Beautiful Stranger

By gaxxnine

60.7K 6.6K 1.1K

Tentang kisah sebuah tim penyelidik khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk menangani kasus penting di ibu... More

The Athena
[not] My Type
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
4.1
4.2
4.3
4.5
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6 [Ending]

4.4

1.3K 191 26
By gaxxnine

Sepanjang perjalanan menuju markas, ujung bibir Lidya senantiasa melengkung ke atas. Dadanya yang penuh akan bunga yang bermekaran membuatnya tak henti-hentinya tersenyum. Rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya masih bisa ia rasakan hingga kini. Ia sungguh dibuat gila oleh manuvernya sendiri.

Entah dari mana keberanian untuk mencium Melody, ia sendiri juga tak tahu. Yang jelas, ia sama sekali tak menyesal melakukan hal itu. Ia justru menikmatinya.

Tak beda jauh dengan Lidya, di samping kursi kemudi, Melody yang menghadap ke arah jendela juga merasakan hal yang sama. Pipinya masih saja panas karena sengatan itu masih menumpuk dan membuat hatinya terasa penuh. Ia tak mengira Lidya bisa melakukan hal itu dan seketika membuatnya melupakan bagaimana caranya berpijak di bumi. She is such a good kisser, indeed.

Waktu rasanya begitu cepat berlalu bagi keduanya, mobil sedan hitam itu sudah sampai di markas dan segera mengambil tempat di dalam garasi. Mereka kemudian keluar dari mobil dan melangkah ke dalam beriringan. Kedua tangan itu kembali terjalin dengan sempurna. Lagi-lagi senyuman tak lepas dari bibir mereka, rasa bahagia itu sungguh membuat keduanya terlihat seperti orang gila.

Untung saja anggota yang lain sudah masuk ke kamar mereka masing-masing, kalau tidak, mereka berdua pasti sudah diberondong dengan banyak pertanyaan karena tingkah mereka itu.

"Terima kasih untuk hari ini, aku seneng banget," ucap Lidya saat mereka telah sampai di depan kamar Melody.

"Iya, aku juga." Keduanya hanya saling tatap satu sama lain. Tak berniat sedikit pun melepas pandangan penuh cinta itu. Tangan Lidya mengelus punggung tangan Melody, seolah tak ingin melepaskan genggaman tangan mereka.

"Kenapa waktu cepet banget sih berlalunya? Gak bisa diputar balik apa?"

"Kamu ada-ada aja, ya gak bisa dong. Emang kenapa sih?"

"Aku kan pengen lebih lama sama kamu."

Melody terkekeh pelan mendengar penuturan Lidya. Sejak kapan Lidya bisa berubah menjadi sosok yang bisa membual seperti ini?
"Sejak kapan kamu berubah gini sih? Kok aneh ya kalo kamu ngomong kayak gitu. Biasanya kan marah-marah mulu. Kuping aku aja udah kebal sama omelan kamu."

"Udah berubah salah. Masih jutek salah. Kamu mau aku gimana?"

Lagi-lagi Melody terkekeh. "Iya-iya, aku seneng kalo kamu berubah jadi manis kayak gini."

"Nah gitu dong."

"Udah malem nih, Lid. Aku mau istirahat, kamu juga. Pasti capek kan seharian ini?"

"Gak kok. Aku gak capek. Gak bisa lebih lama lagi?" Pinta Lidya dengan manja.

"Besok kan masih ketemu, Lidy. Lagian kita kan satu rumah." Melody mencubit pipi Lidya dengan gemas.

Lidya malah cemberut. Melody sungguh tak peka dengan keinginannya yang masih ingin berdua dengan Melody.

"Ih jangan cemberut. Senyumnya mana?"

Dengan berat hati Lidya akhirnya kembali memasang senyumnya. Meski tak rela, ia tetap memberikan senyuman manisnya. "Ya udah."

"Gitu dong, aku istirahat, ya? Good night, Lidy. Sweet dreams," ucap Melody perlahan melepaskan genggaman tangan mereka. Lidya masih tak rela melepaskan genggaman tangan keduanya, ia berusaha menahan tangan Melody yang ingin melepaskannya.

Melody tersenyum mendapati Lidya yang kini begitu manja menurutnya. "Lid."

Dengan berat hati, Lidya akhirnya mengiyakan. "Iya-iya. Good night juga, Mel. Mimpiin aku, ya?"

"Iya." Melody pun berbalik dan perlahan menutup pintu kamarnya.

Bukannya pergi dari sana, Lidya malah tetap berdiri di depan kamar Melody. Tak ingin beranjak. Masih dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

Dan tak berapa lama, pintu kamar itu kembali terbuka. Memperlihatkan Melody dengan senyumnya. Ia langsung memeluk Lidya saat mendapati sosok itu masih berada di sana.

"Kenapa?" Tanya Lidya sambil membalas pelukan Melody.

"Gak pa-pa, aku cuma pengen meluk kamu aja."

Lidya terkekeh. Lihat saja tingkah Melody saat ini, baru beberapa detik yang lalu Melody ingin beristirahat dan melepaskan genggaman tangan mereka. Namun kini, justru Melody yang tak ingin lepas dari Lidya dan ingin tetap bersamanya.

"Kamu aneh. Tadi katanya mau istirahat, tapi sekarang malah pengen dipeluk sama aku."

"Biarin. Emang gak boleh?"

"Boleh-boleh aja sih. Gak ada yang ngelarang."

Dan akhirnya, malam itu ditutup dengan pelukan hangat yang berlangsung cukup lama di depan kamar Melody. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka sejak tadi. Memperhatikan setiap gerak gerik mereka dan membuat hatinya terasa panas melihatnya.

***

Secangkir kopi Lidya pilih sebagai pembangkit nyawanya pagi ini. Semalaman tidak tidur membuatnya mengantuk luar biasa. Alasannya? Apalagi kalau bukan kejadian tadi malam di rumah pohon. Ia masih saja terbuai dengan wajah cantik Melody.

Jika dilihat-lihat, Lidya yang sekarang sungguhlah berbeda. Dulu, ia adalah orang yang begitu tegas, galak dan suka marah-marah. Dalam pekerjaan ia sangat fokus dan sama sekali tak pernah memikirkan hal yang lain. Namun kali ini, kehadiran Melody sudah mengubah dirinya. Senyuman yang dulunya sangat langka, kini bisa dijumpai di banyak kesempatan-- terutama saat bersama dengan Melody. Ia juga sudah jarang marah-marah tidak jelas. Ia seperti sudah menemukan obat yang mampu membuatnya menjalani hidup dengan rasa bahagia.

"Gue beneran ngeri deh liat lu begini, Lid." Saktia mengomel sendiri melihat tingkah Lidya yang senyum-senyum sendiri. Lidya yang tak merasa sedang dikomentari masih tetap melanjutkan aksinya.

"Wah... Kayaknya nih nak kesambet. Sejak kapan senyumnya jadi murah begini?" Saktia memperhatikan Lidya lekat-lekat.

"Apa perlu gue bawa ke dukun kali, ya?"

"Atau RSJ?"

"Ih ngeri. Mending gue jauh-jauh daripada ketularan." Saktia bergidik ngeri. Ia berpikir mungkin ada yang salah dengan Lidya karena tingkahnya saat ini sungguh aneh menurutnya. Tak biasanya senyuman Lidya dijual dengan harga murah seperti saat ini. Saktia benar-benar heran karenanya.

***

"Lid," panggil Saktia saat keduanya tengah makan siang di salah satu restoran bergaya oriental. Keduanya baru saja selesai menghadap Kapolri untuk sekedar berbincang-bincang.

"Apa?" ucap Lidya lalu menyeruput kuah sup yang ada di depannya.

"Lo lagi sakit, ya?"

"Sakit? Enggak. Gue gak sakit, siapa yang bilang?"

"Kemarin gue lihat lo senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Kalau bukan sakit, apa dong? Kesurupan?"

"Ngarang lo! Mana ada!"

"Ya habis kenapa?"

Lidya hanya menghendikkan bahunya sebagai jawaban. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan agar Saktia tak berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya.

"Lo udah ketemu sama Kak Baim? Dia bilang apa?"

"Ah iya! Gue mau ngomong soal itu. Dia bilang, orang yang mengirimkan Arka uang lima ratus juta itu adalah Rendy Wirawan. Dia itu mantan rekan bisnis Arka di bidang mobil mewah." Saktia memberikan selembar kertas yang berisi laporan dari Baim.

"Tanggalnya baru-baru ini. Kalo dibilang urusan bisnis, kayaknya gak mungkin. Arka udah bangkrut setahun yang lalu, mana mungkin tranfser uang itu karena urusan mobil."

"Siapa tahu Rendy punya utang sama Arka."

"Gak mungkin. Yang gue tahu, bisnis mobil mewah itu profitnya besar. Mereka pasti gengsi kalo ngutang sama orang. Gue rasa gak mungkin."

"Terus karena apa dong?"

Lidya menatap kertas itu dengan seksama. Perasaannya mengatakan kalau ada yang tidak beres dari transfer uang tersebut. Nalurinya sebagai detektif menangkap sinyal-sinyal buruk dibalik kertas persegi tersebut.

"Cari tahu kontaknya Rendy, gue mau ketemu sama dia."

"Lid, bukannya gue gak setuju sama langkah kita untuk nyelidikin kasus Arka diam-diam, tapi firasat gue gak bagus soal ini."

"Tenang aja, gak ada yang bakalan tahu kok. Kita cuma perlu bergerak diam-diam dan pastiin jangan sampai ada yang tahu."

Lidya meminum sisa air putih yang masih ada di gelas. Bukan hanya Saktia yang memiliki firasat buruk. Sejujurnya, Lidya pun merasakannya. Tapi, ia tak mau menghiraukannya. Mungkin saja itu hanya perasaan mereka saja.

***

Melody memandang rumah megah itu dengan seksama. Sudah sangat lama rasanya ia tak berkunjung ke sana. Semua ornamen dan perabotannya sama sekali tak berubah, semuanya masih sama seperti dulu.

"Sudah datang rupanya." Sebuah suara membuat Melody langsung menoleh.

"Kau sudah lama menunggu?" Seorang pria tua mendekat ke arah Melody dengan langkah yang sedikit lambat. Rambutnya yang seharusnya berwarna putih, kini sudah dicat dengan warna hitam. Pakaian rapi yang selalu melekat di tubuhnya mengesankan kalau pria tua itu bukanlah orang sembarangan.

"Belum, baru beberapa menit." Melody menatap mata sang kakek. Sorot mata tajam itu tetap sama, sama sekali tak pernah berubah, pikir Melody.

"Untuk apa kakek memanggilku ke sini lagi? Aku tidak punya banyak waktu."

"Kau memang orang yang tak pandai basa-basi, sama seperti ibumu." Sang kakek lalu duduk di sofa diikuti oleh Melody.

"Kalau sudah tahu, kenapa masih mengulur waktu," ucap Melody ketus.

Sang kakek malah tertawa. "Baiklah kalau itu maumu. Aku ingin, kau membunuh Lidya." Kalimat itu sukses membuat Melody membelalakan matanya. Ia tak salah dengan kan? Membunuh Lidya? Yang benar saja!

"Apa? Apa maksudmu?"

"Aku tahu, dia beserta timnya sedang mengungkap kasus Arka secara diam-diam. Aku tidak ingin ketenanganku diganggu olehnya lagi."

Melody berdecih. "Apa membunuh adalah kata favorit kakek, hah?! Kenapa mudah sekali mengatakan hal itu. Apa tidak cukup kakek membunuh Jojo, Arka, Ibu Lidya dan mungkin banyak lagi yang lainnya. Dan sekarang, apa yang kakek bilang tadi? Lidya? Tidak! Aku tidak akan melakukannya." Melody seketika berdiri. Ia benar-benar muak dengan sang kakek. Ia tak mengerti ke mana akal sehat dari seorang Andrew Satria Bagaskara.

"Nyawa adikmu ada di tanganku."

Kalimat itu sukses membuat Melody menghentikan langkahnya. Lagi-lagi alasan itu. Melody langsung berbalik.
Menatap sang kakek penuh kemarahan. Tangannya mengepal. Ingin sekali rasanya mendaratkan tinjunya ke wajah sang kakek. Tapi, tentu saja itu tak Melody lakukan, ia masih punya rasa hormat. Meski sebenarnya, orang yang saat ini tersenyum licik ke arahnya itu sama sekali tak pantas untuk dihormati.

"Kalau kau ingin adikmu mati, kau bisa menolak tawaran kakek. Tapi kalau kau menerima, aku akan membiayainya sampai ia sembuh atau bahkan bisa membiayai hidupmu dan juga ibumu. Semua itu ada di tanganmu."

Melody mendengus. "Ditanganku? Bahkan ketika aku menginjakkan kaki di tempat ini, sudah tidak ada lagi pilihan. Semuanya sudah ditentukan."

"Kau terlalu pintar untuk memakai seragam itu. Apa bagusnya mengabdi pada negara, toh akan berakhir seperti ayahmu. Lihat saja sekarang, ia tak bisa berbuat apa-apa. Kalau bukan karena kekuasaan dan pengaruhku dia tidak akan menjadi apa-apa."

Tangan Melody mengepal semakin keras. Ucapan sang kakek benar-benar menyulut api amarahnya.

"Aku berbeda dengannya. Aku bukanlah orang yang bisa kau perintah semaumu. Kalau bukan karena Frieska, aku tak akan sudi bertemu denganmu lagi." Dengan begitu, Melody langsung keluar dari rumah itu. Meninggalkan sang kakek yang malah tertawa puas.

***

Deburan ombak yang saling bersahutan menjadi sebuah penghiburan untuk Melody. Sudah satu jam lamanya ia berdiri menghadap lautan lepas. Ia sengaja melepas sepatunya agar kakinya bersentuhan dengan pasir-pasir berwarna putih itu.

Percakapan dengan kakeknya sungguh mengganggu pikirannya. Tentu saja ia tak ingin menjadi seorang pembunuh. Sekarang saja ia sudah sangat merasa bersalah kepada Tim Athena karena menjadi salah satu sumber informasi untuk kakeknya. Bagaimana nanti? Melody sungguh tak bisa membayangkannya.

Tapi, ia juga tak bisa mengabaikan kondisi sang adik. Jika ia tak menuruti perintah sang kakek, ke mana ia harus mencari uang untuk pengobatan Frieska? Ia tak ingin melihat Frieska kehilangan nyawanya karena dirinya. Ia sungguh tak ingin kehilangan sang adik.

"Aku harus gimana?" Melody menghembuskan napas beratnya. Kenapa hidup bisa serumit ini? Kenapa?


















To be continued...

Hayoloh! Apa yang akan Melody lakukan? Menyelamatkan Frieska atau tetap bersama dengan Lidya?

Saksikan kelanjutannya pada hari... *sometextmissing😜

*kaboorrrrr

Continue Reading

You'll Also Like

265K 30.9K 44
Helen adalah detective muda di kantor polisi Munghai. Dia mendapat hadiah sebuah novel berlatar kerajaan dari sahabatnya, Mia. Dan Ia berjanji akan m...
404K 50.1K 28
โRiddle was made to be solved, are you ready to solve it together?โž Bukan tanpa alasan murid sepintar Dycal Alvredo memutuskan pindah dari sekolahnya...
566K 42.3K 58
GxG 18+ (beberapa part) Medis Romance Fiksi Shani Indira natio Shania Gracia
807K 102K 36
Zhong Chenle, pemuda manis penyandang gelar gelandangan baru. Entah sial atau mujur, ia dipertemukan dengan seorang polisi tampan berinisial Park Jis...