A Story of Beauty and the Bea...

By roseblanchex

853 140 3

Katanya, ia adalah lelaki terkutuk. Katanya, siapa pun yang menjadi lawan main lelaki tersebut dalam sebuah p... More

🌹Chapter 1🌹
🌹Chapter 2🌹
🌹Chapter 3🌹
🌹Chapter 4🌹
🌹Chapter 5🌹
🌹Chapter 6🌹
🌹Chapter 7🌹
🌹Chapter 9🌹
🌹Chapter 10🌹
🌹Chapter 11🌹
🌹Chapter 12🌹
🌹Chapter 13🌹
🌹Chapter 14🌹
🌹Chapter 15🌹
🌹Chapter 17🌹
🌹Chapter 18🌹
🌹Chapter 19🌹
🌹Last Chapter🌹

🌹Chapter 16🌹

28 5 0
By roseblanchex

"Mana Ahreum? Tadi ia bersamamu, kan?"

"Pergilah."

Ahreum melebarkan kedua matanya mendengar jawaban Jeonghan. Pergi? Untuk saat ini? Dengan tidak yakin Ahreum bertanya, "Apa kau bilang?"

"Pergilah. Pergilah sebelum kau menyesal, Ahreum."

Ahreum menatap lurus-lurus mata Jeonghan, dan dari sana ia mengetahui bahwa laki-laki itu serius. Namun, ia menggeleng.

"Kau tahu itu tidak mungkin," balas Ahreum. "Tiga jam lagi dramanya akan dimulai. Rumah sakitnya terlalu jauh. Lagi pula, aku juga harus bersikap profesional, Jeonghan. Aku tidak bisa meninggalkan drama ini begitu saja."

Ya, Ahreum merasa bahwa ia tidak bisa seenak dirinya sendiri setelah melihat kalau yang berjuang bukanlah dirinya sendiri, melainkan juga puluhan mahasiswa lain.

"Ini juga ujian akhir. Kalau tokoh utamanya saja tidak ada, bagaimana dramanya bisa berjalan? Pikirkan juga teman-teman yang lain. Mereka sudah berusaha—"

Ahreum tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba saja Jeonghan meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir Ahreum. "Aku tidak bilang kau harus meninggalkan drama, Ahreum," ujar Jeonghan sambil tersenyum.

Mata Ahreum yang tadinya menyiratkan kepanikan, langsung melembut ketika melihat Jeonghan tersenyum. Meskipun laki-laki itu tampangnya sudah persis seperti Si Buruk Rupa, namun kehangatan dibalik senyumannya itu masih tetap terasa.

"Pergilah sekarang, Ahreum. Selama masih ada waktu. Berdoa saja di sepanjang jalan, supaya ibumu baik-baik saja dan jalanan tidak padat, supaya tidak menghambat waktu. Soal teman-teman dan Park-seonsaengnim, biar aku saja yang mengurus mereka."

Ahreum sudah membuka mulut lagi hendak protes, namun Jeonghan langsung menyahut. "Tolonglah, Ahreum. Aku tidak ingin kau kehilangan ibumu sama seperti aku yang telah kehilangan ibuku."

Ahreum terdiam mendengarnya. Kini, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Ia kembali melihat jam di ponselnya, pukul empat lewat sepuluh menit. Ia kembali menatap Jeonghan lalu tersenyum, dan kini ia telah memutuskan.

"Baiklah, aku pergi dulu."

Dan ia harap ia tidak akan menyesali keputusannya itu.

Setelah itu, Ahreum beranjak dari sofa dan melangkah menuju pintu keluar. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, dan kemudian ia berbalik menatap Jeonghan yang juga tengah menatapnya. Tanpa disangka-sangka, Ahreum menghampiri Jeonghan kembali, dan dengan sebuah gerakan cepat, gadis itu membawa Jeonghan ke dalam sebuah dekap.

"Terima kasih, Jeonghan. Aku pasti akan kembali, aku berjanji," bisik Ahreum di dekat telinga laki-laki itu, dan kemudian ia langsung melapaskan pelukannya dan berlalu pergi.

Jeonghan tersenyum kecil melihatnya dan mengehela napas. Ia bersandar pada sofa, dan kini ia hanya benar-benar bisa berharap.

Berharap agar semuanya akan tetap baik-baik saja.

Lamunan Jeonghan buyar saat ia menyadari ada yang duduk tepat di sebelahnya. Ia menoleh, dan menatap Wonwoo yang kini juga telah selesai dirias. "Mana Ahreum? Tadi ia bersamamu, kan?" tanya Wonwoo.

Jeonghan tersenyum sekilas. "Ke toilet."

-oOo-

Setelah membayar taksi yang ditumpanginya dan mengucapkan terima kasih, Ahreum berlari, melesat masuk ke dalam rumah sakit. Ia kembali membuka ponselnya dan jam sudah menunjukkan pukul lima lewat lima menit.

Ia mengumpat dalam hati. Sepanjang perjalanan tadi, ia begitu gelisah dan ketakutan sampai-sampai membuatnya merasa mual. Jarak dari universitasnya ke rumah sakit memang begitu jauh. Waktu yang diperlukan hampir mencapai satu jam, meskipun jalannya tidak terlalu padat.

Ahreum langsung menuju ke meja resepsionis dan menanyakan kamar ibunya. Setelah mengetahui nomor kamarnya, ia langsung berlari menuju kamar tersebut. Setelah beberapa saat, langkahnya terhenti di sebuah kamar dan dengan perlahan ia mengetuk kamar itu, lalu membukanya.

Saat melangkah masuk, dilihatnya ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang. Ibu Ahreum menoleh pelan saat mendengar pintu dibuka, dan kemudian ia membelalak saat mengetahui bahwa yang datang adalah putrinya sendiri.

"Ahreum?" tanyanya heran. "Apa yang kau lakukan— Hei, bagaimana dengan dramamu, Sayang?"

Ahreum hanya menggeleng, tidak mengacuhkan pertanyaan ibunya. "Bagaimana keadaan Mama? tanya Ahreum seraya berlari menghampiri ibunya.

Ahreum memegang tangan ibunya yang terbaring lemah. Terasa dingin. Kulitnya pun begitu pucat. Meski begitu, wanita itu tetap tersenyum lemah. Senyum yang memancarkan kehangatan seorang ibu.

Wanita itu menggeleng. "Mama tidak apa-apa, Ahreum. Hanya sedikit kambuh."

Melihat ibunya yang begitu rapuh, membuat Ahreum tak dapat menahan air matanya lagi. Sosok yang berada di hadapannya ini begitu lembut. Begitu baik. Begitu sayang padanya. Namun, apa yang menjadi balasan Ahreum?

Ibunya selalu ada untuknya, namun tidak dengan dirinya. Ibunya selalu memikirkannya siang dan malam, meskipun Ahreum tidak selalu bersamanya. Memikirkan kenyataan itu membuat hati Ahreum semakin tersayat.

Sambil terisak, Ahreum menggenggam tangan itu erat-erat. Kemudian, ia memeluk ibunya yang masih dalam keadaan berbaring.

"Ahreum, kenapa menangis? Mama tidak apa-apa, tenanglah. Besok Mama pasti sudah bisa pulang. Jangan menangis, Sayang. Ya?"

Ibunya tidak mengerti. Bukan itu yang membuat hatinya merasa nyeri sekarang. Ahreum teringat. Saat hendak lulus sekolah menengah akhir, Ahreum yang meminta untuk masuk ke universitasnya yang sekarang ini. Awalnya ibunya ragu, karena itu berarti mereka harus tinggal berjauhan.

Namun, dirinya tetap memaksa, dengan pikiran sekalian untuk melatih kemandiriannya. Dan tinggal jauh dari ibunya, itu juga berarti ia bisa bebas. Berkumpul bersama teman-temannya, pulang larut malam—tanpa kehadiran ibunya, ia bebas untuk melakukan semua itu.

Namun, sekarang Ahreum benar-benar merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Bahkan, kapan terakhir kali ia menghubungi ibunya untuk sekedar menanyakan kabar, dan bukannya karena perlu sesuatu? Ahreum tidak ingat.

"Maaf ..." bisik Ahreum gemetar. "Maaf ... aku benar-benar minta maaf ..."

Ibu Ahreum sempat terdiam sejenak, namun perlahan ia mulai mengerti. Wanita itu membelai lembut rambut Ahreum, kemudian menepuk-nepuk punggung gadis itu perlahan. "Iya, tidak apa-apa, Sayang."

Ahreum melepas pelukannya dan menatap wajah ibunya dari jarak dekat. Ibunya mengulurkan tangan, menghapus air mata Ahreum dengan jari-jarinya yang dingin.

"Nah, begini lebih cantik," ujar wanita itu sambil tersenyum menatap wajah Ahreum sudah bersih dari air mata, walaupun masih agak sembap.

"Sekarang ceritakan semuanya sama Mama. Bagaimana kabarmu? Apa saja yang akhir-akhir ini kau lakukan, Sayang?"

Dengan begitu, Ahreum menceritakan segala hal yang telah di alaminya saat memasuki tahun ketiganya di universitas. Mulai dari ia yang masih dekat dengan Mina dan Sooyoung, kehidupan perkuliahannya, ujian-ujian yang membuatnya depresi, teman-teman sekelasnya yang kocak, ujian akhir drama Si Cantik dan Si Buruk Rupa, sampai perkenalannya dengan Yoon Jeonghan.

Ibunya mendengar setiap kata yang keluar dari mulut anak gadisnya dengan antusias, terutama saat bagian Ahreum yang 'ditawan' oleh Jeonghan di rumahnya.

Ahreum menceritakan setiap detail dari segala hal yang ia alami saat tinggal di rumah Jeonghan, sampai saat mereka sudah kembali masuk kuliah dan kejadian sebelum Ahreum pergi ke rumah sakit. Banyak emosi yang keluar saat Ahreum menceritakan bagian demi bagian, dan itu membuat ibunya sadar akan satu hal.

"Tunggu dulu," sela ibu Ahreum. "Jadi, kau menyukai laki-laki ini. Benar tidak?"

"Eh?"

Ahreum ternganga atas konklusi yang baru saja diucapkan ibunya. Melihat ekspresi anak gadisnya, wanita itu tertawa pelan.

"Yah, jelas sekali terlihat. Kau menyukai laki-laki yang bernama Jeonghan itu. Iya, kan?"

Ahreum masih saja terdiam, namun tak lama kemudian ia ikut terkekeh pelan. "Well, kurasa juga begitu. Ia laki-laki yang baik, Ma."

Tiba-tiba saja Ahreum teringat.

Dramanya.

Ahreum sempat mengumpat dalam hati sebelum melihat jam di ponselnya dengan takut-takut. Dan saat ia membuka ponselnya, waktu yang tertera di sana membuat ia membelalak seketika.

Pukul enam lewat tujuh belas menit.

Ahreum mulai panik lagi sekarang. Ia tidak ingin meninggalkan ibunya, dan lagi pula pasti terlambat apabila ia kembali. Namun di satu sisi, ia juga berpikir bagaimana nasib teman-teman sekelasnya? Dan ... bagaimana dengan janjinya pada Jeonghan?

"Ah, Ahreum. Omong-omong, dramamu akan dimulai pukul berapa?"

Nah, tepat sekali ibunya bertanya seperti itu. Ahreum diam sejenak sambil menggigit bibir. Kemudian, dengan takut-takut ia menjawab, "Pukul ... tujuh ...."

"Ya, cepatlah kembali ke sana, Ahreum! Kau tokoh utama, kan? Bagaimana dramanya bis—"

"Iya, Ma ..., aku tahu ...," jawab Ahreum lemas. "Tapi bagaimana dengan Mama?"

Ibu Ahreum hanya tersenyum kecil sambil berkata, "Sudah, Mama tidak apa-apa, Sayang. Lagipula, ada Nyonya Han yang menjaga—ia tetangga yang baik, omong-omong."

Ahreum masih menatap ibunya dengan tidak yakin, sampai akhirnya ibunya mendesah.

"Percayalah sama Mama. Ya?"

Akhirnya hati Ahreum melemah mendengar kata-kata ibunya. Sekali lagi, Ahreum memeluk ibunya yang masih terbaring.

"Mama juga minta maaf karena tidak bisa datang, padahal Mama sudah berjanji tadi pagi."

Ahreum hanya menggeleng pelan sambil tersenyum.

"Tidak masalah. Cepat sembuh ya, Ma."

-oOo-

Jeonghan mengehentak-hentakkan kakinya pelan sambil duduk pada sofa di belakang panggung. Ia terus-terusan memainkan jari-jarinya, dan tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya sedang berdetak dengan sangat cepat. Takut? Mungkin. Gugup? Tidak terlalu. Panik? Pastinya.

Panik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh dan Ahreum belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ia sudah mencoba untuk menghubungi Ahreum, namun ponsel gadis itu tidak aktif. Jeonghan mengerang dan menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.

"Hei, kau kenapa? Gugup?"

Jeonghan menoleh, dan kini di samping sudah ada seorang kawannya tampak menggelikan dengan kostum Lumiere—berbentuk seperti tempat lilin dan lengkap pula dengan lilinnya. Hanya saja, Jeonghan sama sekali tidak bisa tertawa sekarang.

Ia hanya menatap Jisoo sekilas, lalu menghembuskan napas berat. Hatinya sendiri tidak tahu harus bagaimana. Tetap berharap atau pasrah dengan keadaan. Tetapi, mungkin hatinya lebih cenderung pada pilihan nomor dua sekarang.

"Omong-omong, mana Ahreum? Terakhir kali aku melihatnya saat ia keluar dari ruang ini. Wonwoo tadi bilang, katamu ia ke toilet."

Jeonghan kembali menarik napas dan menghembuskannya perlahan, berusaha untuk menenangkan detak jantungnya yang berhasil membuatnya mual.

"Jeonghan? Kau kenapa, sih?"

Tanpa menatap Jisoo, akhirnya Jeonghan membuka mulutnya, menjawab sahabatnya yang kebingungan itu dengan suara pelan.

"Aku membiarkannya pergi."

"Hah?" tanya Jisoo yang gagal paham. "Pergi ke mana? Toilet? Apa, sih?"

Jeonghan menggeleng. "Ibunya dilarikan ke rumah sakit. Aku membiarkannya pergi melihat ibunya."

Jisoo terdiam sejenak, berusaha mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut temannya itu. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar.

Karena Jisoo ingat, saat hari pertama Ahreum tinggal di rumah Jeonghan, gadis itu mengobrol banyak dengannya.

Jisoo tahu perihal ibu Ahreum yang tinggal sendirian dan mempunyai penyakit akut, sehingga harus rutin memeriksakan penyakitnya itu ke dokter. Ahreum juga menyebutkan dimana ibunya tinggal dan juga nama rumah sakit yang sudah menjadi langganannya. Dan seingat Jisoo, keduanya terletak cukup jauh dari universitas mereka. Dan itu berarti ...

"Apa?" tanya Jisoo pelan, nyaris tak bersuara. "Tapi, kenapa? Bagaimana dengan ... dengan dramanya? Kenapa kau membiarkannya pergi?"

Sejenak keheningan menyelimuti mereka, dan Jeonghan masih menatap ke depan dengan pandangan kosong. Perlahan, laki-laki bersurai sebahu itu menoleh ke arah Jisoo, lalu menjawab temannya yang kebingungan itu dengan suara terlampau pelan.

"Karena aku mencintainya."

Jisoo hanya bisa ternganga menatap Jeonghan, tidak dapat berkata apa-apa lagi. Kini ia ikut panik.

Akhirnya Jisoo hanya bisa mengerang sambil memegangi kepalanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, namun ia juga merasa bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu, bagaimana nasib drama mereka sekarang?

tbc.
-oOo-

🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟

Sneak Peak for the Next Chapter :

unavailable:)

🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟

*This story is inspired from a classic fairy tale by Jeanne-Marie Leprince de Beaumont,
Beauty and the Beast.

Please do leave some vomments and your thoughts about this fic, I'll appreciate any of it😊
Thankyou!💖

Continue Reading

You'll Also Like

713K 16K 44
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
7.3M 302K 38
~ AVAILABLE ON AMAZON: https://www.amazon.com/dp/164434193X ~ She hated riding the subway. It was cramped, smelled, and the seats were extremely unc...
385K 11.7K 91
Theresa Murphy, singer-songwriter and rising film star, best friends with Conan Gray and Olivia Rodrigo. Charles Leclerc, Formula 1 driver for Ferrar...
1M 38.1K 90
𝗟𝗼𝘃𝗶𝗻𝗴 𝗵𝗲𝗿 𝘄𝗮𝘀 𝗹𝗶𝗸𝗲 𝗽𝗹𝗮𝘆𝗶𝗻𝗴 𝘄𝗶𝘁𝗵 𝗳𝗶𝗿𝗲, 𝗹𝘂𝗰𝗸𝗶𝗹𝘆 𝗳𝗼𝗿 𝗵𝗲𝗿, 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗲𝘀 𝗹𝗼𝘃𝗲 𝗽𝗹𝗮𝘆𝗶𝗻𝗴 𝘄𝗶𝘁𝗵 �...