SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

17

3K 367 9
By SophieAntoni

***Harap maklum kalau masih nemu typo...happy reading!



Ava Argani

Angin lembut bertiup dari luar jendela kamarku yang kubuka cukup lebar dan sedkit mengusir gerahku. Aku menoleh sebentar untuk melihat jam di dinding kamarku, setelah yakin bahwa jarum jam sudah mendekati angka sembilan aku tergesa merapikan baju dan penampilanku kemudian menyambar tasku dan keluar dari kamar. Aku setengah berlari menuruni tangga dan mendapati rumah lengang seperti biasa. Mama dan Tania sudah ke kantor sejak sejam yang lalu. Kami hanya bertemu saat sarapan tadi pagi, itu pun tidak ada obrolan berarti di meja makan. Mama lebih sibuk meneliti berkas di depannya atau menelpon atau bahkan mengomeli Bik Imah dan Tania. Tidak ada interaksi berarti antara aku dan Mama setiap pagi di meja makan.

"Non Ava udah mau berangkat?" Bik Imah muncul dari pintu belakang saat aku sedang menenggak segelas air.

"Iya Bik."

"Makan siang di rumah nggak?"

Aku berpikir sebentar.

"Belum tahu bik."

"Tadi sebelum berangkat Ibu pesan kalau misalnya Non Ava makan di rumah, Bibik disuruh panasin ayam panggang yang semalam dibawa Ibu dari rumah makan apa itu namanya...bibik lupa. Non Ava kan suka ayam panggang." Bik Imah tersenyum padaku yang sekarang hanya bisa menatapnya tanpa suara. Apa aku tidak salah dengar? Atau apakah Bik Imah tidak sedang mengarang cerita? Mama membawakanku ayam panggang? Apakah itu ayam panggang dari Pasifik? Restoran yang memang terkenal dengan ayam dan bebek panggangnya, yang dulu menjadi tempat favorit aku dan Papa?

"Non?"

"Iya bik...ummm...aku makan di rumah. Nanti bibik panasin aja ya." Aku tersenyum sumringah dan melangkah ringan keluar. Aku membuka pintu gerbang sambil memeriksa ponselku karena tadi aku sudah memesan taksi online dan aplikasinya sudah memberi informasi kalau kendaraan yang kupesan sudah tiba di depan rumah. Senyum belum lepas dari bibirku, informasi yang kudapat dari bik Imah menjadi penyebab kerianganku saat ini. Mama ternyata sangat tahu makanan kesukaanku dan ia bahkan membawakannya untukku dan memberi pesan khusus pada bik Imah. Satu hal kecil ini berpengaruh besar pada diriku.

Aku keluar dari pintu gerbang dan beberapa detik kemudian langkahku berhenti. Mataku mencari-cari tapi taksi online yang kupesan tidak ada di sana, yang ada justru mobil lain yang cukup kukenal dengan seseorang yang berdiri menunggu dengan bersandar di samping mobil itu.

"Hi." Rama menyapaku. Ia melangkah mendekatiku yang masih bingung dengan situasi ini. Mataku masih bergerak mencari mobil lain di sekitar situ namun aku tidak menemukannya.

"Aku sudah membayar mobil pesananmu. Kamu mau kemana biar aku antar." Rama menjawab tanya yang tergambar jelas di wajahku selain tentu saja setelah rasa terkejut karena kehadiranya. Oke, aku akan memberitahukan satu hal. Setelah aku menerima pesan singkat dari Erick yang aku sendiri tidak paham maksudnya, dan aku juga tidak berniat untuk meminta penjelasan, aku menerima pesan dari Rama untuk mengajakku bertemu. Aku sudah menduga setelah berita Ayana mulai mengisi judul setiap headline media online, Rama pasti akan segera menghubungiku. Namun aku tak menduga secepat ini. Entahlah kehadirannya saat ini seperti memaksaku masuk ke dalam labirin kebingungan. Kata-kata Tania terus menghantuiku dan membuatku bertanya pada hatiku apakah dia benar? Apakah rasaku pada Rama tidak sekuat yang aku duga? Aku bahkan tak mengharapkannya muncul secepat ini.

Aku memandang Rama cukup lama.

"Kamu nggak marah kan?" dia menerjemahkan tatapanku padanya sebagai bentuk rasa tidak sukaku dengan apa yang sudah ia lakukan. "Va?"

"Nggak." Aku menggeleng kecil. "Tapi bagaimana kalau bukan aku yang memesannya?" aku masih bicara mengenai taksi online yang kupesan dan sudah 'diusir' pulang oleh Rama.

"Nggak mungkin Tania atau Ibu kamu yang memesannya kan?" Dia melirikku dengan senyum kecilnya. "Kamu mau kemana? Aku antar." Katanya sekali lagi.

"Aku janjian dengan salah satu seniorku di World Med." Jawabku sambil mengikuti langkah Rama ke mobilnya. Ia membukakan pintu untukku.

"Kamu mau mau ke World Med?" Rama muncul dari pintu sebelah kanan. Pertanyaannya membuatku tersadar kalau Rama juga adalah salah satu dokter di Rumah Sakit itu. Kenapa juga kebetulan seperti ini bisa terjadi. Dari ratusan rumah sakit di ibu kota ini kenapa Rama bekerja di RS yang sama dengan dokter senior yang akan kutemui saat ini.

"Ya, dokter Lisa, seniorku sekarang di World Med dan ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan dia." Jelasku tanpa diminta. Rama hanya mendengarkannya tanpa merespon. Aku memang sedang berusaha mencari link yang dapat membantuku untuk bisa melanjutkan studi ke Jerman. Dokter Lisa adalah seniorku di fakultas kedokteran, dia senior yang lumayan jauh di atasku. Dia adalah anggota sebuah organisasi penelitian yang pernah mengadakan lomba presentasi penelitan yang pesertanya adalah dokter dari berbagai Negara. Dari ajang itu dokter Lisa sempat dikenalkan oleh koleganya dengan salah satu Chefarszt atau direktur dari sebuah unit kardiologi di sebuah RS di Jerman. Aku berharap melalui dokter Lisa, tahun depan aku bisa mendapat lowongan kerja sebagai dokter residen di Negara itu yang akan mempermudahku untuk melanjutkan PPDS.

Mobil bergerak meninggalkan rumah sudah sekitar sepuluh menit namun belum ada di antara kami yang berusaha mengalihkan topik obrolan kami yang saat ini terkesan kaku karena hanya membahas tentang surat tanda registrasi yang sedang kuurus agar resmi menjadi seorang dokter umum dan tentang kewajiban menjadi seorang dokter residen agar bisa mengambil spesialis di Jerman.

"Kamu sudah dengar beritanya?" Akhirnya Rama mulai mengawali topik itu. Ia menoleh sebentar ke arahku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

"So?"

"Apakah ini terasa benar?" Alisku berkerut saat mengatakan itu. Aku memandang Rama yang sibuk di balik setirnya.

"Maksud kamu?"

Aku memainkan jemariku. Meskipun Rama sendiri mengatakan bahwa perasaannya beberapa bulan ini sudah terasa mati pada Ayana namun apakah wajar bila mereka memulai hubungan ini tepat setelah berita tentang putusnya mereka beredar di seantero negeri?

"Aku nggak mau memulai hubungan ini dengan terburu-buru." Kataku hati-hati. Aku bisa melihat Rama menghela napas di sebelahku.

"Oke, aku mengerti. Lalu kamu ingin hubungan kita seperti apa?"

"Entahlah. Berteman?"

Dia tersenyum namun terasa sekali ada kekecewaan di sana. Sikapnya menunjukkan betapa Rama benar-benar menginginkanku. Tapi kenapa aku bisa menjadi ragu seperti ini. Ada apa denganku? Kemana semua rasa antusiaku, kerinduanku, dan keinginku yang besar untuk bersamanya saat kami masih sama-sama di Ende?

"Kamu ingin berteman dulu?" ia bertanya sekaligus memastikan kalau aku serius menginginkannya. "Tapi aku tetap bisa mengajakmu untuk makan malam dan sesekali makan siang kan? Berteman seperti itu?"

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum dengan semua kata-kata manisnya ini. Seharusnya memang tidak sulit untuk jatuh cinta pada Rama begitu pula tidak sulit untuk mengabaikan apapun di sekelilingmu agar bisa untuk bersamanya. Aku menginginkan itu namun entah kenapa semuanya jadi sulit saat ini. Selama hidupku aku berusaha untuk tidak hidup dengan egois karena masa lalu terus mengingatkanku bahwa keegoisan sudah pernah menciptakan neraka bagi seorang perempuan yang saat ini kupanggil Mama.

"Aku harap kamu bisa mengerti Mas." Dia mengangguk dan tak lupa memberikan senyumnya padaku. Mobil Rama mulai memasuki area parkir World Med dan ia mengatakan akan menungguku hingga urusanku selesai karena dia ingin mengajakku makan siang. Aku sudah mencoba menolak saat ingat kalau aku sudah berjanji pada Bik Imah untuk pulang dan aku juga tidak tahu berapa lama aku menghabiskan waktu berbincang dengan dokter Lisa. Namun aku akhirnya luluh dengan sinar mata memohonnya. Rama beralasan kalau ia baru saja selesai membantu operasi pukul delapan tadi pagi dan ia sudah tidak sabar ingin bertemu denganku, ia hanya punya waktu untuk mengajakku makan siang sebelum kembali ke rumah sakit. Dia memang merindukanku.

Berjalan bersisian dengan Rama di tempat ia bekerja terasa seperti seorang penjahat yang sedang kembali ke tempat kejadian perkara. Memang aku terlalu berlebihan menganalogikannya karena di sini tidak ada yang tahu kalau Rama dulu adalah kekasih Ayana. Namun ini sebenarnya yang kurasakan tadi saat aku menyadari Rama dan dokter Lisa bekerja di tempat yang sama.Sebuah kebetulan yang sedikit membuatku tak nyaman.

"Kabari aku kalau kamu sudah selesai bertemu dokter Lisa." Kata Rama saat kami berpisah di persimpangan menuju unit penyakit dalam. Aku menoleh sebentar untuk melihat Rama melangkah menjauhiku. Aku tidak bisa mengabaikan betapa menariknya laki-laki itu meski hanya melihatnya dari belakang. Aku mendesah sedikit resah dan kemudian menggeleng mencoba mengusir pergi segala rasa yang melankolis ini. Mataku mencari-cari ruangan dokter Lisa. Aku perlu bertanya pada seorang perawat sebelum akhirnya bertemu dengan dokter spesialis penyakit dalam berusia akhir tiga puluhan itu.

"Ava!" seru dokter Lisa saat aku baru saja mendorong pelan pintu ruangannya. Menurut informasi dari perawat, dokter Lisa memang baru saja selesai menangani pasiennya yang datang berobat sejak pukul delapan tadi pagi.

"Apa kabarmu?" dokter Lisa bangkit mendekatiku dan merengkuhku. Satu hal yang tidak pernah kuduga. Ia kemudian mempersilahkanku untuk duduk. Singkat cerita aku berkenalan dengan dokter Lisa tanpa sengaja di sebuah rumah sakit saat sedang dalam masa koas sekitar dua tahun lalu.

"Baik dok."

"Kamu seorang dokter juga sekarang. Selamat ya." Aku tersenyum dan mengangguk. "Aku kehilangan nomor teleponmu jadi aku nggak bisa menghubungimu. Aku kira kamu yang akan sesekali mengontakku seperti janjimu dulu." Dokter Lisa menyipitkan matanya memandangku seakan sedang menyindirku.

"Maaf dokter." Jawabku setengah meringis malu karena aku justru kembali mengontaknya di saat aku sangat membutuhkannya. Namun dokter Lisa menimpalinya dengan tawa renyahnya. Setelah itu ia mulai bertanya tentang masa magangku selama setahun dan juga hal-hal ringan tentang keluarga sebelum akhirnya kami membahas tentang sistem PPDS di Jerman.

"Sesekali mainlah ke rumah biar bisa kenalan dengan suami dan anak-anakku. Kita bisa bicara lebih banyak dan lebih santai." Dokter Lisa menempuk pelan punggungku saat dia mengantarkanku keluar dari ruangannya.

"Iya dok, aku janji."

"Oke...kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk meneleponku ya. Janji ya."

Aku mengangguk.

"Kamu pulang sendiri? Bawa kendaraan?"

"Ummm...aku sama teman." Jawabku dengan sedikit salah tingkah, tiba-tiba pertanyaan semacam ini jadi sesuatu yang sensitif bagiku. Dan tentu saja aku tidak akan mengatakan tentang Rama pada dokter Lisa, meski aku sendiri tidak tahu apakah mereka saling mengenal atau tidak.

"Oke hati-hati ya, Va." Dokter Lisa melepas kepergianku dengan senyum hangatnya. Wanita itu sudah sangat ramah padaku sejak kami berkenalan dan aku sangat menyukainya. Wajahnya sangat memancarkan aura keibuan, ya aku selalu memandang semua wanita matang dengan sudut pandang seperti itu. Desi sering mengatakan bahwa itu karena aku terlalu merindukan sosok ibu dalam hidupku. Ibu yang selalu memancarkan aura hangat dari wajah dan senyumnya.

Langkahku mendekati lobi rumah sakit yang cukup luas dan lumayan ramai saat ini. Aku mengecek ponselku memastikan aku tidak salah membaca pesan Rama yang mengatakan bahwa ia menungguku di lobi. Mataku bergerak mencari sosoknya di setiap sudut dan diantara manusia yang hilir mudik siang ini. Aku tersenyum saat mendapati Rama sedang duduk di barisan kursi paling belakang tepat di depan counter resepsionis.

Rama mengangkat wajahnya dan aku mendapatinya tersenyum padaku namun sekitar tiga langkah kaki lagi aku sampai ke kursinya, dua orang laki-laki dan seorang perempun tampak mendekatinya. Aku bahkan bisa mendengar pertanyaan mereka pada Rama yang langsung membuat wajah laki-laki itu cukup terkejut.

"Dokter Rama Oktarian?" tanya perempuan bertubuh mungil itu. "Anda dokter Rama?" sekali lagi ia bertanya.

"Ya." Jawab Rama ragu-ragu.

"Saya dari Detil.Com dok, saya hanya mau bertanya tentang hubungan dokter dengan Ayana." kalimat perempuan itu membuatku terpaku di tempatku berdiri. Aku bisa melihat air muka Rama yang tampak gugup. Dua laki-laki lainnya tiba-tiba mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang sudah tidak mampu kudengar dengan jelas karena bunyi debar jantungku jauh lebih keras. Pandangan Rama sempat terkunci padaku dan aksinya itu tiba-tiba membuat jantungku berpacu cepat karena dua orang dari mereka saat ini ikut menoleh dan mencari tahu siapa yang sedang Rama lihat. Tubuhku segera berbalik dan melangkah cepat ke arah pintu keluar. Kalau aku tidak menjauh dan mereka mendapati kehadiranku, mereka bisa saja menyimpulkan sesuatu yang salah. Atau justru sikapku ini yang malah memancing mereka untuk menyimpulkan sesuatu? Bukankah mereka sempat melihat aku tadi? Aku meringis karena tiba-tiba pelipisku terasa berdenyut.

Aku terus melangkah hingga ke luar area rumah sakit. Jantungku masih berpacu di luar batas normal. Aku benar-benar takut dengan situasi ini. Aku masih belum siap kalau aku harus terseret masuk dalam 'skandal' ini. Tidak ada orang yang akan peduli dengan segala penjelasan panjang lebar yang mungkin aku dan Rama siapkan. Mereka hanya akan percaya dengan apa yang mereka lihat. Bagaimana kalau wajahku tertangkap kamera mereka? Apa yang akan dikatakan Mama atau Bang Aldo? Aku bahkan tak mampu membayangkannya.

Aku menahan taksi yang lewat dan segera melompat ke dalamnya dengan sedikit terengah. Aku menyebutkan alamatku pada supir taksi dan merasakan kelegaan yang luar biasa saat taksi bergerak meninggalkan RS. Aku bisa mendengar ponselku terus berbunyi dari dalam tasku namun aku masih belum punya keinginan untuk menjawabnya karena aku tahu semua itu pasti dari Rama.

***

Erick Leitner

Aku berdecak sedikit kesal saat panggilan teleponku sama sekali tidak dijawab oleh Ava bahkan pesanku sejak dua hari lalu belum dibalasnnya juga. Karena itu aku pun melakukan hal yang sudah di luar nalar menurutku. Pergi ke rumah perempuan itu hanya untuk sekadar mempertanyakan satu hal yang beberapa hari terakhir ini mengganggu tidurku adalah hal terabsurd yang pernah kulakukan. Aku menghabsikan waktu bermain dengan ponselku, membaca berita-berita ringan dan bahkan gosip-gosip artis, suatu hal yang jarang aku lakukan. Aku cukup lega karena jalanan lebar di perumahan ini cukup teduh karena dipayungi pohon-pohon besar yang mungkin usianya sudah puluhan tahun. Sinar matahari yang terik menjelang tengah hari hanya mengintip malu-malu di balik dedaunan lebat barisan pohon trembesi.

Aku melirik spion untuk mencari tahu apakah ada mobil yang hendak berbelok masuk ke dalam rumah itu atau mendapati seseorag yang wajahnya sudah begitu kukenal keluar dari gerbang besar rumah itu. Namun nihil. Kembali lagi aku mendesah tidak percaya aku bisa berada di depan rumah orang lain dan sedang memata-matainya.

"Ini udah nggak bener, Rick." Kataku pelan pada diriku sendiri karena sudah hampir satu jam aku memarkir mobilku berjarak sekitar tiga puluh meter dari gerbang rumah itu dan membuat siapa saja bisa curiga dengan kehadiranku. Untung saja aku sudah mengatakan pada satpam perumahan kalau aku sedang mencari Ava dan mereka tidak keberatan aku menunggu.

Aku hampir memutuskan untuk pulang saja ketika dari kaca spion aku bisa melihat sebuah taksi mendekati gerbang rumah itu. Aku menunggu sampai penumpang di dalam taksi itu keluar. Dan aku menghembuskan napas lega saat aku melihat sosok Ava muncul keluar dari pintu taksi.

"Ava!" aku berjalan cepat ke arah perempuan itu yang sedang berusaha membuka pintu gerbang kecil yang bersisian dengan gerbang utama. Aku bisa menangkap keterkejutan di wajahnya.

"Hi." Sapaku lagi saat aku sudah lebih dekat dengannya. Dia masih memandangku dengan wajah bingung dan beberapa detik kemudian aku bisa menangkap kegelisahan di raut wajahnya.

"Maaf, aku kesini karena kamu nggak membalas pesanku dan nggak menjawab teleponku." jelasku mengira aku lah penyebab kegelisahan di wajahnya.

"Aku sedang nggak ingin bicara apapun saat ini." Katanya dengan nada dingin daan terkesan terburu-buru.

"Sebentar." Aku mencoba menghentikan langkahnya. "Kamu begitu ketakutan melihatku?" aku meneliti wajah perempuan itu. Tidak hanya kegelisahan yang tergambar di sana, wajahnya tampak sedikit pucat. Aku semakin ragu dengan profesinya saat ini. Apakah mungkin seorang dokter terlihat tidak sehat seperti dirinya?

"Ini bukan karena kamu." Ia menghela napas seperti sedang mencoba mencari kata yang tepat yang sekiranya bisa membuatku paham. "Kalau mau bicara bisa cari waktu lain? Aku minta maaf karena belum membalas pesanmu tapi aku janji akan..."

"Kamu selalu mengabaikan semua telepon yang masuk." Daguku bergerak ke arah tasnya saat mendengar bunyi ponsel yang bersumber dari sana. "Kamu tahu nggak perasaan orang yang saat ini berharap kamu menjawabnya? Atau mungkin saja ada sesuatu yang darurat sedang terjadi?" aku membalas tatapan herannya padaku. Namun kata-kataku ternyata mampu membuat ia bergerak cepat. Entah apa yang tiba-tiba terbersit di otaknya saat ia dengan begitu terburu-buru merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Ia menekan layar ponsel dan merapatkan benda itu ke telinganya. Kegugupan semakin terlihat saat tangannya bergerak perlahan menurunkan ponselnya.

"Kamu mau bicara sekarang?" ia menatapku tajam namun sinar matanya seperti sedang memohon. "Ayuk." Dia melangkah cepat ke mobilku tanpa persetujuanku. Aku mengejar langkahnya yang terburu-buru. Aku membukakan pintu mobil untuknya dan dia masuk tanpa ragu. Aku masih belum bisa menghilangkan rasa heranku dengan sikapnya yang berubah secara tiba-tiba. Aku yakin di bukan sekadar menuruti keinginanku namun lebih tepatnya dia sedang menghindari sesuatu atau seseorang?

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
207K 19.5K 21
Ketika peristiwa kelam masa lalu membawa pada dilema besar, keduanya tak lagi sanggup mengurai solusi selain pasrah dengan kehendak takdir.
79.9K 7.5K 37
"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal...
5.5K 355 32
Shan menerima wasiat dari Ayahnya yang terbaring koma bahwa dirinya harus menikah dengan Kallen, nemesisnya yang setengah mati Shan benci. Shan dan K...