SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

22

3.4K 409 27
By SophieAntoni

Ava Argani

Aku berusaha menyembunyikan rasa terimakasihku pada Erick saat melihat laki-laki itu sungguh menghidupkan suasana di halaman belakang rumah ini, terlepas dari keinginananku tadi untuk tidak berada bersamanya di suatu tempat.

Dokter Lisa dan suaminya, Albert, sepertinya menjadi lawan ngobrol yang tepat baginya. Aku hanya menjadi audiens yang setia menimpali mereka dengan senyum dan tawaku. Sesekali aku bicara namun tak jauh dari rencana sekolahku dan responku pada cerita dokter Lisa sebagai senior yang pernah mengenyam pendidikan di Jerman, tepatnya di Wurzburg. Dan terkadang Erick dan dokter Lisa bicara dalam bahasa Jerman dan membuat Albert meringis ke arahku karena merasa kami berdua tiba-tiba menjadi alien.

"So Erick." Dokter Lisa mengambil pitcher dan mengisi kembai gelasnya dengan sirup lemon yang sungguh menyegarkan di siang ini. "Kamu harus menceritakan tentang kota kelahiranmu pada Ava. Aku percaya Ava pasti akan ke sana tahun depan."

"Marderburg?"

"Yep. Dia berencana ke Marderburg." Dokter Lisa memandangku dengan mata yang bersinar persis orang tua yang sedang membanggakan anaknya. Aku mencoba tersenyum namun tidak bisa mengabaikan tatapan Erick padaku. Ya, aku tahu dia pasti terkejut.

"Jadi kamu akan jadi residen di sana?" nada suara Erick terdengar sangat antusias.

"Kalau aku keterima."

"Aku yakin kamu bisa." Erick masih belum melepaskan pandangannya dariku sehingga membuatku agak cemas. Cemas kalau aku tidak bisa menutupi kegugupanku di depan dokter Lisa. Tapi untung saja asisten rumah tangga mereka memberi tanda kalau makan siang sudah siap.

"Ayo makan, yuk." Dokter Lisa bangkit dari kursinya dan mengajak kami untuk masuk ke dalam rumah. "Maaf ya nggak bisa menghidangkan masakan sendiri. Maklum dokter yang satu ini nggak bisa masak." Canda dokter Lisa pada kami.

"Jadi istri yang baik nggak harus pintar masak." Albert memberikan kecupan ringan di pipi dokter Lisa saat mengatakan itu. "Benarkan Rick?" Albert menoleh pada Erick.

"Couldn't agree more." Jawab Erick cepat dan membuat suami istrri itu tertawa bersama.

"So Ava juga nggak bisa masak?" pertanyaan dokter Lisa langsung membuatku terpana karena tentu saja itu terdengar seperti aku adalah pacar Erick atau lebih dari itu, calon istrinya. OMG!

"Ummm...."

"Dokter yang satu ini bisa masak, dok." Erick tanpa seijinku meletakan kedua tangannya di kedua bahuku. "Iya kan?" sambungnya lagi saat aku menoleh ke belakang ke arahnya namun sepertinya ia tidak paham dengan tatapan membunuhku padanya. Ketika ia melepaskan tangannya jantungku berdebar kian menggila. Ya Tuhan, ada apa denganku? Kenapa setiap kali aku mencoba tidak menyukainya hatiku justru membalikan keadaan. Ketika aku tidak ingin bersamanya, jantungku malah berdetak tak keruan.

Sejak sentuhan Erick beberapa saat lalu, pikiranku tiba-tiba tidak bisa fokus. Aku seperti tidak punya kata yang harus kukeluarkan di saat meja makan ini dipenuhi dengan obrolan dan candaan. Baiklah sekarang aku menyesal tidak bisa membuat Erick menolak undangan dokter Lisa tadi sehingga aku tidak perlu berterimakasih padanya karena sudah menghidupkan suasana di rumah ini karena sebenarnya tanpa dia pun semua akan berjalan baik-baik saja. Tentu akan akan bisa survive.

"Makannya dikit banget Va? Tambah lagi dong nasinya." dokter Lisa mendekatkan tempat nasi ke arahku namun aku menolaknya dengan menggeleng. Perempuan di akhir 30an itu hanya bisa mengedikan kedua bahunya saat melihat penolakanku.

"Kalau ini masakanku aku pasti akan sedih loh, Va." Dokter Lisa sedikit mencebik dan menampakan wajah sedihnya.

"Maaf dok, sepertinya aku kebanyakan nyemil tadi." Ucapku membela diri sambil tak lupa memberikam senyum tidak berdosaku.

"Jangan panggil dok ah....panggil aja mbak Lisa, kak Lisa atau tante Lisa." Perempuan itu memberi pilihan sambil memandangku dan Erick bergantian.

"Kak Lisa?" Erick tiba-tiba berkata.

"That sounds better." Dokter Lisa mengarahkan telunjuknya ke arah Erick. "Walaupun aku nggak keberatan sih dipanggil tante, karena aku punya ponakan seumuran kamu, Va. Cantiknya juga sama." Dokter Lisa melihat ke arahku sekilas sebelum kembali sibuk dengan paha ayam panggang di depannya. Erick yang duduk di sebelahku tampak sangat lahap dengan ikan kakap panggang di depannya, begitu pula Albert. Hanya aku yang sama sekali bebas dari tangan yang belepotan. Bukan karena aku tidak lapar atau tidak menyukai menu siang ini, tapi seperti yang kubilang tadi perasaanku sekarang sedang jungkir balik. Aku tiba-tiba merasa tidak nyaman makan di hadapan Erick. Aku jadi salah tingkah hanya karena merasa tiba-tiba ada yang memperhatikanku saat berusaha melepaskan daging ayam dari tulangnya atau saat aku mengecap ujung-ujung jariku yang dipenuhi saus ayam panggang.

"Tinggal dimana ponakannya kak?"

"Hei, kamu nggak boleh menanyakan cewek lain di depan Ava, Rick."

"Kami nggak pacaran dok...ummm kak." Potongku cepat karena aku tak mau asumsi mereka kemudian dianggap menjadi sebuah realitas. Aku perlu mencegahnya.

"Okey....sekarang memang iya...kita nggak tau besok-besok." Dokter Lisa tersenyum ke arah Erick. "Dan jangan percaya omongan orang-orang kalau pilot itu pacarnya banyak." Kali ini dokter Lisa memandangku dan membuatku tertunduk sedikit. Apa perlu aku bilang padanya kalau dia belum mengenal Erick yang sebenarnya? Kalau begitu banyak perempuan yang patah hati karenanya?

"Sudah jangan godain Ava terus." Albert tiba mendelik ke arah istrinya. Aku menimpali kata-kata Albert dengan senyum namun dari ekor mataku aku bisa merasakan Erick sedang melihat ke arahku saat ini. Aku menoleh ke arahnya dan dia dengan sigap mengalihkan pandangannya ke depan, ke arah dokter Lisa dan Albert.

Setelah makan siang, kami kembali duduk di taman belakang karena di sana memang sangat nyaman apalagi dengan bertiupnya angin sepoi-sepoi di siang yang cukup panas ini.

Tiba-tiba seorang anak perempuan muncul. Usianya mungkin sekitar 4 tahun atau kurang dari itu. Wajahnya tampak sembab karena habis bangun tidur. Rambut hitam setengkuknya terlihat acak-acakan dan semakin membuat wajahnya tampak begitu menggemaskan.

"Anak mama udah bangun?" gadis kecil itu langsung mendekap ibunya. "Ayo kenalan sama Tante Ava dan Om Erick." Bisik ibunya pelan. Gadis kecil itu menatap aku dengan malu-malu dan tangan kecilnya bergerak perlahan ke arahku.

"Namanya siapa?" tanyaku sambil memamerkan senyumku.

"Aca." Jawabnya hampir menyerupai bisikan.

"Wah namanya mirip sama tante." Aku mencubit ringan pipi gembulnya.

"Asya tante..." dokter Lisa mengkoreksi jawaban putrinya yang memang belum bisa mengucap Asya dengan jelas. "Nah sekarang kenalan sama Om Erick." Dokter Lisa sedikit mendorong tubuh Asya yang terlihat malu-malu memandang Erick.

"Loh Aca kok jadi malu ngeliatin Om Erick?" Albert tiba-tiba menggoda putrinya dan membuat gadis kecil itu tidak jadi meneruskan langkahnya ke depan Erick malahan langsung bergelayut malu di lengan ayahnya. Kami semua tertawa melihatnya. Erick kemudian mendekati Asya dan membisikkan sesuatu di di telinganya dan ajaib, gadis kecil itu langsung menurut padanya dan tidak menolak untuk di gendong.

"Wow...nggak semudah itu loh Asya digendong orang yang baru dikenalnya." Dokter Lisa terlihat takjub melihat dengan mudahnya Erick menaklukan Asya.

"Aku punya ponakan seumur Asya, Kak. Dan kami sangat dekat." Jelas Erick sambil mencium pelan kepala Asya dan membuat bocah itu nyengir malu-malu dan kembali mengundang gelak tawa kami semua. Bagiku pemandangan seorang laki-laki saat menggendong anak kecil sungguh sangat menyentuh. Aku selalu suka dengan setiap foto Papa saat sedang menggendongku, karena memang Mama tidak pernah mau menyentuhku sejak aku pertama kali dibawa ke rumah, karena itu tidak pernah ada memori yang tertinggal secara nyata ataupun hanya dalam benakku tentang seorang ibu yang menggendong anaknya. Bahkan Papa tidak pernah meninggalkan selembar foto ibu kandungku yang sedang menggendongku sehingga aku tidak punya setitik bayanganpun tentangnya. Aku tiba-tiba teringat Papa saat melihat Erick dan Asya saat ini.

"Kamu bakal jadi ayah yang baik, Rick." Albert mengangkat jempolnya ke arah Erick saat laki-laki itu baru saja sedikit menceritakan tentang hubungan dekatnya dengan ponakannya bernama Gia. Erick tertawa kecil dengan pujian itu dan ia sempat menyapukan pandangannya sejenak ke arahku.

"Erick mengingatkanku pada Papa, Bert." Dokter Lisa berkata pada suaminya dan Albert langsung mengangguk setuju. "Papa pintar sekali menangani anak kecil." Sambung dokter Lisa.

"Orang tua Kak Lisa tinggal dimana sekarang?" tanya Erick yang saat ini masih menjadi tempat yang membetahkan bagi Asya.

"Papa dan Mama di Bogor." Jawab dokter Lisa dengan kedua tangan setengah terangkat ke depan Erick untuk mengajak Asya turun dari pangkuan Erick. "Ayo, Ca sama Mama aja kasian Om Ericknya." Namun gadis kecil itu menggeleng, ia malah terlihat menikmati suapan potongan buah dari tangan Erick.

"Papa udah sepuh banget, udah 75 tapi masih segar sih mungkin karena pensiunan militer ya." Cerita dokter Lisa. "Kalau Mama yang sakit-sakitan, sudah lama banget sejak meninggalnya kakak pertamaku."

"Dokter Lisa berapa bersaudara?" kali ini aku yang bertanya.

"Hanya dua bersaudara tapi kakakku sudah meninggal dan kami jaraknya cukup jauh hampir 12 tahun."

"Wow jauh banget."

"Iya...." Dokter Lisa terdiam sejenak dan raut wajahnya sedikit muram. Aku bisa paham tentu saja dia sedang teringat dengan mendiang kakak satu-satunya. "Kepergian mbak Alena benar-benar membuat keluarga kami hampir hancur berantakan." Sambungnya lagi. Namun kemudian ia seperti tersadar akan sesuatu. Perlahan kepalanya bergerak ke arahku. Dia memandangku sedikit lama. Aku sedikit bingung dengan sikap dokter Lisa yang berubah tiba-tiba.

"Aca ikut Papa yuk." tiba-tiba Albert mengambil Asya dari pangkuan Erick. Gadis kecil itu menggeliat tidak mau. "Iya kita ajak Om Erick main di depan." Albert memberi tanda pada Erick dan membuatku semakin tidak mengerti dengan suasana yang tiba-tiba berubah atmosfirnya. Erick juga terlihat sedikit bingung namun ia bersedia mengikuti Albert masuk ke dalam rumah.

"Va..."

"Iya, kak." Aku menoleh cepat ke arah dokter Lisa saat sebelumnya tatapanku mengiringi langkah Albert dan Erick ke dalam rumah.

"Siapa nama ibu kamu?"

"Um...Anggita."

"Bukan...nama ibu kandung kamu." Aku terdiam dan cukup terkejut dengan pertanyaan ini. Darimana dokter Lisa tahu aku bukan anak kandung ibuku? Aku tidak pernah menceritakan padanya dan kami juga baru bertemu beberapa kali. Ya, aku pertama kali bertemu dengannya 3 tahun lalu, apakah saat itu aku tidak sengaja pernah menceritakannya? Aku rasa tidak karena saat itu kami bahkan tidak seakrab sekarang.

"Ibu kandungku? Ummm..." dokter Lisa masih tidak melepaskan pandangannya dariku. "Aku....lupa.." aku menggigit bibirku pelan karena memang Papa tidak pernah meninggalkan sepotong kenangan tentang ibu dalam pikiranku. Entahlah apakah karena Papa tidak mengingakan itu atau karena Papa tidak mau menyakiti hati istrinya dengan menceritakan padaku mengenai ibu kandungku.

"Sudah terlalu lama aku ingin mengatakan semua ini sama kamu Va." Dokter Lisa menarik napas berat. Ia bahkan perlu menyambar gelas berisi air putih di depannya dan menenggaknya sekaligus hingga tandas. "Tiga tahun lalu aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Namun saat itu aku kehilangan nomor kontakmu dan aku kemudian ditugaskan di daerah sehingga aku kembali kehilangan jejak kamu."

"Ini semua tentang apa Kak? Aku bingung." Jantungku berdebar pelan.

"Kamu nggak mengingat nama Alena? Sedikitpun? Papamu nggak pernah memberitahukannya?" Aku menelan ludahku, kerongkonganku tiba-tiba terasa sempit dan sakit. Aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan dokter Lisa. Dan, Alena? Ya Tuhan aku tiba-tiba ingat sekarang. Alena adalah nama ibuku. Papa pernah mengatakannya, sekali atau dua kali, aku sendiri lupa.

"Aku Alisa, adik Alena. Aku tantemu, Va." Kami berdua berpandangan. Aku bisa melihat sudut mata dokter Lisa mulai menggenang. "Aku nggak mau lebih lama menahan untuk mengatakan semua ini. Dan pembicaraan tentang keluargaku tadi tiba-tiba mendorongku untuk akhirnya berkata jujur. Aku sebenarnya masih ingin menahannya lebih lama, membuat kita jauh lebih akrab tapi aku nggak bisa, Va." Tangan dokter Lisa menyeka matanya yang basah. Sedangkan aku di depannya masih terpaku dan mulutku masih terkunci. Berita ini terlalu tiba-tiba menyerang kesadaranku. Aku sedang berusaha menguasai perasaanku. Oke....aku melepaskan napasku dan mulai merasa dadaku tiba-tiba penuh. Aku terengah sebentar.

"Va? Kamu baik-baik saja?" dokter Lisa tampak khawatir. Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Ini bukan berita buruk, ini adalah berita yang jauh di luar dugaanku. Sangat menyenangkan namun sangat mengejutkan dan sedikit menakutkan. Aku tidak pernah membayangkan ada keluarga lain di luar sana. Aku lupa tentang semua itu. Kenapa? Kenapa aku bisa melupakan mereka? Kenapa selama ini aku hanya tenggelam dengan kesedihanku karena tidak merasakan pelukan seorang ibu? Kenapa aku tidak pernah berpikir lebih jauh dari itu kalau ibuku juga seorang manusia yang punya keluarga. Dia adalah putri dari seseorang dan kakak dari seseorang. Apakah karena Papa tidak pernah meninggalkan setitik bayangan tentang perempuan bernama Alena itu dalam pikiranku?

"Va?" dokter Lisa semakin panik saat melihatku seperti tidak mampu bernapas. Kepanikan dokter Lisa mengundang Albert dan Erick keluar dari dalam rumah.

"Ava kenapa, Lis?" tanya Albert sambil mendekati kami.

"Aku..." dokter Lisa menggeleng.

"Va." Dokter Lisa menepuk pipiku pelan. Dan mataku akhirnya bergerak ke arahnya kemudian memandangnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dokter Lisa akhirnya membawaku ke pelukannya dan membiarkan aku menangis di sana.

"Maafkan aku, Va. Maafkan kami semua." Dokter Lisa ikut menangis bersamaku.

***

Erick Leitner

Aku tidak tahu apa yang terjadi namun suara panik dokter Lisa di luar sana membuatku dan Albert langsung bergegas keluar. Aku tahu ada sesuatu hal yang serius yang sedang dibicarakan dokter Lisa pada Ava. Itu alasan Albert membuatku mau ikut bersamanya ke dalam rumah dan meninggalkan Ava bersama istrinya.

Aku ikut panik saat melihat Ava yang tampak terengah seperti kehabisan napas. Kedua tangannya mengepal kuat dan matanya tampak berkaca. Dokter Lisa akhirnya mencoba sekali lagi menyadarkannya dan aku ikut menghembuskan napas lega saat melihat Ava akhirnya menangis di pelukan dokter Lisa, meski aku tidak tahu kenapa aku harus mendengar tangisan Ava sesedih ini. Aku dan Albert saling berpandangan dan ia menepuk pelan bahuku dan kembali mengajak aku ke dalam.

"Ada apa dengan Ava?"

"Lisa sedang memberitahukan sesuatu yang mengejutkan untuknya." Kedua alisku bertaut sambil memandang Albert memohon agar ia bisa lebih membuatku paham.

"Ummm...gini Rick." Ia mempersilahkan aku duduk. "Aku nggak tahu hubungan kamu sama Ava. Tapi aku rasa biar Ava yang menjelaskannya sendiri sama kamu."

"Apakah ini tentang ibu kandung Ava?"

"Ya...tapi aku nggak berhak menceritakannya sama kamu."

"Kak Lisa sebenarnya adalah tantenya Ava?" Aku terus mencecar Albert dengan pertanyaanku. Albert kemudian mengangguk pelan membenarkan dugaanku. Aku bangkit dari dudukku dan mengintip dari balik gorden ke arah taman belakang. Aku bisa melihat Ava dan dokter Lisa mengobrol dengan saling berpegangan tangan.

Aku lega karena sekarang Ava punya seseorang yang bisa ia andalkan. Atau bisa kubilang ia punya keluarga sekarang. Entahlah aku tidak mengatakan bahwa Ibu dan kakak-kakaknya yang sekarang bukan keluarganya tetapi Ava berhak tahu tentang keluarga dari ibu kandungnya. Mungkin dengan begitu Ava tidak akan merasa sendirian seperti sekarang.

Aku menunggu Ava hampir satu jam lebih untuk bicara dari hati ke hati dengan dokter Lisa. Aku bisa melihat senyumnya ketika ia dan dokter Lisa akhirya masuk ke dalam rumah. Ia berpamitan pada Albert dan berusaha tidak melihatku. Dokter Lisa kembali memeluk Ava dengan erat sebelum melepaskan kami keluar dari rumahnya.

"Ingat yang tante bilang, Va." Pesan dokter Lisa dan membuat Ava mengangguk dan kembali untuk memeluk dokter Lisa dan Albert. Ia juga tak lupa mengecup pipi Asya. Aku pun ikut melambai ke arah Asya.

Setelah di dalam mobil dan satu menit kami sudah meninggalkan rumah dokter Lisa, aku memutuskan untuk menghentikan mobil di tepian jalan perumahan yang teduh dan sepi.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku.

"Aku nggak tahu kenapa kamu selalu tahu segalanya tentang aku." Dia tidak menjawab pertayaanku. "Bahkan di momen terpenting ini." Ia memandangku dengan mata sembabnya.

"Karena memang harus seperti ini." Jawabku dan membuatnya menampakkan wajah tak mengerti.

"Harus?" ulangnya lagi.

"Ya, karena mungkin akulah orang yang harus kamu datangi saat kamu menangis."

Kami berpandangan cukup lama, cukup lama bagi seorang Ava yang selalu berusaha lari dari pandanganku. Aku bisa melihat matanya kembali berkaca-kaca.

"Aku hanya nggak ngerti kenapa kamu?" dia terisak pelan dan membuatku tidak tahan untuk bergerak mendekatinya dan tanpa ragu aku menariknya ke dalam pelukanku.

"Jangan takut, Va. Ijinkan aku untuk menghadapi semuanya bersama kamu." Aku bisa merasakan tubuhnya terasa kaku di bawah dekapanku namun perlahan ia melepaskan semuanya. Ia sesunggukan di dadaku. Aku memejamkan mataku dan membiarkanku ikut larut bersama kesedihannya. Aku berharap dengan kehadiranku ia bisa berubah menjadi pribadi yang lebih kuat, ceria dan percaya diri. Ia harus melepaskan labelnya sebagai penghancur sebuah keluarga, ia harus berhenti menyalahkan dirinya sebagai perebut kebahagian orang lain, ia harus menjadi Ava yang baru. Ava yang aku cintai dan yang mungkin juga mencintaiku.

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
17M 766K 44
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
79.9K 7.5K 37
"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal...
25K 347 8
Cerita di privat, silakan follow dulu. Gadis cantik, karir okay, punya usaha dibidang kuliner. Kurang apalagi coba, dibalik kesuksesannya dia memend...