"Hati ini mudah memaafkan, tapi otak ini tak mudah melupakan"
🌿🌿🌿🌿
Seperti hari-hari biasanya, pelajaran olahraga adalah pelajaran yang disukai oleh Resha. Gadis itu selalu saja berlari kesena kemari untuk merebut bola basket yang di lemparkan oleh lawannya.
Venus sendiri duduk di pinggir lapangan dengan raut wajah cemas. Jika Resha dalam keadaan sehat, Venus akan berteriak menyemangatinya, namun berbeda dengan sekarang. Sekarang yang ada di pikiran Venus adalah supaya Resha tetap sehat dan tidak pingsan.
"Resha, oper bolanya ke sini!" teriak Dini. Resha mengangguk, lalu melempar bola itu ke arah Dini. Namun sedetik kemudian, gadis itu sudah sempoyongan.
Kepalanya kembali pusing.
"Sha, ini bolanya, masukin ring!" pekik Lasti dari arah samping. Resha menoleh, namun bukannya menangkap, gadis itu justru jatuh.
Teman temannya langsung mengerubuninya. Menepuk pipi Resha. Berharap gadis itu akan tersadar.
"Sudah, bawa saja Resha ke UKS" ujar pak Soleh ke arah Vigo, laki-laki yang kebetulan adalah salah satu anggota PMR.
Vigo mengangguk, lalu mulai menggendong Resha, dan membawa gadis itu ke UKS.
Venus berlari mengejar Vigo, khawatir akan keselamatan gadis yang berada di gendongan Vigo itu.
✴✴✴✴
"Dim"
Dimas menoleh dan melihat Devina tengah menatapnya dengan tatapan sendu. Menyiratkan sebuah beban yang di alami oleh Devina saat ini.
"Kenapa?"
"Jangan marah sama gue lagi ya, gue sendiri sekarang. Gue nahan beban hidup gue sendiri sekarang" isak Devina.
"Kenapa gitu? Tante Tasha emang gak ngurusin lo?" tanya Dimas.
Tangisan Devina pecah. "Gue takut Dim, sangat takut"
Dimas mengeryitkan dahinya heran. Tidak paham dengan maksud Devina.
"Maksud lo apaan sih Dev? Gue gak ngerti maksud lo apa" ujar Dimas kesal.
Devina menyeka air matanya. "Pulang sekolah, temui gue di taman belakang sekolah. Ini penting" ujar Devina seraya meninggalkan Dimas dengan segala pertanyaan yang bersarang di otaknya.
✴✴✴✴
"Akhirnya lo sadar juga Sha, gue udah khawatir banget sama keadaan lo" ujar Venus ketika Resha membuka matanya dan tersenyum ke arahnya.
"Maaf ngerepotin ya Ven.." lirih gadis itu.
"Makanya kalo dikasih tau jangan ngebandel. Dibilang jangan ya jangan. Gimana kalau tante Evi tau? Mampus lo" ujar Venus geram.
Resha terkekeh. "Iya iya mbak Venus, janji gak akan gini lagi" ujar Resha.
"Hkm"
Baik Resha dan Venus menoleh ke sumber suara dan melihat Vigo, dengan nampan di tangan laki-laki itu.
"Minum dulu" ujar laki- laki itu datar, tanpa ekspresi.
Venus dan Resha sama-sama tau, jika Vigo memang berjiwa dingin, padahal dia adalah salah satu anggota PMR.
Resha mengangguk, lalu mengambil teh yang berada di atas nampan itu.
Setelah menghabisi teh itu, Resha tersenyum ke arah Vigo.
"Makasih ya Go, gak tau deh kalau gak ada lo" ucap Resha di barengi dengan senyuman manisnya.
Vigo hanya diam, menatap Resha, lalu memutar tubuhnya, dan dengan perlahan meninggalkan Resha dan Venus.
"Dasar songong!" umpat Venus lirih ketika pintu UKS tertutup.
Resha terkekeh. "Bukan songong, emang dari lahir udah begono"
Venus terkekeh.
"Sha"
Resha menatap Venus.
"Dimas gak mutusin lo kan?"
Resha terdiam lalu tersenyum. "Enggak kok"
"Lo gak curiga dia selingkuh?" tanya Venus lagi.
"Gue percaya sama Dimas. Sekalipun dia sering nyakitin gue dengan sikap dia yang mencintai Devina, tapi seenggaknya dia gak sejahat itu dengan selingkuhin gue" ujar Resha.
Venus memutar bola matanya malas. "Belain aja terus sampe jaman gue nikah sama Cameron"
"Halah, mimpi lo ketinggian Ven. Dapet yang tulus aja udah syukur, ngapain nyari yang ganteng?" ejek Resha.
Venus memanyunkan bibirnya.
"Kalau lo udah dapet yang ganteng plus tulus, namanya hoki!" lanjut Resha dengan tawanya.
Venus makin kesal dibuatnya. Namun sekelebat ingatannya, memutar kembali saat Kevin memeluk tubuhnya.
Dan ada debaran kecil di hati Venus saat itu juga.
✴✴✴✴
"Dim.."
Dimas menghela nafasnya berulang kali.
"Berhenti nangis, dan cerita yang sebenarnya terjadi Dev! Gue gak akan tau kalau lo nangis mulu! Hampir dua puluh menit gue duduk disini, yang gue denger cuma tangisan lo" ujar Dimas kesal.
Devina menghembuskan nafasnya.
"Lo inget kan, liburan dua bulan yang lalu, gue sama Kevin pergi ke Bali berdua?" tanya Devina.
Dimas mengangguk.
Devina mengambil sesuatu dari tasnya. Dimas menatap heran ketika Devina mengeluarkan benda yang sensitif dan mengarahkannya kearahnya.
Dimas mengambil benda itu, dan dunianya berhenti untuk seketika. Dimas seakan tak bernafas.
Perlahan, benda itu jatuh dari tangannya, seiring isakan Devina kembali terdengar.
"Apa maksudnya Dev?" tanya Dimas menahan emosinya yang menggebu-gebu.
"Lo udah lihat hasil Test Pack itu Dim, dan itu perbuatan abang lo waktu kita liburan ke Bali! Sekarang gimana Dim?" isak Devina.
Dimas menggelengkan kepalanya.
"Gak mungkin Dev.."
"Gue hamil Dim! Anak abang lo!" bentak Devina.
Dimas mengepalkan tangannya. Menahan emosi yang mendalam yang kini bersarang di dadanya.
"Lo tenang di sini. Biar gue yang habisin laki-laki brengsek itu" ujar Dimas yang langsung berdiri dan pergi, meninggalkan Devina.
Setelah Dimas menjauh, isakan yang tadi terdengar, berubah menjadi sebuah tawa.
"Gue udah bilang kan Dim, balasan gue akan lebih sakit dari apa yang lo lakukan ke gue" ujar gadis itu.
Dan semua kejadian itu terekam oleh seseorang yang duduk di bawah pohon di taman itu.
❌❌❌❌
Vote and comment nya di tunggu!
Salam,
Negitarios.