SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

21

3.3K 370 12
By SophieAntoni


***Warning:Typo

Erick Leitner

Pagi yang sempurna untuk memulai penerbangan. Matahari di batas cakrawala timur mulai muncul perlahan dan membuat langit berubah keemasan dan menghalau kabut tipis yang tersisa karena dinginnya malam tadi.

Aku baru kembali dari walk around check sementara Heru melakukan CDU preflight dan beberapa menit kemudian kami siap tinggal landas. Cuaca pagi hari memang sangat menyenangkan karena sangat bersahabat. Dan pagi ini kami akan terbang ke Kuala Lumpur dan dilanjukan ke Hongkong. Oke aku akan memberikan gambaran singkat tentang rute terbangku minggu ini, ya aku punya rute terbang yang berbeda setiap dua minggu. Dan minggu ini aku mendapat rute terbang baru ke Hongkong, karena itu aku akan mendapat kesempatan menginap di Hongkong dan mungkin saja bisa kembali bertemu Dion.

Winda, salah satu awak kabin tiba-tiba masuk dan tersenyum sumringah saat pesawat sudah berada di ketinggian 30.000 kaki.

"Mas Heru pasti senang kalau aku bilang Ayana ada di penerbangan ini." Heru seketika menoleh pada Winda dengan senyum lebarnya.

"Ayana?"Winda mengangguk

"Sama siapa dia? Pacarnya yang digosipin itu?" aku terbelalak sejenak tak menyangka Heru mengikuti setiap berita tentang Ayana. Sekarang aku bisa mengerti bagaimana perasaan Ava saat bersaing dengan seseorang yang memiliki banyak pendukung. Aku tidak menganggap kalau kesedihan Ava akan menjadi kesempatan besarku hanya saja aku tidak mau Ava ada dalam situasi itu. Dia seharusnya menemukan cinta dengan mudah dan bukan dengan drama.

"Ummm...duduknya sih sama cewek, asistennya kali." Bisik Winda.

"Hei, stop bergosip." Potongku dan membuat Winda nyengir dan berlalu keluar dari cockpit. Aku bisa melihat Heru tersenyum-senyum sendiri dan membuatku menggelengkan kepala.

"Lo tahu Ayana kan?" ia bertanya padaku dengan kedua alis bertaut sangsi.

"Siapa sih yang nggak tahu dia." Jawabku dan membuat ia mengangguk lega. Aku melirik data manifest penumpang karena tiba-tiba aku punya keinginan untuk membaca setiap nama di sana. Aku berdecak pelan karena merasa geli sendiri dengan keinginan ini. Bagaimana mungkin aku mau membaca hampir 400 nama dalam daftar itu hanya untuk meyakinkan diriku kalau ada nama Rama di sana. Bisa saja kan mereka ke Hongkong bersama? Atau aku yang menduga berlebihan.

Ketika transit di Kuala Lumpur aku tidak bisa membendung keinginanku untuk mengirimkan pesan pada Ava. Aku perlu meralat kalimatku beberapa kali sebelum akhirnya aku mengirimkannya. Aku menghela napas kemudian menghembuskannya kencang karena tiba-tiba semua ini terasa sulit namuan terasa menantang.

Hi, Ava. Wie geht es dir? Kamu sudah mulai kursus? Let me know kalau km butuh bantuanku. Aku bersedia, anytime...

Selama menanti penerbangan lanjutan ke Hongkong aku sama sekali tidak konsentrasi dengan setiap cerita Heru di sebelahku. Aku hanya menyesap kopi dari cangkirku sambil menatap layar ponselku berharap ada balasan dari Ava. Aku tidak tahu kenapa perasaanku menjadi begitu tidak nyaman saat ini khususnya saat aku sempat melihat sosok Ayana tadi yang membuatku jantungku berdebar pelan. Bukan karena Ayana yang pasti, well meski aku tidak bisa memungkiri perempuan itu sangat cantik saat dilihat secara langsung. Aku hanya merasa apa aku mampu menyingkirkan Rama dari pikiran Ava, di saat laki-laki itu bahkan bersedia meninggalkan Ayana? Hei, aku sedang tidak mengatakan bahwa Ava tidak bisa dibandingkan dengan Ayana tapi justru di sini aku bisa melihat betapa besar pesona Ava bagi Rama. And it's really scared me. Ini pertama kalinya aku begitu takut karena merasa tersaingi. Baru kali ini aku tiba-tiba kehilangan kepercayaan diriku.

Akhirnya setelah hampir lima jam kami tiba di Hongkong. Cuaca yang tidak terlalu bagus menyambut kami karena memang hujan turun di luar sana meski tidak deras. Dalam perjalanan ke hotel aku masih sempat mengecek ponselku dan ada beberapa pesan yang masuk. Namun tidak ada satu pun dari Ava. Aku sudah menduga namun aku rasa dia hanya sedang tidak tahu apa yang harus ia tulis. Aku perlu sedikit mempuk rasa percaya diriku.

Satu jam setelah aku sempat merebahkan diri di ranjang hotel, Dion menghubungiku. Dia dan Mariane megajakku makan malam di sebuah hotel. Aku sebenarnya tidak punya banyak waktu di Hongkong karena dini hari aku harus sudah terbang, tapi bertemu dengan Dion tentu saja menjadi agenda utama dalam waktu yang sempit ini. Mungkin aku akan mengajak Heru.

Menjelang sore Dion dan Mariane menjemputku dan Heru tidak jadi ikut karena katanya sedang tidak enak badan dan hanya mau tiduran di hotel. Kami makan malam di sekitaran Tsim Sha Tsui di sebuah rumah makan yang sangat ramai. Tamu bahkan harus mengantri meja di sini dan aku paham karena memang menu seafood yang disajikannya memang sangat enak. Kami tidak banyak ngobrol di tempat ini karena memang setelah selesai makan kami harus meninggalkan meja agar bisa dipakai tamu yang lain. Dion kemudian mengajak untuk minum kopi sambil ngobrol di sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari hotelku.

Aku dan Dion sudah tenggelam dalam obrolan kami sambil menikmati Americano yang fantastik yang tidak kusangka disajikan di sebuah kafe kecil di salah satu sudut jalan di area Central. Kafe kecil ini menurut Dion adalah langganannya sejak enam tahun lalu saat dia pertama kali datang ke Hongkong. Tidak banyak pengunjung malam ini, hanya ada beberapa meja yang terisi. Alunan saxophone mengisi ruangan ini, meski di salah satu sudutnya ada pangung kecil dengan beberapa alat musik yang sedang tidak dimainkan. Menurut Dion live music hanya ada setiap akhir pekan.

"Hei, you know who I just met?" Mariane duduk di sebelah Dion setelah kembali dari toilet.

"Who?"

"The girl, a singer from Indonesia. I forget her name, oh my God!" Mariane tampak berdesis kesal dengan wajah yang sedang berusaha mengingatnya. "You always sing her song." Mariane menepuk paha Dion mencoba membantu Dion mengingatnya.

"Ayana?"

"Yes. Her!"

Kepala Dion bergerak cepat memindai sekeliling kafe yang memang suasananya temaram dan membuat kita kesulitan melihat wajah-wajah pengunjung lainnya.

"Don't do that." Mariane mencubit Dion dan berhasil menghentikan aksinya.

"She is with a guy. Her boyfriend maybe..." Mariane mengedikan bahunya. Sejenak aku terdiam dan tidak ikut mencecar Mariane karena aku cukup terkejut juga dengan informasi yang dibawa kekasih Dion itu. Kalau memang benar Ayana bersama Rama berarti dugaanku benar, tidak perlu aku mencari tahu bagaimana caranya mereka bisa bertemu. Diam-diam mataku bergerak mencari di segala sudut ruangan. Aku bahkan tidak menyimak omongan Dion atau Mariane di depanku.

"Bentar ya." Kataku pada mereka sembari beranjak dari kursiku. Dan baru saja aku melangkah sebentar seseorang menabrak kecil bahuku. Dia berhenti sebentar dan berkata maaf tanpa mengangkat wajahnya. Dengan jara sedekat ini aku bisa tahu siapa dia. Perempuan itu kemudian melangkah cepat menuju pintu keluar. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat seorang laki-laki sedang duduk termenung di salah satu meja di sudut kafe. Batinku berperang saat ini. Oke sekarang atau tidak sama sekali. Aku akhirnya memutuskan mendekatinya.

"Dokter Rama?" aku bisa melihat dia sangat terkejut dengan sapaanku. Ia bahkan melihat sekelilingku sebelum akhirnya pandangannya terpaku padaku.

"Kamu wartawan?" tanyanya cepat.

Aku tersenyum kecil kemudian menggeleng.

"Lalu kamu mengenal aku dari mana?"

"Ummm..."

"Oke siapapun kamu please jangan berkata apapun." Dia beranjak dari kursinya sedikit tergesa.

"Aku temannya Ava." Kata-kataku membuat dia membeku sesaat. Dia kembali memandangku dengan pandangan menyelidik.

"Maaf dok, aku nggak bermaksud apa-apa. Aku hanya kebetulan ada di kafe ini dan aku tak sengaja melihat dokter saat akan ke toilet." Ucapku berbohong namun aku bisa melihat ada sedikit kelegaan di wajahnya namun masih belum menutupi gelisah dari gerak tubuhnya.

"Aku pernah melihat dokter sekali, waktu dokter ke rumah Ava." Aku mencoba berbohong lagi saat melihat ada rasa tidak percaya yang tergambar jelas di sinar matanya. "Ya saat itu dokter mungkin nggak melihatku." Aku mencoba berkata lebih santai agar membuatnya lebih mempercayaiku dan menghentikan kecurigaannya. Ia tampak menarik napas sejenak dan anggukan kecil tercipta darinya.

"Please jangan panggil aku dokter. Panggil aku Rama." Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Dia mulai terlihat lebih santai.

"Erick." Aku menyambut uluran tangannya.

"Silahkan duduk." Ia tiba-tiba menawarkanku untuk duduk. Aku melihat sejenak ke arah Dion dan Mariane.

"Aku datang dengan teman-temanku." Kataku dengan mengarahkan tanganku ke meja Dion. Dia mengikuti arah tanganku.

"Ah maaf.." dia tersenyum sedikit yang menandakan bahwa ia sudah menemukan kelegaaannya. Mungkin saja ia tadi sempat berpikir aku membuntutinya. Well, sebenarnya 'memergokinya' seperti ini adalah harapan terbesar dalam hatiku tadi dan aku tidak menyangka kalau itu terwujud. Terdengar jahat memang tapi semua laki-laki yang cemburu pasti akan berpikir sama denganku.

"Kamu...sendiri? Mau bergabung dengan kami?" tawarku padanya.

"Umm...makasih aku juga barusan bertemu teman dan sekarang mau pulang." Aku tersenyum dalam hati mendengar kata-katanya.

"Okey...sampai ketemu Rama."

Dia mengangguk dan berlalu dari depanku. Aku masih belum beranjak dari tempatku berdiri karena sedang menduga apakah Rama tahu kalau aku tahu dia sedang bersama Ayana. Terlepas dari pembicaraan apapun yang mereka lakukan di tempat yang letaknya berjuta kilo dari Jakarta. Aku menghembuskan napasku pelan sembari berpikir apakah tindakanku untuk menyapanya ini benar?

***

Ava Argani

Aku menatap jam beker di atas nakas dengan fokus penuh dengan harapan jarum-jarum di dalam sana tiba-tiba berputar lebih cepat dan hari berganti dalam sekejap. Aku ingin cepat menyibukkan diriku dengan kursus agar tidak terlalu banyak pikiran yang bergentayangan di dalam kepalaku. Aku bahkan melakukan hal yang seharusnya tidak kulakukan. Ya, men-stalk akun instagram Ayana yang sudah ku unfollow beberapa waktu lalu. Postingan terbarunya adalah saat ia sedang menyanyi di acara KBRI di Hongkong dan aku sampai tidak percaya melihat komentar di foto itu yang sudah mencapai ratusan ribu. Isinya bermacam-macam dari yang menanyakan tentang keadaannya, menghiburnya, bahkan memaki laki-laki yang sudah melukai hatinya. Great! Aku memutuskan untuk tidak meneruskan kebodohanku yang justru menyiksa perasaanku.

Aku memilih turun ke dapur dan mengintip menu apa yang sedang dimasak Bik Imah. Ya mungkin aku bisa sedikit membantunya biar ada hal yang bisa menyibukkan diriku. Aku melintasi kamar Mama dan mendapati Bik Imah sedang membersihkannya. Aku mengintip dari ambang pintu dan mataku terpaku pada pigura yang cukup besar yang diletakkan di atas sebuah lemari pendek dekat meja rias. Foto keluarga kami yang lengkap. Ada Papa, Mama, bang Aldo, Tania dan Aku. Aku tersenyum haru dan kelopak mataku tiba-tiba menghangat. Perlahan aku beringsut dari sana sebelum Bik Iman mendapatiku sedang memperhatikan kamar Mama dengan ekpresi wajah dramatis.

Semalam Mama tiba-tiba bertanya padaku tentang rencanaku. Ia bahkan sempat menawarkan agar aku bergabung dengan klinik milik temannya. Melihat Mama punya perhatian padaku sejak aku kembali ke rumah, ada rasa yang cukup besar dalam hatiku untuk tidak menolak tawarannya. Aku hanya ingin menyenangkan hatinya. Selama ini aku selalu berpikir Mama ingin aku jauh darinya. Aku mengira dengan aku menjauh darinya hatinya sedikit akan melunak, namun aku salah. Aku ingat tatapan dan kata-kata dinginnya saat aku menyempatkan diri datang jauh dari Ende untuk mengunjunginya di RS. Dan belakangan ini aku mulai menyadari satu hal kalau Mama ternyata lebih menginginkanku untuk kembali ke rumah. Dia hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk bisa berdamai denganku. Dengan kehadiranku.

Aku memutuskan ke taman samping dan kembali mencari artikel tentang pendidikan spesialis. Sungguh aku perlu membunuh waktu yang berjalan begitu sangat lamban. Matahari mungkin sedang berada tepat di jantung cakrawala karena angin yang berhembus membawa hawa gerah yang tidak nyaman. Aku sangat merindukan rumah lama kami di Tebet yang sangat sejuk meski di luar matahari bersinar dengan garangnya. Rumah lama kami adalah warisan dari orang tua Papa yang masih mempertahankan gaya kolonial dengan langit-langit tinggi dan banyak jendela, meski Papa sedikit merenovasinya dengan menambahkan satu lantai lagi untuk kamar semua anak-anaknya. Sampai sekarag aku masih tidak mengerti kenapa Papa justru menjual rumah kenangan itu.

Dan di rumah itu juga aku melihat Rama untuk pertama kalinya. Aku melenguh kecil saat benakku membawa bayangan Rama. Tidak mendapat kabar darinya juga menjadi salah satu alasan kenapa hariku terasa begitu sepi dan berjalan sangat lambat. Aku membuka ponselku dan menatap nanar pesan yang kudapat sejak dua hari lalu namun kuabaikan hingga detik ini. Aku hanya selalu bingung memilih kata untuk membalasnya. Bukan pesan dari Rama tapi Erick. Laki-laki yang selalu menjadi ujung pangkal kemarahan setiap perempuan. Ya, kedatangan perempuan bernama Michelle di meja kami saat itu semakin menambah daftar bahwa masalah tentang Erick jauh lebih rumit ketimbang Rama.

Tania merasa baik-baik saja karena dia belum tahu perempuan yang ingin ia ucapkan terimakasih itu sebenarnya adalah aku. Ah...aku membuang napas berat. Kenapa cinta datang padaku dengan begitu rumitnya? Aku mengeluh dalam hati. Aku membuka kembali pesan Erick dan membacanya. Aku mencoba mengetikan sesuatu namun kembali lagi berakhir dengan menghapus satu demi satu huruf yang sudah terlihat di layar.

Sebuah pesan masuk dan menyelamatkan diriku dari rasa dilemma. Aku dengan cepat membukanya. Dokter Lisa mengajakku untuk makan siang di rumahnya hari Minggu besok. Ini tentu saja undangan yang menyenangkan. Aku selalu senang mengenal keluarga baru dan berada di antara mereka. Hal ini membuatku teringat kembali keluarga Bapak dan Mama Bunga di Ende yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri dan sampai saat ini aku masih sering berkirim pesan dan sesekali menelpon mereka.

"Non Ava." Bik Imah berdiri di ambang pintu dan mengejutkanku. "Ada tamu." Sambungnya lagi.

"Siapa Bik?"

"Itu yang pernah kesini."

Aku langsung melesat ke teras depan dan mendapati Rama sedang menungguku. Ia berdiri memunggungiku.

"Mas Rama?"

"Hei, Ava." Dia memutar tubuhnya dan memberikan senyum lega kepadaku.

"Kenapa tiba-tiba..."

"Maaf aku langsung kesini tanpa memberitahu. Aku hanya takut kalau kamu masih belum mengijinkanku untuk menemuimu."

"Ya...tapi..."

"Aku takut terlalu lama meninggalkanmu dan kamu yang akan meninggalkanku."

Kami berpandangan beberapa saat. Aku bisa melihat jakun Rama bergerak naik turun menggambarkan kegelisahan yang tidak bisa kutebak. Entah ada apa dengannya? Apa ia begitu takut kehilanganku?

"Ada apa Mas?"

Dia menghela napas panjang.

"Kamu punya teman bernama Erick?"

Perlahan kelopak mataku membesar mendengar nama itu terucap dari mulut Rama.

"Erick...dia..." aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, entah bagaimana cara Rama mengetahui tentang Erick. Dan entah kenapa situasi ini seperti memposisikanku sebagai perempuan yang selingkuh. Aku tidak tau kenapa, semua ini terasa tidak benar.

"Dia mengatakan kalian berteman..."

"Tapi bagaimana kalian..."

"Aku bertemu dengannya di Hongkong..." jawab Rama cepat.

"Hongkong?"

"Ya...aku baru saja kembali dari Hongkong." Aku berlalu dari hadapan Rama dan membawa tubuhku ke atas bangku jati panjang yang diletakkan dibawah barisan pot-pot anggrek yang bergelantugan. Hanya perlu beberapa detik bagiku untuk menyimpulkan bahwa Rama dan Ayana baru saja berada bersama di suatu tempat yang sangat jauh dari Jakarta. Ini bukan kebetulan. Mereka memang bertemu. Apa aku harus cemburu? Ya, aku sedikit kesal tapi apa hakku? Toh aku belum resmi berpacaran dengan Rama. Tapi yang aku tidak suka adalah kenapa mereka harus bertemu lagi? Bukankah Rama mengatakan ingin membuat suasana menjadi tenang? Lalu?

"Va?" Dia mendekatiku. "Maaf aku nggak mengatakannya sama kamu." Dia mengira aku kecewa karena ia tak memberi kabar tentang kepergiannya ke Hongkong. Ah....ini lucu sekali. Mereka bahkan tidak punya ruang lagi di Jakarta untuk bertemu.

"Mas Rama bertemu dengan Ayana?"

"Ha?" ada raut terkejut di wajahnya. Ia pasti tak menyangka aku mengkaitkan kepergiannya dengan Ayana. "Erick yang memberitahukan padamu?"

Aku tertawa hambar dengan dugaannya.

"Aku tahu Ayana ada di Hongkong. Instagram yang mengatakannya." Jelasku lagi dan membuat wajah Rama terlihat gugup dan dipenuhi rasa bersalah.

"Maaf Va, aku hanya...kami..."

Aku kembali tertawa namun kali ini tawaku terasa kecut melihat kepanikannya.

"Aku nggak apa-apa Mas. Kamu nggak harus menjelaskan. Kalaupun masih ada yang belum selesai di antara kalian, aku rasa itu wajar." Aku berkata cukup tenang seakan-akan aku sudah mempersiapkan kalimat ini untuk diucapkan.

"Va...bukan begitu." Dia menggeleng penuh penyesalan.

"Mungkin waktu kita bukan sekarang. Aku memilih untuk melepaskan semua harapanku. Bukannya aku nggak menyukai kamu tapi aku rasa ini bukan saatnya buat kita. Itu saja."

"Va please...jangan begini." Mohonnya lagi namun aku sudah bertekad bahwa memang aku tidak berjodoh dengannya...saat ini. Aku yang harusnya dengan penuh kesadaran mundur dari segala bentuk kerumitan yang ada di depanku. Kerumitan dalam bentuk Rama dan juga Erick.

***

Aku tidak mengatakan kalau aku sedang putus cinta karena memang bukan itu yang terjadi. Kalau memang Rama ditakdirkan untukku maka dia akan kembali. Kami hanya tidak berjodoh saat ini, ya aku meyakini itu. Aku memang sedih saat melihat ia meninggalkan rumah dengan rasa kecewa yang besar namun itu hal terbaik yang aku lakukan saat ini.

Aku menunduk dan memperhatikan tea dress kuning floral yang panjangnya sedikit melebihi lututku yang kukenakan saat ini. Aku menyambar jaket denimku dan melapisinya dari luar agar aku tidak merasa seperti mendadak berubah menjadi princess. Converse hitamku mengembalikan kepercayaan diriku lagi saat aku kembali menatap diriku di cermin.

Tania masih tidur. Sedangkan Mama sudah pergi sejak pagi karena ada acara bersama teman-teman arisannya di CFD. Aku pamit pada Bik Imah dan menitip pesan padanya kalau misalnya Mama atau Tania bertanya tentangku.

Aku baru saja keluar dari pintu pagar saat seseorang yang sedang tidak kuharapkan sudah berdiri tidak jauh di sana.

"Wow." Dia menyapaku dengan ucapan terkejutnya.

"Kenapa kalian selalu datang tanpa memberitahu." Aku mendesis tak percaya pada laki-laki di depanku yang saat ini sedang melepaskan kaca mata hitam aviatornya. Tapi aku tidak menyembunyikan getar pelan yang tercipta jauh di dalam rongga dadaku saat matanya memandangku cukup tajam dari atas hingga ke bawah.

"Kalian? Memangnya siapa saja selain aku yang datang ke sini? Rama?" Dia berkata padaku diiringi senyum kecilnya.

"Aku mau pergi. Dan aku sedang nggak ingin bicara dengan salah satu dari kalian. Ya, kamu atau Rama." Kataku sedikit judes dan membuat senyumnya hilang dari bibirnya.

"Oke kalau kamu mau kita diam-diaman saja. Aku nggak masalah."

"Aku nggak sedang becanda."

Sebuah mobil mendekati kami. Dan aku menarik napas lega setelah yakin kalau itu taksi online yang sedang menjemputku. Aku segera menghampiri mobil itu dan langsung masuk ke dalamnya.

Aku masih bisa dengar suara Erick berusaha menahanku. Namun aku tidak peduli, tapi beberapa saat kemudian aku baru menyadari mobil Erick mengikutiku dari belakang. Aku memijit pelipisku pelan.

Setengah jam perjalanan akhirnya aku sampai di depan rumah dokter Lisa di sebuah perumahan yang sangat tenang di daerah Pejaten. Aku turun dari mobil dan langsung bersedekap saat melihat mobil Erick bergerak mendekatiku. Aku melihat dia turun dari mobil dan sesekali ia memandangku bergantian dengan rumah asri di depan kami.

"Rick. Aku pastikan sekali lagi. Kita nggak bisa berteman atau lebih dari itu. Aku nggak ingin mempersulit situasiku. Kamu sendiri sudah banyak tahu tentang siapa aku, keluargaku, dan entah apa lagi yang sudah kamu dengar tentangku...Tania menyukaimu dan aku nggak mau aku menjadi orang yang justru merebut cinta Tania." Aku mengakhiri kata-kataku dengan napas terengah.

"Va..."

"Aku nggak mau semua ini jadi rumit." Aku berkata dengan nada putus asa. Erick menatap iba padaku. Ya, dia menyukaiku karena iba, aku yakin itu. Krena sampai detik ini aku masih belum bisa percaya dari mana rasa suka itu berasal. Dia Erick! Dan aku sudah melihat perempuan mana saja yang selama ini ada di sekelilingnya.

"Aku juga nggak mau ini terjadi, Va. Ribuan kali aku mencoba mencegah rasa ini tapi aku nggak bisa...aku nggak bisa jelaskan sama kamu Va, kenapa aku begitu ingin bersama kamu. Kalau memang kamu ingin aku tidak memperumit hidupmu...tentang Tania atau siapapun..." Ia menghela napas berat. "Baiklah..." hilang sudah wajah jahilnya yang selama ini kukenal. Ia tampak sangat serius. Jauh lebih serius saat ia pertama kali mengatakan rasa sukanya padaku. Dan saat ini entah kenapa jantungku berdebar lebih cepat.

"Ava..." sebuah suara muncul bersama sosok dokter Lisa. Ia memandang aku dan Erick bergantian dengan kening berkerut karena aku yakin dia membaca ketegangan yang tergambar di wajah kami masing-masing.

"Siang dok." Aku langsung menciptakan senyumku.

"Ayo masuk." Sapanya lagi. Aku menatap Erick sebentar memberi tanda padanya. Ia pun paham. Erick mengangguk kecil pada dokter Lisa dan bersiap berlalu dari hadapan kami.

"Temannya Ava?" kata-kata dokter Lisa menghentikan langkahnya.

"Iya dok." Jawab Erick.

"Ayo sekalian masuk saja...sepertinya obrolan kalian tadi belum selesai." aku bisa melihat perlahan senyum tercipta di bibir Erick, dia sempat memandangku dengan tampang tidak bersalah dan tanpa ragu ikut melangkah bersamaku masuk ke halaman rumah dokter Lisa.

Continue Reading

You'll Also Like

10.1K 1.3K 23
Meet Khandra - anak pertama dari pasangan Dafa Gajendra Putra dan Aretha Raynelle Putra. Tidak memiliki keinginan untuk menggantikan posisi ayahnya s...
6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.7M 83K 42
Seanno Hydar Smith. Pria tampan berhati iblis. Setiap ingin berhasil mendapatkan tujuan, ia akan memanfaatkan semua keadaan. Katrina Azella. Gadis ca...
13.2K 480 32
Gentala Indrayana terpaksa harus menikahi seorang Mentari Ranjana, Gadis yang baru di kenalnya selama kurang dari dua hari, semua itu karena insiden...