Aberasi | ✓

By Crowdstroia

2.3M 234K 32.7K

[Seri Disiden #1] "They say bad boy fucked girls, and good boy fucked up by life." Aberasi © 2017... More

p r a k a t a
e p i g r a p h
1 : Litoral:
2 : Neritik :
3 :Batial:
4 : Abisal :
5 : Hadal :
6 : Salinitas :
7 : Interpolasi :
8 : Akustik :
9 : Laut :
10 : Estuari :
11 : Mangrove :
12 : Lamun :
13 : Koral :
14 : Isodepth :
15 : Ombak :
16 : Gelombang :
18 : Ruaya :
19 : Muara :
20 : Samudera :
21 : Panthalassa : [END]
QnA with Troia
Bab 1 (Versi Cetak)
Bab 2 (Versi Cetak)
Open PO Aberasi

17 : Arus :

62.5K 7.7K 1.2K
By Crowdstroia

unedited

: a r u s :

[ naik turunnya air laut disertai perpindahan massa air laut dari satu titik ke titik lainnya ]


2014



Nolan membaca laporan saham dari laptopnya.

Dua tahun sepeninggal Kartini, Nolan mulai menanam saham di beberapa perusahaan. Salah satunya di perusahaan ayah Aksel, PT. Bentala Hadi Nusantara. Nolan sudah mendiskusikan ini dengan adiknya dan Nuri setuju.

Sudah tiga tahun berlalu dari hari kedatangan Nuri di Virginia. Nolan berhasil menyelesaikan tabungan untuk biaya kuliah adiknya. Namun, di tahun kedua adiknya kuliah, Nuri berhasil mendapat beasiswa sampai lulus dengan prasyarat. Salah satu syaratnya adalah harus bekerja di perusahaan pemberi beasiswa selama dua tahun. Mengingat bahwa Nolan memang ingin tinggal dan memulai hidup baru di Amerika, Nuri mengirim permohonan beasiswa saat itu dan diterima.

Kini, di tahun keempat Nuri kuliah, Nolan sudah stabil secara finansial dan pekerjaan. Tatonya sudah terhapus. Dia sudah beribadah sebagaimana mestinya. Hubungannya dengan teman-teman dari grup forum diskusi pun masih terjalin baik. Hanya saja di minggu setelah Kartini kembali ke Indonesia, Nolan keluar dari grup dengan izin baik-baik. Terlepas dari itu, dia masih berteman dengan Autumn dan kawan-kawan baik lewat dunia maya maupun dunia nyata.

Daniel sudah kembali ke Indonesia tak lama setelah Kartini pergi. Dia mendapat pekerjaan di Indonesia dan Nolan turut melepas kepergian lelaki itu bersama keluarganya. Rasanya aneh melihat salah satu orang yang dapat menghubungkannya dengan Kartini ikut pergi meninggalkannya. Empat tahun berlalu dengan manusia yang datang dan pergi dari hidupnya—termasuk teman-temannya yang semenjak awal menyambutnya di Indonesia.

Bara sudah kembali ke Indonesia tiga tahun lalu, sementara Hizraka menyusul setelah studi S2-nya selesai. Bahkan, Riman kakak tingkatnya yang juga teman di forum diskusi pun juga sudah kembali ke Indonesia. Nolan sudah tak memiliki teman yang familiar lagi. Dan, dia merasa ada yang kosong, entah apa itu.

Jam dinding di apartemennya menunjukkan pukul lima sore. Dan, Nolan masih terpekur di depan monitor, mengenakan kaus oblong dan sarung sehabis salat Ashar.

"Abaaang! Mau makan, nggak?" seru suara Nuri dari arah dapur. Derap langkahnya terdengar menuju ruang tamu tempat Nolan sedang berdiam.

"Ntar aja," jawab Nolan, masih fokus pada monitor laptop. Tak lama, dia merasakan sofa ganda yang didudukinya sedikit menurun. Nuri duduk di sebelahnya, ikut membaca apa yang Nolan baca di monitor.

"Oalah, pantesan anteng banget. Lo ngitungin duit, ternyata," ujar Nuri, lalu menyeruput susu kotak di tangannya. Semenjak tinggal bersama, dia merasa lebih nyaman berdialog dengan gue-lo bersama kakaknya. Sebab, Nolan sendiri juga berdialog seperti itu kepada hampir semua orang. Nuri merasa jarak di antara dia dan Nolan semakin dekat sejak hidup berdua. Terasa seperti teman, sekaligus juga saudara tanpa menghilangkan respek di antara satu sama lain.

Meja ruang tamu agak berantakan dengan kertas, pensil, buku tabungan, kalkulator dan ponsel Nolan berserakan. Layar ponsel itu masih menyala, sehingga mau tak mau, Nuri turut menatap enam digit angka yang tertera di saldo tabungan dalam layar ponsel Nolan. Dia menarik satu sudut bibir ke samping dan menghela napas. "Masih dalam Dollar," komentarnya, kemudian dia menopang dagu, memerhatikan penampilan sang kakak dari atas ke bawah. "So this is the face of a millionaire." Dengan kaus Nolan yang berwarna putih agak lusuh serta bawahan sarung bekas salat tadi, seketika membuat Nuri berkomentar, "Gue nggak nyangka kalau face of a millionaire kayak gini."

Sontak, Nolan teralih dari monitor, melihat penampilannya sendiri. Dia kontan terbahak. "Lah, iya, yak? Gue kayak Mat Solar begini!" Dia menderai tawa lagi. Setelah tawanya reda, dia tersenyum menatap adiknya. "You're the one who save my money, tho. Thanks for the scholarship."

"Gue kira lo bener-bener nggak ada duit," balas Nuri. "Habis, lo apa-apa serba hemat. Gue jadi segan, Bang."

"So?" Nolan mengangkat alisnya. "Let's say, ini waktunya kita kasih 'hadiah' buat diri kita atas achievement ini. Lo mau minta apa, Ri?"

Nuri menarik napas hingga pundaknya naik. Dia mengangkat kepala, mengerjap-ngerjap sambil mengingat-ingat apa yang dia inginkan. "Banyak, Bang."

"Coba sebutin dulu."

"Tapi, Bang," Nuri menyela. "Sebenarnya... ini kita lagi refleksi karena kita takut jadi kayak Mama nggak, sih?"

Nolan tertegun.

Setelah dicerna, apa yang adiknya ucapkan itu ada benarnya juga. Bukannya Nolan tak punya keinginan apa pun. Dia punya banyak keinginan yang melibatkan uang. Dan jelas saja, memiliki uang tabungan yang banyak sempat membuatnya ingin menghamburkan uang sesuka hati. Sebab, dengan uangnya sekarang, dia bisa membeli nyaris apa pun yang dia inginkan. Hanya saja, Nuri benar, dia selalu teringat dengan ibunya yang tamak akan harta dan berakhir kacau. Human's greed is equal to infinity. Tak ada batasnya. Pasti terus merasa tidak puas. Nolan ngeri dia akan berakhir seperti ibunya, karena itulah dia punya kontrol yang cukup baik untuk tidak menghamburkan uang. Dan tanpa dia sadari, ternyata adiknya juga merasa demikian.

"Gue mau diving di tempat-tempat yang belum pernah gue datangi," cetus Nolan. "Gue mau travelling. Gue mau beli jas sama tuxedo juga. Trus beli motor, nyicil mobil, nyicil rumah di Indonesia—"

"Abang mau balik ke Indonesia?"

Nolan mengerjap. Sepertinya, dia tak sadar sudah mengucapkan hal tadi. "Uh." Nolan menelan ludah. "Mungkin nanti."

"Bang, serius, nih," Nuri menggenggam tangan sang kakak. "Kalau Abang mau ke Indonesia, mau kerja dan tinggal di sana lagi, gue ikut, please!"

"Lah, kuliah lo?"

"Ya nggak apa-apa. Gue tetap kuliah di sini. Lagian, kan, bentar lagi gue kerja di perusahaan yang ngasih beasiswa. Ntar, paling gue cuti buat ke Indonesia."

"Lo kangen Indonesia banget?"

"Ya iyalah! Emangnya, Abang enggak? Kak Zraka sama Kak Bara kan, udah balik ke Indonesia dari lama."

Nolan bergeming. Berpikir.

Hizraka dan Bara memang sudah tak lagi ada di Virginia. Dan meski mereka pergi, Nolan masih punya teman lain di sini, baik dari rekan kerja atau orang-orang Indonesia yang tinggal di Virginia juga. Tetapi, rasanya sulit dicerna bagaimana orang-orang yang mengingatkannya pada Indonesia—orang-orang yang familiar—mulai meninggalkannya satu per satu. Semua dimulai dari kepergian Kartini.

Kartini.

Mengingat nama gadis itu, hati Nolan seketika berdenyut nyeri.

Seperti apa rupanya sekarang? Penelitian apa saja yang sudah dia lakukan? Apakah dia sudah memiliki perasaan terhadap orang baru? Atau, apa mungkin Kartini sudah dilamar? Sudah punya calon suami? Sudah menikah? Atau... mungkin sudah punya anak?

Segala kemungkinan itu membuat Nolan merasa lemas.

Apa sesungguhnya yang dia tunggu? Kartini? Bagaimana jika perasaannya sudah berubah? Bagaimana jika selama ini, hanya Nolan saja yang kesulitan untuk membuka hatinya kepada perempuan lain? Nggak, bukan susah buka hati. Emang nggak ada aja cewek lain kayak Kartini, batin Nolan. Tiga tahun berlalu dan tak ada yang benar-benar berubah dari perasaan Nolan. Ini mengerikan sekali. Bukankah dengan tidak adanya komunikasi dan presensi Kartini di dekatnya, Nolan seharusnya bisa melupakan perempuan itu? Bukankah seharusnya dia susah menyukai perempuan lain? Banyak perempuan menarik di sekitarnya. Tetapi, kenapa otaknya terus memikirkan Kartini?

Perasaan saya kepada kamu tidaklah nyata, tetapi 'ada'.

Ada untuk selamanya, atau hanya untuk sementara, Kar?

Nolan menarik napas dan memejamkan mata. Tak ada gunanya berandai-andai. Kartini sudah bahagia dengan hidupnya dan, Nolan juga sudah merasa bahagia. Dia tak merasa harus mengejar-ngejar Kartini agar merasakan kebahagiaan sempurna. Tak perlu. Sebab sendiri pun, dia sudah merasa bahagia dengan kehidupannya. Dia juga tak suka menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain. Bahagia adalah pilihannya sendiri.

"Eh iya, jadi gimana, Bang?" tanya Nuri, membangunkan Nolan dari lamunan singkatnya. "Abang beneran jadi mau tinggal di Indonesia?"

Nolan mengerjap. "Nggak tahu. Lihat ntar aja."

Mereka terdiam. Nuri lalu mendekat, meletakkan kepalanya di pundak Nolan. "Bang, lo udah umur berapa, sih?"

Nolan mengernyit. "Kenapa tiba-tiba tanya umur?"

"Ya... mau ngingetin aja." Nuri mengangkat kepalanya lagi, menatap sang kakak. "Lo udah dua puluh enam, kan?"

"Hng."

"Udah financially stable, kan?"

"Hng."

"Nggak mau nikah?"

"Ebuset," Nolan spontan mengucap. Tetapi, ucapan adiknya itu membuatnya kembali berpikir.

Apa dia mau menikah?

Pikiran itu sempat mampir di otaknya sejak bertemu Kartini. Namun, momennya bertemu dengan Kartini memang belum tepat. Selepas kepergian perempuan itu, Nolan pernah berusaha mencari perempuan lain. Bara selalu berkata bahwa dengan kondisinya sekarang, Nolan tak benar-benar mencari perempuan untuk menjalin hubungan, tetapi dia justru mencari sosok Kartini di dalam diri tiap perempuan yang tertarik dengannya. Itulah kenapa Bara sedari awal berkata bahwa akan sulit bagi Nolan untuk melupakan Kartini, sebab Nolan memang tak ingin melupakan perempuan itu.

Menyadari hal ini, Nolan pun tak berusaha mencari perempuan. Perempuan-perempuan yang tertarik kepadanya tak Nolan tanggapi, dan Nolan cenderung menjaga jarak. Dia sadar memang tak ada gunanya juga menjalin hubungan jika dia masih memikirkan perempuan lain nyaris tiap hari. Yang ada, justru Nolan hanya akan memperparah keadaan dengan membuat perempuan lain tersakiti, sementara dirinya sendiri akan dilanda perasaan berasalah karena tidak tegas dengan perasaannya.

Sehingga, jawaban yang tepat untuk pertanyaan adiknya adalah, "Gue mau nikah, tapi nggak dalam waktu dekat. Gue belum siap."

Namun, jawaban itu tak serta-merta membuat adiknya puas. "Nggak siap gimana maksudnya, Bang?"

"Ya... lo mikir aja. Menurut lo, apa nikah itu cukup modal duit, cinta, rajin ngaji, rajin salat, sama pasangan romantis aja?" tanya Nolan.

Kontan, Nuri mengerjap bingung. "Loh, emang apa lagi? Bukannya itu normal, ya? Pasangan yang udah taat agama, mapan, trus cinta sama kita. Itu udah matang banget buat menikah, kan?"

"Ajaran dari mana itu?" Nolan tertawa, mengacak rambut adiknya.

Nuri mencebik. "Dih, Abang. Orang gue serius juga. Kan, gue belum nikah. Jadi, gue cuma lihat dari orang-orang di sekitar gue yang nikah aja."

"Pas di Indonesia, maksud lo?" tanya Nolan. "Nikah yang modalnya kayak yang gue sebut tadi kan, standar nikahnya Indonesia banget."

"Lah, iya. Bukannya bagus? Pernikahan idaman itu kan, yang kalau nikah, pasangan kita taat agama, pandai mengaji, rajin salat, cinta sama kita, dan udah sama-sama siap lahir-batin. Apa yang salah?"

"Yang salah itu, orang-orang suka meremehkan konsep 'siap batin' ini," jawab Nolan. "Orang-orang kebanyakan mikirin siap secara 'lahiriah' doang, kayak materi, karier, pasangan membanggakan, rajin ngaji, dan sebagainya. Bukannya gue nganggep mempertimbangkan hal itu salah ya, Ri. Tapi, siap batin itu kalau kata gue penting parah, nggak bisa dianggap sambil lalu. Coba pikir dah. Lo mau nggak, nikah sama cowok yang usianya udah matang, siap secara finansial, rajin ngaji, cinta sama lo, tapi dia secara mental itu belum dewasa?"

"Belum dewasa gimana?"

"Ya... mikirnya masih kayak anak-anak. Masih nggak mau ngalah, masih pentingin ego, masih suka main-main, suka banding-bandingin lo sama ibunya, atau banding-bandingin lo sama mantannya, marah kalau keinginannya nggak terwujud, nggak bisa menerima perbedaan, nggak pernah mau diajak kompromi, nggak mau ngaku kalau dia salah, dan semacamnya. Lo mau nikah sama cowok yang mungkin secara lahiriah udah terlihat siap nikah, tapi secara batiniah masih mental bocah?"

Mengerjap, Nuri pun menggeleng. "Nggak enak dibanding-bandingin."

"Nah, itu. Makanya, gue bilang siap lahir itu penting parah."

"Trus, kalau Abang sendiri, merasa nggak siap 'batiniah'nya ini karena apa? Abang menurutku cowok baik-baik, kok. Kadang ngeselin, sih. Tapi, baik."

Nolan terkekeh, lantas tersenyum tipis. "Gue belum siap ngelepasin cewek dari masa lalu gue."

"Ini cewek sama dengan teman Abang yang punya kotak bekal Hello Kitty di kamar Abang?"

Nolan terbahak. "Ingat aja lo. Iya, cewek itu pemiliknya."

"Sekarang, cewek Abang ini ke mana?"

"Dia bukan cewek gue," ujar Nolan, kemudian menarik napas. "Dia di Indonesia."

"Demi?" Mata Nuri membeliak, spontan tubuhnya mendekat ke arah Nolan. "Serius? Abang nggak mau nyari?"

"Nggak."

"Kenapa?"

Nolan berpikir sejenak. "Gue waktu itu pernah bilang kalau gue yang akan nunggu dia, bukan sebaliknya. Gue nggak pernah minta dia nunggu gue."

Alis Nuri bertaut, makin bingung. "Ih, gimana, sih. Jadi, ini lo nungguin dia balik ke Virginia?"

"Bukan." Nolan tertawa. "It's complicated, Ri."

Nuri mengernyit makin dalam, membuat Nolan tertawa. "Udahlah, lo masih kuliah, nggak usah terlalu dipikirin. Ntar juga lo paham sendiri," ujar Nolan.

Nuri hanya manggut-manggut. Tak lama setelah perbincangan mereka, bel apartemen Nolan berbunyi. Nuri beranjak untuk membuka pintu. Gadis itu lalu kembali membawa seorang tamu berkepala botak yang tak Nolan duga.

Spontan, Nolan terkesiap. "Anjir, Mahesa! Lo kapan ke sini? Kok kagak bilang-bilang?"

Mahesa mendengus dengan senyum. "Apa kabar, Lan?"

"Yailah. Ini lo lihat gue lagi sarungan kayak penganten sunat. Kabar lo gimana, Sa?"

"Alhamdulillah." Mahesa berjalan mendekati sofa ruang tamu. Dia langsung duduk di sofa tunggal sebelah sofa yang ditempati Nolan. "Hapemu mati, Lan? Atau ganti kartu? Tadi aku sudah telepon untuk kasih kabar, tapi nomormu tak aktif."

"Oalah!" seru Nolan, menyadari sesuatu. "Gue habis ganti hape sama kartu, Sa. Hape gue yang lama kecebur di laut, trus kartunya ikutan nggak bisa berfungsi. Ya udah gue ganti."

Mahesa manggut-manggut. "Ya sudah. Nanti kau kasih nomor hapemu yang baru saja."

"Siap." Nolan membentuk jarinya seperti simbol 'oke', kemudian menoleh pada adiknya. "Eh, Nuri," panggil Nolan, mengajak adiknya mendekati Mahesa. "Nih, kenalin. Teman Abang dari kuliah, namanya Mahesa. Dia kerja di kehutanan."

"Di kehutanan?" Nuri mengangkat alis, terlihat penasaran dengan sosok tegap Mahesa. Kulitnya juga kecoklatan dengan Nolan, tetapi sedikit lebih gelap. "Di kehutanan kerjanya ngapain aja, Kak?"

"Inspeksi hutan dan industri kehutanan, budidaya hutan, pemanfaatan hasil hutan, ada juga yang konservasi. Saya yang budidaya."

"Budidaya hutan itu gimana?"

"Budidaya hutan itu lebih ke bagaimana pohon itu ditanam, dikelola, dan tetap bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang tanpa harus merusak lingkungan. Atau, budidaya hutan setelah hutan terbakar. Semacam itulah."

Nuri ber-oh ria sambil manggut-manggut.

Mahesa terkekeh. "Nuri jurusan apa memangnya?"

"Desain Komunikasi Visual. Kenapa, Kak?"

"Nggak apa-apa. Jarang soalnya ada anak yang tertarik sama kehutanan."

Nolan menepuk pundak adiknya sambil tersenyum. "Jangan coba-coba ganjen ya, Dek. Mahesa botak-botak gini banyak fansnya."

Nuri memutar bola mata. "Nggak ganjen ini, Kak. Lagian, Kak Mahesa nggak botak-botak amat kok, Bang. Itu masih ada rambutnya kayak tentara."

Mahesa tertawa. Dia pun menunggu di ruang tamu bersama Nolan selagi dibuatkan minum secangkir teh oleh Nuri.

"Lo ada di sini dari kapan, Sa? Kenapa nggak kasih kabar?" tanya Nolan, membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja tamu.

"Udah seminggu sih, Lan. Aku ada rapat dan evaluasi lembaga-lembaga kehutanan. Besok, aku pulang ke Indonesia."

"Lah, cepat amat," ujar Nolan spontan. "Emang cuma dikasih waktu segitu?"

"Iya. Evaluasi sudah berakhir kemarin. Hari ini istirahat sebelum besok take off."

Nolan hanya manggut-manggut.

Mahesa terdiam sejenak. Kemudian, dia berusaha mengutarakan apa yang selama ini mengganjal di pikirannya tentang Nolan. "Lan," panggil Mahesa. "Kau tak ada niat kembali ke Indonesia? Kerja di sana?"

"Buat apa? Gaji gue di sana nggak akan setinggi gaji gue di sini."

Mahesa terdiam agak lama. "Kau juga mau pindah kewarganegaraan?"

Kini, Nolan-lah yang tergugu.

Sunyi di antara mereka lalu terpecah oleh Nuri yang datang membawakan teh untuk Mahesa. Gadis itu lalu pergi ke kamarnya karena merasa kakaknya dan Mahesa sedang terlibat perbincangan serius.

Mahesa menunggu tehnya agak dingin. Dia melirik Nolan yang masih saja terdiam. "Gimana, Lan?" tanyanya. "Kau mau pindah kewarganegaraan bersama Nuri?"

Nolan terdiam sesaat. "Kalau iya, kenapa? Kalau enggak, kenapa?"

"Dua pertanyaan itu jawabannya sama dariku: ya sudah."

"Ya udah?"

"Iya." Mahesa mengambil napas. "Tak masalah kau mau pindah atau tidak. Itu pilihanmu, Lan. Aku cuma ingin tahu."

"Lo... nggak nganggep gue mengkhianati negara, Sa?" tanya Nolan.

Mahesa menggeleng tegas. "Cuma manusia berpikiran sempit yang menilai kesetiaan seseorang terhadap negara hanya dari apa kewarganegaraan orang tersebut."

Nolan terperangah.

"Kenapa?" tanya Mahesa. "Mukamu macam orang kaget."

"Nggak apa-apa. Cuma, tadinya gue mikir," ujar Nolan. "Gue waswas. Apa lo nanya tentang kewarganegaraan buat mengukur kesetiaan gue sama negara? Buat nuntut gue untuk berjuang di negara kayak Indonesia?"

"Memangnya kau tak mau berjuang, Lan?"

Lagi, Nolan terdiam. Matanya setengah terpicing saat mengingat betapa kompleksnya masalah di Indonesia. "Ngapain gue buang-buang tenaga untuk negara yang pada akhirnya cuma dibikin susah lagi sama oknum-oknum yang berkuasa? Yang nganggep orang-orang kayak gue pengkhianat negara karena mau pindah kewarganegaraan?" tanya Nolan. "Mereka itu anjing semua. Mulut mereka cuma bisa dipakai cuma buat nuntut-nuntut sampah, tapi mereka sendiri nggak gerak buat bikin perubahan. Mereka cuma nuntut, tapi lupa kalau gue juga manusia, butuh kesejahteraan buat gue dan adik gue. Kenapa orang-orang seenak jidat menyudutkan orang-orang kayak gue?" tanya Nolan, napasnya terengah. Dia selalu sulit menahan emosi jika sudah menyangkut hal ini. Abdi negara, patriotisme, dan apalah setan-setannya.

Mahesa meraih cangkir tehnya, melirik Nolan sekilas. "Lan, kau ingat apa yang sering dikatakan Zraka?"

"Apa? Ngomong 'mau' kalau ditawarin makanan?"

Sebuah kekehan menyelinap dari bibir Mahesa. "Bukan." Mahesa menyesap tehnya sesaat. "Ada kalimat lain yang sering dijadikan pegangan Zraka. Dia katakan begini, 'Dunia ini memang tidak adil, maka kita harus beradaptasi'. Itu Zraka mengutip dari ucapan Bill Gates. Paham kau maksudnya?"

Nolan mengangguk.

"Butuh waktu untuk memahami betul apa yang sebenarnya kita butuhkan, Lan," ujar Mahesa. "Manusia kebanyakan itu terlalu sibuk merancang dan mewujudkan dongeng untuk kehidupan mereka; masuk PTN, kuliah di luar negeri, kerja dengan penghasilan tinggi, punya istri atau suami yang bisa dibanggakan, punya anak yang mengikuti kesuksesan karier orang tuanya. Semua hanya rancangan dongeng. Rata-rata manusia berkeras sekali untuk mewujudkan dongeng mereka di dunia. Tak sadar bahwa dunia ini hanya arena ujian belaka."

Kini, diamnya Nolan berlangsung lebih lama. Dia mencerna semua ucapan Mahesa pelan-pelan. "Tapi," ujar Nolan, "lo butuh duit, kan? Iya, gue tahu kalau dunia itu ujian. Tapi, Sa, emangnya lo dibayar sesuai sama kerja keras yang udah lo lakukan? Emangnya setimpal?"

"Uang itu untuk apa pula, Lan?" tanya Mahesa balik. "Kebutuhan dasar manusia itu cuma sandang, pangan, dan papan. Sudah terpenuhi semua itu buatku. Kebutuhan lain macam baju, mobil, atau kebutuhan untuk menunjang pekerjaanku juga masih bisa dipenuhi, walau mobil masih mencicil. Bahkan kalau aku menikah pun, aku juga masih mampu menafkahi istri dan anakku nanti. Barangkali tak bisa mewah-mewah, tetapi cukup. Memangnya, butuh uang sebanyak apa kita ini sebetulnya? Dan untuk apa?"

Lagi-lagi, Nolan terdiam.

Mahesa benar. Untuk apa uang banyak itu? Sebenarnya, hal yang membuat manusia menginginkan uang lebih itu karena butuh, atau ketamakan akan kesenangan dunia? Mau beli mobil mewah, rumah macam istana, gaun-gaun rancangan desainer ternama, mendatangi jamuan makan di restoran bintang lima, liburan di tempat-tempat indah... semua buat apa? batin Nolan. Apa jangan-jangan cuma buat senda gurau belaka?

Sekarang, Nolan paham apa maksud 'dongeng' yang dikatakan Mahesa. Dunia cuma sementara, trus kenapa manusia berlomba-lomba mewujudkan dongengnya di dunia fana ini? Bukannya Nolan ingin menyudutkan manusia yang bersenang-senang. Bersenang-senang itu kebutuhan semua manusia. Tapi, mungkin banyak yang lupa kalau nggak ada kebahagiaan sesungguhnya di dunia.

Semua lupa, sebab semua sibuk merancang dongengnya masing-masing.

Nolan menelan ludah. Berpikir kembali. "Lo nggak capek sama politik di Indonesia?" tanyanya, lemah. "Gue capek, jujur aja. Nonton aja capek. Apalagi lo yang secara nggak langsung bakal konfrontasi juga sama pihak-pihak itu. Dan hutan mana lagi yang mau lo lindungin kalau nanti udah nggak ada yang bersisa?"

Mahesa mendengus terkekeh. "Ya, paham aku, Lan. Hutan di Indonesia makin menipis karena dibakar pihak tertentu. Asap sudah macam ritual tahunan untuk Sumatra dan Kalimantan, macam banjir tahunan di Jakarta. Ada yang menyalahkan warga, ada yang menyalahkan pihak perusahaan, ada yang menyalahkan pemerintah. Pusinglah pasti. Karena itulah, sebagian besar orang yang berjuang memilih untuk menyerah karena lelah dengan permainan politiknya, lelah dengan ketidakadilannya. Mungkin pekerjaanku ini tak mampu buat aku jadi kaya raya macam pengusaha tambang. Mungkin juga upah yang kudapat tak sebanding dengan apa yang sudah kukerjakan. Tapi, aku pun tak paham untuk apa uang banyak jika hidupku kosong, Lan. Aku lelah mewujudkan dongeng di dunia. Bukannya dunia ini adalah ujian? Lantas, untuk apa aku mewujudkan dongeng di arena ujian seperti dunia ini? Untuk apa aku berharap bisa tinggal dalam dunia dongeng, di saat dunia yang aku tinggali sebenarnya ini hanya sementara? Aku cuma menyadari bahwa orang-orang yang mengejar dunia, sebetulnya akan berakhir terperangkap dalam dongeng yang mereka wujudkan sendiri."

Nolan tak bisa berkata apa-apa. Dia mencerna ucapan Mahesa dan menjadikannya referensi. Kata-kata Mahesa menohoknya, sungguh. Apa yang selama ini dia kejar? Liburan di tempat eksotis? Punya mobil mewah? Diving di seluruh pelosok dunia? Nolan akhirnya menghela napas dan memejamkan mata. "Sa, selama orang-orang yang berkuasa di Indonesia itu kebanyakan orang-orang nggak beres. Lo mau berjuang jungkir-balik ya bakal nggak beres juga ending-nya."

Mahesa melirik Nolan dari balik bahunya. "Aku mending mati berjuang, Lan, daripada mati tanpa kontribusi apa-apa di dunia ini. Ke mana nuraniku kalau aku tega saja melihat orang-orang di pulauku sendiri tak bisa bernapas cuma karena asap?"

Lagi, Nolan merasa tertohok.

"Makanya tadi kutanya, apa kau serius tak mau berjuang?" tanya Mahesa. "Aku tak ambil peduli kau ini anak mana. Ini masalah kemanusiaan. Kau punya nurani, kau punya hati. Tak perlu menjadi sama untuk bisa berempati terhadap manusia lainnya."

Nolan menundukkan kepala. Matanya terasa menghangat dan hatinya ditohok berkali-kali. Satu pertanyaan yang bergaung di kepalanya adalah, ke mana dia selama ini?

Nolan pun menarik napas panjang. "Kontribusi apa yang bisa gue kasih, Sa? Gue cuma begini. Nggak kayak lo yang emang secara langsung nanganin salah satu masalah krusial di Indonesia."

"Semua masalah itu penting, Lan," ujar Mahesa. "Perbedaannya hanya di tingkat kegentingannya. Ada masalah yang harus segera ditangani, ada masalah yang meski takkan berakibat kerusakan dalam waktu cepat, tetapi bisa merusak bumi dan manusia jika didiamkan saja. Orang-orang Indonesia banyak yang berpikir bahwa masalah penting adalah masalah tipe satu, sementara masalah tipe kedua cenderung membuat banyak pihak tutup mata akan kepentingannya." Mahesa menyesap tehnya sebelum melanjutkan, "Maksudku, kau mungkin tak langsung terjun untuk masalah tipe satu, tetapi kau bisa bekerja menangani masalah tipe dua. Pada akhirnya, sebenarnya semua masalah di Indonesia saling berkaitan, macam efek domino."

Nolan berpikir sambil terdiam. Mahesa pun tersenyum.

"Pekerjaan kita berdua memang tidak berurusan langsung dengan manusia macam dokter, Lan," ujar Mahesa. "Kita berurusan dengan alam. Alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan tanpa perlu dirusak oleh manusia. Aku cuma meyakini bahwa Tuhan barangkali tak bertanya dongeng apa yang kurancang di dunia, tetapi Dia pasti akan bertanya kerusakan apa yang sudah kuperbuat di sini. Aku tak mau jadi perusak. Aku mau jadi yang memperbaiki atau yang mencegah kerusakan terjadi."

Sungguh, kata-kata Mahesa berhasil menamparnya berkali-kali.

Nolan tak pernah berpikir sampai situ. Selama ini yang dia pikirkan hanya mencari uang untuk membiayai dirinya dan Nuri. Namun, setelah itu terpenuhi, apalagi yang menjadi targetnya?

Akhirnya, Nolan memejamkan mata dengan hati bergetar. Dia merasa seisi dadanya terasa berat oleh rasa bersalah. Entah bersalah kepada siapa.

"You know, you can always come back anytime you want to," ujar Mahesa, berusaha menghibur Nolan. Dia tak menyangka ucapannya akan membuat Nolan seperti ini.

Nolan hanya mengangguk-angguk paham. Setelah itu, Mahesa mengajak Nolan membicarakan hal lain hingga waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam. Setelah salat Mahgrib di sana—waktu Mahgrib bulan April di Virginia kurang lebih pukul 19.30—Mahesa beranjak pulang. Mereka sempat bertukar kontak sebelumnya.

Berhubung ponsel Nolan baru dipakai dua hari ini, Nolan meminta nomor Bara dan yang lain dari Mahesa, dan Bara menyarankan Nolan untuk mulai mengunduh WhatsApp dan LINE yang notabene tenar dipakai di Indonesia saat ini. Orang-orang sudah mulai meninggalkan BBM dan beralih ke aplikasi chat yang lebih modern.

Dia, Bara, dan Hizraka pun sepakat untuk membuat grup berisikan mereka bertiga. Dari grup yang hanya bertiga, Nolan lalu mengundang Mahesa yang notabene juga sudah kenal Bara dan Hizraka. Grup tetap tentram hingga akhirnya Aksel ikut masuk dan mulai mengacaukan kedamaian.


Aksel Hadiraja mengubah nama grup menjadi "D'Batangan"



Hizraka Bayuaji: Tobat sana, Sel.

Aksel Hadiraja: Yah.

Aksel Hadiraja: Padahal D'Batangan itu eyecatchy dan earcatchy tau, Ka.

Aksel Hadiraja: Coba jadi nama produk. Pasti cepat laris.

Aksel Hadiraja: Anak2 muda pd penasaran "batang" yg dimaksud itu batang apa.

Hizraka Bayuaji: Tobat sel.

Mahesa Silalahi: Tobat sel (2).

Bara L. Hadiwinata: Tobat sel (3).

Nolan Prasetya: Lucu sih.

Nolan Prasetya: D'Batangan.

Nolan Prasetya: Bisa jd nama tmpt nongkrong free-smoking.

Aksel Hadiraja: Nah, tuh. Nolan otak dagang kayak gue.

Nolan Prasetya: Ini maksudnya krn kita semua cowok kan?

Aksel Hadiraja: Yoi.


Bara L. Hadiwinata mengubah nama grup menjadi "Hamba Allah"


Bara L. Hadiwinata: Kalo mau ngubah cari yang berfaedah dikit, Sel.


Aksel Hadiraja mengubah nama grup menjadi "Republik Jomblo Raos"


Aksel Hadiraja: Ini ada filosofinya.

Aksel Hadiraja: Kita bakal jd jomblo yg high quality.

Aksel Hadiraja: Raos berarti enak.

Aksel Hadiraja: Kita bakal jd "raos" di mata perempuan dan calon mertua.

Mahesa Silalahi: Alhamdulillah.

Mahesa Silalahi: Nama grup kita jd lbh berfaedah sekitar 0,5%.

Bara L. Hadiwinata: Alhamdulillah.

Bara L. Hadiwinata: Gue gaperlu silent grup lagi.

Bara L. Hadiwinata: Biar gaada yg liat nama grup pas chat masuk.


Nolan terkekeh ketika membaca isi chat di grup itu. Kakinya berjalan memasuki kamar dan duduk di tempat tidur. Masuk ke dalam grup chat seperti ini membuatnya rindu untuk bersua kembali dengan teman-temannya. Barangkali, pertanyaan Nuri terhadapnya tentang membangun rumah di Indonesia berhasil membuatnya berpikir ulang tentang kemungkinan pindah. Lagi pula, Mahesa benar. Uang yang banyak itu sebenarnya buat apa? Ya, barangkali untuk liburan, refreshing, lari sejenak dari kepenatan rutinitas dan pekerjaan, itu hal yang manusiawi. Tetapi, sebenarnya, apa yang Nolan tunggu di Amerika? Pekerjaan mapan? Liburan bersama teman-teman kerjanya? Mendapat istri warga negara sini? Tidak ada. Nolan tak pernah benar-benar merasa bahwa Amerika adalah rumahnya, kendati fasilitas di sini memang jauh lebih baik daripada Indonesia.

Mendesah, Nolan melirik surat Kartini yang dia simpan di dalam kamar. Surat itu terbuka dan ditempel di dinding di atas meja kerja yang menghadap ranjangnya. Sehingga setiap malam sebelum tidur, Nolan bisa melihat surat itu, mengingat kembali kata-katanya, mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan Kartini bertahun-tahun lalu, mengingat senyum dan pernyataan cinta gadis itu, mengingat rasa bahagia yang sempat muncul ketika tahu perasaannya berbalas meski hanya sesaat.

Perasaan saya kepada kamu tidaklah nyata, tetapi 'ada'.

Nolan tersenyum.

Dia akan merindukan masa-masa ini. Momen ketika sebelum terlelap, hal terakhir yang dilihatnya adalah surat Kartini. Lucu bagaimana dia tak pernah jatuh cinta sejatuh ini sebelumnya. Bahkan gilanya, dia tidak takut untuk jatuh sejatuh-jatuhnya kepada Kartini. Seakan di dalam diri Nolan sudah terbentuk kepercayaan bahwa pada akhirnya, dia akan baik-baik saja. Nolan juga tak mengerti kenapa dia bisa mempercayai Kartini hingga tak takut 'jatuh'. Apa mungkin karena dia sadar betul bahwa Kartini adalah perempuan yang tepat untuk dia berikan hatinya? Sebab, baik dia dan Kartini sudah sama-sama paham apa yang harus jadi prioritas, dan prioritas itu tidak selalu berupa cinta dalam bentuk asmara.

Terlepas dari perpisahannya dengan Kartini, Nolan tak pernah menyesali pertemuan dan perasaan yang muncul kepada gadis itu—bahkan juga tak menyesali patah hati yang terjadi. Maka ketika malam itu dia hendak tidur, dia mengingat kembali ucapan Mahesa berhari-hari lalu. Sudah dua minggu berlalu dari hari Mahesa berkunjung ke apartemennya. Dan pastinya, Nolan akan merindukan masa-masa ini. Masa ketika dia di Virginia beserta kenangan yang mengikutinya.

Namun, memang sudah tak ada hal yang benar-benar dia inginkan di Amerika.

Dan karenanya, sebelum terlelap, Nolan membuka kembali ruang obrolan di grup dan mengetik sesuatu untuk mengabari teman-temannya.


Nolan Prasetya: Gue gatau kpn. Tp entah tahun dpn atau setelahnya, gue mau pulang dan tinggal lagi di Indonesia.

[ ]




-;-

Mat Solar itu pemain Bajaj Bajuri, in case you don't know. Itu tayangan yang hits di tahun 2004. Doi juga hits gegara main Tukang Bubur Naik Haji.

SPOILER NIKAHAN KARTINOLAN DI CHAPTER 3

Sebenernya salah satu alasan kenapa gue spoiler tentang pernikahan KartiNolan di masa mendatang itu karena hal kayak chapter lalu. Gue nggak mau terlalu fokus di baper2annya aja. Makanya semisal ada orang baper sama perpisahan KartiNolan pun, kalian tetap bisa 'bernapas lega' karena gimanapun juga, gue udah spoiler kalau mereka bakal nikah. Yaudah, jadi santai gitu. Kalau gue nggak spoiler tentang pernikahan mereka, barangkali sebagian pembaca malah terfokus ke baper-bapernya aja, tanpa memahami kenapa Kartini butuh waktu, tanpa memahami kenapa Nolan nggak bisa memprioritaskan Kartini, dsb. 

Continue Reading

You'll Also Like

441K 12.4K 12
Revanda sudah merasa nyaman dengan hidup 'tidak terlihat' selama dua tahun lebih di sekolah. Tapi mendadak namanya jadi trending topic pasca ketahuan...
338K 12.6K 29
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
560K 1.6K 7
Tukang ojek online yang mengarahkan nafsu sesatnya pada customer. Disclaimer: 21++++ Berisi konten dewasa
886K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...