Pretend

By fepittafe_

1.5M 166K 10.6K

Andina Prameswari bersandiwara menjadi kekasih Gilang Galia Gamadi, jodoh yang disiapkan oleh calon adik ipar... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Epilog
Cuap-cuap
Extra Part: Ngidam
Extra Part: Anza Radeya Gamadi
All about Anza

Extra Part : Hamil?

50.1K 4.7K 238
By fepittafe_

Dimas pernah bercerita pada Gilang di awal-awal pernikahannya dengan Aryani. Kata Dimas, menikah itu enak. Ada yang mengurusi, ada yang menyambut ketika pulang ke rumah, ada yang bisa dipeluk setiap malam. Gilang sempat merasa iri pada Dimas, bahkan dirinya sempat mengungkapkan niat untuk mengajukan tanggal pernikahannya dengan Andin. Sayang, niatnya ditolak ayah Andin mentah-mentah. Yang ada Gilang malah dikira hendak cepat-cepat mengambil alih Andin dari orang tuanya.

Dasar, mertua Gilang yang satu itu. Dengan Dimas saja sayang minta ampun, Gilang justru selalu dinistakan. Untung Gilang sabar.

Kembali pada bahasan kalau menikah itu enak. Ternyata yang Dimas ceritakan tidak benar adanya. Menikah itu bukan hanya enak, tapi enak banget. Tahu begitu, Gilang nekat. Tidak mau menunggu sampai satu tahun setelah lamaran diajukan. Kalau perlu hari itu juga disahkan.

Gilang tidak berbohong soal menikah itu enak banget, sesuai gambaran Dimas. Apalagi Andin jadi jinak setelah menikah. Perempuan itu tidak lagi bersikap ketus padanya, meski sesekali menjitak kepala Gilang jika lelaki itu bertingkah konyol. Namun, Gilang tidak keberatan dijitak Andin. Bukan karena sayang, melainkan karena selepas menjitak kepala Gilang, Andin pasti segera menyesal, meminta maaf, kemudian mengusap lembut kepala suaminya. Terkadang perempuan itu mengecup kepala Gilang yang dijitaknya agar lelaki itu tidak merajuk lagi.

Duh, Gilang memang suka dengan Andin yang suka marah-marah. Namun, Andin yang sudah menyandang status sebagai istrinya lebih menggemaskan lagi. Gilang makin sayang.

"Mas ...." Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi mendekati sang istri yang duduk di sofa ruang tengah kediaman mereka. "Kenapa istriku sayang?" tanya Gilang dengan handuk masih melingkar di lehernya.

"Pusing ... mual gitu," keluh Andin memijat pelipisnya yang sejak pagi memang terasa pening. Andin kira pening itu akan lenyap ketika dirinya beraktivitas, ternyata tidak. Bahkan sampai menjelang sore pusing di kepala dan rasa mualnya semakin menjadi.

"Masuk angin kali," kata Gilang. Dengan telaten Gilang memijat tengkuk Andin, berharap sang istri bisa merasa lebih baik. "Nggak jadi aja yah nontonnya," usul Gilang kemudian.

"Yah," Andin merengut. Membuat Gilang tidak tahan untuk mencubit hidung Andin. "Nggak jadi kencan dong?"

Gilang tertawa sembari mengusap puncak kepala istrinya. "Kencan bisa lain kali. Kita masih punya banyak waktu, sepanjang hayat."

Andin mengangguk, menyetujui perkataan Gilang. Perempuan itu menyandarkan kepala di dada suaminya, mencari kenyamanan dengan memeluk tubuh tegap Gilang. "Nanti kalau aku udah ngerasa enakan, kita pergi kencan."

"Iya," Gilang menyetujui. "Sekarang kamu istirahat aja. Biar aku yang masak makan malam, setuju?"

Andin mengangguk senang. Betapa beruntungnya Andin mendapatkan suami sepengertian Gilang. Andin selalu mensyukurinya.

O0O

Ternyata kesehatan Andin belum membaik sampai hari Senin tiba. Perempuan itu masih mengeluh pusing, bahkan beberapa kali kedapatan muntah ketika mencoba makan.

"Parah banget, Yang," kata Gilang mengusap punggung istrinya dengan minyak kayu putih. "Periksa ke dokter, ya?" tawar lelaki itu.

"Nggak ah, Mas. Aku kecapekan doang. Kan seminggu kemarin beberapa kali lembur," Andin menolak.

Gilang hanya menghela napas pasrah. Sebenarnya, Gilang agak kurang nyaman dengan kesibukan Andin di kantor. Apalagi belakangan ini istrinya itu bekerja sampai lembur. Gilang ingin sekali menegur, tetapi takut menyinggung Andin. "Oke. Nanti aku minta Ibu atau Bunda ke sini buat nemenin kamu. Kalau masih kayak gini, aku bakal seret kamu ke dokter sepulang kantor nanti."

"Iya, suamiku sayang," balas Andin mengecup pipi sang suami dengan gemas. "Sana berangkat. Nanti telat."

"Oke, aku berangkat ya." Gilang mengecup kening Andin cukup lama. "Hati-hati di rumah," pesannya sebelum berangkat ke kantor.

O0O

"Andin nggak berangkat, Lang?"

Rahang Gilang mengeras mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Tio, sang mantan saingan. "Kenapa nanyain bini gue?"

"Santai, bung!" Tio tertawa, agar Gilang lebih santai menanggapinya. "Gue penasaran aja, kan biasanya kalian berangkat barengan," kata Tio mengklarifikasi agar Gilang tidak lagi mencurigainya.

"Dia sakit," jawab Gilang singkat.

"Sakit apa?"

"Sumpah, lo mau tahu banget, Yo?" Gilang melemparkan pertanyaan retorik pada rekan kerjanya itu.

"Aelah, Lang," Galih menginterupsi percakapan Gilang dengan Tio. "Dia nanya doang. Nggak usah cemburu gitu. Tio udah move on, kok. Udah ada gebetan dia."

Gilang mendengus, masih merasa kesal. Namun, dia akui bahwa merasa cemburu pada Tio hanya membuang tenaga percuma. Lagi pula bisa saja itu hanya pertanyaan basa-basi tanda bersimpati. "Kayaknya Andin masuk angin. Pusing sama mual-mual gitu."

"Mual?" Galih terlihat mengerutkan kening. Gilang hanya mengangguk untuk menegaskannya. Dan seketika itu juga Galih menepuk telapak tangannya sembari berdiri dari kursi yang ditempatinya.

"Woh, gol juga akhirnya, Lang!"

"Gol apaan?" Gilang bertanya, tidak mengerti.

"Mual, bro. Mual!"

"Iya, gue tahu. Kenapa emang?"

"Itu kan tanda-tanda hamil," jawab Galih membuat Gilang nyaris menjatuhkan rahangnya.

"Ha—hamil?"

Galih mengangguk. "Selamat, ya bro!"

Gilang tidak menanggapi ucapan selamat Galih, juga ucapan selamat dari Tio setelahnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan dugaan Galih barusan. Andin hamil?

Setelah setengah tahun menyandang status sebagai suami Andin, akhirnya perempuan itu memberikan kebahagian lagi untuk Gilang. Benar, kan menikah itu enak?

O0O

Andin cukup terkejut dengan banyaknya balon warna-warni yang dibawa Gilang setibanya suaminya itu di rumah. Belum lagi dekapan kelewat erat serta kecupan di seluruh wajah Andin. Padahal tadi pagi, Gilamg mengkhawatirkan dirinya. Mengapa sekarang lelaki itu sesenang ini?

"Ada perayaan apa, Mas? Aku nggak inget kalau hari ini aku atau kamu ulang tahun." Bukannya menjawab pertanyaan Andin, Gilang justru menasang senyuman kelewat lebarnya.

"Mas?" Andin mendengus kesal karena merasa tidak ditanggapi. "Kok malah cengar-cengir gitu? Kamu kesambet?"

Gilang menggeleng. "Ini itu perayaan kehamilan kamu!" Gilang berseru senang. Saking senangnya, lelaki itu sudah mengangkat tubuh Andin, memutarnya hingga membuat Andin sedikit pusing.

Oh ... perayaan kehamilannya. Rasa penasaran Andin akhirnya terjawab.

Hamil?

"Hah?" Andin segera melepaskan diri dari Gilang. "Siapa yang hamil?"

"Kamu, Andin!" Gilang mencubit hidung Andin yang melongo setelah mendengar jawabannya. "Kamu pusing sama mual, kan? Kata Galih kamu hamil! Yeaaay!" Gilang mengangkat kedua tangannya, bersorak riang.

"Tapi, aku nggak hamil, Mas," sanggah Andin lirih.

"Oh ... nggak hami—Apa?!"

Andin menghela napas panjang. "Tadi Bunda yang ke sini. Maksa aku periksa ke dokter, karena udah lemes banget tadi. Kata dokter tekanan darahku rendah. Maag-nya juga kambuh. Jadi, bukan karena hamil. Apalagi aku kan baru selesai haid. Kamu lupa?"

Gilang melupakan itu. Padahal dia yang paling hafal jadwal bulanan Andn semenjak mereka menikah. "Jadi, kamu nggak hamil?"

"Belum," revisi Andin. "Kan nggak selamanya mual itu indikasi kehamilan, Mas."

Ekspresi Gilang berubah sendu. Tanpa tenaga lelaki itu berjalan memasuki kamarnya, diikuti Andin dari belakang. Andin hanya bisa mendesah pelan melihat suaminya berbaring di tempat tidur tanpa membersihkan diri sama sekali.

"Mas ... ganti mandi dulu, ganti baju dulu. Makan malam, baru tidur," kata Andin mengingatkan. "Ayo bangun!"

Andin menghela napas lega saat merasakan pergerakan Gilang. Hanya kelegaan sesaat, karena Gilang ternyata bukan beranjak ke kamar mandi, melainkan memeluk tubuh Andin sembari membenamkan wajah ke perut sang istri.

"Maaf ...." kata Gilang lirih. "Maaf belum bisa buat kamu hamil," katanya lagi.

Andin terkekeh mendengar kalimat penyesalan Gilang. "Biasanya perempuan yang kepikiran soal ini lho, Mas. Kok ini kebalik," kata perempuan itu mengusap kepala sang suami. Membelainya lembut, hingga Gilang merasa nyaman sampai memejamkan matanya.

"Kamu nggak boleh stres soal punya anak. Biar aku aja yang stres, kamu jangan," balas Gilang membuat Andin tersenyum. Suaminya memang sepolos dan sebaik ini.

"Biar adil, kamu juga nggak boleh kepikiran lagi soal ini," kata Andin. Perlahan perempuan itu menangkup kedua pipi suaminya. Meminta agar Gilang membalas tatapannya. "Nggak masalah juga kalau kita belum ada momongan. Mungkin emang kita dikasih kesempatan buat pacaran dulu, iya kan?"

Gilang mengangguk, tetapi perkataan Andin tidak sepenuhnya membuat lelaki itu merasa lebih baik. "Aku ngerasa gagal aja gitu, Yang. Masa belum bisa bikin kamu hamil," keluhnya.

"Yah, kan kesalahan bukan di kamu aja, Mas. Bisa juga aku."

"Tapi kan kita sehat. Kita udah memeriksakan kesehatan masing-masing sebelum menikah."

Andin mengangguk. Hal itu memang sudah dilakukan keduanya agar tidak terjadi kesalahpahaman setelah menikah. "Aktivitas kita juga mempengaruhi, Mas," kata Andin menerangkan dengan perlahan. "Karena itu aku berencana resign dari kantor."

Kedua bola mata Gilang melebar. "Kamu mau resign?"

Andin mengangguk. "Makanya belakangan aku sampai lembur. Nyelesaiin pekerjaan sebelum nanti ku tinggal."

"Din," Gilang meraih telapak tangan istrinya. Ia mungkin lebih senang jika Andin di rumah, tetapi lelaki itu tidak mau mengabaikan kebahagian sang istri. "Aku nggak keberatan kamu bekerja."

"Tahu," balas Andin. "Aku juga udah memikirkan ini sejak dulu."

"Nanti kamu bosen lho di rumah aja."

Andin menggeleng. "Kalau nanti udah ada Gilang junior sama Andin junior juga aku nggak bosen lagi."

Gilang tersenyum mendengar jawaban Andin. Tidak salah dia memilih istri. Andin yang terbaik. "Cuman Andin junior. Aku nggak mau ada Gilang junior," tukas Gilang membuat Andin memutar bola mata.

"Mas, serius kamu nggak mau punya anak laki-laki?"

Gilang mengangguk. "Nggak. Aku nggak mau punya saingan." Andin menghela napas panjang.  Gilang sama sekali tidak berubah. Pemikirannya masih saja absurd.

"Jadi, udah nggak sedih lagi?"

Gilang menggeleng. "Nggak. Kayak kamu bilang, mungkin kita dikasih banyak waktu buat menikmati masa pacaran," kata Gilang. Andin merasa lega, tetapi tidak lagi setelah menangkap seringaian Gilang

"Tapi, aku juga nggak mau nyerah buat bikinnya." Gilang menarik Andin hingga perempuan itu berbaring di bawah tubuhnya. "Kamu udah selesai haid, kan? Kita buat Andin junior?" tawar Gilang mengerling jenaka.

Andin tahu jika Gilang belum sempat mandi dan berganti baju. Akan tetapi, Andin tidak bisa menolak ajakan Gilang. Terutama jika lelaki itu sudah membuai dan memujanya seperti ini.

Sial, Andin menyukainya.

.
.
.

Kkeut

Dan yang nulis ikutan susah move on... ngehehehe...

Duh, bang Rey di sebelah... kuatkan aku 😥😥😥

semoga sukaaa..

Continue Reading

You'll Also Like

663K 65.6K 49
Patah hati karena sang mantan kekasih membuat Eleena harus melakukan trip ke Phuket seorang diri. Ia tidak mungkin membatalkannya karena telah berjan...
64.9K 10.8K 40
Edisi BeckFreen...
Fuchsia By starrynights

General Fiction

20.2K 2.2K 25
Kiara pernah terluka. Dan bersedia melupakan lalu berdamai dengan keadaan. Tapi Angga justru mempersulit proses 'melupakan' itu dengan memaksa untuk...