Tree of Promise

By Nathania1721

17.6K 2.5K 817

COMPLETE - Janjiku akan memanduku untuk memilikimu. Janjiku akan memanduku untuk membahagiakanmu. Bertahanlah... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7

Chapter 4

2.1K 392 111
By Nathania1721

Wonwoo berangkat ke sekolah dengan sedikit tidak semangat. Lagi-lagi ia memimpikan buku bersampul biru itu. Membuat remaja manis itu berulang kali menghela nafasnya.

Bruk ...!

Ia terjatuh di koridor saat seseorang berlarian menabraknya. Tanpa meminta maaf, si pelaku justru kembali berlari. Mengabaikan Wonwoo yang terduduk dan meringis kesakitan. Ia terjatuh dengan siku menabrak dinding.

Tidak ingin menjadi bahan tontonan, ia langsung berdiri. Mengabaikan rasa sakit di sikunya. Karena baginya, rasa sakit sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak pernah melewati satu hari pun tanpa rasa sakit.

Ia tersentak saat sesuatu terasa memukul dahinya. Jun berdiri di depannya dengan memegang jus yang dikemas dalam bentuk sachet.

"Ke-"

"Aku meminta kau meminumnya bukan bertanya," sela Jun yang membuat Wonwoo langsung mengatupkan bibirnya. Setelahnya, Jun membalikkan tubuhnya dan berlalu. Namun baru beberapa langkah, Jun kembali menghadap ke arahnya.

"Berjalan dengan wajah kusut juga bisa mengakibatkan terjatuh," ucap Jun sembari tersenyum. Tanpa menunggu jawaban Wonwoo, siswa tampan itu kembali melanjutkan langkahnya.

"Ada apa dengannya?" batin Wonwoo. Jus di tangannya ia masukkan ke saku blazer-nya. Ia memilih meminumnya di lain waktu.

Sebelum memasuki kelas, Wonwoo menuju lokernya. Ia harus mengambil buku yang selalu ia simpan di dalam loker. Dan tangan putih itu, membuka loker dengan tidak semangat.

Dan saat lokernya terbuka, mata sipitnya langsung membola. Nafasnya tertahan beberapa detik.

"I-Ini ... tidak mungkin," monolognya.

Dengan perlahan, tangannya yang bergetar terangkat. Mengambil sebuah benda asing yang berada di lokernya. Sebuah buku bersampul warna biru yang dua hari lalu ia lihat di toko buku.

"I-Ini untukku? Buku ini ... buku ini untukku?" tanyanya sembari membolik-balik buku di tangannya. Saat ia membaca kertas kecil yang terselip dan bertulis namanya, ia yakin buku itu memang untuknya.

Bibir tipisnya mengulas senyum. Liquid bening ikut menitik. Itu adalah tangis terbungkus bahagia. Wonwoo sampai membekap mulutnya agar isakannya tidak lepas. Ia tidak bermaksud bertindak berlebihan, hanya saja ia tidak bisa menahannya. Ia tidak mampu menahan kebahagiaan yang membuncah.

"Jadi ... ini benar-benar untukku?" monolognya lagi tanpa mampu menahan liquid bening itu. Meski ia tersenyum dengan sangat bahagianya, matanya semakin berair.

"Eomma ... aku bisa memilikinya eomma. Aku bisa memilikinya," ucapnya tanpa bisa menyembunyikan senyum bahagianya.

Tanpa Wonwoo tahu, seseorang tersenyum melihatnya dari kejauhan. Ia ikut tersenyum bahagia melihat senyum manis yang Wonwoo tunjukkan.

"Akhirnya kau menunjukkan senyum itu lagi," batinnya.

0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0

Sepulang sekolah, Wonwoo berlari dengan semangat. Ia tidak memedulikan nafasnya yang kian memendek. Yang ia tahu, ia harus cepat sampai di rumah. Membagikan kabar gembira dengan sang ibu dan Euna.

Wonwoo memilih memasuki rumah dari pintu belakang. Dan seperti dugaannya, Euna dan sang ibu sedang berada di belakang. Ke dua wanita itu sedang mengeluarkan belanjaan dari kantung plastik.

"Eomma ... Eomma aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap Wonwoo girang sembari mendekati ibunya.

"Ya Tuhan Wonwoo-ya, kau mengejutkan eomma, Nak." Wonwoo hanya memberikan cengirannya menanggapi teguran itu. Ia duduk di lantai bersama Euna dan ibunya.

"Lihat ini Eomma, Noona."

Wonwoo mengeluarkan buku dari ranselnya. Menunjukkan ke arah ke dua wanita itu. Namun tidak ada respon berarti. Ibu dan Euna hanya memandangi buku itu, saling pandang dan mengerutkan dahi mereka.

"Eomma, Noona, tidak bisakah kalian menghargaiku dengan ikut senang? Kenapa ekspresi kalian seperti itu?" ucapnya kesal sembari menekuk wajahnya.

Euna dan wanita paruh baya itu kembali saling pandang. Setelahnya terkekeh bersama-sama.

"Aigoo ... kau seperti orang yang berbeda setiap berhubungan dengan buku," keluh Euna dengan menggelengkan kepalanya.

"Ini bukan sembarang buku Noona. Ini adalah benda berharga," ucap Wonwoo dengan tersenyum senang. Mengangkat bukunya tinggi-tinggi. Mengadahkan kepalanya untuk memandangi buku itu.

Ibunya dan Euna sama-sama tersenyum melihat ekspresi Wonwoo. Mereka seolah bisa merasakan kebahagiaan yang Wonwoo rasakan. Mereka sangat jarang melihat binar kebahagiaan dari remaja malang itu.

"Itu buku yang pernah kau ceritakan waktu itu kan? Salah satu karya penulis hebat itu. Bahkan buku ini sudah ada dalam bentuk film. Judulnya kalau tidak salah, The wings ... the wings ..." Euna menghentikan kalimatnya karena sibuk berpikir. Membuat Wonwoo tersenyum geli melihatnya.

"The wings of the Kirin, Noona."

"Ah ... iya ... benar. Itu yang noona pikirkan," lanjut Euna sembari menganggukkan kepalanya.

"Tapi ... siapa yang memberikan buku itu padamu Wonwoo-ya?" tanya ibunya. Membuat Wonwoo mendesah dan menggeleng lesu.

"Aku tidak tahu Eomma. Buku ini sudah ada di lokerku. Aku yakin ini adalah orang yang sama dengan orang yang sering membantuku di sekolah. Tapi aku sama sekali tidak tahu siapa dia," ucapnya penuh sesal.

"Tapi Eomma, siapapun dia, bukankah dia orang yang sangat baik, Eomma?" tanya Wonwoo yang sudah mengembalikan senyumnya. Dan wanita paruh baya itu mengangguk menyetujui.

"Kau benar. Dia adalah orang yang sangat baik karena sudah membuat anak eomma tersenyum seperti ini."

Saat Wonwoo masih memandangi buku di tangannya dengan senyum, Euna justru tersenyum sedih.

"Kau bisa bahagia karena hal sekecil itu. Seharusnya ..." Euna menggelengkan kepalanya. Bahkan ia tidak mampu melanjutkan kalimat itu meski di dalam hatinya.

Tanpa mereka tahu, Mingyu mendengar semuanya dengan jelas. Ia yang sudah berpakaian rapi dan berniat pergi justru menghentikan pergerakannya. Terdiam di anak tangga dengan tangan terkepal erat.

0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0

Seorang laki-laki berkaca mata berdiri di depan sebuah ruangan. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Saat suara dari dalam mempersilakannya, ia langsung memutar kenop pintu. Membungkuk hormat pada wanita cantik yang tengah duduk.

"Kau sudah mengurusnya?" tanya wanita itu tanpa memandangnya. Fokus pada berkas di hadapannya.

"Park Gihwan ingin pertemuan dilakukan di rumah Anda, Youra-nim." Dan seketika, Youra langsung mengangkat wajahnya.

"Apa maksudmu? Kenapa harus di rumah? Bukankah perjanjian awal tidak seperti itu?" Suaranya terdengar menahan emosi.

"Setibanya di Korea, Park Gihwan ingin pertemuan dilakukan di rumah Anda sekaligus beliau ingin mendapat jamuan dari Anda. Park Gihwan tidak ingin pertemuan diadakan di hotel atau di restoran. Dan Park Gihwan juga membawa istrinya ikut serta."

"Istrinya?" tanya Youra dengan menautkan alisnya.

"Istrinya adalah profesor muda yang dulu pernah mengajar di salah satu Universitas terbaik di Seoul. Dan beliau juga pernah menghadiri perayaan ulang tahun tuan muda Mingyu yang ke-dua," jelas laki-laki berkaca mata itu. Membuat Youra mengepalkan tangannya dengan wajah mengeras.

"Sialan," makinya tertahan.

"Tapi Youra-nim, saya juga penasaran, kenapa Anda selalu tidak ingin pertemuan diadakan di rumah atau seseorang mengunjungi rumah Anda?" tanya laki-laki itu hati-hati. Namun ia langsung menunduk saat Youra menatapnya tajam.

"Apa ada pertemuan lain beberapa jam ke depan?" Youra bertanya sembari mengemas barang-barangnya.

"Dua jam sebelum pertemuan dengan Park Gihwan, Anda harus menemui-"

"Batalkan!" sela Youra.

"Tapi ...." lagi-lagi ia mengatupkan bibirnya dan menunduk. Ia tidak berani melanjutkan saat Youra menatapnya dengan tatapan membunuh.

Saat Youra sudah keluar dari ruangannya, ia sudah memasang topeng terbaiknya. Tersenyum hangat pada siapapun yang menyapanya.

Mobil sedan mewah sudah menunggunya di depan. Beserta seorang supir yang selalu mengantarnya ke mana saja. Setelah Youra mengatakan tujuannya, mobil mewah itu melaju membelah jalanan.

Sesampainya di rumah, wanita cantik itu langsung menuju ke dapur. Mengejutkan tiga orang yang tengah berbenah.

"Buatkan hidangan terbaik untuk tamuku!" perintah Youra tanpa basa-basi.

"Dan kau," Tatapan Youra terhenti pada Wonwoo. Membuat remaja itu langsung menunduk.

"Jangan perlihatkan wajahmu di depan tamu ku. Jangan sekali-kali kau berani mendekati mereka atau berbicara dengan mereka. Jauhkan dirimu yang penuh dengan kesialan dari rumah ini sampai mereka pergi," ucap Youra pedas dengan menatap Wonwoo tajam. Ia seolah mengumpulkan kebenciannya dalam kalimat dan tatapannya.

Sepeninggal Youra, Wonwoo hanya mampu menghela nafas. Ia tersenyum saat sang ibu menatapnya. Mencoba menjelaskan dengan senyumannya kalau ia baik-baik saja.

"Wanita iblis," maki Euna dengan berbisik.

"Jaga bicaramu Euna-ya."

"Sekarang waktunya kau bermain Wonwoo-ya. Pergilah nikmati waktumu untuk hari ini. Manfaatkan kebebasanmu hari ini," pinta Euna yang langsung digelengi Wonwoo.

"Aku tidak memiliki tujuan selain sekolah dan rumah ini Noona. Jadi aku hanya akan berdiam di paviliun belakang sampai mereka pergi."

Wonwoo tidak langsung pergi seperti yang ia katakan. Ia membantu sang ibu terlebih dahulu. Bahkan ia juga membantu Euna membersihkan rumah. Saat berada di depan sebuah kamar, Wonwoo menghentikan langkahnya.

Matanya tertuju pada pintu yang tertutup rapat itu. Remaja manis itu seolah melihat bayangan seorang anak kecil. Berjongkok dan mengintip dari celah pintu. Dan di dalam sana, seorang anak kecil lainnya bersama wanita berkaca mata.

Anak kecil di dalam ruangan itu menangis sesenggukan. Ia menolak membaca dan mengerjakan soal-soal di depannya. Tapi saat anak kecil di balik pintu memberikan senyum padanya, anak kecil di dalam sana menghentikan tangisnya.

Dan saat anak kecil yang mengintip meminta menghentikan tangisnya, bocah di dalam sana mengangguk. Berulang kali ia menoleh ke belakang. Memastikan bocah lainnya tidak beranjak. Menunggunya sampai ia mengerjakan semua soal yang diberikan.

Wonwoo tersenyum mengingatnya. Ia tidak berniat membuka pintu di depannya. Hanya menatapnya dan langsung beranjak. Ia harus pergi sebelum tamu Youra tiba.

0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0

Gerbang yang berdiri dengan kokohnya perlahan terbuka. Menampilkan sebuah mobil mewah berwarna hitam. Seorang laki-laki berpakaian formal mendekati mobil itu. Membukakan pintu mobil dan membungkuk hormat.

"Anda datang lebih cepat, Tuan."

Laki-laki dengan rambut putih di beberapa bagian tersenyum. Tangannya tergerak untuk membenarkan kancing jasnya.

"Aku hanya tidak sabar untuk melihat rumah ini. Apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya.

"Tentu saja tidak, Tuan. Silakah masuk! Youra-nim sudah menunggu di dalam."

Laki-laki paruh baya itu mengangguk dan tersenyum. Ia berniat mengajak sang istri. Namun tampaknya, wanita yang mengenakan syal di lehernya itu menolak untuk masuk. Masih terlarut memandangi bangunan megah di hadapannya.

"Yeobo, aku ingin melihat-lihat sekitar sini. Mereka memiliki bunga yang cantik-cantik. Aku ingin melihatnya," ucapnya pada sang suami.

"Aigoo ... kau selalu tidak bisa mengalihkan perhatian dari bunga," kekeh suaminya sembari menggelengkan kepalanya. Sedangkan laki-laki berpakaian formal di dekatnya hanya bisa tersenyum kaku.

"Bagaimana ini?" batinnya gusar.

"Kalau begitu, biarkan istriku melihat-lihat sebentar. Antar aku menemui Youra," pintanya pada laki-laki berjas.

"Tapi ... ah ... b-baik Tuan," ucapnya gugup. Ia berniat melarang wanita itu berkeliling. Tapi ia harus menjaga kesopanan dan menyenangkan tamu penting atasannya.

Saat suaminya berjalan memasuki rumah, wanita itu mulai mengelilingi rumah. Sesekali berhenti untuk memperhatikan bunga. Menyentuhnya sedikit atau menghirup aromanya.

"Mereka merawatnya dengan sangat baik," komentarnya.

Hanya memperhatikan bunga-bunga cantik itu, membuat wanita itu tersenyum. Ia terus melangkah seolah tidak puas dengan yang sudah ia lihat.

"Bahkan mereka memiliki taman belakang seindah ini," gumamnya lagi.

Perhatiannya teralihkan pada sebuah bangunan kecil berwarna coklat. Seolah menuruti kata hatinya, ia melanjutkan langkahnya. Dan kembali terhenti saat melihat seorang remaja. Duduk di paviliun dengan buku di tangannya.

Kali ini pergerakannya terhenti di tempat. Hanya terus terfokus pada remaja berkulit putih itu. Remaja itu tampak serius dengan bukunya. Mengabaikan angin musim dingin yang menerbangkan helaian rambutnya.

"Apa kau sangat mencintai buku, anak muda?"

Remaja itu tersentak. Ia langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya. Matanya bergerak gelisah saat wanita itu semakin mendekat.

"Apa wanita tua ini menakutkanmu?" tanyanya lembut diiringi senyumnya.

"B-Bukan seperti itu. Hanya saja aku ... aku ...." Ia kesulitan meneruskan kalimatnya. Merasa tidak enak hati meninggalkan seorang wanita yang tampaknya begitu ramah.

"Meski musim dingin, tapi di sini terasa hangat. Tanaman-tanaman cantik ini membuat hati menghangat siapapun yang melihatnya." Wanita itu mulai mengalihkan pembicaraan. Mengedarkan pandangannya pada tumbuhan yang tumbuh dengan subur.

"Apa kau yang menanamnya?" tanya wanita itu saat melihat sebuah buku yang tergeletak. Sebuah buku panduan untuk merawat berbagai jenis tumbuhan.

"I-Iya aku yang menanamnya. Tapi aku hanya belajar dari eomma. Buku itu milik eomma. A-Aku tidak mengerti apa yang tertulis di dalam buku itu. Aku tidak bisa memahaminya karena isi buku itu memusingkan," jelasnya saat mengikuti arah pandang si wanita.

Wanita itu tersenyum mendengarnya. Ikut duduk di paviliun dan meraih buku itu.

"Kau benar. Buku ini memusingkan untuk orang awam karena banyak menggunakan istilah asing," monolognya sembari memperhatikan buku di tangannya.

"Lalu, apa buku itu milik eomma-mu juga?" wanita itu menunjuk tumpukan buku lainnya. Membuat remaja itu menelan salivanya susah payah.

"B-Bukan. Aku hanya membawanya ke tempat ini dan tidak berniat untuk mempelajarinya. K-Karena aku ... karena aku juga tidak bisa memahami pelajaranku di sekolah. Tapi sebanyak apapun aku membacanya, aku tidak bisa memahaminya," ucap remaja itu terbata dan tidak beraturan.

"Tapi kenapa ekspresimu saat membaca buku menjelaskan kebalikannya?"

"Ye?"

"Siapa namamu anak muda?" wanita itu kembali mengalihkan pembicaraan.

"W-Wonwoo. Jeon Wonwoo."

"Kau sepertinya terlihat begitu gelisah. Apa kau ingin aku pergi dari sini?" tanyanya yang membuat Wonwoo terbelalak.

"Tidak seperti itu." Tanpa sadar Wonwoo berucap cepat dan menaikkan suaranya. Dan setelahnya, ia langsung menutup bibirnya.

"Maafkan aku," lirihnya penuh sesal. Membuat wanita itu tersenyum lebar.

"Saat pertama melihatmu, aku sudah tahu kalau kau anak yang sopan dan pintar. Wajah dan pancaran matamu yang menjelaskannya."

"Aku bukan orang seperti itu. Di sekolah aku adalah siswa terbodoh," elak Wonwoo yang justru ditanggapi senyuman.

"Benarkah?" tanyanya yang membuat Wonwoo menunduk.

"Sangat jarang bisa menemukan seseorang yang mencintai kegiatan membaca. Kebanyakan dari mereka menilai membaca dan belajar itu adalah sebuah kewajiban. Dan kali ini aku menemukannya saat melihatmu. Ekspresimu, senyummu, dan tatapan matamu saat membaca benar-benar menjelaskannya."

Wonwoo langsung mengangkat wajahnya. Ia menggeleng tidak setuju dengan penuturan lawan bicaranya.

"A-Aku bukan orang seperti itu. Sungguh! Aku bahkan lebih buruk dari mereka yang menganggap membaca itu sebuah kewajiban. Kalau Anda ke sekolahku, Anda pasti akan mendengar dari mereka semua kalau aku adalah siswa terbo-"

"Apa menjadi pintar adalah sebuah kejahatan?" sela sang wanita yang membuat Wonwoo bungkam. Remaja manis itu tidak mampu lagi melanjutkan kalimatnya. Ia memilih menunduk dan saling meremat jari-jarinya.

"Sepertinya udara semakin dingin." Wanita itu bergumam sembari berdiri dari duduknya. Mulai melangkahkan kakinya dengan memperhatikan tanaman di sekitar paviliun.

"Aigoo ... apa aku terlalu lama?" tanyanya saat melihat kedatangan Youra. Wanita cantik itu tampak begitu tergesa-gesa.

"Saya hanya takut Anda kedinginan di cuaca buruk seperti ini," ucap Youra sembari tersenyum sangat cantik.

"Usiaku sudah semakin menua. Aku hampir saja tersesat," kekehnya yang membuat Youra ikut tersenyum.

"Mari saya antar masuk! Saya sudah menyiapkan banyak makanan untuk Anda," ucap Youra lembut tanpa menghilangkan senyumnya.

"Anak muda yang duduk di paviliun itu mengingatkanku denganmu Youra-ssi."

Seketika wajah Youra menegang. Ia memutar kepalanya. Memandang tajam Wonwoo yang hanya bisa menunduk ketakutan. Namun wanita cantik itu kembali memunculkan senyumnya.

"Dia adalah pembantu di rumah ini. Sepertinya karena sejak kecil tumbuh dan besar di sini jadi-"

"Kalian memiliki senyum yang sama," potong wanita itu yang membuat Youra melunturkan senyumnya.

"Bahkan mata dan bibir kalian benar-benar sama," lanjutnya yang membuat Youra kehilangan kata-kata.

"Hanya saja warna sifat kalian sangat berbeda." Ia mengucapkannya sembari menoleh ke arah Youra. Membuat wanita yang lebih muda mengembalikan senyumnya.

"Maksud Anda?" tanyanya berusaha menjaga kesopanannya. Meski tanpa mereka tahu tangannya sudah terkepal kuat.

"Mungkin aku akan mengira dia adalah anakmu kalau saja aku tidak pernah menghadiri perayaan ulang tahun Mingyu saat masih balita." Wanita itu enggan menjawab. Justru mengalihkan pembicaraan dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Ini semua karena pembantu sialan itu." maki Youra di dalam hati.

0o0o0o0o0o0o0o0o0o0

Wonwoo duduk di sudut kamar dengan tidak tenang. Ia berulang kali melihat ke arah pintu. Ia yakin sebentar lagi Youra akan datang. Meluapkan amarah seperti sebelum-sebelumnya.

Pemuda manis itu memejamkan mata. Sekeras apapun ia menjelaskan, kesalahan itu akan terletak padanya. Youra tidak akan menerima pembenarannya. Hanya akan menyiksa tubuhnya lagi dan lagi.

Dalam hati, ia menyetujui kali ini adalah kesalahannya. Andai ia pergi ke tempat yang lebih jauh seperti kata Euna, mungkin ia tidak akan bertemu dengan wanita tua itu.

Mengingat wanita tua itu, membuatnya teringat percakapan mereka. Untuk beberapa saat, pikiran dan hatinya melayang.

"Bukan kejahatan, tapi sebuah kesalahan. Bahkan keberadaanku di dunia ini juga adalah suatu kesalahan," gumam Wonwoo.

Tubuhnya langsung menegang saat pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Di ujung sana. Youra berdiri dengan wajah yang begitu murka.

"Lagi-lagi kau membuat masalah. Kau benar-benar bosan hidup. Kau mengabaikan saat aku sedang berbaik hati."

Wonwoo meringis saat rambutnya ditarik. Memaksanya berdiri dan menyeretnya keluar dari kamar.

"Seharusnya aku memang perlu tidak berbaik hati dengan anak sialan sepertimu." Youra berucap dengan geramannya. Menarik rambut Wonwoo tanpa belas kasihan.

"Akh." Tanpa sadar Wonwoo melenguh sakit. Air mata disudut matanya keluar karena rasa sakit yang teramat di kepalanya.

Pemuda malang itu tidak tahu Youra menyeretnya ke mana. Yang ia tahu, kepalanya terasa pening dan berdenyut. Youra benar-benar sekuat tenaga menarik rambutnya. Ia yakin helaian rambutnya akan tertinggal di tangan wanita cantik itu.

Langkah mereka terhenti. Youra melepaskan tarikannya pada rambut Wonwoo. Namun kesakitannya tidak berhenti sampai di situ. Sebuah tamparan yang begitu keras mendarat di wajah putihnya.

"Aku muak setiap mereka menyamakan aku denganmu. Aku benar-benar muak mendengarnya."

Mata Wonwoo langsung membola. Wajahnya memucat saat Youra meraih sebuah setrika. Ia tahu alat itu sudah dihubungkan dengan listrik sebelum Youra menemuinya.

"Jadi aku akan merusak wajah ini supaya aku tidak mendengar kalimat memuakkan itu lagi," ucap Youra sembari menyeringai layaknya iblis. Mengangkat benda panas itu ke arah wajah Wonwoo.

TBC


Continue Reading

You'll Also Like

40K 5.1K 5
COMPLETE - Yang Mingyu bayangkan mendapat kekasih dengan cara romantis. Bukan dengan sebuah pisau yang menghunus lehernya.
57.5K 6.7K 7
Jeon Wonwoo, seorang kutu buku yang menyukai Kim Mingyu si kapten tim basket. Ia mencoba 9 cara yang digunakan di sebuah film Thailand untuk mendapa...
12.7K 1.2K 23
Kisah Jeon Wonwoo dan tetangganya Kim Mingyu, si pria tampan yang begitu hangat. Start - 24 Agustus 2021 1# in #mingyu (13 Oktober 2023) 1# in #mw (1...
87.1K 9.3K 13
Jeon Wonwoo merasa dirinya namja biasa jika dibandingkan dengan kakaknya, siswi populer yang cantik dan juga seorang captain cheers. Sedang adiknya b...