Play Game With My Enemy (Kook...

By SungSooRa

57.4K 3.3K 547

PS: Yang ingin chapter lengkapnya bisa beli pdf nya ke aku ya..thanks^^ (PRIVATE ACAK) Park Jimin merupakan s... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 11
Chapter 14
Chapter 17
Chapter 19
Chapter 21
Chapter 22

Chapter 3

3.5K 373 50
By SungSooRa

"Cih, cepat katakan bagaimana game nya ?" Jungkook terseyum miring saat suara penuh keyakinan Jimin menyapa indra pendengarannya. Ia tau jika gadis itu tidak akan menolak kalau ia sudah menantang seperti ini.

"Melakukan hal yang biasa di lakukan sepasang kekasih dengan ku selama seminggu. Dan siapa yang jatuh cinta duluan maka dialah yang kalah. Bagiamana, apa kau setuju, Enemy?"

.

.

FJimin menatap refleksi wajahnya di cermin. Di mulai dari rambutnya yang basah, wajahnya yang terlihat kusut dan hembusan nafas berat yang entah untuk berapa kalinya hari ini ia keluarkan.

"Menyebalkan !" Jimin membersihkan sisa jus jeruk di atas rambutnya dengan gusar. Pikirannya sekarang melayang kemana-mana, terutama ke arah tantangan Jungkook tadi yang tedengar tidak masuk akal. Tapi, entah kenapa ia tidak bisa menolak. Ia hanya takut Jungkook memandang remeh dirinya.

Jimin menghembuskan nafas berat untuk terakhir kalinya sebelum membasuh tangan dan wajahnya, lalu keluar dari toilet dengan langkah malas.

"Aaaa..eottokhe?"Hentakkan kaki Jimin terdengar menggema di koridor sekolah yang telah sepi, wajahnya terlihat gusar. Semakin dekat jaraknya dengan ruang kelas, semakin besar rasa khawatir membuncah dalam dirinya. Apa yang harus ia lakukan di depan Jungkook ? Apa ia sanggup bersandiwara seakan-akan Jungkook adalah kekasihnya? Mengingat jantungnya yang beberapa hari ini selalu berdebar tidak karuan jika di dekat Jungkook. Ia yakin sekali itu semua bukanlah pertanda serius, ia tidak mungkin berdebar pada Jungkook karna dia menyukai namja itu, Tidak ! Tidak akan pernah seperti itu !. Tapi, ia berdebar pasti karna hanya takut Jungkook selalu mempermalukannya kalau ia di dekat namja itu. Dan ia sangat takut kalau....Jungkook mendengar detakkan jantungnya yang berdebum kencang.

Jimin menarik nafas sebelum membuka pintu kelas yang tertutup rapat, sepertinya pelajaran sudah di mulai sedari tadi dan si Jeon sialan itu dengan seenaknya meninggalkannya sendirian di koridor sekolah setelah mengajak bermain game tolol itu.

"Mian ssaem aku terlambat. Tadi aku ke UKS sebentar." Jimin membungkukkan badannya tepat setelah pintu kelas terbuka sempurna.

Kang ssongsaenim yang berdiri di depan kelas dengan kaca mata bulatnya itu memandang Jimin sebentar.

"Duduklah"

Jimin tersenyum sekilas seakan mengucapkan terimakasih pada guru sastra nya itu sebelum melangkah ke arah tempat duduknya. Benar-benar berguna predikatnya sebagai murid terpintar saat ini. Semua guru percaya dengan mudah alasan konyolnya.

Jimin berhenti di depan mejanya, matanya menyiratkan kebingungan dan kemarahan yang menyatu. Apa-apaan ini ! kenapa si kelinci berotot itu sekarang duduk di bangku yang seharusnya di dudukki oleh Jin ?

"Kenapa kau duduk di sini?" Jimin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Suaranya terdengar datar dengan beribu emosi yang tersirat. Semua pandangan di kelas terpaku ke arah Jimin dan Jungkook secara bergantian. Huh, sepertinya sebentar lagi akan ada perang Dunia ke-3.

Jungkook berdiri dari duduknya dengan senyuman miring, ia dekatkan tubuhnya ke arah Jimin yang menatapnya sinis.

"Karna mulai sekarang aku adalah kekasihmu" Suara Jungkook yang berbisik di telinganya bagaikan petir siang bolong yang menyambar seluruh tubuhnya. Kata-kata apa itu?!! Menjijikkan !.

Jimin bersiap mengeluarkan emosinya dengan tangan yang semakin mengepal kuat, menampakkan urat-urat tangannya yang menonjol jelas.

"Kau ingat dengan game itu?" Satu kalimat singkat tersebut mampu membuat Jimin kembali mengatupkan bibirnya, merenggangkan kepalan tangannya dan meredupkan mata penuh amarahnya. Hah ! dia baru ingat hal menggelikan itu !!.

Pandangan seluruh siswa di kelas semakin menyipit, menunggu reaksi kemarahan Jimin yang sebentar lagi -menurut mereka- akan segera meledak. Tapi...WHAT THE HELL?! Apa-apaan ini ! kenapa Jimin tidak membentak Jungkook dan dengan pasrahnya duduk di samping namja jangkung itu? Apa yang terjadi?. Seluruh siswa di kelas saling berpandangan bingung.

"Kau menang kali ini, Jeon"

.

.

Jam pelajaran telah berakhir, sebagian siswa sudah mulai beranjak dari kelasnya. Di kelas hanya tertinggal Jimin yang sedang membereskan barang-barangnya, Jungkook yang duduk di tempatnya tepat di samping Jimin sambil memainkan PSP nya dan Jin yang sedang menunggu Jimin di depan kelas.

'Aku harus cepat keluar dari neraka ini' Jimin membatin, ekor matanya sedikit melirik Jungkook dengan waspada.

Jimin tersenyum samar saat semua barangnya sudah tersusun rapi di dalam tas, dengan cepat gadis itu beranjak keluar kelas. Tapi, baru satu langkah ia berjalan...

"Kau mau kemana?" Suara datar itu menghentikan langkahnya.

Jimin membalikkan badan dan memutar bola mata malas saat melihat Jungkook masih duduk di tempat nya dengan kedua tangan yang bermain lincah di atas layar datar PSP bewarna hitam itu.

"Tentu saja pulang" Ujar Jimin dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Kau pulang bersamaku" Jungkook berdiri dari duduknya dan memasukkan PSP nya di dalam kantong celana. Dengan santainya namja jangkung itu menarik tangan Jimin keluar kelas, tanpa mempedulikan gadis itu yang sekarang sedang mendumel tidak jelas.

"Jin, hari ini aku pulang dengan Jimin" Jungkook berucap pada Jin yang mematung di ambang pintu. Setelah itu namja tersebut kembali menarik tangan Jimin lebih kencang dari yang sebelumnya.

Jimin mengikuti langkah Jungkook dengan terpaksa, sesekali ia menolehkan kepalanya ke belakang berharap Jin akan menyelematkannya dari kelinci buas ini. Tapi sia-sia, Jin tampak menggeleng takut.

Tiba-tiba langkah Jungkook terhenti, membuat Jimin sedikit menghembuskan nafas lega. Mungkin saja Jungkook akan melepaskan nya kali ini dan melupakan permainan sialan itu untuk sementara waktu.

"Oh ya, Jin, mulai besok aku akan terus pulang dengan Jimin dan duduk di samping Jimin saat di kelas, jadi jangan coba-coba untuk membantu Jimin kabur dari ku" Suara datar Jungkook menggema di koridor sekolah yang sudah lengang. Jimin menelan saliva nya dengan berat, ternyata Jungkook benar-benar serius dalam melakukan permainan itu dan hidupnya akan seperti di neraka mulai besok.

Jin melebarkan matanya tidak percaya atas perkataan Jungkook. Apa yang terjadi pada 2 orang musuh besar itu? Kenapa mereka seperti sepasang kekasih saja?. Berbagai pertanyaan berputar di otak Jin, membuatnya tidak bisa mencerna dengan benar, Ia hanya terdiam. Dan Jungkook kembali menarik tangan Jimin ke arah parkiran.

.

Jimin hanya memandang keluar jendela mobil dengan malas, lebih tepatnya ia sekarang sedang melamunkan nasibnya besok.

"Chagiya, kau kenapa eoh?" Jimin tersentak dari lamunannya saat mendengar kalimat menjijikkan itu. Sebenarnya bukan kalimatnya, tapi salah satu kata dalam kalimat tersebut. 'Chagiya'? benar-benar menggelikan !.

"Jangan pernah memanggilku seperti itu, Jeon" Jimin masih fokus menatap keluar jendela, ia malas jika harus berhadapan dengan namja jangkung itu.

Terdengar kekehan berlebihan Jungkook.

"Kenapa, eoh? Kau takut kalah dalam bermain karna langsung jatuh cinta padaku saat aku memanggil mu seperti itu?"

Jimin mendelik. "Tidak" Jawab Jimin singkat. Jujur, ia sedang malas beradu mulut dengan Jungkook sekarang. Mood nya benar-benar buruk.

.

"Terimakasih sudah mengantarku" Jimin segera menyandang tas nya dan bersiap turun dari mobil lamborghini bewarna hitam metalic itu.

"Tidak ada salam perpisahan?" Refleks Jimin mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil dan beralih menatap Jungkook dengan tampang bingungnya.

"Kau tau kan apa saja yang di lakukan sepasang kekasih jika akan berpisah?" Jungkook meyeringai, alisnya naik turun dengan lincah membuat Jimin benar-benar ingin meninju namja jangkung ini sekarang juga. Tapi, segera ia urungkan niatnya saat meningat sesuatu. Mereka masih dalam permainan.

Jimin menghembuskan nafas berat.

"Baiklah.

Perlahan Jimin mendekat pada Jungkook yang sekarang semakin memperlebar seringaiannya. Posisi mereka semakin dekat, dekat, dekat, hingga akhirnya..

PLAKK

Jimin menampar pipi Jungkook. Bibir nya tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Jungkook membulatkan mata besarnya kaget.

"Sampai jumpa sayang-"

Jimin dengan cepat turun dari mobil, sebelum Jungkook membalas perlakuannya.

"Semoga hari mu MENYENANGKAN" Gadis berambut coklat tua itu menyeringai dan menekankan kata 'menyenangkan', setelahnya ia berlari masuk ke dalam rumah mewahnya.

Jungkook masih mematung.

Matanya masih terbelalak lebar.

Tidak bergerak.

Mencerna semua yang terjadi.

Hingga akhirnya...

"Pelecahan harga diri" Namja jangkung berwajah tampan itu bergumam samar, tangan besarnya mengusap pipi kirinya yang di tampar Jimin tadi Sesekali bibir tipis nya mengeluarkan umpatan kasar.

"Kita lihat saja nanti, Park Jimin. Aku benar-benar akan membuatmu bertekuk lutut padaku." Jungkook terseyum miring, matanya menatap tajam ke arah rumah mewah Jimin yang terlihat sepi. Setelah itu, ia pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Bibirnya menyeringai semakin lebar, memikirkan begitu banyak hal yang dapat ia lakukan pada gadis musuh besar nya itu. Ya, hal yang akan membuat Jimin bertekuk lutut dan memohon-mohon padanya.

.

.

Gadis berambut panjang itu terlihat berguling-guling resah di atas tempat tidur bewarna pinknya. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya dan mengoceh tidak jelas. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, orang yang di tunggunya sejak 2 jam yag lalu itu belum juga datang ke rumahnya. Padahal ia sudah berjanji.

BRAKK

Jimin otomatis segera mendudukkan diri di atas kasur saat pintu kamarnya di buka keras. Pandangan Jimin langsung berubah marah saat tau siapa orang yang sekarang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan cengiran tanpa dosa di wajah imutnya.

"Kau terlambat 2 jam, Jin" Jimin melipat kedua tangan di dada dan memandang tajam gadis yang semula berdiri diambang pintu kini mulai berjalan memasukki kamar ukuran luas nya.

"Mian, Jimin -ah. Kau tau kan hari ini aku ada les" Jin segera duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menggoyangkan bahu Jimin yang membelakanginya agar berhenti merajuk. Huh, dia sangat benci melihat Jimin yang sepeti ini. Kekanak-kanakkan.

Jimin berfikir sebentar. Sepertinya ia memang harus melupakan ego nya dulu untuk saat ini. Karna ia memang sangat membutuhkan bantuan Jin sekarang. Dia butuh bantuan sahabat imutnya itu.

"Jin..Eottokhe ?" Jimin berbalik dan menggenggam kedua tangan Jin dengan erat, wajahnya memelas. Tentu saja Jin sangat terkejut dengan perubahan Jimin yang secepat ini, biasanya gadis itu akan lama jika merajuk dengannya, bahkan dia tidak akan mau berbicara dengan nya untuk sementara waktu.

Melihat tatapan memelas Jimin, gadis berambut pendek yang berstatus sebagai sahabat Jimin itu akhirnya luluh juga.

"Ada apa, hmm?" Jin mengusap pelan rambut Jimin, mencoba menenangkan sahabatnya yang terlihat sangat kalut saat ini.

"Apa yang harus aku lakukan, Jin ?" Jimin memeluk sahabatnya itu dengan kuat, seakan hal tersebut mampu menghilangkan bebannya yang terasa sangat berat. Memang, semua yang berubungan dengan Jungkook adalah beban yang berat. Bahkan beratnya melebihi si biang keladi berotot itu.

Jin menghela nafas berat. Sepertinya saat ini ia harus menjadi pendengar yang baik untuk Jimin.

"Ceritakan padaku apa yang terjadi" Jin melepas pelukkan mereka dan menatap mata Jimin yang sendu seakan meminta penjelasan.

Jimin menarik napas sebentar, setelah itu ia menceritakan semua nya. Semua tentang game konyol yang sedang ia mainkan dengan Jungkook. Semua hal tentang game itu yang membuatnya khawatir. Semua hal yang membuatnya serasa di neraka.

Gadis berambut pendek itu manggut-manggut mengerti setelah mendengar semua yang di jelaskan Jimin dengan rinci.

"Jadi kenapa kau menerima tantangannya jika kau sendiri merasa terbebani dengan itu ?" Jin melipat kedua tangannya seakan-akan ia sedang menghadapi sidang besar saat ini. Dramatis.

Jimin menundukkan kepala.

"Kau tau kan, aku sangat tidak suka di bilang pengecut?" Jimin melirik Jin dengan takut. Ekspresi sahabatnya itu kini persis seperti jaksa penegak hukum. Ia sedikit ciut.

Jin menghembuskan nafas malas. Ia baru ingat sifat Jimin yang satu ini.

"Baiklah. Kau hanya bisa menjalankan apa yang telah kau terima. Aku sepertinya bisa sedikit memberikan solusi." Gadis bertampang polos itu kini berubah menjadi 180 derajat. Ekspresi polosnya tergantikan dengan ekspresi evil. Jimin baru tau kalau sahabat imutnya ini bisa juga berekspresi seperti itu.

"Apa ? Cepat katakan Jin ?" Jimin menegakkan punggungnya dengan semangat. Mata bulan sabitnya berbinar senang. Akhirnya sahabat nya ini berguna juga.

"Kau harus lebih dulu membuat Jungkook mencintaimu. Sebelum namja itu membuatmu mencintainya" Jin tersenyum penuh arti.

Jimin mengerutkan pelipisnya bingung. Ia ingin masalah ini cepat selesai, bukannya memperpanjang masalah dengan melakukan hal yang baru saja di usulkan oleh sahabatnya itu. Dan satu lagi ! ia tidak akan pernah mencintai Jungkook walaupun namja itu mati-matian membuatnya jatuh cinta !.

"Ide ku bagus kan?" Jin kembali berekspresi seperti biasa. Air muka evil nya telah menghilang entah kemana.

Jimin memberengut.

"Sangat tidak bagus !" Jimin memutar bola mata malas, lalu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar. Jin benar-benar tidak membantu sama sekali. Ia malah memberikan ide konyol.

"Jadi kau menerima kekalahan mu begitu saja? Atau kau mau menyerah dan di panggil pengecut?" Gadis berambut panjang itu menghentikan langkahnya di ambang pintu. Kata-kata tersebut menusuknya telak.

Jimin membalikkan badannya dan menatap Jin dengan pandangan penuh makna. Otaknya sibuk menimbang apa yang akan menjadi keputusanya. Setelah itu ia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Mata nya menajam.

"Aku akan mengalahkannya-"

"-Dan aku bukan pengecut !"

.

.

Jimin hanya memandang keluar jendela kamar sejak Jin pergi dari rumahnya. Pikirannya bercabang. Memikirkan sesuatu yang menjadi bebannya saat ini. Jeon Jungkook.

Jimin menutup jendela kamarnya karna angin malam yang berhembus semakin kencang. Tentu saja ia tidak mau sakit karna hal itu. Tapi, Getaran handphone di atas nakas samping ranjangnya terasa mengembalikan semua pikirannya ke alam nyata.

Hampir saja benda persegi empat berlayar datar itu jatuh dengan tidak elit dari genggaman tangannya jika ia tidak mampu mengendalikan diri. Beribu emosi mencuat begitu cepat ke dalam pikiran Jimin yang semula mendingin. Memuncak. Membuatnya sebal bukan main.

"Kelinci berotot sialan !" Handphone tersebut di remas kuat oleh kedua tangan mungilnya. Bibirnya berdecak marah. Berulang kali ia baca kembali beberapa kata yang tertera di layar datar itu.

KENCAN.

Benar-benar sudah rusak akal pikiran si tubuh berotot itu ! Apa dia tidak bisa berfikir jernih ?!.

Baru saja Jimin bersiap membalas pesan menyebalkan tersebut dengan berbagai kata cacian yang sudah ia hafal di luar kepala. Tapi, handphone nya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan singkat lagi, tapi sebuah panggilan. Dari orang yang sama. Jeon Jungkook.

"Hey ! Apa kau gila ?!" Suara umpatan yang terdengar nyaring langsung saja di ucapkan Jimin tepat setelah ia menekan tombol hijau di handphone nya.

'Sabar chagiya. Kau jangan shock begitu' Jawab suara di sebrang sana. Terdengar sangat santai.

Jimin berusaha meredam amarahnya. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam.

"Aku tidak mau. Aku sedang sibuk sekarang. Tidak ada waktu untuk kencan !" Jimin berniat mematikan handphone nya, tapi suara berat di ujung sana kembali terdengar. Menggema di gendang telinganya.

'Apa kau takut? Benar-benar pengecut !' Mata bulan sabit itu kini membulat sempurna, merasa tidak terima akan apa yang barusan ia dengar. Sialan !.

Percakapan nya dengan Jin tadi sore kembali berputar di kepalanya, matanya bergerak gelisah ke setiap sudut kamar, mencoba mencari hal apa yang harus ia lakukan sekarang. Di satu sisi ia ingin membuktikan kepada Jeon sialan itu bahwa dialah yang berhak menang dalam game ini. Tapi, kenapa di sisi lain ada hal aneh yang menyusup di hatinya. Apa mungkin benar yang di katakan Jungkook ?-

-Ia takut ?.

Jimin menggelengkan kepalanya beberapa kali. Tidak ! Dia tidak akan pernah takut !

"Baiklah. Katakan kepadaku di mana tempatnya" Suara dengan nada tegas tapi ada keraguan di dalamnya itu mulai terdengar mengalun kembali. Menunggu jawaban apa yang akan di berikan oleh orang menyebalkan di sebrang sana.

'Kau mengabaikan ku 2 menit Jimin. Apa yang kau pikirkan tadi ?' Bukannya menjawab, orang di sebrang sana kembali melemparkan pertanyaan lain. Membuat Jimin harus menekan kesabarannya sebisa mungkin.

"Bukan urusanmu. Jawab saja pertanyaanku" Jimin benar-benar bersumpah akan mematikan sambungan telepon jika pria menyebalkan itu kembali bertanya dan melontarkan hal berbelit-belit. Membuat waktunya terbuang saja.

'Owhh sabar sayang. Jangan galak begitu.' Suara santai dan kekehan yang terdengar membuat Jimin benar-benar akan membuktikan sumpahnya.

"Jungkook, Aku akan mematikan sambungan jika kau masih saja mengatakan hal yang tidak penting" Ibu jari Jimin sudah bersiap menekan tombol merah di atas layar datar hp nya. Sebelum suara Jungkook terdengar lagi. Perkataan namja itu benar-benar di luar dugaan dan sangat kurang ajar menurutnya. Apa-apaan ini ! Bahkan dia belum bersiap untuk acara kencan dadakkan ini !.

'Aku sudah di depan rumahmu. Cepat keluar. Disini benar-benar dingin'

Tutt Tutt

Sambungan terputus. Jimin membelalakkan mata bulan sabitnya dengan kaget.

'Bergerak cepat juga dia' batin Jimin. Setelah itu ia dengan cepat mengganti baju tidurnya dengan baju hangat berbulu yang tergantung indah di dalam lemari.

Jimin menuruni tangga dengan beringas. Sesekali mulutnya mengeluarkan sumpah serapah, betapa kesal nya ia pada Kelinci berotot itu sekarang. Tangan mungil Jimin memegang gagang pintu rumahnya, sebelum membuka pintu itu Jimin beberapa kali menarik nafas dan menghembuskannya kembali untuk sekedar mengurangi gejolak aneh yang memenuhi dadanya. Percakapan dengan Jin kembali berputar di benaknya.

'jadi kau menerima kekalahan mu begitu saja? Atau kau mau menyerah dan di panggil pengecut?'

Tidak ! Jimin tidak akan menyerah sebelum berperang. Itu bukan sifatnya sama sekali.

Angin malam yang dingin langsung menerpa tubuh gadis yang memakai baju hangat berbulu putih tersebut. Rambut panjang coklat tua nya di terbangkan angin malam, bergerak risih. Mata bulan sabit itu akhirnya berhenti berpendar setelah melihat seorang namja yang sedag duduk di kap mobil lamborghini hitam metalic nya, terlihat mempesona di timpa sinar lampu jalanan yang bewarna kuning terang. Dia terlihat seperti seorang...malaikat.

Jimin mendekat ke arah Jungkook yang belum menyadari kehadirannya, setelah beberapa kali menyadarkan otak jeniusnya bahwa ia tidak boleh terjebak dalam permainan ini. Jungkook itu 'Devil' bukan 'Angel'.

"Bodoh" Suara familiar tersebut membuat Jungkook menolehkan kepalanya ke samping. Bibirnya tersenyum lebar.

"Akhirnya kau datang juga. Kau tau, di sini sangat dingin" Jungkook mendramatisir keadaan dengan merapatkan mantel kulitnya, dan jangan lupakan wajah memelas itu.

"Dasar bodoh" Jimin memutar bola mata jengah. Jika dingin, harusnya ia tidak nekat datang ke sini, bukan ?.

Jungkook pura-pura merengut.

"Berhenti mengataiku bodoh"

"Kau memang bodoh"

"Kau yang bodoh" Jungkook tak mau kalah.

"Kau"

"Kau"

"Kau"

Jungkook tidak membalas lagi. Bisa-bisa mereka tidak akan berhenti sampai besok jika tidak ada yang mau mengalah.

"Kau tidak menawariku masuk?" Jungkook menaikkan sebelah alisnya dan mengendikan dagu ke arah rumah Jimin.

Jimin tersenyum miring, sesekali ia merapikan anak rambutnya yang di terbangkan angin.

"Menurutmu? Apa pantas aku membawa musuhku ke dalam wilayahku sendiri?" Jimin balas bertanya. Membuat Jungkook berdecak malas.

"Ayolah. Aku ini kekasihmu. Apa kau lupa?" Jungkook memegang kedua bahu Jimin , mata besarnya mencoba menyadarkan Jimin.

Jimin menatap horror kedua tangan Jungkook di bahunya. Bibirnya akan mengeluarkan suara cacian, tapi perkataan Jin kembali terngiang di benaknya. Ya, dia harus membuat Jungkook mencintainya jika dia mau game ini cepat selesai. Jungkook saja sudah bergerak sejauh ini dalam meluluhkan hatinya. Kenapa dia tidak?

Jungkook membulatkan mata besarnya saat kedua tangan Jimin menangkup pipinya. Senyuman gadis itu membuat jantung Jimin berdetak di luar perkiraan. Sangat kencang. Kenapa Jimin bisa berubah secepat ini? Bukankah tadi gadis itu selalu galak padanya? Padahal awalnya ia menyangka Jimin akan meninjunya karna berani menyentuh bahu sempit gadis itu. Ternyata di luar perkiraan. Salah besar.

"Chagi. Ini sudah malam. Kau harus pulang ya." Jimin mengelus lembut pipi Jungkook. Membuat namja itu tidak bisa bergerak. Walaupun hanya mata. Mata nya terus terfokus pada satu hal. Wajah Jimin yang tidak seperti biasanya. Kini ia terlihat lembut.

"Maaf ya, aku tidak bisa mengajak mu masuk ke rumahku" Jimin menggigit bibir bawahnya, berekspresi semenyesal mungkin. Padahal di dalam hati rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi bodoh Jungkook. Menggelikan.

Jungkook mematung.

Tanpa sadar dia mengangguk kaku, ekspresinya persis seperti sedang terhipnotis. Ia tidak tau mengapa kerja tubuhnya melambat seperti ini.

"Jaljayo. Saranghae" Jimin berbisik di telinga Jungkook. Membuat namja itu hampir saja tersedak liur nya sendiri.

CUP

Dan di luar dugaan !.

Demi Namjoon yang mesum dan Taehyung yang menyebalkan !

Jimin menciumnya !

-TBC-

Ini next nya chingu, mian lama yaa..

Mohon VoMent nyaa.. :)

Makasih.. ^_^

Salam sayang/muaaahh// :*


Continue Reading

You'll Also Like

2K 221 8
Cerita ini tercipta dari kegabutan penulis doang Silahkan mampir dulu liat liat dulu siapa tau nemu hidayah "Tae burung gue ilang!" "Coba mana gue l...
1.6M 149K 75
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
148K 19.5K 19
◐pacaran tanpa ketemuan? salahkan otak Jungkook yang kelewat nge gasss ◑ Format sosmed dan chatting whatsapp ???? Genre : Komedi Romantis kookmin sto...
940K 77.1K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...