SAMSARA (ON HOLD)

By Cendarkna

71.5K 6.6K 784

Tidak tahan dengan kediktatoran ibunya membuat Agnia Zarathustra memilih kabur dari rumah dan melempar diriny... More

Samenvatting
Voorwoord
Een - Molenvliet Kanaal (Kanal Molenvliet)
Twee - Filosofie Klasse (Kelas Filsafat)
Drie - Schaduw (Bayangan)

Vier - Tweeling Torens (Menara Kembar)

5.4K 714 160
By Cendarkna

Suara aliran sungai di kanal membuatku lebih tenang. Meski hanya memandang sungai ini, aku sudah bisa merasakan kedamaian. Mataku terpejam selama beberapa saat. Kutengadahkan kepala, merasakan embusan angin malam. Aromanya begitu mendamaikan. Ah, aku sungguh lelah dengan kegilaan ini. Seorang bintang, biarpun cantik dan dikenal seantero negeri, tak ubahnya budak tanpa kemerdekaan di zaman ini.

"Mama. Apa yang harus kuperbuat? Aku tak mampu membebaskan Magdalena sesuai perintahmu."

Aku menghela napas panjang. Overstraten memegang kuat tali kekang Magdalena. Untuk mengambilnya tak semudah membalikkan telapak tangan.

"Dara jelita ini, mengapa tiap malam berdiri dengan muka seperti ini di sini?"

Mendengar suara yang sudah familier dan membuatku jengkel, kelopak mataku terbuka. Menoleh, kudapati Panji menyulut pemantik pada rokoknya. Ia menyengir melihat ekspresi wajahku.

"Bisakah kau tutup mulut?"

Ia memeragakan mengunci mulut dengan rokok yang menyumpal bibirnya. Tingkahnya memang menyebalkan. Untuk sekarang, aku tidak sedang dalam suasana hati baik menanggapi omong kosongnya.

"Soal artikel itu...."

"Tulis saja," tantangku. "Sebentar lagi aku akan tampil di pesta pengusaha Inggris. Di sana, aku akan mengatakan bahwa..." aku menatap Panji yang mendengarku dengan saksama. "Bahwa aku terlibat banyak skandal dengan pejabat Hindia-Belanda. Overstraten yang ada di belakangku. Aku bekerja untuknya sebagai pelacur. Puas?"

Panji tak berkedip sedetik pun setelah mendengar penuturanku. Ia mengambil rokok di bibirnya dan menelaahku dengan saksama. Tak kubalas lesatan anak panah dari sepasang mata tajamnya. Aku memandang ke depan. Kosong.

"Kau tak sedang bercanda, kan?"

"Aku cukup waras. Mana mungkin bercanda untuk urusan krusial macam ini. Jika kau benar-benar ingin hancurkan karierku. Silakan. Buat artikel itu. Toh hidupku sudah tak ada manfaatnya." Menghela napas panjang, aku memandang langit petang.

Terdengar kekehan Panji yang sontak membuatku memandangnya heran. Ia menjatuhkan puntung rokok.

"Pikiranmu sedang tak waras? Mengapa kau sangat putus asa, heh?"

"Kau tak akan memahani kehidupan seseorang sepertiku. Sibuklah dengan urusanmu untuk membantu memerdekakan negeri ini. Jangan kau urusi aku."

Decakan Panji terdengar mencemooh. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, El. Ikutlah denganku."

"Wat?"

Tak memedulikan pertanyaanku, Panji meraih tanganku dan menyeretku, memintaku ikut dengannya. Aku mengikutinya berlari menyusuri kanal, lantas memasuki gang sempit, entah akan diajak ke mana. Berulang kali aku memintanya berhenti, namun ia tiada mendengarku barang sekali. Aku yang telanjur kesal menariknya sampai membuat langkah kami berhenti di depan rumah bordil.

"Apa yang kau lakukan? Menarik tangan orang seenaknya. Sungguh tak sopan!" Aku tersadar ketika melihat wanita-wanita penghibur di rumah bordil di sampingku. Mulutku ternganga. Aku memandang Panji dengan mata berkilat, lantas sejurus kemudian melayangkan tamparan.

Panji yang kaget mendapatkan tamparan dariku menatap lekat. "Waarom, El???"

"Dasar tidak senonoh! Untuk apa kau ajak aku ke lingkungan prostitusi?!" Teriakanku mengundang perhatian orang-orang sekitar. Sontak, Panji membekap mulutku, memintaku diam. Aku meronta keras. Injakanku di kakinya membuatnya melepaskan bekapan.

"Siapa pula yang mengajak kau ke rumah bordil?" Matanya melebar. "Maaf, meski bila aku seorang bajingan, aku cukup pikir panjang berurusan dengan perempuan macam kau di ranjang."

Mulutku terbuka. Kurang ajar! Belum mendapatkan kesempatan bicara, Panji mendekatkan telunjuk ke bibirku, memintaku tutup mulut.

"Aku tak punya niat jahat padamu, El. Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu, tapi ini rahasia. Oke?" Ia berbisik di telingaku. "Kalau kompeni tahu, kau akan melihat mayatku keesokan harinya."

Bola mataku berputar. "Untuk apa pula aku harus peduli?"

"Dan mayat orang lain, lebih banyak." Ia tersenyum simpul. "Ini rahasia yang sebenarnya tak boleh kubocorkan. Tapi kalau melihat kemalanganmu, aku ingin sekali berbagi kebahagiaan."

Aku mengangkat tangan. "Aku tidak butuh simpati."

"Dan aku tidak peduli penolakanmu. Ayo." Ia menggandengku lagi, berbelok ke tikungan.

Tak butuh waktu lama bagi kami sampai di rumah bordil yang menurut pandanganku sebagai orang yang lalu lalang di lingkungan borjuis, sungguh tak ada bagusnya. Sebelah alisku terangkat.

"Kau mau menjualku. Bilang saja iya."

Panji mengetuk kepalanya sendiri. "Aku lebih baik ditangkap dan dihukum mati karena menyebarkan artikel provokatif daripada menjualmu. Sungguh tak ada guna."

Kuikuti langkahnya memasuki rumah kayu jelek itu. Aku memandang sekeliling. Para perempuan penghibur menatapku silih berganti. Demikian pula dengan laki-laki yang berkunjung ke sana. Beberapa dari mereka yang melihatku tersenyum miring. Ada pula yang dengan kurang ajar menepuk bokongku.

"Hey!" teriakku, secara tangkas mencengkeram pergelangan tangan seorang lelaki Eropa hidung belang. Aku memelintir tangannya, membuatnya berteriak kesakitan.

"A-ampun!"

"Mau kupotong tanganmu dan kulempar ke mulut singa, hah? Dasar bajingan tengik." Aku mendorongnya kasar.

Panji berbalik dan menghampiriku. Ia melingkarkan tangan di sekitar pundakku. Praktis, mataku membelalak. Aku menatapnya ingin protes.

"Bung, menggoda pasangan kencan orang lain adalah tindakan memalukan. Jangan ulangi lagi. Atau meletus kepalamu itu."

Lelaki itu berlari setelah mengamatiku selama beberapa saat, seakan menelaah dengan saksama dan mengingat-ingat.

Aku buru-buru menunduk. Kalau ia mengenaliku sebagai bintang, mampuslah aku. Untungnya, Panji segera menggiringku pergi, masih dengan dekapan di tubuhku.

"Cari mati kau?" sergahku.

"Kalau tidak begini, ada tangan lain yang menepuk bokongmu lagi." Ia meringis.

Aku mendesah pendek. Dahiku mengernyit begitu sampai di depan pintu kayu. Ia membukanya. Kepalaku melongok ke bawah. Ada tangga yang mengerucut ke bawah, ditelan kegelapan.

"Apa yang mau kau lakukan?" Aku dibikin penasaran.

Panji meraih lentera yang digantung di dinding. "Menunjukkan rahasia?"

"Kau mencurigakan."

"Astaga, El. Aku bukan pria bar-bar. Kemari." Ia menuruni anak tangga. Menyadari bahwa aku tidak bergerak, Panji berhenti dan memandangku. "Ayo. Aku yakin kau pasti suka."

Mataku menyipit. Aku menuruni anak tangga, mengikuti dengan langkah hati-hati dan penuh waspada. Tak berselang lama, cahaya menyambut setelah gulita menyelubungi. Bola mataku nyaris keluar dari rongga begitu kutemukan ruangan dengan pencahayaan terang yang dipadati orang-orang tengah bermain bilyar, main kartu, berdansa, dan tertawa. Panji meletakkan lentera ke paku di dinding. Ia tersenyum semringah, menunjuk tempat berpesta kecil itu dengan bangga.

"Selamat datang di Kalmthout Sociëteit. Klub kecil milik Thomas van Kalmthout." Panji menunjuk salah seorang pemuda pirang yang bermain bilyar bersama pemuda pribumi.

Aku menyatukan alis. Sebagian dari mereka kuingat sebagai pegawai media cetak, tempat Panji menjadi kepala redaksi. "Sindikat pemberontak, pejuang, atau apa?"

"Ah, ah, ah, kami bukan seperti yang kau pikir." Panji menghampiri kawan-kawannya di meja bilyar. Ia memegang stik. "Ini hanya tempat berpesta yang dibangun secara diam-diam. Kalau kompeni tahu...." Panji memeragakan gerakan memenggal kepala. "Kami pasti mampus. Tak terkecuali kau yang telanjur menginjak tempat ini." Ia menyengir.

"Dasar begundal." Aku mendesah. Baru kusadari kalau aku menjadi satu-satunya perempuan di tempat rahasia ini.

"Woho, bukankah ini Eleanor Diephuis yang bersinar terang di Hindia Belanda?" seruan salah seorang dari mereka yang memiliki wajah peranakan terkekeh. Ia menjabat tanganku. "Bonsoir. Martin Faure."

"Bonsoir."

Martin berbinar-binar. "Wah. Dia menjawab dengan bahasa Prancis! Kita pasti ditakdirkan berjodoh."

"Tutup mulutmu. Aku belajar enam bahasa asing sejak kecil."

Martin menutup mulut, membuat yang lain tergelak. Kusingsing lengan gaunku, mengikuti kemeriahan pesta kecil di tempat pengap itu. Meski demikian, kesenangan di ruang yang tak lebih besar daripada ruang tamuku ini lebih menggembirakan daripada pesta para borjuis di Harmonie. Baru bergabung, aku sudah bisa membaur dengan memainkan bilyar, kartu, bahkan minum sampai nyaris teler.

Di antara kesadaran setelah menghabiskan berbotol-botol minuman sembari bermain kartu, Panji menepuk pundakku.

"Kau terlalu banyak minum, El."

Aku menyingkirkan tangannya. "Hush. Aku sedang memimpin permainan. Diam."

"Nanti bagaimana aku mengembalikanmu sampai ke rumah? Di mana rumahmu?"

Pertanyaannya masuk dan keluar dari telinga tanpa kupedulikan. Panji mendesah frustrasi. Salah sendiri, kau yang memperkenalkanku pada kesenangan ini!

Namun pada akhirnya, Panji tertatih-tatih membawaku pergi. Ia menutupi wajahku agar tak dikenali dengan membenamkannya di dada. Aku merasakan dekapan hangatnya sepanjang membantuku berjalan keluar. Aku mengoceh tak jelas. Kepalaku terangkat untuk memandangnya, namun ia menundukkannya.

"Tahu begini tak kuajak kau ke sana," desahnya.

Cukup lama aku berkubang dalam ketidaksadaran. Aku sudah ditidurkan di kamar seseorang. Saat mataku terbuka sedikit, aku mendapati langit-langit yang asing. Sudah jelas ini bukan kamarku. Namun, kepalaku yang berat membuatku tak mampu berdiri. Secara refleks aku menggenggam pergelangan tangan Panji, menghalaunya pergi.

"Hey, bajingan tengik. Sini." Aku memintanya mendekat.

Panji menaikkan sebelah alis. Ia menurut dengan duduk di sebelahku. "Apa?"

"Terima kasih. Sekarang aku bisa lebih lega dan senang sehingga tak perlu memikirkan cara menghabisi nyawaku sendiri."

Ia menyeringai. "Jadi benar kau ingin bunuh diri, heh?" Ia menyentil hidungku.

"Ah, wartawan keparat sepertimu mana tahu perasaan perempuan yang kau anggap murahan." Aku menggeleng-geleng. "Kalau kau tulis skandalku dengan pejabat Hindia Belanda, kau akan mendapatkan keinginanmu mempermalukan mereka. Walau itu menghancurkan namaku, tak masalah, aku juga ingin menghancurkan mereka."

Panji berdecak. "Tidurlah." Lantas, menaikkan selimut.

Sebelum ia beranjak, aku mencengkeram kerah kemejanya, lalu menariknya hingga jarak di antara kami bagaikan setipis kertas. Aku memerhatikan wajahnya. Ia benar bukan seorang pribumi. Pasti. Meski ia bersembunyi di balik nama pribumi, aku hapal wajah-wajah seperti ini.

"Siapa kau sebenarnya?" bisikku. "Tak bolehkah aku mengenalmu lebih jauh?"

Ia memegang tanganku, tampak berusaha melepas cengkeramanku. "El."

"Apa karena aku bukan perempuan baik-baik?"

Ia terdiam.

"Nah, benar, kan? Atau karena aku kurang cantik? Aku tidak pernah ditolak pria mana pun, asal kau tahu. Penolakanmu sungguh menghinakan."

"Aku tidak punya waktu untuk itu."

"Oh." Aku mengangguk-angguk. Kulepas ia, membiarkannya bernapas panjang dan menjauhkan wajahnya dariku. Aku memejamkan mata mengantuk. "Aku... Ingin tahu rasanya jatuh cinta, itu saja." Aku tak mampu membuka mata. Mimpi sudah melambai-lambai mengundangku mendekat. Saat aku sudah terperosok ke jurang dalam bernama mimpi, hal terakhir yang sempat kurasakan adalah belaian di wajahku. Dan bisikan samar-samar.

"Kau sangat cantik, Eleanor. Tapi aku tidak mencari kecantikan."

*****

Aku tercekat setelah mendengar nama Bashevis Ajidarma keluar dari mulut lelaki di depanku. Yang mengaku sebagai saudara kembar Kafka. Aku perlu menelan ludah susah payah karena salah sangka.

"Maaf, saya pikir kamu dosen saya...."

Bashevis tertawa pendek. "Nggak apa. Kamu bukan satu-satunya orang yang mengira saya adalah Rakafka. Tapi, kalau melihat dari gelagat dan gaya bicara kamu tadi, rasanya ada yang salah. Dia bikin kamu kesal?"

Aku menggeleng cepat. Walau tampaknya Bashevis tahu aku sedang berbohong, ia tidak lagi membahas saudara kembarnya. Dari belakang, aku mendengar suara seseorang menyapa dan mendekat. Seorang gadis berambut sebatas leher langsung menggelayutkan tangan di lengan lelaki itu.

"Eh, urusan gue udah kelar, balik yuk."

Gadis tersebut memandangku selama beberapa saat. Aku tersenyum rikuh. Bashevis mengangkat gelas minumannya. Ia menyelipkan senyum.

"Semoga kita bertemu lagi." Sebelum berlalu pergi, ia mengedipkan sebelah mata.

Pria itu melangkah bersama si gadis rambut pendek, keluar kafe. Aku baru ingat untuk bernapas normal setelah tak kulihat sosoknya. Kuberantakkan rambut kesal. Kesan pertamaku di mata lelaki itu pasti buruk.

Ah, tapi kalau mengingat senyum dan kedipkan matanya, ia terlihat sangat berbeda dari Kafka berengsek. Bila aura Kafka sangat angker dan misterius, sebaliknya Bashevis. Ia terlihat... well, memesona.

Sadar sedang tersenyum sendiri seperti orang sinting, aku menggeleng kuat.

*

Untuk kesekian, aku menggambar alias mereka ulang kejadian di alam mimpi. Tentang gadis yang kulihat sebagai cerminan diriku dan seseorang yang mirip dengan Kafka. Atau Bashevis?

"Aesh!" Aku mengacak-acak rambut, ingat kalau Kafka memiliki saudara kembar. Lantas, sosok Panji ini siapa?

Untuk apa pula aku memikirkan mimpi konyol seperti itu. Aku membereskan peralatan menggambarku ke dalam ransel. Lalu, menyandang di salah satu bahu, melenggang menjauhi gazebo.

Demi Pak Narayana, aku pun mengikuti audisi keaktoran. Mungkin Tuhan mempermudahkanku mendekatinya dengan cara ini. Aku akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Audisi pencarian aktor panggung diadakan di auditorium gedung fakultas. Aku celingukan memerhatikan keadaan sekitar yang cukup ramai. Beberapa mahasiswa yang tertarik menjadi bagian pementasan ini berlatih melafalkan dialog. Berulang kali aku melatih pernapasan sekadar mengontrol diri agar tidak gugup. Aku memejamkan mata.

"Agnia si tukang tidur itu ikut audisi?"

"Ih, mana bisa dia main teater. Tukang tidur dan nggak punya niat belajar di kampus mau ikutan? Ngayal kali bakal keterima."

Mendengar namaku dijadikan bahan perbincangan, aku membuka mata. Pandanganku melesat ke arah segerombolan mahasiswi tak jauh dariku. Kalau dilihat dari tampang, sepertinya mereka mahasiswa program sarjana. Sudut bibirku terangkat.

"Heh, kalau mau bicarain orang, yang keras di depan mukanya sekalian."

Mereka serentak menundukkan kepala.

"Nah, kan, nggak berani. Bisanya ngomongin rame-rame." Aku mendengus. Kusingkirkan poni ke samping secara kasar.

Akan kubuktikan kalau aku akan diterima sebagai aktor utama! Dasar cabai!

Begitu nomor urutku dipanggil, segera aku memasuki panggung, berhadapan dengan tim penilai. Kakiku melemas mendadak melihat Kafka duduk diam dengan tatapan tak terbaca. Ia menaikkan kacamata dan beralih memandang naskah. Seperti petir yang menyambar di siang bolong, aku kehilangan kemampuanku setelah bersitatap dengannya tadi.

"Agnia Zarathustra."

Aku menoleh ke arah Pak Narayana. Ia menyunggingkan senyum menyemangati (atau lega karena akhirnya aku bersedia mengikuti audisi). Aku mengatur napas menenangkan diri.

Kemudian, mulailah aku menunjukkan aksiku di panggung. Aku membacakan dialog, berakting, dan mengeksplor panggung dengan penghayatan. Entah setan mana yang merasukiku, aku seperti seorang bintang panggung betulan. Seakan aku pernah menjadi pemain sandiwara, meski tak kuyakini hal itu pernah terjadi.

Ingatan sosok Eleanor Diephuis kembali membayangi. Aku menghentikan dialog. Tubuhku seperti kaku sehingga tak mampu bergerak. Perhatianku tertuju pada Kafka yang memerhatikan dengan saksama. Matanya mengawasi tiada celah.

Tak tahu dari mana datangnya, perasaanku menjadi kebas. Ada yang aneh. Aku merasakan kesedihan tak beralasan saat ini. Air mataku mendadak menggenang dan jatuh di pipi. Kafka tak mengalihkan pandangan barang sedetik. Tatapannya malah membuatku semakin sesak.

Mengapa begini? Aku kenapa?

*****

Tanyakan Larasita yang lebih berpengalaman, Ni...

Btw menghindari pemborosan adegan, saya ga mau bertele-tele seperti di Helenina. Saya sadar banget kalau Helenina banyak sekali adegan ga penting. Makanya, saya berusaha memaksimalkan cerita ini biar ga kayak kakaknya (re: Helenina).

Yak pada akhirnya Cendarkna kembali menulis cerita ini setelah bersemedi selama setahun. Dan saya jamin, cerita ini bakal lebih tragis daripada Helenina :)))))))))

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 110K 73
(Bakal direvisi kalo authornya gak males.) Selena, seorang perempuan nolep yg pinter, dia ber transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di buku novel...
Anak Buangan Duke By Luna

Historical Fiction

36.2K 6.4K 17
[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montros...
659K 61.2K 32
Ibuku bilang, selama ini kami harus hidup susah dan terus-menerus bersembunyi karena ayahku sangat membenci kami dan ingin membunuh kami. Namun ... K...
4.2M 576K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...