The House Sparrow

Par kaydominic

233 2 3

Pada suatu pesta kebun di pinggiran kota yang sunyi, para tamu dikejutkan oleh satu sosok yang jatuh terjun d... Plus

Chapter Zero
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9

Chapter 8

8 0 0
Par kaydominic

A Woman's Strength.

Jannah tak pernah menyebut dirinya sebagai pewarta agama. Jannah pun tak pernah mengajak penduduk desa untuk berkumpul menjelang senja di tepi pantai dan menjadikannya tempat berdakwah apalagi berdebat.

Bibir Pantai Parwati selalu tampak sepi, terkecuali sebulan belakangan. Tampak kerumunan kecil dibawah pohon kelapa, sekitar duapuluh orang duduk anteng disana. Anak-anak berpeci, Ibu-Ibu berkerudung, Bapak-Bapak renta, kadang bisa kau temui turis lokal ikut bersila disana. Jam empat tepat, Jannah duduk di pusat pusaran lingkaran yang mereka bentuk.

"Semalam ada yang menghampiri saya, seorang Pria Muda yang gelisah mempertanyakan iman-nya sekaligus fungsi agama bagi hidupnya. Sore ini dia tak hadir, sayapun berjanji tak akan menyebutkan namanya." Buka Jannah.

Umur Jannah yang belum genap tujuh belas tahun kala itu, tak menghalanginya untuk bersikap layaknya tetua. Sikap arif dan karisma yang luar biasa, membungkam mereka untuk bertanya di luar topik yang tiap sore berganti.

"Mari kita babar soal fungsi agama."

Semua orang disana mendekat dan memasang telinga mereka tajam, tak ingin melewatkan apa yang Jannah utarakan. Sore itu dia berpendapat bahwa Agama tak cuma mempunyai dua sisi bagai koin, tapi lebih dari itu. Agama bisa dianggap oleh awam sebagai kebenaran mutlak, bisa dianggap oleh orang bijak sebagai kesalahan, dan oleh penguasa tiran sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan habis untuk kepentingannya.

"Apa fungsi agama sesungguhnya?" tanyanya pada pria renta yang di desa terkenal sebagai haji soleh. Dia menggeleng, antara takut salah menjawab dan sungguhan tidak mengerti jawabannya.

Jannah bertutur, "Tuhan telah diklaim milik agama ini, agama itu, dan agama lainnya. Manusia-manusia ini akhirnya malah menjadi Tuhan menurut gambarannya sendiri, dengan tameng agama dan ayat-ayat-Nya. Dengan mudah mereka menghakimi, memecut, mendakwa, mengucilkan, bahkan membunuh sesama hanya karena mereka merasa satu-satunya orang yang mengerti fungsi agama."

"Memeluk agama ataupun tidak memeluknya, tetap akan ada orang yang berbuat jahat dan orang yang berbuat baik. Untuk membuat orang jahat menjadi baik, agama bisa digunakan. Fungsinya bisa saja berbalik, untuk membuat orang baik menjadi jahat. Fungsi agama sungguh banyak, tergantung manusia yang menggunakannya." Tuturnya panjang.

Seorang wanita sampai terisak dipojok, mungkin saja dia merasa terbukakan hatinya, atau mungkin malah pernah terlibat? Jannah pun tak tahu. "Padahal fungsi agama, nyatanya adalah untuk menunjukkan jalan, bukan menghukum. Menghukum manusia atas perbuatannya adalah murni tugas Tuhan semata. Sementara tugas manusia, yang menyebut dirinya para pemuka agama yang mulia, adalah cukup hadir disana, bicara dengan lunak menenangkan, dan memahami kondisi mereka. Jika dirasa salah, barulah tugas mereka untuk menunjukkan jalan yang benar dilakukan."

"Adakah agama yang sempurna, Mbak Jannah?" tanya gadis kecil didepannya sambil mengacungkan telunjuknya.

Jannah menarik nafasnya dalam. "Saya masih memimpikannya, Dik. Agama sempurna yang menurut ideal saya adalah agama yang tidak melahirkan celah sedikitpun akan penindasan antar manusia di bumi." Dia menggeleng bagai minta ampun kepada entah siapa.

"Silahkan belajar agama. Kalau perlu beberapa agama. Untuk memahami dan memilih, bukan untuk jadi makin bingung. Pelajarilah agama dengan berpikir luas, bukan hanya mengandalkan bacaan buku terjemahan usia ratusan tahun lalu yang kadang sudah hilang relevansinya dengan jaman sekarang, atau cuma duduk mendekam mengangguk tak henti mendengar uraian imam-mu."

Sosok wanita yang tadi menangis kemudian merangkak menghampirinya, mengecup pipi Jannah spontan, "Terima kasih. Hati saya jadi hangat mendengarnya."

Jannah tersenyum sambil kemudian mengaitkan jempol tangan kanannya ke jempol kiri wanita didepannya, tiba-tiba dia mengerti. "Beragama lah dengan hatimu. Jangan terlalu pedulikan apa kata pemuka agama dan buku-buku agama. Tetap percayai Tuhanmu, tetap berdoa pada-Nya." Wanita tadi mengangguk terisak sambil terus mengecup pipi Jannah.

Sekumpulan orang tadi serempak mengangguk, bahkan beberapa orang terlihat menengadahkan kedua telapaknya ke langit sambil mengucap syukur kepada Tuhan-nya masing-masing

Suara bedug samar terdengar dari selatan. Sudah hampir maghrib. Jannah dan rombongan tadi segera berdiri bubar dan setengah dari mereka beranjak menuju masjid di dekat balai desa.

**

Terlahir dari keluarga terpandang di desa dan terdidik agamis, tak membuat Jannah menjadi salah satu dari mereka. Secara akademis, Jannah kecil jauh lebih pintar dari gadis-gadis di kelasnya. Disaat yang lain masih belajar gugusan bimasakti, Jannah sudah dahulu membaca tentang Tiamat, Pollux, bahkan Antarus. Disaat yang lain mendengarkan sejarah kerajaan tarumanagara, dia malah mengacungkan jari bertanya tentang bangsa Lemuria dan Sumeria. Membuat seisi kelas sekaligus gurunya heran terdiam.

Pada umur enam belas, dia datang ke kelas tanpa kerudung kepala, syarat mutlak dari sekolahnya. "Saya ingin membuktikan bahwa saya tetap bisa menjadi manusia berakhlak baik dan unggul, dengan atau tanpa kerudung."

Jannah menang pagi itu, namun tidak malamnya. Ayah dan Ibunya menghukum dirinya dengan memotong pendek rambut panjangnya. "Kau mau tampak cantik sendiri dikelas? Biar Abah gunduli rambutmu, biar tahu malu!"

Tanpa menangis atau gentar, pagi berikutnya dia datang tetap tanpa kerudung. "Saya tetap muslim yang baik. Dengan atau tanpa kerudung. Saya tetap sholat lima waktu, saya tetap tak membantah orang tua, dan saya tetap tak merasa Allah hilang dari benak, ataupun berpaling dari saya."

Kata guru PPKN, hak manusia yang paling hakiki adalah memeluk agama sesuai pilihannya. Tetapi ada apa dengan masyarakat di lingkungannya? Semua balita sudah di kerudung dan dipakaikan peci lalu dibawa ke masjid dan dihapalkan ayat-ayat suci. Mana kenyataan dari teori soal hak manusia yang paling mendasar itu? Apakah hanya tinggal gema percuma? Betulkah hanya sajak belaka?

Tak diberi kesempatannya anak-anak kecil itu waktu lebih lama untuk tumbuh besar sedikit lagi, lalu membiarkannya duduk tenang, menelaah detil, dan kemudian memilih agamanya. Atas dasar kepercayaan. Bukan himbauan.

Dengan rambut pendeknya yang seperti anak lelaki, Jannah selalu menyendiri selepas sekolah. Di bibir Pantai Prawita lah dia kerap berbicara pada ombak dan langit. Kebiasaannya berbicara sendiri lalu memancing seorang wanita bersosok mengerikan menjadi temannya. "Saya sudah bertahun-tahun disini, Non."

Jannah tak takut pada sosok yang orang lain anggap gila. Ramah dia mengulurkan tangannya, "Saya Jannah, artinya surga."

"Panggil saya Mbak Kumala. Rumah papan saya pondok kecil di dekat mercusuar sana. Saya tinggal sendiri." Tak dinyana, ternyata sosok yang ditakutkan anak-anak kecil setempat, bisa sehangat dan membumi seperti ini.

Banyak bercerita, rupanya Kumala tidak gila ataupun mengidap gangguan jiwa lainnya. Kebetulan saja beberapa kudis berukuran lumayan besar di tubuh dan tangannya adalah hasil dari perbuatan masa lalunya. "Karma, kata tetua disini. Dulu saya melacur pada para nelayan yang berlabuh. Padahal saya tidak mengganggu kehidupan masyarakat desa sedikitpun, tapi bagi mereka, saya ini bawa sial." Jelasnya mengundang simpati Jannah.

"Kena penyakit begini, ditambah status saya mantan pelacur, habis sudah. Diasingkan lah saya disini sendirian. Mereka hampir saja merajam saya dengan batu-batu. Terutama para wanita yang ketahuan suaminya pernah jajan tubuh saya."

Jannah seakan mengerti perasaan barusan. Dikucilkan padahal tak sepenuhnya bersalah. Dihakimi sebelum didengarkan. "Untung bisa bertahan hidup ya, Mbak?"

Dia mengangguk. Terpaan sinar matahari memapar, masih memantulkan sisa kecantikan Kumala muda dahulu. Mata dan bibirnya seperti buatan iblis yang berbaik hati meminjamkannya pada Kumala. "Alhamdullilah... Allah belum lupa sama saya. Saya punya kebun kecil dibelakang pondok untuk sayur saya. Kalau mau ikan, saya tinggal pancing sendiri, kalau beruntung bahkan ikan besar sering terdampar di pasir putih. Air bersih tinggal tampung dari hujan. Pernah waktu kemarau panjang, sebulan penuh saya cuma makan pisang dan minum air kelapa. Alam ciptaan Allah ini memang sungguh baik. Punya cara sendiri untuk merawat hamba-Nya."

"Makanya, yang berani bicara bencana alam adalah cara Allah menghukum kita, itu benar-benar tak berakal. Bencana alam itu cara bumi bermetamorfosis, cara alamiah untuk menyelaraskan semua. Sayang manusia menganggapinya sebagai bencana alam." Tukas Jannah.

Senyum Kumala mengembang, "Betul, Non, Alam punya cara sendiri untuk menyembuhkan dirinya walau sudah dilukai manusia dan lainnya."

Jannah menambahi, "Bumi sendiri bagi saya, adalah mahluk hidup terbesar yang tidak kita sadari. Rerumputan adalah bulunya, pepohonan adalah sistem respirasinya, pegunungan dan tanah adalah kerak luarnya, minyak bumi dan air adalah keringat yang bumi keluarkan. Anggap saya gila, tapi bagi saya, Bumi itu hidup, dan alam adalah jiwanya."

Mendengar hal tersebut, Kumala menengadahkan kepalanya ke langit. "Saya tidak sepintar itu buat menyerap kata-kata Nona Jannah. Tapi saya tahu, Non orang pintar. Desa itu terlalu kecil untuk Non."

Jannah menengok kepadanya, "Maksud Mbak Kumala?"

Tangan itu diraihnya, Jannah ganti menggenggamnya, "Ketika kita sudah merasa besar di sebuah kolam, kita akan merasa kecil ketika masuk ke lautan."

Dada Jannah mengembang, seakan penuh udara sejuk. "Yang Mbak katakan barusan... saya tak menyangka Mbak Kumala bisa punya pikiran begitu bagus."

"Hidup sendiri, membuat saya banyak merenung tentang hidup, Non. Mungkin itu yang sebenarnya manusia butuhkan. Berpikir lama dalam diam dan merangkumnya dalam bijak."

"Saya tahu, Non sedang sedih karena banyak yang melecehkan Non disana. Tapi satu saja yang Non perlu ingat, jangan ikut melecehkan diri sendiri. Karena Allah menitipkan diri-Nya dalam raga dan jiwa kita. Jaga dan hormati. Hanya disanalah jiwa Non bersemayam."

Jannah pamit pulang sore itu. Suara bedug memisahkan mereka untuk kembali berbincang kepada Allah diatas sajadah masing-masing. Jannah berharap takdir mengijinkannya menemui Kumala esok, dan esoknya lagi.

**

Puskesmas di timur lumayan jauh jaraknya dari rumah Kumala. Jannah tetap menyerukan agar Kumala bertahan sambil payah membopong tubuh kurusnya. "Mbak jangan mati. Mbak tidak boleh mati! Harus kuat!"

Pertemanan mereka selama lebih dari sebulan membuat Jannah yakin tak ingin kehilangan sosok Kumala. Sore itu, sehabis pulang sekolah, Jannah ke pondok kecil Kumala dan menemukannya tergolek pucat di depan pintu kamar. Tiga kilometer jauhnya dia membopong tubuh Kumala. Entah dapat tenaga dari mana, namun Jannah mendorong dirinya penuh sore itu.

"Kenapa puskesmas ini menolak merawat dia?" matanya membulat panas, tak terima, menantang tiga perawat wanita didepannya.

"Dia orang gila mantan pelacur yang tinggal di dekat mercusuar, kan?" tantang seorang perawat balik.

"Lihat kudisnya. Pasti efek penyakit kelamin, Mbak." Bisik perawat satu kepada perawat disebelahnya.

"Pokoknya kami tidak bisa menerima. Bawa saja ke puskesmas lain."

Jannah mengepalkan tangannya. "Mana mungkin! Puskesmas terdekat jaraknya dua jam dari sini!"

"Kenapa?! Ada apa dengan kalian?!" pekiknya lagi.

"Karena dia bekas pelacur!" balas pekik si perawat berumur yang paling keras menolaknya sedari tadi.

"Jangan melecehkan orang yang dianggap hina! Pelacur, gelandangan, pengemis, penjahat, Subhanallah... Anda bisa memetik banyak pelajaran dari mereka. Anda tidak akan pernah tahu bahwa bisa saja mereka membantu disaat yang sulit."

Ketiganya terdiam. Debat barusan disaksikan hening oleh beberapa pengunjung puskesmas di ruang tunggu dan beberapa dokter jaga. "Menjadi pelacur, pencuri, penjahat, itu babak yang harus dia jalani. Jangan takabur! Anda pun suatu hari nanti akan menjalani peran itu, besar atau kecil!"

Kerongkongan Jannah kering, mata Jannah sudah meneteskan beberapa bulir air mata. Tak pernah dia mendidih sebegininya, "Tunggu sampai Tuhan-mu membalik hatimu, atau keturunanmu kelak menjadi salah satu dari mereka. Saya mau lihat, anda bisa bilang apa..." suaranya berat meratap, menatap nanar pada ketiga sosok didepannya.

Dua dari tiga perawat seketika bibirnya tergetar dan nafasnya terdengar memburu, lama mereka saling beradu tatap.

Secepat kilat berlari ke belakang, seorang perawat lainnya segera mengambil ranjang dorong, lalu dengan tanpa ragu atau jijik, dia membantu menaruh tubuh Kumala ke ranjang, "Saya akan rawat dia. Dia tetap manusia yang butuh pertolongan. Nona bisa duduk disana menunggu."

Jannah membalikkan tubuhnya ke belakang, mencari tempat untuk duduk menunggu, sementara kedua wanita barusan masih dalam posisinya yang sama; bibir tergetar dan mencoba menahan isak, sebelum kemudian dokter jaga memanggil mereka untuk berpencar.

Dua jam kemudian, seorang dokter jaga menghampirinya, membawa kabar bahwa Kumala sudah siuman. "Dia cuma malnutrisi saja... Kekurangan gula dan zat besi juga. Soal kudisnya, saya bisa berikan obat cuma-cuma."

"Soal penyakit kelamin nya, Dok?"

"Sudah lama sembuh. Saya sendiri heran, kenapa bisa sembuh total. Tiga tahun lalu saya yang mendiagnosa dia, bahkan memvonisnya tak bisa hidup lama. Keadaannya sekarang jauh lebih baik daripada dulu, walaupun tubuhnya makin kurus."

"Apakah tobatnya ternyata berubah menjadi obat, Dok? Allah yang mengijinkannya untuk sembuh?" tukasnya, membuat dokter menaikkan alisnya bingung. Jannah segera sadar dan menutup mulutnya.

"Pokoknya, Nona jaga dia saja. Suruh dia makan lebih bergizi." Jannah mengangguk lega sambil membasuh muka dengan kedua telapaknya, merapal doa kecil ke langit.

Malam itu Jannah tinggal agak lama di tempat Kumala untuk pertama kalinya. Untung besok hari minggu, jadi dia bisa kembali menemani Kumala seharian. Uang saku minggu ini dia rencanakan untuk membeli daging sapi dan ayam dipasar, sekalian bumbu dapur dan gula, supaya Kumala segera pulih.

"Non Jannah... Terima kasih." Rintihnya terbangun. Jannah sigap menghampirinya sekalian membawa obat dan salep oles untuk Kumala.

"Terima kasih sudah membela saya tadi. Mata saya memang tertutup tapi telinga saya mendengar."

Muka Jannah memerah malu, "Jadi kelihatan yah kalau saya galak, Mbak." Tawanya renyah.

"Salah saya ini. Tapi Non jangan khawatir, habis ini saya akan jaga tubuh ini lebih baik. Makan lebih baik." Perlahan jemari Jannah mengoles salep ke kulitnya.

"Saya juga heran, dokter bisa bilang saya sembuh total."

"Mbak Kumala juga dikasih tahu?"

Dia mengangguk, "Non jangan khawatir. Saya sembuh bukan berarti saya akan kembali melacur. Saya akan hidup begini saja. Saya nyaman begini. Sampai mati pun saya rela."

"Iya Mbak Kumala, hidup dalam ketenangan begini saja. Pertahankan hal yang membuat hidup Mbak menjadi baik. Kesempatan kedua jangan disia-siakan."

"Saya malah mikir mau bikin kebun kelapa dibelakang. Hahaha..." tawanya.

"Boleh, nanti saya bantu panjat waktu panen kelapa, Mbak. Separuh jiwa saya monyet betina loh, begini-begini." Gelak mereka berbarengan. Jannah senang malam itu, seakan Kumala menemukan kembali mimpi dan harapannya.

Jannah pamit pulang sebelum angin malam lebih menusuk. Abah dan Umi bisa menyuruh warga se-desa untuk mencarinya bila jam delapan dia tak kunjung pulang. "Tidur nyenyak ya, Mbak. Besok pagi kita ke pasar bareng."

**

Pagi betul mereka berdua sudah berada di pasar, Kumala sedikit kelimpungan dan tak biasa dengan kondisi ini, "Jangan takut, ada saya disini, Mbak."

Ia mengangguk, "Saya sih sudah biasa kalau mereka melirik begitu, saya cuma bingung, mungkin belum terbiasa dengan keramaian. Maklum, saya bertapa terlalu lama, Non." Candanya.

Jannah menepuk punggung tangan Kumala berulang kali, "Gak apa-apa, nanti juga terbiasa. Mbak lebih pintar masak sapi atau ayam?" ragunya sambil menatap hamparan daging siap beli di meja.

Dia mengangguk, "Jangan ragu kalau soal masak, Non. Bapak saya itu dulu koki restoran terkenal. Saya belajar banyak dari dia."

"Kalau begitu saya beli keduanya, ya, Mbak." Bingung dia mengangguk, masih canggung mendapat senyuman balik dari tukang daging, tukang sayur, dan tukang jualan lainnya.

Hampir satu jam mereka habiskan di pasar dan kembali bertolak ke pondok kecil Kumala. Ada tiga sosok menunggu di depan tamu. Pemandangan tak biasa. Kumala dan dirinya setengah berlari, ingin segera menyambut, "Kalian?"

Tiga perawat kemarin, dalam balutan baju sehari-hari, masing-masing memapah nampan berisi buah, biskuit, juga daster baru. "Ibu Kumala, bagaimana keadaannya?"

Kumala menunduk kikuk, "Ba-baik. Saya sudah bisa jalan. Sudah gak lemas."

Jannah masih menyimpan rasa curiga, terlihat dari cara matanya memandang wanita yang berdebat alot dengannya sore kemarin, "Ada yang bisa kami bantu?"

Dia mendekat, "Kamu Jannah, anak Pak Ahmad dan Bu Nur?"

"Iya, mereka Abah dan Umi saya." Segera dia berharap, barusan adalah basa-basi belaka. Bukan niatan untuk melaporkan pada Abah dan Umi soal kelancangannya kemarin sore.

Wanita itu tersenyum, "Mereka orang baik. Tapi ternyata kamu lebih baik. Hati kamu mulia, punya suara sendiri. Saya, sebagai seorang wanita, salut dengan kamu."

Jannah hanya terdiam, masih menatap ragu dan menerka lagi. "Jangan takut, saya disini mau minta maaf pada kalian soal kemarin sore. Saya bahkan bawa makanan supaya Ibu Kumala bisa pulih total." Dia menjulurkan tangan, jabatan tulus dan hangat. Jannah memutuskan untuk percaya.

Cukup lama mereka berbincang ber-lima. Pondok kecil Kumala tak pernah seramai dan sehangat ini. Rasa kagok pun sudah hilang dan berubah menjadi rasa saling paham dan mengerti. "Saya pikir saya sudah menjadi manusia yang cukup baik, merawat orang sakit, mengajarkan sholat pada kedua anak saya, berbakti kepada suami, tapi ternyata...terbukti kemarin kalau saya jauh dari sempurna." bukanya di tengah-tengah acara makan bersama.

"Jannah. Kata-katamu kemarin membuka mata saya. Membuka mata kami. Itulah kenapa saya cuma diam tak membantah kemarin, karena saya ternyata masih manusia yang butuh ditampar dengan kata-kata, untuk menyadarkan bahwa saya bukan nabi suci yang sudah sempurna."

Jannah merundukkan punggungnya, "Ibu-Ibu... Saya juga minta maaf soal kata-kata tak pantas kemarin. Saya melupakan bahwa semarah-marahnya saya, tetap harus menghormati yang lebih tua dari saya. Maaf sekali lagi."

Ketiganya serempak mengangguk, memeluk Jannah dan mengelus wajahnya. "Kamu istimewa, Jannah. Kelak kamu akan jadi wanita hebat. Jauh lebih hebat dari kami." Tukas perawat termuda yang membantu memapah Kumala kemarin.

Ketiganya tiba-tiba membentuk lingkaran kecil sementara, sembil saling berbisik, sebelum kemudian kembali memandang Jannah. "Boleh kami sering kesini, berbincang pada kalian, dan berguru padamu?"

"Berguru?" Jannah melongo.

"Iya, hari ini saja kami dapat banyak pelajaran dari pendapat kamu, Jannah. Kami janji kami hanya akan menganggapnya sebagai nasihat, bukan panutan. Jadi jangan khawatir kami akan menghakimi, atau berdebat balik. Boleh kah?"

Jannah dan Kumala saling berpandangan heran. Jadi guru apalagi mengajar, tak pernah jadi cita-cita Jannah. Dia bahkan belum tahu ingin jadi apa kelak besar nanti. "Kalian tak salah orang?"

**

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

475K 32.3K 31
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
448K 49.9K 46
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
6M 312K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
542K 57.6K 24
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...