A Commitment

By Leadkloroform

4.6K 382 146

[KrisHun - COMPLETE] Sebuah kisah hidup seorang Oh Sehun dalam gemerlap kota urban dan hedonisme yang penuh d... More

P R O L O G
Chapter 1
Chapter 2
Chapter Final

Chapter 3

781 63 34
By Leadkloroform

Rasanya pembukaan panjang lebar mengenai diriku sudah tak terlalu dibutuhkan lagi. Tak ada yang berubah dariku. Aku masih skeptis, masih tak beragama, masih gay, masih metroseksual, masih suka berfoya-foya menghabiskan uang, dan masih menjadi arsitek. Paling hanya beberapa hal minor yang berubah dari diriku, seperti tagihan kartu kreditku berangsur-angsur mengecil. Tidak. Aku tidak menemukan laki-laki kaya raya untuk kupeloroti uangnya.

Tunggu, sebenarnya ya. Secara tak langsung, aku punya laki-laki yang dengan suka cita membayari segala pengeluaranku—dan seingatku celana Calvin Klein ini dia yang belikan, lengkap dengan satu setel Hugo Boss dan Bvlgari parfum.

Kalau dipikir-pikir lagi, semua perubahan drastis dalam kurun waktu dua bulan ini—ya, aku juga tak menduga bahwa dua bulan ternyata cukup untuk mengubah hidup untuk selama-lamanya—terjadi karena laki-laki brengsek itu.

Semuanya berubah dengan begitu cepat dalam kurun waktu satu malam.

Ciuman panas yang berujung pergumulan sengit di atas ranjang mendadak berubah menjadi malam penuh intrik dan sedikit bumbu romantis. Sedikit...

Entahlah, aku sendiri tidak tahu apa yang menggerogoti pikiranku saat aku mengangguk setuju dan menerima cincin emas putih bermata berlian sepuluh karat. Sepertinya kilau mengkilap berlian yang membutakanku, membuatku langsung menyetujui lamarannya tanpa berpikir panjang.

Walau aku sempat terpikir untuk menyambar asbak berat berbahan granit hitam di samping tempat tidurnya dan menghajarnya di kepala. Membunuhnya.

"Will you marry me?"

Gerakan mengangguk sederhana membuatku terdampar pada perjanjian sehidup-semati tanpa jalan keluar.

Sekarang, aku adalah Sehun Willis,  seorang gay berprofesi arsitek, orang yang takut untuk berkomitmen, skeptis, dan sekarang bertunangan dengan seorang pengacara brengsek dari Belanda.

Yang lebih buruk lagi, aku akan menikahi si brengsek dalam waktu empat bulan lagi.

Nice...

.
♣♣♣
.

"Cheers untuk teman kita—Sehun—yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya!"

Sambutan meriah setelah ajakan minum Henry malah membuatku semakin sebal saja. Aku menyesap champagne-ku sambil terdiam dan kadang tersenyum pahit untuk menanggapi ucapan selamat teman-temanku. Kadang aku melemparkan delikan sebal ke arah Henry yang tertawa riang sambil menepuk-nepuk pundakku—terlalu keras, membuatku nyaris tersedak gelas champagne.

Baru tadi siang aku menceritakan Henry tentang pertunanganku dan si bodoh ini langsung membuat pesta besar-besaran di Ordo. Aku tak pernah keberatan dengan pesta dadakan, apalagi kalau pesta itu ditujukan untukku. Sayang, jenis perayaannya membuatku mau gantung diri saja. Beruntung kilau berlian di jari manisku sanggup mengobati rasa sedih akan berpisah dengan kebebasan.

Rupanya masih ada sedikit nilai plus dalam diri Kris. Laki-laki ini jelas pandai memilih perhiasan.

Ah, ya. Mungkin aku belum menyebutkan nama laki-laki yang pada akhirnya mendapatkan hatiku— term kelewat dangdut dengan bumbu telenovela itu milik Henry, bukan milikku. Namanya Kris Wu, seorang pengacara handal berdarah Belanda. Mari kuceritakan sedikit tentang apa yang terjadi dan kenapa aku bisa membenci 'calon suami'-ku sampai seperti ini.

Dua bulan lalu, pengacara brengsek ini mengancam untuk menjebloskanku ke penjara. Tuduhannya sederhana: penipuan. Katanya, aku menipu laki-laki dengan pesonaku, menggunakan uang mereka untuk kepentingan pribadiku, lalu meninggalkan mereka begitu saja. Mereka terlalu melebih-lebihkan apa yang terjadi. Cuma gara-gara kasus korupsi yang sialnya dilakukan anggota senat yang pernah tidur denganku dan—

Tunggu. Apa-apaan ini ada segelas bir besar disodorkan padaku? Aku, kan, tak terbiasa minum bir sebanyak itu. Entah kenapa rasanya minum alkohol sekaligus dalam jumlah besar itu terasa sangat... tidak berkelas dan bar-bar.

Cengiran lebar di wajah Valentino—orang yang menyodorkan gelas bir—membuatku semakin menyesali keputusanku untuk ikut pesta ini. "Segelas bir besar untuk pengantin pria!" seru Valentino ceria dan disambut sorakan yang lainnya. "Oh, mungkin untuk kasusmu, kau ini pengantin wanitanya!" Omongan menyebalkan yang lalu disambut tawa.

Mau marah juga percuma. Toh, pada kenyataannya memang aku yang kebagian jatah 'peran wanita'...

Sebelum aku meraih gagang gelas, bunyi dering telepon selular dan getar lembut terasa dari saku celanaku. Sambil melemparkan senyum lebar, aku batal mengambil bir dan merogoh saku celanaku sambil daam hati mengucap syukur kepada siapa pun yang meneleponku. Sekali lagi aku tersenyum dan mengucap maaf pada Valentino—sekaligus mendorong Yviar untuk menggantiku meminum bir itu—lalu berjalan menjauh untuk mengangkat telepon.

"Ya, Kris?"

Begitu mendengar nama tunanganku itu disebut, seluruh ruangan langsung dipenuhi dengan siulan nakal dan kalimat-kalimat penuh menggoda. Sulit sekali mendengar omongan Kris di tengah kebisingan dan siulan menyebalkan dari teman-temanku. Sambil menggeram kesal, aku berjalan cepat mencari tempat yang cukup sepi, jauh dari jangkauan pendengaran teman-temanku dan dentum musik sang DJ.

Sialnya, tempat yang cukup sepi untuk bicara hanya ada satu. Tempat yang sebenarnya kurang mengenakkan untuk bicara karena... ini toilet.

"Bicara yang cepat, Kris. Aku mau segera keluar dari toilet ini." ucapku dengan sangat cepat. Mataku melirik ke arah pintu masuk toilet, gelisah.

Banyak hal yang membuatku merasa tak nyaman bicara di toilet. Pertama, jelas karena fungsinya sebagai toilet membuatku membayangkan hal-hal mengerikan yang berhubungan dengan sistem pencernaan manusia. Kedua, bicara di toilet itu selalu menimbulkan gema yang aneh. Mungkin karena material berbahan licin dan kaku yang banyak terdapat di sini. Yang jelas, toilet bukan tempat dengan akustik terbaik untuk bicara.

Heran, kenapa perempuan suka sekali mengurung diri di toilet untuk menangis, bergosip, dan berdandan berlama-lama di toilet...

'Aku hanya ingin bertanya bagaimana keadaanmu di sana, Willis.' balas Kris. Dari suaranya, aku bisa membayangkan si pria tampan ini tersenyum dan... itu suara mobil? 'Jadi, bagaimana bachelor party–nya? Menyenangkan? Menyebalkan?'

"Percampuran antara keduanya." gumamku sambil memutar bola mata. Tanganku sibuk merapikan rambutku yang berantakan dan mematut diri di depan kaca. "Aku mulai bosan di sini. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan selamat dan menggodaku tentang pernikahan ini..."

Aku mendengar Kris terkekeh pelan dari seberang sana. 'Mereka bersyukur kau akhirnya memutuskan untuk mengakhiri petualangan menegangkanmu bersama laki-laki, Sehun. Kau yang takut berkomitmen akhirnya memutuskan untuk menikah itu sesuatu yang besar, lho.'

Argh. Percakapan ini lagi...

"Apa kau mencoba untuk menyombongkan diri, hm? Merasa paling hebat karena berhasil 'menaklukkan'-ku, sementara laki-laki lain gagal?" kataku, setengah menggeram kesal.

'Untuk apa aku menyombongkan diri?'
balas Kris. 'Meskipun aku tak bisa menutupi kebahagiaanku karena berhasil mendapatkanmu, Sehun.'

Oh, aku bisa membayangkan si brengsek ini mengedip ganjen ke arahku, meskipun kita hanya berbincang-bincang melalui telepon. Beruntung dia bicara denganku via telepon. Kalau tidak, sudah kutonjok dia dari tadi.

"Ya... menyombonglah ke orang lain. Percuma kau membual padaku."

'Heh? Kau bisa melihatnya sebagai pujian, Sehun.'

"Aku tidak butuh pujian. Lagipula," Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Udara toilet dari dulu tidak pernah membuatku nyaman. Sungguh, aku tak habis pikir kenapa wanita betah berlama-lama di dalam toilet hanya untuk membenahi riasan dan bergosip. "Kau meneleponku untuk apa?"

'Aku sedang menyetir ke Ordo.' Ah. Itu menjelaskan bunyi mobil yang begitu mulus. Biar kutebak; dia pasti naik Lamborghini-nya. Suara mulus dengan sedikit getaran di mesin berkecepatan tiga ratus kilometer jelas berasal dari mobil sport. 'Aku mau menjemputmu dan melihat-lihat sebentar pesta bujangan yang dibuat Henry.'

"Ini pestaku, Kris. Toh, pasangan dilarang untuk datang ke bachelor party pasangannya."

'Itu hanya berlaku untuk pasangan pria-wanita, Sehun. Kurasa, peraturan bodoh itu tidak berlaku untuk kita, mengingat kita berdua laki-laki.'

Peraturan bodoh...

'Ah, aku akan sampai tiga menit lagi. Boleh aku minta tolong satu hal padamu, Sehun?'

"Tidak..."

'Splendid. Saat aku sampai nanti, sambut aku dengan ciuman mesra.'

"Sudah kubilang tidak..."

'Nice. Sampai ketemu nanti, babe.'

Sungguh, aku benci orang ini...

.
.

Agak aneh sebetulnya melihatku sudah duduk-duduk tenang di Starbucks sambil menikmati segelas vanilla lattehot, venti—dan sepiring spinach quiche, padahal ini baru jam sebelas siang. Seharusnya aku masih di kantor sampai jam enam sore—sebentar, kalau tak salah ada rapat proyek sampai jam tujuh malam nanti—tapi, aku ada keperluan mendesak dengan seseorang.

Seorang wedding planner...

Aku mengerang kesal dan melemparkan pandangan bosan ke luar jendela. Tubuhku semakin melesak turun dari sofa hijau, malas-malasan. "Kenapa harus aku yang menemui wedding planner-nya?"

"Pertama, Kris sedang ada pengadilan sampai sore. Kedua, kau sendiri tak punya pekerjaan sampai nanti jam lima sore. Yang ketiga dan paling terakhir, pernikahanmu tinggal empat bulan lagi, Sehun."

Aku melemparkan pandangan mencela ke arah Henry yang tersenyum lebar sambil terkadang meniup espresso panasnya.

Kalau mau jujur, aku terpaksa meminta tolong Henry untuk menemaniku. Coret. Sebenarnya, Kris yang meminta tolong Henry untuk menemaniku menemui si wedding planner. Dia tak terlalu mempercayai teman-temanku yang lain. Kris beralasan kalau dia mengenal Henry cukup lama dan adiknya juga kenal dengan si pemuda Spanyol ini. Bahkan kedatangan Kris tadi malam di Ordo untuk bicara dengan Henry, menyerahkan tanggung jawab untuk menemaniku hari ini.

"Kau harusnya berterima kasih karena aku sudah menyisihkan waktu untuk menemanimu di sini," kata si kontraktor. "Aku sampai menyisihkan waktu di hari Jumat ini untukmu. Padahal, aku bisa memanfaatkan waktu ini untuk kencan dengan Shawn-ku tercinta~"

Ah, ya. Henry akhirnya punya cukup keberanian untuk dengan jujur mengajak Shawn Vargas kencan. Keduanya resmi berpacaran sekitar dua minggu setelah Kris melamarku. Dengan dua orang ini akhirnya— akhirnya! —bersama, maka keseharian kami berdua yang diwarnai dengan sentuhan dan kecupan sensual yang berakhir di tempat tidur terpaksa dihentikan. Kris juga tak senang kalau dia dengar kabar aku terbangun telanjang di atas ranjang orang lain selain dia.

"Tapi," Henry meletakkan cangkir
espresso-nya dan menatapku lekat. Sorot matanya berlagak serius sementara bibirnya melengkung membentuk senyuman jahil. "Aku masih heran kau menerima lamarannya. Oke, kau mungkin takut dengan ancaman penjara yang dibuat Kris—" Yep. Aku menceritakan pada Henry semua yang terjadi malam itu. "—Tapi, aku masih belum bisa percaya."

Jangankan Henry. Aku sendiri masih bingung kenapa aku mengiyakan lamaran Kris. Oke, aku memang sedikit menyukai orang ini, tapi bukan berarti aku rela kebebasanku terenggut begitu saja. Aku tak pernah bisa melihat diriku sendiri membina rumah tangga—entah dengan perempuan atau laki-laki—sampai kapanpun.

Mungkinkah ini gara-gara... dia?

Henry menyondongkan tubuhnya lebih dekat padaku dan memberi isyarat untuk mendekat. Si pemuda Spanyol itu sekarang tampak sangat serius dan berbisik pelan, "Ini bukan karena... dia, kan?"

Ah, ya... Rupanya Henry juga berpikiran hal yang sama denganku. Lay juga sempat bertanya tentang 'dia' saat aku bercerita tentang pernikahan ini di telepon tadi malam.

"Entahlah," sahutku singkat. Tanganku sibuk mengaduk latte —gestur tak penting yang biasa kulakukan kalau sedang berpikir— "Mungkin aku memang sedikit teringat 'dia'. Tapi, dia itu masa lalu. Toh, sudah lebih dari delapan bulan aku tidak berhubungan dengannya." lanjutku dengan enteng seraya mengibas-ngibaskan tangan, berharap Henry mau melupakan topik ini. Sungguh, aku sedang tak ingin mengingat-ingat tentang orang itu.

Orang yang nyaris kunikahi kalau saja aku tidak terlalu egois...

Berteman dengan orang seperti Henry kadang ada baik dan buruknya. Buruk, ketika si Spaniard ini memutuskan untuk bersikap ceria sepanjang hari, tak peduli kalau suasana hatimu sedang sangat buruk. Baik, karena dia satu-satunya orang yang tahu kapan untuk tutup mulut, seperti sekarang.

Henry—meski masih menatapku ragu—mulai tampak rileks dan kembali menyeruput espresso-nya. Sesaat, kami berdua terdiam dan hanya memperhatikan penduduk New York berjalan lalu lalang di depan Starbucks, mulai bosan.

Tak tahan dengan keheningan ini, Henry mulai membuka topik pembicaraan yang baru. "Ngomong-ngomong," Dia telah kembali ke suara cerianya yang semula. Matanya pun berbinar-binar, memancarkan kegembiraan yang sangat menular. "Kau sudah lihat berita belakangan ini? Katanya, ada terobosan baru dalam ilmu kedokteran!"

Aku menyeruput latte-ku sambil mengangguk-angguk pelan, setengah melamun. Aku jarang sekali menonton berita, makanya butuh waktu cukup lama bagiku untuk mengingat-ingat berita macam apa saja yang pernah kulihat sepanjang minggu ini. "Kalau tak salah, tentang bayi tabung?" tebakku asal.

"Bukan bayi tabung, sih." ucap Henry sambil tertawa. Dia tampak melambai singkat ke luar jendela—sepertinya ada kenalannya lewat—sebelum kembali menatapku. "Katanya, penemuan ini memungkin pasangan gay untuk mendapatkan anak."

"Male pregnancy maksudmu?" Membayangkan perut membuncit dengan benda hidup di dalamnya membuatku merinding. "Mau keluar lewat mana bayinya? Anus?"

Henry tertawa melihat ekspresiku—kaget bercampur jijik bercampur ngeri—dan kembali melanjutkan, "Bukan. Perkembangan anaknya tetap menggunakan rahim surrogate mother, tapi sperma yang membuahinya sekarang dapat digunakan dari kedua pasangan, sehingga anaknya nanti mempunyai lebih dari delapan puluh persen sifat serta karakteristik kedua ayahnya."

Aku mengangguk-angguk sambil bergumam, "Oh..." Menarik juga penemuan ini.

"Kau nanti bisa punya anak, Sehun! Bayangkan miniatur dirimu dan Kris berlarian di dalam apartemen kalian. Aaaw~"

Aku bergidik saat bayangan akan bocah materialistis tapi pelit menggelantungi tanganku atau Kris. Tidak, terima kasih.

"Penelitiannya masih dalam tahap penyelesaian, tapi sudah banyak orang yang tertarik untuk menggunakannya. Kebanyakan sih, tidak protes saat ditagih biaya sebesar satu juta dollar..."

Aku tersedak kopi saat mendengar nominal yang harus dibayarkan. "Satu juta? Satu juta dollar untuk menghadirkan seorang bocah tengil yang akan mengacaukan hidupmu selamanya?"

"Tidak semua orang membenci anak kecil, Sehun." kata Henry sambil tertawa kecil. "Selain itu, kehadiran anak kecil bisa menjadi pelengkap manis dalam rumah tangga. Aku bahkan terpikir untuk mengadopsi anak nanti setelah menikahi Shawn."

"...kalian bahkan baru saja berpacaran..."

"Apa artinya waktu bila saling mencinta, Sehun~"

"...berhenti mengambil quote dari telenovela, Henry..." gumamku sambil memijit kening. "Lagipula, aku sudah membicarakan ini saat mengiyakan lamaran Kris. Dengan jelas—bahkan aku membuatkannya surat pernyataan lengkap dengan materai—aku mengatakan bahwa aku tak mau punya anak. Aku tak suka anak kecil, dari dulu sampai sekarang, dalam bentuk apa saja. Titik."

Tepat saat aku baru saja mengiris
spinach quiche-ku, terdengar suara ceria wanita dan hak sepatu tinggi mengetuk-ngetuk lantai kayu mendekati mejaku. Saat aku mendongak, aku melihat seorang wanita berambut cokelat ikal panjang sepunggung dengan senyum menawan.

"Kau pasti Sehun!" kata perempuan itu dengan suara ceria dan lembut. Dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku. "Aku Meghan Staller,
wedding planner. Bisa kita mulai sekarang? Pernikahanmu tinggal empat bulan lagi dan aku yakin kita ingin mengadakan pernikahan yang luar biasa."

Entah apa yang mempengaruhiku sampai setuju menikah dalam waktu empat bulan.

***

Ciyeee ada yang mau kiwin 😝

Continue Reading

You'll Also Like

41.1K 5.9K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
5.9K 683 6
Jung Yunho seorang yatim piatu yang akhirnya diasuh Kim Jaejoong seperti saudaranya sendiri. Sayangnya cinta yang begitu obsesif hadir diantara mere...
121K 3.4K 12
Original Author @Aileen94_ [Mpreg 🔞 | CHANBAEK] Park Chanyeol, pemuda sukses dengan wajah rupawan yang dikelilingi wanita cantik mulai merasa bosan...
21.6K 1.8K 17
SEHUN x JONGIN Menyukai seseorang yang bahkan tidak pernah menempatkan hatinya padamu. Berharap dalam diam, berusaha menggapai sesuatu yang bahkan ta...