SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

16

2.9K 347 13
By SophieAntoni

***Dear lovely readers....aku memposting part ini tanpa proses edit karena menulis part ini benar-benar hasil mencuri waktu ya...so aku harap kalian bisa ngerti kalo nemu banyak typo atau kalimat yang aneh...maaf banget ya....but...Happy Reading!


Erick Leitner

Berjalan kaki malam hari di Singapura adalah salah satu favoritku setip kali aku singgah ke Negara ini. Namun tujuanku malam ini bukan untuk ngopi sendirian, atau menikmati music jazz di sekitar Clarke Quay bersama Heru dan Vena, salah satu awak kabinku yang cantik, yang sesekali kudapati tersenyum menggoda ke arahku, tapi karena Dion tiba-tiba mengontakku dan meminta aku meluangkan waktu sebentar untuk bertemu dengannya sekalian berkenalan dengan tunangannya, Mariane. Setelah dari Jakarta, Dion memang singgah ke Singapura untuk menghabiskan waktu bersama keluarga besar Mariane. Aku pikir sesempit apapun waktuku, aku perlu bertemu dengan Dion karena pertemuan kami di Jakarta seminggu sebelumnya cukup terganggu dengan kehadiran Michelle yang tak pernah kuduga.

Aku bisa menangkap bayangan Dion di salah satu kafe yang terletak di riverside, ia sedang duduk bersama seorang perempuan berambut panjang yag cantik dengan wajah oriental. Dion mengenalkanku padanya. Aku berbasa-basi sebentar dengan Mariane sebelum gadis itu pamit untuk pergi sebentar.

"Dia janjian sama adiknya mau ketemu desainer atau apalah." Dion menjelaskan tanpa kuminta saat Mariane sudah beberapa langkah meninggalkan meja kami. Aku memesan kopi dan menolak tawaran Dion untuk makan malam karena aku sudah makan di hotel dua jam sebelumnya.

"She's beautiful." Aku memuji Mariane dan membuat Dion tersipu, hal yang tidak pernah kulihat di wajah sahabatku itu sejak aku mengenalnya. Aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak terbahak melihat Dion yang berbeda setelah 15 tahun kami meninggalkan bangku SMA. Dion adalah tipe siswa kutu buku, berkaca mata minus, dan gerak-geriknya selalu canggung bila berhadapan dengan lawan jenis. Aku lebih dulu bersahabat dengan Dion sebelum Bram dan Doddy bergabung saat kami kelas dua. Berbeda denganku aku tidak pernah melihat Dion pacaran saat SMA bahkan setelah kuliah pun aku tidak pernah mendengar kabar Dion memperkenalkan seorang perempuan pada kami para sahabatnya. Aku bahkan pernah mencoba mengenalkannya dengan seorang perempuan Australia namun Dion sudah menolaknya sejak awal. Women were really scared him. Namun lima belas tahun kemudian ia akhirnya akan menikahi perempuan cantik.

"Gue selalu iri sama lo dan Doddy yang bisa dekatin cewek mana saja yang kalian suka. Khususnya elo." Dion mengangkat telunjuknya ke arahku sambil tertawa. "Gue selalu penasaran Erick Leitner akan takluk sama perempuan seperti apa." Sambungnya lagi. Aku hanya tersenyum sambil menyesap kopiku. Semua orang berubah, tentu saja, termasuk aku?

"Dan melihat lo ninggalin Michelle malam itu..." Dion menggeleng dengan sebelah tangannya yang sibuk mengambil sepotong pizza dari depannya. "Dude, it really surprised me." Dia terkekeh mengingat kejadian malam itu.

"Michelle memang mengejutkan. Dulu gue sempat pengen serius sama dia tapi dia nolak dan sekarang gue uda nggak punya rasa untuk dia." Ceritaku dan membuat Dion mengangguk paham namun tidak melepaskan pandangannya dari arahku. Pandangan mata bertanya lebih tepatnya.

"Lo nggak patah hati akut gara-gara Alice kan?" Dion kemudian menautkan kedua alisnya memandangku.

"Cerita Alice udah lewat, seseorang sudah menyembuhkannya." Kataku santai namun cukup mengejutkan Dion, tubuhnya bergerak maju ke arahku. "Siapa?"

Aku kemudian tertawa dan menggeleng berusaha menghindar dari rasa ingin tahu Dion.

"Kalau dia bisa menyembuhkan itu artinya lo udah..."

"Dia kakak ipar gue." Potongku dan membuat Dion menganga tak percaya.

"Dude, that's not cool."

"Rasa suka sepihak karena dia jauh lebih mencintai sepupu gue. Tapi anehnya dia nggak membuat gue patah hati justru dia menyembuhkan luka hati gue." Beberapa detik kemudian aku tertawa sendiri karena merasa lucu dengan topik obrolan kami ini. Dua laki-laki dewasa yang duduk berdua dan bicara tentang patah hati. Dion ikut terbahak saat aku mengatakan pemikiranku barusan.

"Itu yang namanya obrolan dewasa, bro." Dion mengoreksi dan kembali membuat kami terkekeh. Tawa kami melebur bersama keramaian di tempat ini dan di bawah temaram lampu-lampu jalan di sekitar Clarke Quay. Kami mengobrolkan banyak hal tentang masa kami tidak bertemu dan apa yang terjadi dalam hidup kami saat itu, sampai aku mengabaikan beberapa telepon yang masuk.

"Terima saja dulu." Dion berkata saat ponselku kembali berbunyi dan ada nama Tania di sana. Aku sebenarnya enggan untuk menjawab namun tiba-tiba saja ingatanku menghadirkan tentang pertemuanku dengan Ava malam itu. Hal itu mendorongku untuk akhirnya menjawab telepon Tania.

"Bentar ya." Aku bangkit dari kursi dan berjalan ke arah sudut yang tidak terlalu ramai agar aku bisa mendengar dengan jelas.

"Halo Tania."

"Gue ganggu ya?" suara itu terdengar ragu.

"Nggak." Jawabku berbohong karena teleponnya memang sedikit mengangguku namun aku tidak bisa memungkiri kalau aku sedikit punya harapan dengan telepon ini. Sesuatu yang aneh sedang terjadi padaku setelah malam itu. Setelah aku mendengar kalimat Ava yang mengejutkan sekaligus membuatku tertantang. Aku memang sedikit meremehkan kata-katanya saat itu namun kali ini aku mengakui kalau aku harus membayar atas segala 'keangkuhanku'.

"Apa kabar lo Tan?"

"Baik. Lo dimana sekarang?"

"Singapura."

"Ah jadi ingat pertama kali gue ketemu lo." Aku tersenyum sambil mataku memindai sekelilingku. "Lo nggak kangen sama gue?" sambungnya lagi.

"Kenapa? Lo kangen?" balasku dan aku bisa mendengar tawa kecilnya di ujung sana. "Gimana kabar di rumah?" aku mencoba memancingnya sekaligus menghindar dari pembahasan tentang kangen-kangenan, satu hal yang sedikit membuatku tidak nyaman, karena hatiku justru lebih ingin tahu kabar adiknya.

"Adek gue si Ava udah pulang dan baru hari pertama aja Mama udah bikin dia nangis." Aku mendengarnya dengan fokus penuh mengingat di sekitarku cukup ramai dengan suara obrolan manusia dan bunyi musik yang terdengar hampir dari seluruh café yang berbaris di sekitar riverside.

"Oh ya?" responsku singkat namun otakku tidak bisa lupa dengan wajah sembab Ava saat kami bertemu waktu itu.

"Lo tahu nggak gue akhirnya dapatein klien..."

"Lalu Ava bagaimana?" potongku saat tahu Tania sudah akan mengalihkan topik obrolan kami. Perempuan itu tidak melanjutkan kata-katanya saat mendengar pertanyaanku.

"Dia baik-baik saja seperti biasa. Tapi sebenarnya ada hal yang bikin dia lebih galau dari Mama."

"Apa itu?" sambarku cepat namun sedetik kemudian aku menyesali sikapku ini karena bisa saja Tania akan curiga padaku.

"Dia lagi jatuh cinta." Kerongkongakan bergerak cepat. "Cowoknya dokter juga. Mereka ketemu di Ende." Entah kenapa tiba-tiba seperti ada sebuah lubang besar dihatiku saat mendengar info terakhir Tania. Kabar ini seperti sebuah peluru yang dilepaskan tepat di jantungku. Aku tidak bohong. Aku benar-benar merasakannya. Memang seharusnya aku tidak meremehkan kata-kata Ava malam itu karena apa yang dia takutkan ternyata terjadi. Aku menyukai gadis itu.

"Rick?"

"Umm...Tania sorry, gue sebenarnya lagi nggak bia telepon lama-lama. Gue lagi di jalan lagi di sekitaran Clarke Quay. Ramai banget di sini."

"Oh gitu? Oke deh...telepon gue kalau udah di Jakarta ya. Gue kangen ngobrol sama lo."

"Okey."

Aku berjalan gontai ke meja kami. Aku lihat Dion juga sedang sibuk dengan ponselnya namun setelah aku duduk, dia meletakkan ponselnya dan memandangku. Ia membaca raut wajahku yang berubah.

"What's wrong?"

"Gue nggak tahu, Yon. Seminggu ini dia sudah bikin gue hampir gila karena kata-kata terakhirnya yang dia bilang ke gue." Aku meracaukan semua yang ada di hatiku di hadapan Dion tanpa ingin menutupinya.

"Jadi yang telepon barusan ini cewek yang bikin lo ninggalin Michelle malam itu?"

Aku menggeleng dan menghela napas cukup panjang. Aksiku ini membuat kedua alis Dion bertaut.

"Tania yang menelpon gue." Jawabanku semakin menciptakan kerutan di kening Dion. Aku tahu Dion tidak paham dengan apa yang sedang aku bicarakan. Dia bahkan tidak tahu siapa itu Tania. "Cewek yang bikin gue ninggalin Michelle bukan Tania." Jelasku lagi namun tetap tidak menghilangkan kerut di kening sahabatku itu.

"Terus siapa?"

"Adiknya."

***

Ava Argani

Rumah sangat lengang setelah Mama dan Tania ke kantor. Sebenarnya tidak ada bedanya dengan saat mereka berdua ada di rumah karena pada dasarnya di rumah ini sudah tidak ada lagi obrolan atau tawa canda setelah kepergian Papa. Hanya Papa orang yang mampu membuat rumah ini terasa hangat, meski aku tahu Papa berusaha cukup keras dan itu semua demi aku.

Aku masih belum beranjak dari depan laptopku untuk mencari informasi program pendidikan dokter spesialis di luar negeri. Saat menjemputku di bandara waktu itu, Rama sempat memberikan informasi tentang PPDS di Jerman. Bukan hal yang mudah karena tentu saja aku harus terlebih dahulu mengusai bahasa Jerman karena PPDS di negera itu adalah sebuah pekerjaan, maka dari itu aku harus mencari 'lowongan pekerjaan' itu di sebuah Rumah Sakit di Jerman. Bukan hal yang mudah tentu saja.

Aku pernah mengambil beberapa kursus bahasa saat awal-awal kuliah karena aku memang ingin menyibukkan diri sehingga tidak perlu banyak waktu yang harus aku habiskan sendirian di kamar kos. Dulu aku mengambil kursus bahasa Inggris, Jerman dan Jepang. Ternyata tidak mudah mempelajari tiga bahasa yang berbeda dalam satu waktu. Akhirnya aku mengorbankan bahasa Jepangku dan meneruskan bahasa Inggris dan Jerman. Dan hebatnya aku mampu mencapai level intermediate akhir untuk bahasa Jerman setahun sebelum lulus kuliah kedokteran namun sayang aku tidak melanjutkan ke level advanced awal dan aku lupa apa alasannya waktu itu.

Sepertinya aku harus membongkar dus yang berisi segala buku, catatan dan modul yang sekarang tersimpan di gudang. Tanganku bergerak di atas mouse mencoba membuka situs-situs tentang pelajaran bahasa Jerman dan menyegarkan kembali kemampuanku. Dan hasilnya tidak terlalu buruk. Aku tersenyum sendiri. Aku harus melanjutkan kursusku ke level advanced, tekadku.

Tanganku terus bergerak di atas mouse hingga sesuatu yang tertangkap mataku cukup membuatku menahan napas beberapa detik. Sebuah headline berita online yang tidak sengaja kutemukan.

Selama ini diketahui single, ternyata Ayana Jayanti baru saja mengakhiri hubungan 4 tahunnya bersama seorang pria.

Ayana menutupi hubungan empat tahunnya bersama seorang pria yang juga disebut-sebut adalah seorang dokter?

Ayana putus dari sang dokter misterius: hubungan rahasia Ayana Jayanti selama 4 tahun

Kepalaku mendadak pening saat membaca berbagai macam gaya bahasa dari semua headline media online yang menyiratkan hal yang sama bahwa Ayana memiliki kekasih seorang dokter dan mereka baru putus.

Aku menutup laptopku. Ada desir di dalam dadaku saat aku menyadari satu hal bahwa Rama sudah putus dari Ayana. Ada rasa lega yang luar biasa bercampur debar gelisah yang tak bisa kubendung. Entah kenapa rasa ini bercampur menjadi satu dan membuat isi perutku berputar. Aku bangkit cepat dari ranjangku dan melangkah keluar. Bik Imah melihat kehadiranku di dapur.

"Non Ava mau dimasakin apa?" tanya bik Imah dan hanya direspons dengan tubuhku yang tidak bergerak di ambang pintu. Perempuan tua itu mengernyit heran melihat sikapku. "Non Ava kenapa? Sakit?" Bik Imah mendekatiku.

"Non?" panggilnya lagi.

"Aku lapar Bik, tapi aku nggak pengen makan." Kataku tanpa tenaga dan berjalan ke arah pantry. Aku mengambil cangkir dan membuatkan teh hangat untukku.

"Berarti Non Ava lagi sakit itu. Bibik masakin bubur ya..." ucap Bik Imah dengan penuh kehangatan. Perempuan tua itu sejenak menyentuh keningku dan memijat pelan punggungku. Aku tidak bersuara hanya mengangguk kecil menyetujui kata-katanya. Aku tetap duduk di pantry sambil menikmati teh yang cukup menghangatkan perut dan menenangkan perasaanku.

Aku menatap ponsel di tanganku. Ada rasa yang kuat yang mendorongku untuk membuka instagram dan mencari akun-akun gossip yang mungkin saja sedang membahas tentang Ayana. Dan ternyata aku tidak bisa membendung keinginan itu. Jantungku serasa berhenti saat melihat sebuah foto yang tidak terlalu jelas yang menampakkan seorang perempuan yang diduga Ayana dan seorang pria, yang juga tidak jelas wajahnya, yang sedang keluar dari sebuah restoran. Foto itu foto lama sepertinya namun dipakai sebagai bukti bahwa selama ini Ayana bukanlah seorang single. Hanya sekali melihat aku bisa tahu sosok laki-laki yang digandeng Ayana itu adalah sosok Rama.

Aku tidak mengerti apa yang membuat semua orang memuat berita bahwa mereka putus? Apakah sudah ada pernyataan dari Ayana? Dan akhirnya aku menemukan jawabannya saat aku melihat postingan Ayana di akun instagramnya. Sebuah foto kutipan,

"If your love was sincere, they will comeback. And if they don't, because of pride, their mind will forever regret losing a true love..."

Kelopak mataku terasa hangat saat menyadari bahwa suara hati Ayana sedang ia curahkan melalui kata-kata ini. Dia sedang patah hati. Ayana bahkan menon-aktifkan kolom komentar di fotonya.

Aku mendorong cangkir tehku yang masih berisi separuh kemudian melangkah cepat ke kamar. Aku ingin berbaring karena berita ini cukup membuat tulang-tulang ditubuhku seperti tak bertenaga. Ponsel di tangaku berbunyi dan nama Tania muncul di sana. Meski enggan aku tetap menjawabnya.

"Lo ngapain di rumah?" suara cablak Tania mengisi gendang pendengaranku. "Lo temenin gue aja ketemu klien timbang lo galau nggak jelas. Gue on the way rumah nih mau ngambil berkas yang ketinggalan. Lo siap-siap ya." Tania memutus sambungan teleponnya tanpa memberiku kesempatan untuk berkata.

Tidak sampai setengah jam kemudian Tania sudah tiba. Bik Imah tergopoh-gopoh membuka gerbang rumah. Aku meneliti penampilanku sekali lagi di cermin. Jeans hitam dan sneaker tapi kali ini aku memadukannya dengan kemaja lengan panjang merah bergaris hitam. Aku rasa aku cukup sopan berada di depan klien Tania.

"Ayo." Tania melongokan kepalanya dari pintu kamar.

"Gue begini aja nggak apa-apa?" Aku meminta persetujuan Tania.

"Nggak apa-apa yang penting nggak pakai bikini. Yuk..." Dia tersenyum lebar ke arahku dan membuatku ikut tersenyum. Sifat Tania kali ini justru cukup menghiburku. Aku mengikuti langkahnya keluar dan sempat memuji Tania dalam hatiku. Ia sekarang tampak seperti seorang wanita karir. Ia cantik dan elegan dengan balutan atasan pink dan celana panjang putih. Tania sudah berubah dalam beberapa bulan ini dan aku cukup tahu alasan di baliknya.

"Lo masih galau?" Tania menoleh ke arahku. "Siapa sih cewek Rama sampai kayaknya lo berat banget buat ngambil keputusan?" Tania seperti mampu membaca pikiranku. Ia mudah menebak alasan dari kegalauanku yang sesungguhnya. Bukan berarti aku menganggap ini masalah mudah kalau kekasih Rama adalah orang biasa, hanya saja label yang melekat erat di jidatku semakin membuatku ragu. Seperti banyak tanda yang mengarah padaku yang mempengaruhi keputusanku. Salah satu yang tampak jelas tentu saja kata-kata Mama malam itu. Dan sosok Ayana yang seorang selebriti justru semakin memperburuk situasi ini.

"Kenapa aku sulit sekali mengenyahkan pemikiranku sendiri yang terus menyudutkanku." Aku berkata pelan. "Aku selalu merasa aku menjadi orang ketiga."

"Lo sebenarnya beneran suka nggak sih sama Rama?" Tania melirikku dengan pandangan judesnya. "Sikap ragu-ragu lo itu menyiratkan kalau lo sebenarnya nggak sungguh-sungguh punya rasa sama dia." Sambungnya lagi dengan nada menghakimi.

"Aku punya alasan kuat kak kenapa sampai aku ragu. Dia menyukaiku di saat dia masih punya hubungan sama perempuan itu. Bukan berarti aku nggak cukup punya rasa sama dia." Aku membela diri. Bagaimana mungkin Tania menyimpulkan keraguanku punya hubungan dengan rasaku yang sebenarnya pada Rama.

"Lo hanya mempersulit sesuatu yang sebenarnya nggak rumit. Lo tinggal nunggu teleponnya dan kalau dia sudah putus ya udah...kalian bisa jalan. Terus apa sebenarnya yang ada di balik galau-galau lo itu?"

"Karena perempuan itu Ayana!" kataku dengan nada suara tinggi. "Perempuan itu Ayana Jayanti." Tekanku lagi dengan menyebut nama lengkap perempuan itu.

"Ayana penyanyi itu?"

Aku mengangguk.

"Jangan becanda masak sih Ayana yang artis itu!" seru Tania yang lengsung membuatku mendengus. "Tapi memangnya kenapa kalau dia Ayana?"

"Aku juga nggak tahu hanya saja aku rasa..."

"Karena dia lebih cantik dari lo?" Tania bertanya dengan senyum sinisnya. Aku mengangguk. "Dia artis jadi wajar kalau dia keliatan lebih wow dari lo. Siapa bilang lo nggak cantik?" Tania kembali menunjukkan wajah judesnya.

Kami sama-sama terdiam sambil menikmati kemacetan di salah satu ruas jalan ibukota.

"Gue rasa lo ragu sama Rama karena sebenarnya perasaan lo sama dia nggak cukup kuat. Hati lo aja yang nggak mengakuinya. Lo suka sama dia karena lo menyimpan sepotong kenangan lo sama dia." Tania kembali berbicara saat mobil kami sama sekali belum bisa bergerak. "Gue saranin sih...lo teman aja dulu sampai lo yakin dan mungkin lo lebih mantap saat lo memulainya dengan dia ketika dia benar-benar lepas dari masa lalunya dengan Ayana."

Aku tak melepaskan pandanganku dari Tania. Aku benar-benar tidak percaya dengan semua kata-kata bijaksananya yang tidak pernah aku duga akan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar merasa punya seorang kakak perempuan saat ini.

"Kenapa? Lo kagum sama gue?" Tania mengedipkan sebelah matanya padaku. "Gue kakak lo Va, meski selama ini hidup gue nggak bener, gue tetap punya waktu lebih banyak lima tahun dari lo untuk bisa mengetahui hal-hal kayak gini." Aku akhirnya tertawa lepas untuk pertama kalinya sejak aku kembali ke Jakarta.

"Nah gitu dong...." Tania mengarahkan telunjuknya padaku saat melihat aku tertawa.

"Thanks Kak."

Ponselku bergetar dari dalam tas. Aku mengeluarkannya. Tania melirik ke arahku dengan senyum menggodanya.
"Kalau itu Rama...lo udah tahu kan apa yang akan lo bilang sama dia?"

Aku mengangguk dengan senyum terimakasih yang terus kusunggingkan. Namun beberapa saat kemudian senyum itu perlahan menghilang saat aku melihat pesan yang masuk bukanlah dari Rama.

Bisa kita bertemu lagi? Aku hanya ingin tahu satu hal dari kamu

"Gimana?" Tania menoleh padaku dengan wajah ingin tahu. "Dia bilang apa? Ketemuan dimana?"

Aku tetap diam dan mencoba lari dari pandangan Tania yang sekilas ia arahkan padaku karena ia sibuk menyetir. Kendaraan-kendaraan di depan kami akhirnya mulai bergerak. Dalam waktu sepersekian detik aku harus menciptakan jawaban yang masuk akal karena aku tidak mungkin memberitahukan pada Tania kalau ini bukan pesan dari Rama melainkan dari Erick.

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
207K 19.5K 21
Ketika peristiwa kelam masa lalu membawa pada dilema besar, keduanya tak lagi sanggup mengurai solusi selain pasrah dengan kehendak takdir.
83.9K 10K 19
Cinta. Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata cinta? Mungkin hal-hal yang membuat kita bahagia. Namun, tidak bagi Aretha. Baginya...
634 123 8
Lepas dari status mahasiswa alias sudah sarjana adalah kebahagiaan tak terhingga bagi Arinda, rasanya seperti kau terikat dalam lorong gelap dan akhi...