Va...."

"Ya...oke..." kataku hampir seperti bisikkan.

"Oke..." aku mematikan teleponnya. Tangaku dengan epat menyeka mataku. Aku membalikkan tubuhku dan mengangkat wajah. Di sana Tania memandangku penuh arti.

"Kak..."

"Lo dan Erick? Maksud gue... ini yang lo bilang mau ngomong sama gue?"

Aku tidak mampu membuka mulutku  lagi.

"Sejak...se..sejak kapan Va?"

Aku hanya menggeleng sambil berusaha menahan air mataku karena aku sama sekali tidak tahu harus berkata apa.  Sekarang satu-satunya anggota keluarga yang ada di pihakku pun sedang kubuat menjauhiku.

"Aku minta maaf Kak."

Tania mengangguk dengan ekspresi wajah yang membuatku hampir tak mengenalnya. Dia kemudian bangkit dari ranjangku dan meninggalkan kotak obat itu di sana.

"Gue lupa lo pernah ketemu dia di Bali." Dia sedikit tercekat dan membuatku menangkap kesedihan yang ia rasakan.

"Kak...." Panggilku sekali lagi. "Aku minta maaf." Tapi Tania terus berlalu tanpa menoleh ke arahku.

Aku menghela napas berkali-kali agar bisa menghentikan tangisku untuk sementara. Rumah ini tiba-tiba menjadi tempat asing bagiku ketika Tania bahkan tak mau menoleh ke arahku. Aku merasa begitu sendiri dan sepi. 

Aku kemudian bangkit mengisi kembali ransel besarku itu dengan segala yang kubutuhkan dan bergegas turun. Aku tidak menemukan siapa-siapa di bawah. Namun saat aku akan keluar Bik Imah berjalan cepat mendekatiku.

"Non Ava mau kemana?"

"Aku pergi sebentar, Bik."

"Tapi lukanya belum sembuh."

"Nggak apa-apa Bik." Aku memegang kedua lengan wanita tua baik hati itu. "Bik Imah jagain Mama ya." Aku mengeluarkan masker dari kantung jaketku dan mengenakannya kemudian menghambur cepat keluar sebelum tangisku kembali pecah. Saat berada di dalam taksi Erick kembali meneleponku mengatakan alamat apartemennya dan memastikan manajer apartemen akan menemuiku.

Tidak sampai satu jam aku tiba di sebuah gedung apartemen di kawasan Jakarta Selatan. Seorang pria menemuiku di lobi dan menyerahkan kunci apartamennya. Dia mengatakan kalau apartemen itu sudah lama tidak ditempati dan Erick berniat menyewakan atau menjualnya. Erick pun tadi berkali-kali mengatakan kalau apartemen itu bukan tempat tinggalnya saat ini untuk meyakinkan agar aku tidak ragu untuk menempatinya. Aku memang berniat untuk ke rumah dokter Lisa namun niat itu segera kuurungkan karena aku belum siap bertemu dengannya dengan wajah lebam seperti ini.

Aku mengedarkan pandanganku ke seisi apartemen dua kamar yang tampak rapi itu. Cat dindingnya didominasi putih namun satu sisi dindingnya dilapisi material kayu seluruhnya yang membuat ruangan minimalis itu terkesan mewah. Tidak banyak perabot yang kutemukan. Hanya ada separangkat sofa berwarna abu berdampingan dengan coffee table kayu jati yang ditempatkan tepat di depan TV plasma yang digantung di dinding bermaterial kayu . Ada sebuah chaise lounge berbahan kulit mengisi sudut ruangan dan set meja makan di belakang sofa yang langsung berhadapan dengan barisan jendela kaca yang ditutupi tirai. Sebuah lukisan abstrak besar menutupi sebagian dinding di salah satu sisi ruang makan.

Aku melangkah pelan menuju kamar utama yang ukup luas dan didominasi warna hitam dan putih. Ranjang yang cukup besar namun terkesan lama tidak digunakan. Langkahku terhenti di depan lemari pakaian yang menempel di dinding. Perlahan aku membukanya sedikit dan kutemukan beberapa kemeja Erick di sana. Aroma yang terpancar dari dalamnya membuat jantungku berdegup pelan. Aku menghela napas dan berjalan keluar dari kamar itu karena berada di ruangan ini menimbulkan berbagai macam hal di otakku.

***

Erick Leitner

Aku melompat naik ke dalam taksi dan menyebutkan alamatku. Ini masih Pukul setengah 5 pagi. Tanganku bergerak gelisah di atas ponsel karena aku berniat menelpon Ava namun segera kuurungkan niatku berpikir di mungkin masih tidur. Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya karena tangisannya kemarin terus terngiang di kepalaku. Waktu satu jam perjalanan ini pasti akan terasa sangat lama.

Aku tidak sengaja mendengar celoteh Winda dan Vena, dua awak kabinku saat makan malam bersama kemarin di Singapura. Mereka bicara tentang Ayana, mantan kekasihnya dan perempuan yang diduga selingkuhan laki-laki itu. Ketika mereka membahas foto-foto laki-laki dan perempuan yang tersebar di hampir semua akun gossip itu, otakku tiba-tiba bekerja. Aku pun mengeceknya sendiri dan hanya bisa menghela napas berat.

"Dokternya sih cakep banget tapi....ceweknya? Hmmm...she's not that pretty! Cakepan Ayana kemana-mana lagi." Celutuk Winda dan dibenarkan oleh Vena.

Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum dalam hati karena mereka tidak tahu betapa spesialnya perempuan itu.

Satu jam kemudian aku sudah berjalan tergesa memasuki lobi dan menuju lift yang akan membawaku ke lantai 17. Dadaku berdegup pelan sebelum membuka pintu apartemen. Aku tersenyum kecil melihat sneaker lusuh Ava menyambutku. Aku melangkah pelan ke dalam dan melihat perempuan yang membuatku gila beberapa wkatu terakhir ini sedang terlelap di sofa. Aku menghela napas lega.

Aku mendekatinya dan sedikit menunduk memandang wajahnya. Hatiku terenyuh saat melihat bekas lebam di pipinya dan luka di sudut bibirnya. Siapa yang melakukan ini? Tanyaku marah dalam hati. Tanganku terulur hendak menyentuhnya pelan namun tubuh Ava bergerak pelan dan matanya perlahan membuka. Dia sedikit terkejut dengan kehadiranku. Aku menyapanya dengan senyum.

"Morning." Kataku. Dia perlu waktu beberapa detik untuk mengumpulkan nyawanya.

"Aku kira kamu nggak akan sampai sepagi ini." Balasnya dengan suara serak dan berusaha bangun.

"Kenapa? Kamu masih ingin sendiri? Apa aku harus pergi aja?" tanyaku serius karena mungkin hal terbaik untuknya saat ini adalah sendiri. Namun senyum kecil yang tercipta di bibirnya dan gelengan kepalanya membuatku lega.

"Jangan." Katanya pendek. Dia memandangku lebih seksama. "Oh jadi kayak gini kamu kalau pakai seragam?"

"Kenapa? Ganteng kan?" kataku penuh percaya diri.

Dia tertawa dengan sedikit meringis.

"Siapa yang melakukan itu sama kamu?" kepalaku bergerak ke arah wajahnya.

"Bang Aldo." Katanya pelan.

Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh pipi kirinya. Ia tidak menghindar dan membiarkan tanganku berada di sana untuk beberapa saat.

"Va, aku nggak membiarkan mereka menyakiti kamu lagi." Tubuhku bangkit dan berpindah duduk di sebelahnya. Tanganku kali ini meraih tangannya, membawanya dalam genggamanku dan memandangnya lekat. "Aku ingin selalu bisa diandalkan sama kamu. Aku mungkin nggak akan bisa setiap saat ada di sisi kamu namun sebisa mungkin aku akan membuat kamu merasa nyaman dan terlindungi."

Dia hanya mengangguk dan tidak melepaskan pandangannya dariku. Satu hal yang dulu hampir tak pernah ia lakukan.

"Bagaimana dengan gosip-gosip yang beredar sekarang? Apa yang mau kamu lakukan?"

"Biarkan saja. Kalau nggak ada bukti toh akan hilang sendiri. Aku nggak peduli mereka memakiku." Dia mengedikkan kedua bahunya. "Selama ini yang aku takutkan bukan orang lain tapi justru keluargaku. Pandangan mereka yang nggak pernah berubah tentangku akan semakin diperburuk dengan situasi seperti ini. Dan ini akhirnya terjadi."

"Kita akan sama-sama memperbaiki situasi ini. Percaya padaku." Janjiku. Aku kembali melihat senyumnya. "Lagian orang-orang itu nggak tahu kalau kamu punya pacar yang jauh lebih keren dan lebih cool dari dokter itu." Aku mencoba bercanda dengannya dan dia pun menimpalinya dengan tawa.

"Ya, sepertinya aku perlu memamerkan kamu ke mereka semua. Menurutmu?"

"Oke....dengan senang hati."

Dia kembali tertawa.

"Nggak ah..aku bercanda." Dia mencoba menyembunyikan wajahnya yang tadi sempat tersipu akibat kata-kataku."Kamu cantik bahkan saat bangun tidur." Pujiku tiba-tiba dan membuat dia kembali tersipu malu dan menarik tangannya dari genggamanku. "Aku serius." Kataku lagi saat ia bangkit dari sofa dan berlari ke kamar mandi

"Kamu malu karena belum sikat gigi? Aku nggak nyium kok? Tetap wangi!" teriakku dan membuatnya menjerit kesal dari dalam kamar mandi. Aku tertawa sendiri dan beranjak membawa koperku ke dalam kamar.

"Va! Kenapa kamu nggak tidur di kamar?" tanyaku saat dia baru keluar dari kamar mandi.

"Ummmm..."

"Kenapa?" Langkahku mendekatinya.

"Berapa banyak perempuan yang pernah ada di sana?" mata bulatnya memandangku dan membuatku terkesiap. Aku tidak bisa menjawabnya.

"Aku akan mengganti ranjangnya." Kataku setengah menunduk.

"Aku becanda kamu nggak perlu terlalu serius menanggapinya. Aku orang yang realistis." Katanya sambil berjalan ke arah lukisan abstrak besar di dekat ruang makan. "Menerimamu berarti menerima masa lalumu juga kan?" Katanya lagi. Ia menoleh padaku sekilas sebelum pandangannya kembali mengagumi lukisan tak berbentuk itu.

"Kamu kelihatan berbeda, Va." Ia menoleh ke arahku dengan kening berkerut. "Kata-katamu itu. Aku nggak pernah menyangka kamu berpikir begitu. And I thank you for that."

Dia tersenyum tipis.

"Kamu mau sarapan apa?" aku mendekatinya. "Kita sarapan di luar?"

"Oke." Dia mengangguk. Tanganku menangkap cepat tangannya saat dia hendak berjalan menjauhiku. Tubuhnya berhenti dan berbalik menghadapku. Aku lebih mendekat ke arahnya hingga tubuh kami hanya berjarak beberapa senti. Aku kemudian merengkuhnya erat.

"I miss you!" bisikku. Aku bisa merasakan kedua tangannya melingkar di tubuhku. Ia memasrahkan dirinya dan beberapa detik kemudian aku bisa merasakan tubuhnya sedikit terguncang. Dia menangis. Isak yang pelan itu kemudian berubah semakin kencang. Aku bisa merasakan kedua tangannya menekan kencang punggungku.

"Ava?"

"Kak Tania sudah tahu kalau aku mencintaimu. Dia tahu aku saat ini bersama kamu. Satu-satunya orang dalam keluargaku yang selalu membelaku pun saat ini terluka karena aku." Katanya di sela tangisnya.

"Hei..." Aku melepaskan kedua tangannya dan membuat jarak di antara kami. Aku memandang wajahnya yang basah dan menyeka air mata itu dengan tanganku. "Itu bukan salahmu. Jangan terus menyalahkan dirimu."

Kedua tanganku menangkup wajahnya yang setengah mendongak ke arahku.

"Tania akan mengerti. Dia menyanyangi kamu."

Matanya bekerjap dan dia mengangguk pelan. Aku kembali mendekapnya dan mengecup pelan kepalanya. Dia mengangkat wajahnya memandangku dengan kedua kelopak matanya yang basah. Kami berpandangan dengan jarak yang begitu dekat. Ada daya tarik yang besar yang membuat kepalaku bergerak sedikit menunduk ke arahnya. Sedikit ragu namun sinar di matanya memberiku harapan. Dia memejamkan matanya saat bibirku perlahan menyentuh bibirnya. Aku mengecupnya pelan untuk beberapa detik.

Continue Reading

You'll Also Like

255K 19.2K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
592K 4.7K 25
GUYSSS VOTE DONGG ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
662K 59.8K 54
โš ๏ธ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
2.5M 31.4K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...