Drie - Schaduw (Bayangan)

10.2K 1K 150
                                    

Sendok teh kumainkan di jari-jemari. Aku mengulumnya seraya membuka sebuah buku yang kupinjam dengan mengantongi rasa penasaran. Sejak pertemuanku dengan dosen songong itu, aku dibikin penasaran terhadap hal-hal berbau Franz Kafka. Sejujurnya, aku benci Filsafat. Namun bagian dari diriku yang merutuki nama belakang filsuf tersebut mendorong keinginanku masuk ke perpustakaan dan menyeret buku The Metamorphosis karangannya. Aku mengemasi barang-barangku ke dalam tas bersamaan bunyi ponsel meraung-raung di samping tangan. Melihat nama "Pak Narayana" pada display, spontan kuangkat benda itu dengan jantung berdegup kencang.

"Zara, saya bisa ditemui sekarang."

Senyum sumringah terkembang di bibir. "Oke, Pak. Saya ke kantor Bapak." Secepat kilat aku membayar teh chamomile yang kupesan dan berlarian kecil keluar kafe.

Matahari bersinar redup, mengintip malu-malu di balik awan kelabu. Meski tak begitu panas, polusi udara sedikit menyesakkan paru-paru. Kebiasaan tinggal di sekitar sawah Bali barangkali membuat aku tak begitu nyaman berhadapan dengan kota sebesar ini.

Mahasiswa-mahasiswi ramai memadati kampus. Beberapa di antara mereka melemparkan perhatian ke arahku dan menelisikku dari ujung kepala sampai ujung sepatu. Syukurkan aku terbiasa dihujani tatapan beragam dari makhluk-makhluk seperti mereka hanya karena penampilanku yang tak konvensional—bagi mereka, mungkin—dengan dress sebatas lutut hitam dan sepatu bot bertali sepanjang betis. Persetan apa kata orang. Aku berpenampilan bukan untuk dinikmati orang lain, melainkan kunikmati sendiri sebagai bentuk apresiasi terhadap seni.

Pak Narayana duduk menghadap laptopnya. Kepalanya terangkat begitu melihat kedatanganku. Wajahnya terlihat sumringah seolah bertemu denganku adalah suatu hal yang menakjubkan. Ah, demikian pula denganku, Pa. Seandainya kau tahu betapa senang hati ini pada akhirnya dapat berjumpa denganmu, meskipun batinku terus berbisik mempertanyakan sebab apa kau tinggalkan aku waktu dalam kandungan Mama.

"Duduklah," perintahnya. Aku duduk di depan mejanya. "Saya senang kamu punya keinginan kuat untuk membantu penelitian saya. Tapi, Zara..." Ia meletakkan kacamata beningnya di sebelah cangkir bergambar abstrak, "Rupanya dosen lain mengajak saya berkolaborasi. Saya menolak karena teringat kegigihan kamu."

Sudut bibirku tertarik ke bawah. "Kalau penelitian ini sangat penting, saya rasa Bapak ambil saja tawaran dosen lain untuk berkolaborasi."

"Tapi, Nak..."

"Tidak apa, Pak. Kan kapan-kapan bisa mengajak saya." Meskipun kecewa, aku bersyukur ia tak memilihku sebagai partner penelitiannya. Tebak mengapa? Karena aku benci karya sastra dan tak sudi menelitinya. Seperti tak ada kerjaan lain saja. Aku bisa mencari celah atau cara lain untuk mendekatinya secara perlahan dan akhirnya memiliki kesempatan mengobrol. Memberi tahu bahwa aku adalah putrinya yang ia campakkan.

Kadang aku merasa hidupku sedramatis sinetron murahan dengan episode ribuan.

Pak Narayana mengangguk setengah hati. Ia menghiburku dengan berkata bahwa aku bisa menghubunginya kapan saja bila butuh bantuan atau memerlukan waktu berdiskusi bersama. Ia tak tahu bahwa alasanku bersedia menerima tawarannya lantaran keinginanku dekat dengannya, bukan karena aku rajin. Seandainya bukan ia yang meminta, sudah pasti kutolak mentah-mentah. Lebih baik aku kahyang di depan Monas daripada mengikuti kegiatan diskusi membosankan, terlebih membantu penelitian seorang dosen.

Kantor dosen kutinggalkan beberapa saat kemudian. Pak Narayana memiliki jam kelas. Aku bukan seorang mahasiswa yang maniak pada dosen agar diberi nilai bagus—dan tak ingin mahasiswa di kampus ini menganggapku demikian. Maka, kulenggangkan kaki melintasi lorong panjang yang diisi keributan dalam berbagai bahasa.

Yeah, selamat datang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya! Di mana kau bisa mendengar beragam bahasa asing diucapkan dari lidah Indonesia yang masih tergelincir di beberapa bagian pengucapan. Aku seperti berada di negara asing tiap kali memasuki bangunan ini.

SAMSARA (ON HOLD)Where stories live. Discover now