13_NauraAvni_Serendipity_XIS4

By nauraavni

25 2 0

Seperti biasa, semua wajah terlihat asing dimata Jax. Kecuali Jewel, cewek misterius yang bisa membuat Jax lu... More

Serendipity

25 2 0
By nauraavni

Bunyi alarm jam weker membangunkanku dari tidur nyenyak. Kududukkan tubuhku di ranjang kecil yang sudah kumiliki sejak kelas 1 SMP. Dulu ranjang ini memang dibeli lebih besar dari ukuran tubuhku masa itu. Tetapi siapa sangka aku akan tumbuh setinggi ini dalam jangka waktu 3 tahun. Kubuka jendela kamarku, membiarkan angin pagi berkibas diwajahku. Ditengah keheningan udara pagi, suara ibu memanggil dari lantai bawah

"Jax! Ayo bangun! Kami mau berangkat!"

Aku duduk di pojok meja makan dekat jendela. Seperti biasa, ruang makan ini dipenuhi orang-orang bermuka asing. Bukan karena mereka memang orang asing, tetapi aku yang tidak mampu mengenali mereka. Prosopagnosia. Ya, penyakit aneh ini memang benar-benar ada. Penyakit dimana seseorang tidak dapat menghafal wajah orang lain meskipun sudah mengenalnya sejak lama. Bahkan sejak lahir. Aku tidak mampu mengenali wajah orangtuaku. Memang mereka tidak kemana-mana memakai kartu nama tertempel didahi mereka agar aku mengenalinya. Karena mereka tidak tahu tentang ini. Aku juga tidak pernah memastikannya dengan periksa ke dokter. Kenapa? Karena aku belum siap menerima kenyataan ini.

"Sayang, siapkan bekalmu sendiri ya!"

Aku sibuk melihat kearah jendela luar.

"Jax! Aku berbicara kepadamu!" aku menoleh kearahnya. Seorang wanita sedang menatap mataku sambil menunjukkan jari pada lemari tua di sudut ruangan. Wanita itu berambut lurus panjang merah kecoklatan yang menutupi punggungnya. Wanita itu adalah ibuku. Siapalagi perempuan dewasa dirumah ini selain ibu? Ia juga selalu memakai kalung yang diberikan ayah pada saat mereka berbulan madu di Paris.

"Iya ma.." jawabku sambil menghela nafas panjang.

"Ibu dan ayah berangkat duluan ya, semoga hari pertama sekolah kalian menyenangkan!"

Hari ini adalah hari pertamaku masuk SMA, sedangkan adikku masuk SMP. Hari ini memang salah satu hari yang tidak ingin kulewati. Bertemu teman-teman baru, dan bertemu teman-teman lama yang rasanya juga seperti bertemu teman baru bagiku. Meskipun aku bisa menghafal ciri khas, tidak semua orang memiliki ciri khas yang menonjol dari mereka.

"Jax, bekalmu sudah siap. Aku berangkat duluan" kata adik kecilku.

"Oke, Mel" jawabku singkat.

Jangan sangka kami menyiapkan bekal satu sama lain karena memang berbaik hati. Dirumah ini kita memiliki jadwal siapa-siapa yang akan menyiapkan bekal dihari apa. Dan hari ini giliran Melissa untuk menyiapkannya.

Karena sekolah kami dekat dengan rumah, kami terbiasa memakai sepeda atau berjalan kaki.

Aku terdiam sejenak didepan gerbang sekolah. Menghirup nafas dalam-dalam.

Ini hanya hari yang sama seperti hari lain, jangan merasa terbebani, jangan salah fokus, jangan melakukan hal-hal yang memalukan, bersikaplah normal seperti biasa, jangan terlalu banyak tersenyum kepada semua orang, karena itu hanya akan membuatnya menyapamu dan membuatmu bertanya-tanya dirinya siapa. Gumamku dalam hati.

Aku memberanikan diri untuk melangkahkan kakiku masuk ke sekolah. Sambil memasang muka tanpa ekspresi, aku menjalani lorong penuh dengan orang-orang yang tidak terlalu kuperhatikan siapa adalah siapa.

"Bro! Apa kabar lu?"

Kugerakkan bola mataku kearah suara itu berasal. Ia mengelus rambut pirangnya sambil membenarkan posisi ransel yang hanya ia pakai di pundak kanannya.

"Lu ilang kemana aja si? Di grup chat ga pernah jawab, di telp juga ga pernah diangkat."

Aku butuh lebih banyak informasi untuk mengetahui siapakah dirimu. Tolong kasih aku lebih banyak petunjuk. Batinku.

Aku terdiam tidak menjawab pertanyaannya agar dia berkata sesuatu lagi kepadaku.

"Gue sama Alessia nyariin terus nih. Kita kan mau ada janji nge camp bareng"

Oh, orang ini adalah sahabatku, Mark. Dia dan Alessia sudah berteman sejak kecil dan aku bergabung dengan mereka berdua saat kami pertama masuk SMP. 'Lebih erat dari bolongan hidung Voldemort'. Itu nama candaan persahabatan kami.

Ciri khas yang biasanya menonjol dari dirinya adalah kacamata hitamnya. Ya, dulu ia selalu mengenakan kacamata hitam meskipun didalam kelas. Tetapi ia tidak memakainya seperti orang berkacamata. Melainkan dijadikan bando agar rambut pirang gondrongnya itu tidak menutupi wajahnya. Tetapi entah kenapa hari ini ia tidak memakainya.

"Dimana kacamata hitammu?"

"Sudahlah, jangan mengingatkanku lagi. Ini Mark yang baru. Mark masa SMA. Mark yang memikat hati wanita. Bukan Mark yang membuat semua wanita menjauh karena kacamata hitam anehnya." Katanya sambil cengengesan.

Tiba-tiba ada tangan yang merangkul kami berdua dari belakang. "Kalian lagi ngomongin apa sih? Kok kayaknya asik banget? Jaxie sampe ketawa lagi, tumben."

Kutoleh orang yang merangkul kami. Ia adalah cewek berambut keriting memakai kacamata bulat. Dia juga tidak memiliki penyakit mata. Itu adalah kacamata kosongan yang ia pakai untuk bergaya. Meningkatkan kepercayaan diri, katanya. Ciri khas Alessia yang menonjol ialah stockingnya yang berwarna-warni. Kemanapun dan kapanpun, ia selalu memudahkanku untuk mengingatnya karena hal itu.

"Liat ada yang aneh sama Mark ga hari ini?" tanyaku kepada Alessia.

"Hmmm..." Ia mengamati tubuh Mark dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Loh, dimana sunglasses mu?"

"Ahh kalian! Sudahlah, aku sudah berubah" kata Mark sambil mengernyitkan dahi.

"Untuk memikat hati para senior cewek-cewek itu katanya" godaku.

"Yayaya, terserah apa katamu. Memikat hati wanita tidak selalu senior tau"

"Yahyah, jangan marah dong. Btw kalian uda ngundi kunci loker belom?" tanya Alessia.

"Belom" jawabku dan Mark serentak.

"Aku udah undian tadi di depan lobby. Kalian kesana berdua ya, aku mau cari lokerku dulu"

*****

Mark mengantrikan untuk mengundi nama kami di stan depan lobby.

"Jax Wolf....... 161" kata Mark sambil menyikut pundakku.

"Oh thanks. Uda undi punyamu sendiri belom?"

"Udah, nomer 135"

Kami pun kembali ke dalam lorong dan mencari letak loker masing-masing.

Sial, aku jalan sendirian lagi. Tak ada yang bisa aku andalkan lagi sekarang.

"159, 160, 161!"

Cewek berpakaian nuansa hitam dengan aura aneh disekelilingnya sedang menaruh barang-barangnya di loker yang aku kira adalah milikku. Aku memastikan bahwa tulisan yang dikertas undian dan tulisan yang diloker bernomer sama.

Aku atau dia yang salah?

Rasa takutku untuk bertanya ini mengerumbul dikepalaku. Hanya untuk bertanya saja lidahku tidak mampu bergerak. Apalagi dandanannya yang hitam-hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki sangat membuatku tertekan.

Jangan menyimpulkan dari penampilan luarnya, bisa jadi hanya salah paham.

Ketakutanku mulai melonjak saat dia menoleh dan menajamkan matanya kepadaku.

"Apa liat-liat?" kata perempuan itu dengan wajah tanpa ekspresi.

Saking takutnya aku tidak berkata apa-apa dan langsung menyodorkan kertas undian bertuliskan nomer loker yang kudapat tadi. Tangannya yang dibalut dengan lengan panjang oversized sweater hitamnya dengan cepat meraih kertasku. Ia menyipitkan matanya untuk melihat nomor kertas yang kuberikan. Matanya melirik ke kertas, beralih ke loker, lalu ke barang-barang ditangannya yang awalnnya hendak ia masukkan kedalam loker.

"Oh."

"Sorry."

katanya sambil mengambil barang-barangnya dan langsung pergi meninggalkanku.

Cewek aneh.

*****

Kelas pertamaku adalah kimia. Sebenarnya aku benci pelajaran IPA. Tetapi apa yang bisa kulakukan? Melissa adalah atlet renang yang berprestasi dan dia sudah mengejar cita-citanya menjadi atlet sejak kecil, sedangkan aku adalah 'anak pertama mama papa yang harus jadi dokter'. Kenapa jadi anak yang membanggakan itu harus jadi dokter? Belajarnya aja susah, kuliahnya juga mahal, bahkan kalau sudah jadi dokter pun tidak menjamin gajinya akan sebanyak uang yang dikeluarkan untuk belajarnya yang sudah mahal itu. Meskipun sudah kubicarakan baik-baik dengan mereka, tidak ada gunanya.

Aku mengambil buku kimiaku di loker dan berjalan menuju laboratorium. Kurogoh saku kananku dan baru tersadar bahwa handphoneku tertinggal didalam loker. Saat kubalikkan badanku, tiba-tiba perempuan memakai stocking kuning-biru menabrakku dan menumpahkan slurpeenya. Baju dan bukuku yang basah terasa dingin dan lengket.

Ia meminta maaf dengan gaya histeris khas Alessia lalu mengambil tissue dari tas ranselnya. Meskipun sedikit kesal, tapi kuakui itu juga salahku.

"Duh biasa aja kali, gue juga salah kok"

"Tumben lu baek"

"Ih, mau gue maafin ga sih"

Mukanya langsung memelas dengan matanya yang melebar dan bibirnya yang mencucu bak anak anjing yang belum makan sebulan.

Aku berganti baju di toilet dengan sweater cadangan yang selalu siap sedia di ranselku. Dengan santai aku mencuci muka dan berkaca sambil mengingat benar-benar bentuk dan struktur wajahku. Aku berkata kepada pantulanku di cermin.

"Hari ini bakalan cepet selesai kok. Cuma ada 3 kelas. Kimia, Bahasa Inggris, sama.."

"OMG. KIMIA!"

Dengan cepat aku meraih ranselku dan berlari sekuat tenaga keluar toilet kearah laboratorium.

*****

Aku menyelinap masuk dari pintu belakang. Saat Ms Santiago sedang menulis di papan, aku mengambil kesempatan untuk lari ke kursi terdekat. Kududukkan badanku dikursi sambil mengatur nafasku yang terengah-engah. Saking terburu-burunya, aku tidak melihat meja siapa yang kududuki. Aku menolehkan wajahku ke sebelah kanan. Aku memang tidak pintar mengenali orang, tapi auranya terasa familiar. Tanpa sadar aku memerhatikannya terlalu lama. Ia yang tampak tidak nyaman langsung menajamkan matanya kepadaku.

"Kamu lagi?" tanyanya dengan nada datar.

"Lagi?"

"Udah berapa banyak orang yang salah naroh barangnya di lokermu?"

"Oh, cewek yang tadi pagi?"

Dia hanya terdiam tidak menjawab pertanyaanku. Keheningan yang canggung terus berlangsung sampai akhirnya Ms Santiago menyuruh kami untuk bekerja kelompok antar teman satu bangku.

"Gue ngerjain yang kiri, trus yang kanan bagian loe" katanya singkat.

Ia adalah tipe orang yang kecuekannya bisa membuat orang lain merasa tertekan. Bahkan ia berkomunikasi tanpa melihat lawan bicaranya. Aku memikirkan sesuatu untuk mencairkan suasana.

"Jax. Jax Wolf." kuperkenalkan diriku.

"Gue ga peduli sama nama anjing loe, ok?"

"Senang berkenalan denganmu juga." kataku dengan nada sarkastik.

"Jewel. Jewel Fox."

"Loe juga punya anjing?" candaku sambil tersenyum tipis.

Ia terdiam. Tidak merespon candaanku. Tetapi aku bisa melihatnya berusaha keras menahan agar tawa tidak keluar dari mulutnya.

Mungkin ia tidak seburuk yang kukira.

*****

"Jaxie! Duduk disini!" panggil Alessia.

Ugh.. aku benci panggilan itu.

Tapi kalau kuambil sisi positifnya, aku jadi langsung mengetahui yang memanggilku adalah Alessia.

Aku berjalan dan duduk di meja kantin dekat pintu keluar. Alessia dan Mark ribut membahas acara camping tetapi aku tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali. Mataku tertuju pada cewek itu lagi. Jewel. Anehnya ia selalu menunjukkan aura-aura yang bisa membuatku tahu identitasnya. Ia duduk sendirian di meja kantin dekat pintu masuk. Sebagian diriku ingin mengajaknya bergabung, tetapi sebagian lainnya berkata untuk tidak usah ikut campur.

"Hayo! Bengong aja! Lagi liat siapa sih?" Mark memecah lamunanku.

"Gaada"

"Cewek yang pake item-item itu?" tanya Alessia penasaran. "Siapa dia?"

"Tablemate gue tadi pas kimia" jawabku reflek.

"Gaada apa gaada hayoo" goda Mark. "Lagi ngincer nih?"

"Gak ah, cuma penasaran aja"

*****

Seusai sekolah, aku sering mampir ke cafetaria dekat rumah dan membeli chai latte favoritku.

Aku mengantri di tempat pemesanannya sambil melihat-lihat sekeliling. Saat sudah giliranku, aku dikagetkan dengan orang yang berada didepanku. Aura khas itu mengelilinginya. Tetapi aku tidak perlu menebak namanya karena sudah tertulis di pin nama yang tertempel di dadanya.

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"

"Satu chai latte less sugar"

"Totalnya empat puluh dua ribu rupiah"

"Kau lebih ramah disini" candaku.

"Digaji kok" jawabnya sambil tersenyum tipis.

Tangannya yang dibalut perban menyodorkan uang kembalianku.

"Kenapa itu?" tanyaku penasaran.

"Biasa, kucing"

Meskipun aku tidak yakin dengan jawabannya, aku hanya tersenyum sambil mengangguk lalu pergi.

*****

Seiring berjalannya waktu, kami selalu bertemu disekolah, maupun di cafe, dan tempat-tempat yang tidak pernah kukira akan bertemu dengannya. Hubungan kami juga bertumbuh sedikit demi sedikit. Jewel juga mulai berbicara banyak padaku. Yang awalnya hanya satu-dua kata, sekarang ia bisa cerita tentang seluruh kisah liburan musim panasnya.

Aku tidak bisa bilang bahwa itu adalah hal yang mudah untukku membuatnya lebih terbuka kepadaku. Karena semua itu membutuhkan proses yang terbilang tidak cepat. Mungkin memang ia adalah tipe orang yang tidak mudah terbuka dengan orang lain. Tetapi menurutku bagian itulah yang membuatnya menarik.

*****

Sampai sekarang kami masih menjadi teman satu meja di kelas kimia.

"Bentar ya gue mau ke toilet" kata Jewel sambil berjalan keluar.

Ia meninggalkan handphonenya di sebelahku.

TING! Ada pesan masuk.

TING! Ada pesan masuk lagi.

TING! Dan lagi.

Bunyi itu terus membuatku penasaran. Meskipun aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak ikut campur urusan pribadinya, ada hal-hal yang ingin kuketahui tentang dirinya yang mustahil untuknya memberitahu secara terus terang kepadaku.

Nekad, kubuka notifikasi handphone nya.

'Doc. Nicki : J, gimana sekarang perasaannya?'

'Doc. Nicki: Sudah baikankah?'

'Doc. Nicki: Fluoxetine nya jangan sampai lupa diminum yaa'

Dokter? Dia sakit? Perawatan? Gimana perasaannya? Fluoxetine? Apa maksudnya?

Suara langkah kaki menuju ke arahku. Segera handphonenya kukembalikan pada posisi semula, tetapi karena casingnya yang licin, hpnya terjatuh ke lantai. Saat batang hidung Jewel muncul, hatiku berdebar sangat kencang. Aku hanya bisa berharap ia tidak melihatku membuka dan menjatuhkannya.

Jewel terlihat seperti sedang mencari sesuatu.

"Cari apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Tadi kayaknya hp gue di meja sini deh"

"Masa? Gue ga liat ada hp sih daritadi. Uda cek kolong belom?"

"Belom, bentar" katanya sambil merogoh kolong meja. "Nahh ini udah ketemu"

*****

Kuambil laptopku dari meja dan memangkunya diatas ranjang. Aku mengingat-ingat hal-hal yang tidak kumengerti dari pesan orang yang kelihatannya adalah dokternya Jewel itu.

"Fluoxetine adalah.."

"Obat yang digunakan untuk mengatasi beberapa gangguan psikologi, seperti depresi, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), dan bulimia nervosa."

"Dia... Depresi? Perban itu.."

Kekagetanku tidak dapat menahan air mata yang tanpa sadar berlinang dan membasahi pipiku. Aku tidak pernah menyangka akan seserius ini. Bagaimanapun juga aku sekarang sudah mengetahui hal ini meskipun Jewel tidak mengetahui bahwa aku tahu. Ingin ku mendampinginya, menemaninya, menjadi sumber energinya. Tempatnya tertawa dan pundak untuk ditangisinya. Tetapi semua keinginan itu tidak akan terwujud jika yang kulakukan hanya diam saja.

Dihari ini dan pada detik ini juga, aku sadar betapa penting dirinya bagiku. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Mulai sekarang aku bertekad untuk menjadi penyemangat hidupnya. Memastikan ia tahu bahwa ia penting, ia dibutuhkan, dan yang paling utama, ia dicintai.

*****

Seperti hari-hari lainnya, kulangkahkan kakiku masuk sekolah. Melewati lorong yang selalu kulewati setiap harinya. Aku sudah bisa merasakan auranya dari kejauhan. Aura yang tidak pernah kurasakan dengan orang lain sebelum aku bertemu dengannya. Aura yang membuatku lupa akan kelemahanku. Aura itu dapat kurasakan pada Jewel dan hanya Jewel seorang.

Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kukeluarkan dengan pelan. Kupastikan lagi pada diriku bahwa ini adalah apa yang kuinginkan dan aku melakukan hal yang benar. Aku berjalan ke arahnya dengan senyuman lebar terplester diwajahku.

"Uhm.. Jewel?"

-fin

Continue Reading

You'll Also Like

106K 537 7
📌 AREA DEWASA📌
568K 6K 26
Hanya cerita hayalan🙏
575K 7.4K 56
cerita singkat
126K 11.4K 48
No Deskripsi. Langsung baca aja Taekook Vkook Bxb 🔞🔞 *** Start : 15 Januari 2024 End : -