SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

Bởi SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta Xem Thêm

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

23

3.2K 364 11
Bởi SophieAntoni


Erick Leitner

Ini adalah momen tiga puluh detik terbaik dalam hidupku. Aksiku ini terasa sangat dramatis seperti sebuah potongan gambar dari karya sekelas Robert Zemeckis atau satu bagian terpuitis dari novel terbaik karya Nicholas Spark? Hey, tidak ada salahnya kan aku tahu siapa itu Nicholas Spark? Perempuan di sekelilingku sebagian besar menyukainya. Oleh karena itu mereka berakhir membenciku karena di mata mereka aku bukan tokoh sempurna seperti dalam novel-novel roman itu. Tapi sekarang aku hanya ingin meminjam salah satu kalimat yang mungkin ada dalam barisan kalimat puitis penulis itu, aku ingin sekali menghentikan waktu.

Dengan jarak sedekat ini aku bahkan bisa menghirupi aroma rambut hitam sebahunya. It smells like candy. Ya! Dan aku suka. Tubuhnya terasa ringkih dalam dekapanku sehingga membuat aku harus sangat hati-hati agar tidak menyakitinya, meski aku ingin mendekapnya lebih kuat dari sekarang agar bisa menghentikan isaknya.

Perlahan tubuhnya bergerak melepaskan diri dariku. Ia menyeka kedua matanya dan secepat kilat menyambar tisu yang diletakan di antara kursi kami. Sinar matahari sore mulai menembus kaca depan mobil dan membias di wajahnya. Aku kembali menyalakan mesin mobil. Belum ada yang berbicara di antara kami. Aku meliriknya dan melihat dia masih sibuk menenangkan dirinya dengan kepala setengah menunduk. Lima menit kemudian aku kembali meliriknya dan kali ini ia juga sedang melihat ke arahku. Dan seperti yang sudah bisa kuduga, ia memalingkan wajahnya sangat cepat, berusaha lari dari mataku.

"Kamu sudah tenang sekarang?"

"Ya." Jawabnya menyerupai bisikan. Aku tersenyum sendiri sekaligus memuji diriku yang sudah memberanikan diri menawarkan sebuah pelukan padanya. Untung saja ia tidak menolakku meski perlu beberapa detik ia akhirnya memasrahkan dirinya padaku.

"Va," panggilku. Ia menoleh sekilas. "Kamu tahu kan aku menyukaimu?" dia tidak menjawab pertanyaanku. Kukumpulkan segenap keberanianku untuk membawa kembali topik ini ke hadapannya. Aku menarik napas dan menghembuskannya pelan agar ia tidak membaca kegugupanku.

"Aku meralat penawaranku saat itu. Aku nggak ingin menjadi temanmu. Aku ingin menjadi orang yang spesial buat kamu." Kataku cukup lancar namun tentu saja berbekal mental yang baja agar aku siap dengan jawabannya yang tidak sesuai harapanku.

"Kenapa aku?" suaranya terdengar sangat pelan. Aku kembali memandangnya sekilas dan sempat menangkap sinar matanya yang terkesan ragu akan kata-kataku. Aku memilih tidak langsung menjawab. Aku harus memilah kata yang tepat untuk kusampaikan padanya agar ia bisa percaya. Namun entah kenapa gambaran lalu lintas yang padat di luar sana sama sekali tidak membantuku. Aku tidak menemukan jawaban apa-apa yang sekiranya tidak terdengar seperti jawaban yang dibuat-buat.

"Karena....sepertinya semesta yang menginginkan itu." What the...! Kata-kata apa ini? Makiku dalam hati. Ketika aku sibuk mengutuki diriku karena sudah begitu berani mengikuti jejak Nicholas Spark yang tentu saja sangat tidak cocok keluar dari mulutku, disebelahku aku melihat Ava sedang berusaha menahan senyumnya. Oke, apakah ini pertanda baik? Aku mengerutkan keningku saat memandangnya.

"Kamu becanda kan?" katanya lagi dan membuatku paham dengan makna senyumnya tadi. "Kata-katamu tadi becanda kan?" ia memperjelasnya. Aku hanya bisa meresponnya dengan senyum, jemariku mengetuk-ngetuk pelan setir di depanku. Situasi macet parah seperti ini mulai bisa kunikmati. When time literally stands still!

"Aku serius." Jawabku penuh percaya diri. Senyum tipis yang tadi terukir dibibirnya dan sedikit menghapus gelayut mendung di wajahnya perlahan sirna. "Ok it was so...lame." Aku berdesis kecil. "Tapi aku serius, Va. Aku menyayangi kamu."

"Aku..." dia memandangku dengan sinar mata yang sulit kupahami. Ada rasa takut di dalamnya dan aku bisa memahami hal itu.

"Sebutkan alasan kita nggak bisa bersama, selaian alasan Tania." Aku mencoba perlahan membuka hati dan pikirannya. Dia diam. "Hanya satu alasan itu kan?" tegasku lagi.

"Tapi itu bukan masalah kecil." Jawabnya dengan sinar mata yang masih sama.

"Aku suka kamu bilang seperti itu." Aku berucap lega. Kali ini dia yang tidak paham dengan kata-kataku. "Itu artinya kamu sudah mulai mencemaskan tentang kita." Kataku lagi dan membuat kedua bola matanya seketika bergerak cepat dan ia memalingkan wajahnya dariku. Aku menahan senyumku melihat ia yang sedang salah tingkah di hadapanku.

Kami kembali diam. Namun di dalam dadaku muncul suara-suara yang riuh rendah, sepertinya hatiku di dalam sana sedang bernyanyi senang merayakan talentaku yang selama ini tersembunyi. Yep, aku tiba-tiba menjadi begitu pandai merangkai kata. Kalau selama ini aku dicap playboy, aku bukanlah sejenis pecinta seperti Lord Byron penyair Inggris yang pandai memikat wanita itu.

"Kamu pernah bertemu Rama?" Ava mengalihkan topik pembicaraan kami sekaligus meruntuhkan semua kepercayaan diriku yang baru sempat tercipta tadi. Aku mengela napas berat. Aku lupa kalau masih ada satu alasan yang membuat kami tidak bisa bersama. Dan alasan ini jauh lebih lebih sulit untuk kuterima.

"Ya." Aku menjawab dengan tidak bersemangat.

"Kamu bertemu dengannya di Hongkong?"

"Ya." Jawabku lagi.

"Kenapa kamu nggak mengatakannya padaku?"

"Untuk apa?"

"Entahlah." Dia menggeleng. "Dia bertemu dengan Ayana di sana." Katanya lagi dengan suara pelan. Aku bisa mendengar dengan jelas kekecewaan dalam kata-katanya itu. "Dia secara nggak langsung mengakuinya dan mengira aku mengetahuinya dari kamu." Ava menjawab tanyaku yang terbersit di otakku.

Aku tersenyum kecil sedikit terpaksa karena aku bisa saja memanfaaatkan hal itu untuk menjauhkan Ava dari Rama, namun tentu saja itu bukan cara yang keren untuk mendapatkan hati seseorang. Bahkan hal itu tidak sempat terlintas dalam benakku.

"Lupakan dia." Hanya itu kata-kata yang sanggup kuucapkan. Aku menunggu reaksinya. Dari ekor mataku aku tidak menangkap sesuatu yang memberi kesan bahwa dia terkejut dengan kata-kataku. Ini pertanda baik, bisa saja dia sedang berharap aku bersikap seperti ini? Show her that I will fight for her?

"Va?" aku menuntut responnya.

"Ya?"

Mobilku sudah memasuki area Menteng dan tidak lama lagi kami tiba di depan rumah Ava.

"Lupakan dia." Kataku sekali lagi sebelum mobilku benar-benar berhenti. Aku sedang berburu dengan waktu. Aku ingin menuntaskan semuanya sekarang. Ia menggerakkan lehernya perlahan ke arahku. Ia mencoba menatapku lurus-lurus namun gagal, ia bekerjap dan sedikit mengalihkan pandangannya dariku.

"Va." Kutangkap tangannya dan membuatnya sedikit terpana namun tak sedikitpun mengurungkan niatku. Dia mencoba melepaskan genggamanku namun aku tidak membiarkannya. "Lihat aku." Bisikku. Aksiku berhasil membuat dia mengarahkan pandangannya lagi ke arahku. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca.

"Aku takut." Ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Aku takut kecewa." Sambungnya lagi dan membuat hatiku berdesir bahagia. Aku melepaskan pelan tangannya kemudian menariknya ke dalam pelukanku.

"Aku janji. Aku nggak akan mengecewakan kamu." Aku bisa merasakan tubuhnya diam tanpa usaha untuk lepas dariku. Aku kembali mengeratkan pelukanku hanya untuk meyakinkan bahwa aku benar-benar telah memilikinya.

***

Ava Argani

Tubuh kami berjarak dan aroma tubuhnya tertinggal jelas di penciumanku. Jantungku berdebar pelan ketika aroma ini tiba-tiba terasa seperti candu yang membuatku ingin lagi dan lagi di dalam dekapannya. Aku mungkin sudah gila dengan perasaan ini tapi aku tidak bisa menolaknya. Ia datang seperti pencuri, diam-diam dan tanpa diduga telah memporak-porandakan semua yang tertata rapi di dalam sana, yang kukira kusiapkan untuk menyambut seseorang yang lain. Namun aku salah. Aku tunduk pada pesonanya.

"Pulanglah." Kataku setengah bersiap untuk turun dari mobilnya.

"Aku tunggu sampai kamu masuk." Katanya sambil menggerakkan dagunya. Akhirnya aku turun diiringi tatapannya yang membuat kakiku seperti tidak menginjak tanah. Ini adalah hari yang benar-benar menguras emosi dan perasaanku. Dua hal besar terjadi hari ini. Bertemu dengan keluarga yang tak pernah kupikirkan sebelumnya dan menjadi orang yang spesial untuk laki-laki itu. Ah...aku bahkan masih merasa malu sendiri hanya dengan mengatakan Erick juga adalah seseorang yang istimewa untukku sekarang. Ternyata aku tidak bisa membohongi hatiku kalau aku akhirnya jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah terpikirkan olehku akan menaklukan hatiku. Bagaimana bisa? Aku pun tak tahu jawabannya.

Aku melambai kecil ke arahnya sebelum tubuhku menghilang di balik pagar. Aku masih bisa mendengarkan deru halus mobilnya perlahan menjauhi rumahku. Aku melangkah pelan dengan sisa debar di dalam dada. Mataku menangkap sebuah mobil asing terparkir di dekat garasi yang artinya ada tamu dan aku perlu memutar dan masuk lewat pintu belakang. Namun aku urung melangkah lagi saat aku melihat dua orang anak kecil tampak sedang saling mengejar keluar dari dalam rumah. Itu Abie dan Sashi, dua anak Bang Aldo. Aku tersenyum saat menyadari mereka sudah terlihat lebih besar sejak terakhir aku bertemu dengan mereka. Mungkin hampir dua tahun lalu entahlah aku sudah tidak mengingatnya.

"Tante Ava ya?" Abie masih mengenaliku.

"Hi, sayang. Aku setengah berjongkok saat Abie menghambur ke dalam pelukanku. Sashie mendekatiku dengan ragu, aku rasa ia sudah agak lupa padaku. Terakhir aku bertemu dengannya dia mungkin masih berusia dua tahun, sedang Abie sudah lima tahun saat itu.

"Halo, Sashi, masih ingat tante Ava?" tanyaku. Dia tampak tersenyum malu-malu dan mengangguk pelan. Aku menariknya ke dalam pelukanku.

"Tante Ava baru pulang dari luar negeri ya?" tanya Abie yang langsung membuatku tertawa kecil. "Udah lama tante nggak ngajak Abie main ke Time Zone lagi."

"Iya tante sekolah. Nanti kita main lagi ya. Tante janji." Aku mengelus kepala bocah laki-laki itu. "Kalian datang sama Papa dan Mama?"

"Iya...Papa lagi berantem sama Oma. Mama nangis." Lapor Abie dan membuatku mengerutkan kening dan kemudian menggandeng mereka untuk kuajak ke taman. Dari laporan Abie barusan aku bisa menduga kalau pertengakaran Bang Aldo pasti ada hubungannya dengan cerita Kak Tania beberapa waktu lalu. Aku tidak mau Abie dan Sashi terus-terusan melihat Ayahnya yang selalu emosi dan marah.

"Abie? Sashi?" seorang perempuan berlari keluar. Aku menghentikan langkahku, Kak Mitha, istri Bang Aldo mendekati kami. Aku bisa melihat sembab di wajahnya.

"Kak?" sapaku.

"Hi, Va." Balasnya pelan. Dia menarik napas berat kemudian berjongkok di depan Abie dan Sashi. "Maafin Mami ya." Mitha kemudian memeluk mereka dan terisak pelan. Aku benar-benar bingung karena sama sekali tidak tahu dengan situasi yang sedang terjadi.

"Mitha!" Tania muncul. "Disuruh Mama masuk." Sambung Tania lagi dan membuat Mitha melepaskan pelukannya pada anak-anaknya. Perempuan seusia Tania itu perlahan bangkit.

"Va, tolong temenin Abie dan Sashi ya." Pesan Mitha sebelum beranjak ke dalam. Setelah Mitha hilang di balik pintu, Tania mendekatiku.

"Ini benar-benar perang dunia." Abie dan Sashie berlari ke teras samping dan bermain dengan ayunan gantung di sana. Mataku tetap mengawasi mereka sambil menyimak kata-kata Kak Tania. "Gue udah menebak akan jadi seperti ini."

"Masalah yang ditipu kemarin?"

"Ya...dan rumah mereka ternyata sudah disita."

"Ya Tuhan." Seruku. Tania hanya mengangguk dan kemudian tersenyum kecil sedikit sinis.

"Dan sekarang dia minta bantuan Mama buat nebus. Enak aja." Tania mencibir. Aku tahu Tania dan Bang Aldo tidak akrab sejak Bang Aldo memilih meninggalkan rumah karena tidak tahan tinggal seatap bersamaku. Aku pernah merasa begitu bersalah karena hal ini, namun Tania berkali-kali meyakinkanku kalau sifat Bang Aldo lah yang membuat dia tidak bisa akrab dengan kakak laki-laki satu-satunya itu. Aldo egois menurutnya karena selalu dimanja sejak kecil karena selama hampir enam tahun ia sempat merasakan menjadi anak tunggal sebelum Tania lahir dan lima tahun kemudian aku hadir dalam keluarganya.

"Terus kalau disita, mereka akan tinggal dimana?" aku khawatir tapi lebih kepada Abie dan Sashi yang masih kecil.

"Ya itu tanggung jawab dia. Rumah itu juga dibeli sama Mama. Sebagai laki-laki apa sih yang sudah dia kasih buat anak sama bininya? Hanya bisnis nggak jelas dan berakhir dengan ditipu." Tania berkata dengan berapi-api. "Dan sekarang dia kembali nadah tangan sama Mama. Oh My God!" Tania berdesis kesal.

Bik Imah tergopoh-gopoh mendatangi kami.

"Non Tania sama Non Ava dipanggil Ibu di dalam. Nanti Abie sama Sashi biar Bibik yang jagain dulu." Raut wajah Bik Imah tampak khawatir. Dan aku perlu menarik napas dalam-dalam sebelum mengekor Tania ke dalam rumah.

"Sejak kapan dia ada dirumah ini lagi?" Kehadiranku disambut dengan kata-kata pedas Bang Aldo. Aku mencoba tetap sabar seperti biasa. "Mama memilih dia daripada aku, Mitha dan anak-anak?" serunya lagi namun kali ini ia mengarahkan telunjuknya ke arahku. Aku masih tidak mengerti dengan maksud perkataannya. Aku melihat Mama masih mematung sedangkan Mitha di sebelah Aldo tampak tertunduk dan sesekali menyeka matanya.

"Mama nggak memilih siapa-siapa." Akhirnya Mama buka suara. "Ava anak Papamu. Dia juga punya hak ada di rumah ini." Suara Mama sedikit bergetar saat mengatakannya.

"Mama nggak bisa menawarkan kami untuk tinggal di sini selama anak haram ini ada di sini!" teriak Aldo.

"Cukup Aldo!" jerit Mama. "Bukan kamu yang berhak marah di sini!"

Aku mencoba menahan perasaanku meski hatiku terasa begitu sakit saat kata haram itu kembali terdengar. Aku benci kata itu, meski aku tidak bisa membantah kalau itu benar adanya. Aku bisa merasakan tangan Tania meremas pundakku pelan. Butir-butir air mataku sudah menggantung di pelupuk mataku.

"Kalau kalian mau tinggal di sini, kalian harus bisa menerima Ava ada di sini. Ini rumah Mama, maka kalian harus ikut aturan Mama." Suara Mama sudah terdengar lebih tenang meski aku masih bisa menangkap getar di dalamnya.

"Sejak kapan Mama memaafkan dia? Mama bahkan masih mengusirnya saat di rumah sakit." Aldo masih tidak terima dengan sikap Mama yang menurutnya tiba-tiba berubah.

"Mama nggak akan menebus rumah kamu. Ingat itu! Kamu harus berjuang sendiri, Mama hanya bisa bantu memberikan tempat tinggal untuk kalian. Ingat Aldo kamu nggak bisa terus seperti ini. You take it, or leave it!" Mama tidak menjawab pertanyaan Aldo yang juga adalah pertanyaan besarku yang tersimpan rapat di sudut hatiku sejak kepulanganku ke Jakarta. Aku bisa melihat rahang Aldo mengeras dan meninju tembok di belakangnya dan membuat Mitha terlonjak kaget.

"Dasar manja!" maki Tania di dekatku. Ia sepertinya mulai muak dengan sikap kakaknya itu.

"Mitha, kamu dan anak-anak bisa tidur di kamar tamu. Imah sudah merapikannya." Mitha mengangguk. "Mama nggak nyangka sudah satu minggu ini kalian tinggal di hotel. Hebat sekali kamu Aldo, seharusnya kamu berpikir lebih panjang sebelum kamu menghabiskan uang untuk hotel. Kapan kamu bisa dewasa tanpa bantuan Mama?" Mama membuang napas kemudian melangkah ke kamarnya dan meninggalkan Aldo dengan emosi segunung. Tubuhnya bergetar menahan marah.

Setelah Mama menghilang dari hadapan kami, Miha hendak beranjak mencari anak-anaknya dan Tania menyikutku pelan untuk mengajakku naik ke lantai dua dan tidak lagi menjadi bulan-bulanan Aldo dengan sifat kepala batunya itu.
"Kamu dan anak-anak tinggal di sini. Aku akan cari tempat di luar." Kata Aldo pada Mitha saat aku dan Tania sedang menaiki anak tangga.

"Kamu mau tinggal dimana?"

"Dimana saja. Jangan harap aku mau tinggal bersama sialan itu." Aldo berkata lebih keras dengan tujuan agar aku mendengarnya.

"Cukup Bang Aldo!" jeritku. "Aku nggak minta dilahirkan sebagai anak haram!" aku sudah tidak mampu menahan emosiku. Tania mencoba menarik tanganku dan menghentikan aksiku yang mungkin menurutnya akan sia-sia.

Aldo tertawa sinis di bawah sana saat melihatku begitu marah. Hal yang selama ini tidak pernah kutunjukan pada mereka. Mungkin dia merasa lucu dengan aksiku ini.

"Aku rela melakukan apapun untuk nggak terus dicap sebagai penghancur keluarga ini. Cukup menyalahkanku untuk semua yang terjadi. Bukan salahku kalau bisnis Bang Aldo gagal! Bukan salahku kalau Kak Tania dulu mabuk-mabukan. Bukan salahku juga Papa akhirnya meninggal." Tangisku pun akhirnya pecah dan aku hanya bisa terduduk di anak tangga terakhir dengan Tania yang mencoba menenangkanku.

"Enak sekali kamu bilang bukan salah kamu!" Aldo masih belum mau berhenti meski Mitha mencoba menghentikannya. "Tentu saja itu salah kamu dan ibumu yang penggoda itu. Dasar keturunaan nggak bener!"

"Berhenti Aldo!" Mama akhirnya keluar dan menghentikan aksi perang kami. "Jangan kamu lampiaskan semua kegagalan kamu pada orang lain. Ava benar, kegagalanmu adalah akibat dari ulahmu sendiri!" napas Aldo naik turun dan tidak lama kemudian ia berjalan cepat keluar.

"Mitha, bawa Abie dan Sashi ke dalam. Biarkan dia pergi." Kata Mama. Ia kemudian mendongak k eatas ke arahku yang masih menangis. Dia tidak berkata apa-apa. Hanya sebuah tarikan napas panjang kemudian kembali masuk ke dalam kamar.

"Ayo, Va." Ajak Tania. Aku kemudian berdiri dan melangkah ke kamar ditemani Tania.

"Maafkan Bang Aldo. Maafkan aku juga ya..." Tania mengelus kepalaku pelan. Dan tangisanku justru semakin kencang melihat sikap Tania padaku.

"Hei, kok lo jadi cengeng? Sejak kapan Ava Argani jadi cengeng?" ia menyeka pipiku.

"Kak..."

"Ya?"

Aku memandang wajah cantiknya. Tania yang sangat berbeda di banding beberapa bulan lalu. Tania yang mulai tampak dewasa dan penuh rasa sayang padaku meski bukan dengan cara yang manis, tapi aku sangat menyukainya. Tania yang berubah karena jatuh cinta pada seseorang. Apakah aku mampu menyakiti hatinya dengan berkata jujur kalau laki-laki itu justru mencintaiku? Dan aku juga mencintainya?

"Apa? Kok diam?" dia memegang kedua pipiku yang basah dengan tangannya yang terasa hangat. Tenggorokanku seperti tercekik, aku tidak mampu berkata apapun. Aku tidak mampu mengatakan kebenarannya. Entah sampai kapan aku harus menyimpannya. Tapi aku mau Tania tahu dari mulutku sendiri. 

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

7.4K 1K 29
[Slow update] Fast update only on KaryaKarsa - Kata mereka hidup Sadam terlalu kaku. Sejak mendapat luka dari kekasih masa lalu, rasa-rasanya ia engg...
3.9K 349 55
Ketika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. ...
1.7M 83K 42
Seanno Hydar Smith. Pria tampan berhati iblis. Setiap ingin berhasil mendapatkan tujuan, ia akan memanfaatkan semua keadaan. Katrina Azella. Gadis ca...
2.6M 38.8K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...