LOVELY KARENINA (SUDAH TERBIT)

By dindinthabita

219K 7.8K 1.1K

Karenina Ara adalah gadis blasteran Indonesia-Jepang-Yunani yang kuliah di jurusan Designer Paris. Dia gadis... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
VIDEO TRAILER LOVELY KARENINA RILIS
FAKTA ALI & NINA
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
EPILOG
TANYA READER
EXTRA PART : MALAM PERTAMA; EXPLISIT SCENE
CATATAN AUTHOR
MINI STORIES ALI DAN NINA SUDAH PUBLISH

PROLOG

13.7K 753 60
By dindinthabita


Marshal mengetuk pelan pintu kamar berwarna putih itu dengan pelan, mendengarkan dengan seksama melalui daun pintunya, siapa tahu terdapat aktivitas di dalam sana. Namun tak ada suara apapun di dalam kamar dan dia mencoba memutar gerendel pintu. Dia tidak berharap banyak bahwa pintu itu dalam keadaan tidak terkunci karena biasanya pintu itu selalu terkunci. Tiba-tiba terdengar suara klik yang menandakan bahwa kali ini pintu itu tidak terkunci dan perasaan Marshal seakan mendapatkan sebuah jackpot dan segera melangkah masuk.

"Bang..." dia melongokkan sedikit kepalanya, mencoba menyesuaikan matanya pada keadaan gelap di dalam kamar, memasukkan sedikit tubuhnya dan semakin merasakan sunyinya kamar itu. Marshal mulai panik, kepalanya menoleh ke kiri kanan, mencoba mencari pemilik kamar melalui bantuan sinar lampu balkon yang terbuka.

"Bang...kamu di mana?" Marshal melangkah masuk, ujung jarinya menyentuh sesuatu di lantai, diraihnya dan dilihatnya bahwa itu adalah selembar kertas. Tangannya menjangkau sakelar lampu dan dalam seketika ruangan kamar yang luas itu terang benderang. Baru itulah Marshal menyadari bahwa hampir seluruh lantai kamar itu dipenuhi kertas lukis yang betebaran.

Satu persatu Marshal memunguti kertas-kertas tersebut, menatap lukisan wajah gadis cantik yang membuat rongga dadanya sesak oleh rasa sedih yang luar biasa. Lukisan wajah gadis berambut panjang berponi yang tak pernah dapat dilupakannya bahkan setelah hampir setahun kepergiaannya. Dia berjalan terus dengan mengemasi kertas-kertas tersebut dan melihat asap rokok yang tampak melayang di udara di balik ranjang besar di kamar itu.

"Bang!" Marshal melangkah cepat ke arah samping ranjang dan menemukan saudaranya sedang bersandar di sana, sedang merokok dengan diam bersama wajah tampannya yang terlihat amat kusut. Rambut panjangnya tampak tergerai di kedua bahu lebarnya, mengikal lemas di sana. Jenggot dan cambangnya tampak melebat dari yang seharusnya dan di sebelah tangannya yang lain memegang sebatang pensil dan selembar kertas yang berlukiskan lukisan Natalie.

Marshal menghela napas dan berjalan ke arah pintu balkon yang terbuka, menutupnya dengan sekilas melayangkan pandangannya pada balkon kosong di seberangnya. Dia menahan perasaannya, menutup pintu balkon dan menguncinya. Dia meraih remote ac dan menghidupkan benda itu. Segera rasa sejuk memenuhi ruangan yang sarat dengan aroma rokok yang pekat.

Dia berjongkok di depan Ali, meraih batang rokok di tangan saudaranya, mematikannya di asbak dekat lututnya dan memegang bahu itu dengan suara bergetar. "Bang, sudahlah...relakan Nata...Jangan seperti ini. Mama dan Papa cemas, aku juga. Bang Bas dan semua rekanmu di stasiun televisi juga cemas." Marshal menatap manik mata pekat Ali dan mendapatkan sorot matanya yang tajam terhujam pada dirinya.

Ali menatap Marshal dan dia mengusap rambutnya yang menjuntai di dahinya. Dia bangkit berdiri dan menatap adiknya yang perlahan juga berdiri. "Ada apa?" dia bertanya datar seraya mengikat rambutnya di tengkuk.

"Bang Agus di bawah. Dia ingin bertemu denganmu."

Ali menatap Marshal dan hanya diam saja. Berjalan ke arah kamar mandi dan berkata pendek. "Aku mandi dulu. Suruh saja dia menunggu sebentar." Dan dia menghilang ke dalam kamar mandi, menyisakan helaan napas yang diembuskan oleh Marshal.

*****

"Kamu sudah tidak pernah datang ke kantor, Li." Agus menatap Ali yang duduk tenang di ruang tamu orangtua pria itu dan mengeluh dalam hati melihat wajah berduka yang selalu menghiasi wajah tampan yang memang sudah tanpa ekspresi itu. "Pemimpin redaksi memintamu untuk kembali meliput. Ada sebuah berita di...."

"Aku akan berhenti menjadi reporter, Mas." Ali memotong kalimat Agus secara tiba-tiba dan hal itu membuat Agus dan Bas yang duduk di sebelahnya ternganga. Bahkan di ruang tengah yang berbatasan dengan ruang tamu itupun terdengar seruan tertahan Wanda.

"Li, kamu gila apa? Berhenti jadi reporter? Ini hidup kamu tahu!" Bas sampai menepuk meja demi mendapatkan penjelasan Ali atas keputusannya.

"Li, coba pikirkan dulu. Kami datang bukan meminta kamu mundur, kami datang untuk mengajakmu kembali dalam tim." Agus membujuk dan hatinya luar biasa cemas melihat kebulatan tekad di wajah reporternya.

Ali tampak menampilkan senyum tipisnya. "Aku sudah tidak bisa memegang kamera." Hanya itu jawabannya dari sekian banyak bujukan yang dilancarkan Agus dan Bas. "Aku sudah tidak bisa mendapatkan objek yang tepat untuk mata kameraku. Sia-sia saja aku kembali bersama tim jika akhirnya aku hanya menjadi hambatan."

Kedua orang di depannya terdiam. Ali menjentikkan abu rokoknya di asbak dan menatap mata Agus dengan lekat. "Aku akan menulis surat pengunduran diri."

"Li!" Bas masih mencoba membujuk.

Namun Ali hanya menatap Agus tanpa berkedip, dengan tatapan matanya yang keras dan tak bisa dibantah. Agus menghela napas, mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kasar ke udara. Dia melumat ujung rokoknya di asbak yang sama dengan Ali dan berkata dengan mengendalikan emosinya.

"Baiklah, jika itu keinginanmu. Aku tunggu surat pengunduran dirimu besok pagi." Agus mengencangkan rahangnya saat berkata demikian, kedua tangannya terkepal erat dan dia menatap Ali dengan sepasang mata penuh kekesalan. "Jika Natalie tahu seperti ini keputusanmu, gadis itu akan sangat sedih!"

Sejenak emosi muncul di wajah kaku Ali namun dia hanya membalas kalimat Agus dengan tajam. "Dia akan mengerti."

Agus bangkit dari duduknya, menoleh Bas yang masih berusaha memohon agar Ali mengubah pikirannya dan dia membentak. "Sudahlah Baskoro! Pria ini sudah memberikan keputusan bodohnya. Untuk apa lagi membujuknya. Ayo kita kembali!"

Mendengar bentakan atasannya, Bas terpaksa menyerah. Sekali lagi dia menatap Ali sebelum beranjak pergi. "Kumohon, pikirkanlah lagi." Tapi dia tahu, usahanya sia-sia saat dilihatnya Ali hanya diam saja.

Ali menatap kepergiaan kedua temannya setelah mereka berpamitan pada Ibunya. Dia meletakkan kedua lengannya di atas kedua lututnya, dia mendengar suara lirih Wanda. "Jangan mengambil keputusan secara mendadak, Nak. Mama mohon pikirkanlah lagi. Kamu tidak boleh begini. Nata sudah tiada. Kamu harus melanjutkan hidupmu..."

Ali mengangkat wajahnya untuk menatap Wanda dengan riak yang terkandung di sepasang mata hitamnya yang pekat. Wanda terdiam dan ketika Ali menjawab kalimatnya, tubuh wanita itu sedikit limbung.

"Separuh jiwaku seperti melayang bersama Nata, Ma. Aku tidak bisa melakukan apapun karena bayangan Nata selalu ada di benakku. Setiap hal yang kulakukan selalu ada kenangan Nata. Jejaknya membekas di mana-mana. Di mobill, di balkon, di mall, di kantor, di mana saja." Ali menutup wajahnya. "Aku tidak bisa...."

Wanda menutup mulutnya dan hanya bisa memeluk tubuh tegap Ali. Dia mengusap rambut panjang anaknya dan berkata pelan. "Mama tidak akan memaksamu, Nak. Tidak akan." Oh, Natalie....Tante mohon, lepaskanlah Ali, itulah kalimat yang ada di batin Wanda.

Wanda tidak tahu bahwa harus mendengar keputusan Ali yang lainnya keesokan paginya. Saat di meja sarapan, di mana duduk dirinya, Aditya dan Marshal yang sedang bersiap berangkat kuliah, Ali muncul dengan sebuah tas ransel di punggungnya dan jaket kulitnya. Wajahnya tampak bersih dan segala bulu-bulu di wajahnya tercukur rapi meski janggut dan cambangnya masih ada di sana.

Aditya meletakkan sendoknya dan menatap tajam Ali yang memasuki ruang makan dan duduk dengan tenang di samping Marshal. "Apa kamu mau pergi meliput?"

Ali meraih sendok nasi goreng dan menumpuknya di atas piring makannya. Suasana meja sarapan itu tampak tegang. "Aku akan mengantar surat pengunduran diri ke kantor."

"Lalu, untuk apa ransel itu?" akhirnya Marshal bertanya, penasaran dan jujur saja hatinya mulai merasa tidak nyaman. Bahkan pertanyaannya adalah apa yang ingin Wanda tanyakan.

"Aku akan pergi ke Paris setelah mengantar surat tersebut."

"Liburan?" senyum Marshal. "Baguslah..." namun dia menghentikan kalimatnya saat menemukan senyum tipis Ali.

"Aku berencana menetap di Paris, sebagai pelukis."

*****

Neuilly –sur-seine,Paris. Musim Semi.

"Ninaaaaaa.....Banguuuun!! nous sommes en retard (kita terlambat) !!" sebuah suara dengan aksen Perancis kental tampak terdengar jauh di bawah jendela rumah di mana selama ini gadis yang berada di kamar itu menumpang sepanjang kuliah di Paris.

Nina melempar selimutnya dan segera melompat ke arah jendela, membuka kedua daun jendelanya dan melongok ke bawah, di mana kedua teman kuliahnya yang berambut pirang tampak sedang mendongak ke arah jendelanya.

Satu yang berkepang melambaikan tangannya seraya berteriak pada Nina. "Depéhêchez-vous! (Cepatlah)!" dia menunjukkan arlojinya. "Kita sudah terlambat di kelas Madame Durant! Kau tahu kan jika terlambat lebih dari setengah jam?"

Bola mata Nina membesar dan dia segera menjawab kedua temannya. "Oui! Aku segera turun!" dia melambaikan tangannya, berputar untuk meraih handuknya. Sekali lagi dia mendengar teriakan temannya.

"Jangan mandi! Cukup basuh mukamu dan sikat gigi saja!"

"Uuurgh...iyaaaa!" Nina mengerang dan melempar handuknya, berlari ke wastafel mungil yang tergantung di dekat jendela. Dia membasuh wajahnya dan menggosok giginya dengan cepat, berkumur-kumur dan menepuk kedua pipinya beberapa kali.

Saat dia memakai bajunya, kembali dia mendengar suara teman-temannya, kali ini dibarengi suara tawa cekikikan. "Ninaaaaa...."

Nina memakai sepatunya dengan terburu-buru, meraih tasnya dan buku sketsanya. Dia membuka pintu kamarnya dan berlari menuruni tangga samping dari tingkat duanya. "Bonjour, Madame Laroche (Selamat pagi, Nyonya Laroche)!" Nina menyapa sang Nyonya induk semang yang sedang menyiram bunga-bunganya dan tersenyum lebar pada Nina.

"Bonjour, Nina! Soyez prudent, Nina (Hati-hati, Nina)" Madame Laroche melambai gadis manis berwajah oriental itu dan menggelengkan kepalanya dengan tersenyum. "Selalu terlambat."

Dengan tawa ceria, Nina setengah berlari bersama Agnes dan Lucille. Teman-teman Perancisnya sejak dia menjadi mahasiswa baru hingga sekarang. Bersama mereka, Nina melewati masa homesick yang hampir tiap saat menyerangnya. Kedua temannya akan menghiburnya menikmati Paris di sela-sela kesibukan mereka sebagai mahasiswa fashion designer di ESMOD.

Neuilly –sur-seine adalah sebuah distrik yang berbatasan dengan batas barat kota Paris. Terletak sekitar 6.8 kilometer dari pusat kota Paris, merupakan kotamadya terpadat di Eropa dan rumah bagi banyak orang dari berbagai negara. Banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai negara homestay di rumah-rumah penduduk, salah satunya adalah Karenina Ara yang berasal dari Indonesia.

Karena jarak Neuilly-sur-seine yang 6 kilometer dari Paris, Nina dan kedua temannya selalu menggunakan metro yang tanpa terasa dalam 10 menit saja mereka sudah sampai di pusat kota Paris. Turun dari metro, mereka akan berlarian sepanjang jembatan sungai Seine sambil tertawa menikmati udara nyaman Paris.

Seperti pagi itu, Nina berlari sepanjang jembatan Sungai Seine dan tanpa sengaja menabrak seorang pria yang kebetulan sedang berjalan sendirian di jembatan. Buku sketsanya terlepas dari pelukannya, mengakibatkan beberapa lembar kertas sketsa berhamburan dan melayang di udara.

"Pardon, Monseiur (Maaf, Tuan). Maaf, Pak!" Nina membungkuk dan mulai memunguti semua kertasnya, meminta maaf dengan bahasa Perancisnya yang buruk dan berharap pria tersebut mengerti aksen amburadulnya.

Nina tidak mendengar suara dari orang yang ditabraknya dan melihat sepasang sneaker di depan matanya. Dia mengangkat wajahnya dan mendapati seraut wajah pria Indonesia yang tengah menatapnya dengan selembar kertas sketsa miliknya.

Nina menegakkan tubuhnya dan mengulurkan tangannya. "Anu, Pak? Mas? Orang Indo kan ya?" dia menyapa ragu karena wajah sang pria terlihat tidak ramah dengan rambut panjangnya yang terikat erat di tengkuknya.

Pria itu tampak kaget saat menatap wajahnya ketika selesai memperhatikan sketsanya. Nina mencoba sekali lagi. "Kertas sketsa saya? Bisa dikembalikan? Mas?" dia mulai menggerakkan alisnya dengan lucu dan telapak tangannya bergerak naik turun, menuntut kembali miliknya.

Pria itu mengembalikan kertas sketsanya dan Nina memeluk benda itu bagai batu berlian yang berharga, itu adalah sketsa yang dikerjakannya semalam suntuk. Dia membungkuk berulang kali di depan sang pria sehingga ekor kudanya bergerak-gerak pelan.

"Terima kasih, Mas. Merci. Xie Xie." Nina mengucapkan tiga kata terimakasih dalam tiga bahasa dengan riang. Dia mendengar balasan dari pria itu dengan nada suaranya yang canggung.

"Nina! Dépêchez-vous (cepatlah!) Kita akan terlambat!"Agnes berteriak keras pada Nina yang berada tak jauh dari punggung pria berjaket itu. Nina balas dengan lambaian.

"Oui! Iya!! Aku segera ke sana!" Dengan lincah Nina membetulkan letak tas talinya, menatap pria di depannya dengan senyum cerah. "Orang Indo kan ya, Mas?" melihat anggukan kepala sang pria, dia kembali menyambung kalimatnya. "Bienvenue à Paris! Selamat datang di Paris!" dengan ramah Nina menepuk bahu lebar itu dan berlari cepat menyusul teman-temannya.

"Ninaaaaa....!!"

"Aku datang!!" Nina mendekap erat-erat buku sketsa dan mengatur napasnya. Dia menatap Agnes dan Lucille. "Aku bertemu dengan orang Indonesia." Nina tersenyum cerah.

Lucille menyibak kepang rambutnya. "Kau pasti senang sekali saat lidahmu mengucapkan kalimat bahasa negaramu." Dia tersenyum dan menatap wajah Nina yang gembira.

"Bien sûr! " Nina mengacungkan jempolnya. "Aku rinduuuuu bicara sama orang Indonesiaaa."

Lucille tertawa dan terdengar suara Agnes yang sedikit penasaran. "Apakah pria tadi tampan? Kudengar pria Indonesia tampan," dia berbisik pada telinga Nina.

Nina menoleh ke belakang dan menatap lekat pungung lebar yang berjalan kian menjauh. Dia tersenyum kecil. "Sangaaaat tampan! Dia memiliki bola mata hitam yang indah." Lalu dia menambahkan dengan tersenyum. "Bagiku semua orang Indonesia itu tampan dan cantik. Seperti diriku." Dia menunjuk pipinya yang membuat kedua temannya tertawa keras.

Bertiga mereka mendekati halte bus dan naik bus yang menuju 12 Rue de la Rochefoucauld, di mana ESMOD berada. Nina menatap kembali jembatan Sungai Seine dan sosok pria tadi telah menjadi titik hitam di antara para pejalan kaki. Dia menekan sikunya pada jendela bus dan tersenyum menikmati bunga-bunga yang bermekaran di Paris.

****

Ali menatap kepergian gadis lincah berwajah oriental yang telah berhasil mendapatkan kembali sketsa rancangan gaunnya. Dia memasang kembali earphonenya dan mendengar suara merdu Chrisye yang menyanyikan lagu Natalie. sebuah panggilan masuk pada ponselnya dan Ali menekan tombol terima.

"Bonjour, Monsieur. Apakah lukisan anda sudah selesai?" sebuah suara pria dalam bahasa Perancis yang kental segera menerpa telinga Ali.

"Bonjour, Monsieur Lefevre (selamat pagi, Tuan Lefevre). Tentu saja," jawab Ali.

"Aku akan ke apartemen anda dalam satu jam. Lukisan anda siap akan dipamerkan di Galeri Seni di Yvon Lambert pada saat peluncuran buku penulis Best Seller Perancis."

Ali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeansnya dan menatap halte bus yang tak jauh dari tempat dia berjalan. "Tentu saja. aku akan menunggu anda, Monsieur."

"Apa judul lukisan kali ini?"

Ali menunjukkan tiket busnya pada konduktor dan menaiki bus. Dia memilih bangku paling belakang dan menjawab Tuan Lefevre. "Ma Belle Natalie."

ctt : Ma belle artinya wanita cantikku 

TBC....

Selamat menikmati suasana penuh cinta di kota cinta Paris. Selamat datang Nina ^^.. 

Love dindin 

Continue Reading

You'll Also Like

789K 38.5K 34
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
Regret By stella

Teen Fiction

380 116 20
"Terkadang kau tidak tahu siapa yang bisa dan tidak bisa di percayai di dunia ini. Karena suatu saat nanti, sahabat dan bahkan keluarga pun bisa menj...
959K 77.3K 53
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
386 57 26
Xio Zhang, seorang programer berusia 35 tahun yang mati karena tersetrum. Namun, takdir masih berpihak padanya dan berhasil bereinkarnasi ke dunia ga...