BETWEEN YOU & US

By Wilonayunda

359K 21.2K 10K

[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan... More

Prolog
SEASON I : 1. Pertemuan Pertama
2. Alta Yang Keren
3. Awkward Moment
4. Inessa Kanaya Pratiwi
5. Salah Paham
6. Awal Sebuah Rasa
7. Debaran
8. Nyaman
9. Main Hati
10. Bimbang
11. Unforgettable Moment
12. Rencana Jahat Clara
13. Kejadian Tak Terduga
14. Sweet Holiday
15. Kegalauan Alta
16. Masalah Baru
17. Dilema
18. Make Love
19. Cinta Tak Mungkin Berhenti
20. Puncak Amarah
21. Nyanyian Suara Hati
22. Kenyataan Pahit
23. Akhir Dari Cerita
24. Perpisahan
SEASON II : 1. Kehidupan Baru
2. Sedikit Perhatian
3. Kontrak Kerja
4. Welcome to Jakarta
5. Rindu Yang Kembali Datang
6. Cinta Lama Bertemu Kembali
7. Pertemuan Tak Terduga
8. Sedih Tak Berujung
9. Denganku Lebih Indah
10. Pengakuan
11. Kejutan (Lagi)
12. Untukmu Aku Bertahan
13. Kembali Pulang
14. Keputusan Vian
15. Kebahagiaan Kemal = Kesedihan Vian
16. Semakin Rumit
17. Reuni (I)
18. Reuni (II)
19. Ku Dengannya Kau Dengan Dia
20. Renungan Cinta
21. Amarah Dito
22. Bandung dan Sejuta Penyesalan
24. Sebuah Rasa
25. Gundah Gulana
26. Tujuh Bulanan
27. Rahasia Yang Terkuak
28. Tanda Tanya
29. Kamu Jahat
30. Patah Hati
31. Maafkan Aku Mencintai Suamimu
32. Coming Out
33. Pamit
34. Selamat Jalan Kekasih
35. Di Pintu Surga
Epilog

23. Tak Semudah Yang Dibayangkan

3.4K 281 101
By Wilonayunda

"Kenapa makanannya cuma diaduk-aduk aja, sih? Nggak suka? Atau mau aku pesenin menu lain?"

"Nggak usah, Piu. Ini aja belum habis."

"Terus? Kenapa cuma diaduk-aduk? Mau aku suapin?"

"Makin ngaco deh. Apa kata orang, kalau kita suap-suapan di sini?"

"Kalau gitu dimakan dong! Jangan cuma diaduk-aduk aja."

"Iya."

Obrolan Vian dan Dito berhenti sampai di sana. Namun tidak pada pandangan Dito. Laki-laki itu jelas tahu jika Vian bukan hanya tak bersemangat dengan makanannya, tapi ada hal lain yang sedang disembunyikan Vian darinya.

Sepulangnya dari lokasi pembangunan hotel, Dito mengajak Vian untuk makan siang berdua--yang sebenarnya sudah lewat dari jam makan siang. Mereka baru kembali dari proyek menjelang petang dan baru sempat makan setelah Dito memaksa Vian menyudahi pekerjaannya.

Dan sudah sejak setengah jam yang lalu, Vian hanya diam dengan wajah yang dipenuhi beban berat. Bukan hanya sejak setengah jam yang lalu saja Dito menyadari kemurungan di wajah Vian, tapi sejak mereka bertemu tiga hari yang lalu. Sepulangnya Vian dari Bandung.

Dito juga menyadari jika Vian terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan. Bahkan di lokasi proyek, dialah yang lebih banyak memberikan instruksi pada para pekerja Dito. Padahal, tugas itu adalah sepenuhnya tanggung jawab Dito.

Meski begitu, Dito tak pernah melarang Vian melakukannya karena Dito tahu jika Vian membutuhkan pengalihan dari masalah yang sedang dihadapinya saat ini.

"Kamu ada masalah apa, sih? Sejak pulang dari Bandung, mukamu itu persis kertas lecek?" tanya Dito.

Vian mengangkat kepalanya dan memandang Dito dengan tatapan kosong lalu tersenyum tipis pada laki-laki itu. Sesaat dia hanya diam tanpa membuka suaranya dan membiarkan Dito menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Nggak ada apa-apa, kok. Aku cuma lagi nggak nafsu makan aja," elak Vian.

Dito menaikkan alisnya dan sama sekali tak percaya dengan ucapan Vian padanya. Dari raut wajahnya, terlihat sekali jika ada banyak hal yang sedang disembunyikan Vian darinya.

"Apa menurut kamu, aku percaya sama kata-katamu itu?"

Vian menghela napas berat dan lagi-lagi memberikan tatapan kosong pada Dito. Dia tidak tahu apakah penting memberitahu Dito tentang kejadian tiga yang hari lalu di Bandung. Sementara dia sendiri telah merasa menghianati kepercayaan laki-laki itu padanya.

"Kalau aku cerita, memang kamu bisa selesain masalah yang aku hadapin? Aku yakin kamu nggak akan bisa bantu. Apalagi, ini ada hubungannya sama Kemal," jawab Vian akhirnya.

Lagi-lagi Dito menaikkan satu alisnya penuh tanda tanya. Kerutan di dahinya terlihat semakin berlipat-lipat.

"Dia kenapa?" tanya Dito bingung.

Vian menggeleng dan kembali diam. Dia juga mengalihkan tatapannya dari Dito dan lebih memilih untuk melihat ke luar jendela restoran. Menatap ke sembarang tempat.

"Dia baik-baik aja ...," jawab Vian sekenanya, "... tapi nggak denganku," katanya lagi.

Dito semakin tak paham dengan ucapan Vian yang hanya sepotong-sepotong tanpa memberikan penjelasan yang jelas padanya.

"Aku nggak paham," jawab Dito. Vian berpaling padanya dan tersenyum tipis pada Dito.

"Nggak papa, aku juga bingung gimana jelasinnya sama kamu," ujar Vian lalu membenahi duduknya. "Balik aja, yuk! Aku bosen di sini," pintanya.

"Ya udah. Kita pulang sekarang," kata Dito yang akhirnya menyerah dengan permintaan Vian.

Setelah membayar makanan dan meninggalkan restoran, Dito pun melajukan mobilnya menuju apartemen Vian.

Selama di perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan selain membahas mengenai kemacetan jalanan Jakarta petang itu. Hingga mereka tiba di apartemen Vian, sejam kemudian.

"Masuk!" ajak Vian begitu pintu apartemennya terbuka. "Kamu nunggu bentar nggak papa, 'kan? Aku mau mandi dulu, gerah banget," katanya lagi setelah melepaskan sepatunya.

"Kamu yakin nyuruh aku nunggu? Emang, Kemal nggak ke sini?" tanya Dito seraya melangkahkan kakinya mengikuti Vian yang masuk ke dalam ruang tamu.

"Nggak ada. Pulang dari Sentul, dia mau langsung ke Bekasi. Ada perlu sama Bang Arman katanya," jawab Vian yang sedang menggulung lengan kemejanya hingga siku.

"Oh ..., ngomong-ngomong, gimana kabarnya Bang Arman? Aku jarang ketemu dia akhir-akhir ini," tanya Dito lagi yang kemudian duduk di sofa tanpa dipersilakan oleh Vian.

"Bang Arman, baik. Dia lagi sibuk ngurus kerjaan di Bengkulu. Dua minggu lagi 'kan dia tunangan. Jadi, dia sibuk banget dan jarang ada di kantor," jawab Vian.

"Pantes jarang ketemu dia. Biasanya sih sering nggak sengaja ketemu di parkiran kantor," balas Dito. Vian tersenyum kecil seraya mengangguk paham.

"Aku mandi dulu ya," pamit Vian.

"Jangan lama-lama."

"Iya," jawab Vian yang kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Dito menuju kamar mandi.

⚫⚫⚫

Dua puluh menit berselang, Vian pun akhirnya selesai membersihkan diri dan menghampiri Dito yang terlihat sedang sibuk dengan iPad-nya.

"Lama ya, nunggunya?" tanya Vian seraya duduk di samping Dito dan meletakkan secangkir kopi di meja. "Aku bikinin kamu kopi, minum gih!" katanya lagi.

"Taruh aja di situ! Nanti aku minum," jawab Dito tanpa mengalihkan tatapannya dari layar iPad miliknya.

"Ada masalah apa? Kok, kayaknya serius banget lihatin iPad?" tanya Vian penasaran karena melihat raut wajah Dito yang nampak serius.

"Nggak ada. Cuma nyuruh Davin ngecek kerjaan. Ada klien baru dari luar pulau," jawab Dito.

"Oh ...," ucap Vian lalu terdiam dan tak lagi bertanya hal lain. Dia lebih memilih untuk menyalakan televisi seraya menunggu Dito menyelesaikan pekerjaannya.

Beberapa detik berlalu dalam diam, Dito pun akhirnya menyadari jika Vian juga ikut terdiam dan kembali murung seperti tadi. Dito menghela napasnya karena ikut lelah melihat kemurungan di wajah Vian.

Dia pun memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya dan meletakkan iPad-nya ke atas meja. Lalu dengan lembut meraih pundak Vian dan membawa laki-laki itu ke dalam pelukannya.

"Apa kamu bakal terus diem dan simpen masalah kamu itu sendirian?" tanya Dito lembut. "Seenggaknya, cerita apa yang sebenernya terjadi. Aku bingung kalau kamu diem kayak gini. Dari tadi murung terus. Kamu berantem sama Kemal?"

Vian menggelengkan kepalanya lalu memelukkan lengannya di perut Dito dan menyandarkan kepalanya di dada laki-laki itu seraya memejamkan matanya.

"Enggak ...," jawab Vian. "Kenapa kamu bisa mikir kalau aku berantem sama dia?" tanya Vian balik.

"Hmm ... feeling aja sih. Nggak biasanya juga kamu kayak gini. Bukannya kalian ke Bandung barengan, kemarin? Kenapa pulang-pulang kamu murung gitu? Kamu nggak diperkosa sama dia, 'kan?" tanya Dito dengan alis menyatu.

"Hampir sih ...," jawab Vian seraya menggigit bibir bawahnya. Refleks, Dito menegakkan tubuh Vian dan menatapnya galak.

"Jangan becanda!" ucap Dito sedikit membentak.

"Aku nggak becanda, Piu. Aku hampir lakuin itu sama Kemal!" Vian pun balas membentak agar Dito percaya dengan ucapannya.

"A-apa?!"

Dito hampir tak percaya dengan pendengarannya jika saja dia tidak melihat keseriusan di wajah Vian. Apalagi setelah melihat anggukan kepala Vian padanya, Dito pun semakin gusar dibuatnya.

"Malam itu kita kebawa suasana," ucap Vian lirih.

Kebenaran yang coba ditutupinya dari Dito tiga hari yang lalu, akhirnya tercetus juga dari bibirnya. Vian benar-benar tidak bisa menyembunyikan hal itu dari Dito barang sebentar saja. Semakin dia menutupinya, hatinya semakin tidak tenang.

"Jadi ini, yang bikin kamu murung tiga hari belakangan?" tebak Dito.

Vian mengangguk lirih dan menatap Dito dengan tatapan penuh penyesalan. "Sebenernya aku mau rahasiain ini dari kamu, karena aku tahu reaksi kamu bakal kayak apa kalau aku kasih tahu. Tapi, ternyata aku nggak bisa simpen ini sendirian," ujar Vian.

Dito menghela napasnya dan kembali membawa Vian dalam pelukannya. Dia tahu jika Vian merasa bersalah padanya. Dia pun mengerti mengapa laki-laki itu begitu murung sepulangnya dari Bandung.

"Harusnya, kemarin aku nggak ijinin kamu pergi sama dia. Kalau kayak gini, aku jadi khawatir kamu diapa-apain lagi sama Kemal," gumam Dito dengan nada sebal. "Aku nggak ikhlas kamu disentuh sama dia," katanya lagi.

"Ck ..., kamu terlalu lebay, Piu. Aku sama Kemal nggak lakuin apa-apa kok, selain ciuman bibir."

"Justru itu yang aku khawatirin. Awalnya cuma ciuman bibir. Tapi lama-lama berlanjut ke yang lain. Apalagi kalau suasananya mendukung," kata Dito. "Buktinya, kamu bisa kebawa suasana. Bisa jadi, besok-besok kalian lebih dari sekadar ciuman bibir," gerutunya lagi.

"Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Vian yang langsung melepaskan diri dari pelukan Dito dan menatapnya lekat-lekat.

Dito balas menatap Vian dan menelusuri wajah laki-laki itu dengan tatapannya, lalu tersenyum kecut setelah itu.

"Aku percaya sama kamu, tapi nggak sama Kemal. Aku ijinin kamu pergi sama dia, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya sentuh kamu, meskipun dia itu pacar kamu. Kamu pasti tahu kalau cemburu itu nggak enak." ucap Dito kesal.

"Iya, aku tahu. Tapi, apa menurutmu aku nggak cemburu juga. Waktu kamu pulang ke rumah dan di sana ada istrimu yang nunggu kamu? Aku juga nggak tahu kamu ngapain aja sama Ines. Jadi udahlah, nggak usah posesif gitu!" balas Vian dengan bibir mengerucut.

"Loh, kok jadi aku lagi yang salah? Kita lagi bahas kamu sama Kemal. Bukan lagi bahas aku sama Ines? Dan lagi, kita udah sepakat nggak akan bahas-bahas rumah tanggaku lagi."

"Iya ... iya, maaf. Kamu juga. Kalau ngomongin soal cemburu, aku tuh jauh lebih cemburu dari kamu. Tapi buktinya, aku nggak pernah protes karena sadar sama posisi aku," jawab Vian yang lagi-lagi menunjukkan wajah sebal.

"Iya deh ... Ya udah aku minta maaf," bujuk Dito. "Janji, nggak akan cemburu lagi. Tapi, kalau Kemal berani sentuh kamu lagi, aku nggak akan tinggal diam. Bakal aku habisin dia!" ucapnya lagi dengan wajah serius.

"Hmm ... nggak usah sok jagoan! Aku sama sekali nggak bangga dibelain sama kamu. Lagian, aku ini orangnya nggak nafsuan kayak kamu. Yang kemarin itu cuma khilaf dan nggak akan aku ulangin lagi. Lagi pula, Kemal pasti akan sakit hati kalau dia tahu aku nolak make love sama dia karena kamu," jawab Vian dengan helaan napas berat.

"Jadi, kamu lebih khawatir sama perasaan Kemal daripada perasaan aku?" tanya Dito kesal.

"Piu, kamu jelas tahu bukan itu maksudku! Kalau aku nggak jaga perasaan kamu, mungkin aku nggak akan sesedih ini karena merasa nggak pantes dicintai sama kalian berdua. Mungkin aku juga nggak akan sepusing ini buat hindarin Kemal!" balas Vian yang tak kalah kesal.

Dito menatap haru dan tersenyum lembut pada Vian lalu kembali memeluknya dan menciumi keningnya. Amarah yang sempat muncul di hatinya sirna saat melihat wajah putus asa Vian.

"Maaf, Miu. Aku nggak ada maksud buat bikin kamu kesal. Aku cuma cemburu," ucap Dito membujuk. Vian pun mengangguk dalam pelukan Dito dan semakin merapatkan tubuhnya di pelukan laki-laki itu.

"Udah, jangan bahas itu lagi. Aku lagi nggak pengen berantem sama kamu. Aku ngomong jujur sama kamu, bukan untuk denger perasaan cemburu kamu atau apalah itu. Karena kalau ngomongin soal cemburu, nggak akan ada habisnya. Ujung-ujungnya, kita berdua pasti berantem," jawab Vian.

"Ya udah, sekarang kamu bilang, apa yang bikin kamu tetep murung? Kamu udah jujur sama aku. Aku juga udah nggak marah, 'kan? Apa lagi yang masih ganjel di hati kamu?" selidik Dito yang masih belum menyerah untuk membuat Vian berkata jujur padanya.

Vian menghela napas panjang lalu melepaskan diri dari pelukan Dito dan menyandarkan punggungnya ke atas sandaran sofa. Dia juga kembali melihat pada layar televisi yang masih tetap menyala dan sejujurnya tidak fokus ditontonnya sejak tadi.

"Aku mau jujur sama Kemal kalau aku nggak cinta sama dia. Aku nggak mau nambah kebohongan ini lagi. Kasihan Kemal. Aku khawatir, dia tahu soal hubungan kita dari orang lain. Aku nggak bisa bayangin, gimana reaksi dia kalau sampai nanti dia tahu," kata Vian kemudian.

"Apa kamu yakin sama keputusanmu itu?" tanya Dito sangsi dan sedikit tidak setuju dengan ide Vian.

"Aku rasa, udah saatnya aku jujur. Aku nggak tahan terus bohong sama dia. Kemal nggak pantes dapetin aku. Dia berhak dapet yang lebih baik dari aku," ucap Vian lirih.

Dito menghela napas berat dan ikut mengalihkan tatapannya pada layar televisi yang dia sendiri tidak tahu acara apa yang sedang mereka tonton saat ini.

"Aku nggak tahu harus seneng atau sedih dengernya," komentar Dito lirih. "Jujur, ada perasaan seneng, tapi juga sedih. Harusnya kalian nggak sampai kayak gini, kalau aja kamu nggak nerima Kemal jadi pacarmu," ucapnya lagi.

"Nggak usah ngeledek! Bilang aja kalau kamu seneng akhirnya aku putus sama Kemal. Bukannya dari awal, kamu terus nyuruh aku putus sama dia?!" jawab Vian ketus.

"Siapa yang ngeledek? Aku cuma ungkapin apa yang ada di kepalaku sekarang. Salahnya di mana?"

Vian memutar bola matanya lalu mendengus sebal. Apalagi saat mengalihkan tatapannya pada Dito, jelas sekali jika dia tidak senang dengan pembahasan mereka kali ini.

"Jangan pura-pura deh! Kamu pasti masih inget kalau aku pernah nantang kamu buat buktiin siapa di antara kita yang tahan sama keadaan yang kayak gini. Dan nyatanya sekarang, aku sendiri yang kalah. Kamu menang. Puas!" ucap Vian gemas karena Dito berpura-pura tak memahami ucapannya.

Dito mengulum senyumnya, lalu menggeser duduknya agar semakin dekat dengan Vian. Dengan lembut, dia mengusap pipi laki-laki itu dan menatapnya dengan tatapan penuh cinta.

"Kamu salah, Miu. Justru kamulah yang udah menangin hatiku. Sampai detik ini, kamu masih mau pertahanin cinta kita, yang bahkan aku sendiri pun belum tentu sanggup jika ada di posisi kamu sekarang. Harusnya, kamu bisa bahagia sama orang lain dan ninggalin aku kalau kamu mau. Tapi nyatanya, kamu nggak lakuin itu dan lebih milih buat pertahanin aku yang jelas-jelas nggak lebih baik dari Kemal," ucap Dito. Vian menghela napasnya dan balas menatap Dito dengan tatapan penuh arti.

"Aku sendiri juga heran, kenapa aku mau pertahanin kamu. Padahal, Kemal juga nggak kalah ganteng dari kamu. Dia juga baik dan perhatian. Nggak ada kurangnya dari dia. Bukan suami orang pula," jawab Vian seraya mengulum senyumnya.

"Hmmm ... sindir terus, nggak papa kok. Anggep aja aku nggak denger," balas Dito dengan wajah sebal.

Vian terkekeh kecil lalu menciumi pipi Dito dengan gemas, kemudian menggelayut manja di lengan laki-laki itu.

"Becanda, Piu. Gitu aja ngambek?" godanya yang kembali terkekeh kecil lalu kembali menegakkan badannya dan mengecup bibir Dito sekilas. "Temenin aku masak bentar ya, sebelum kamu pulang. Aku laper," pinta Vian setelah melihat senyuman di bibir Dito.

"Tuh, 'kan? Tadi diajakin makan cuma diaduk-aduk doang. Sekarang ngeluh laper."

"Tadi emang aku nggak nafsu makan, Piu. Baru sekarang ngerasa lapernya," ucap Vian lalu ikut-ikutan memasang wajah sebal. "Sebenernya kamu mau nemenin nggak? Kalau nggak mau, ya udah. Kamu pulang sana!" katanya ketus.

"Iya ... iya, aku temenin. Nggak usah cemberut gitu dong," jawab Dito seraya menoel dagu Vian yang segera ditepis oleh laki-laki itu dengan bibir yang terus menggerutu tak jelas. Dito terkekeh lalu mengecup pipi Vian dengan gemas. "Ya udah sana, kamu masak! Aku numpang mandi dulu," ucap Dito tersenyum lembut. Vian balas tersenyum lebar lalu mengangguk penuh semangat pada Dito.

"Temenin makan juga, ya!" pintanya sekali lagi.

"Iya, Sayaaang ...," jawab Dito sambil mencubit hidung mancung Vian.

Vian terkekeh lalu melangkah menuju dapur dan dengan bersemangat menyiapkan bahan masakan dari dalam kulkas.

Setelah menceritakan kegelisahan hatinya pada Dito, hati Vian sedikit lebih lega. Dia juga semakin yakin untuk berkata jujur pada Kemal agar tidak ada lagi yang perlu dia tutup-tutupi dari laki-laki itu tentang perasaannya.

⚫⚫⚫

Dua hari setelah bercerita pada Dito mengenai keinginannya untuk memutuskan Kemal, Vian pun baru memiliki kesempatan untuk membicarakannya dengan laki-laki itu hari ini.

Itu pun setelah meminta waktu pada Kemal di sela-sela kesibukannya selama dua hari ini pulang-pergi Bekasi-Jakarta karena membantu persiapan pertunangan Arman--sepupunya.

"Mau ngomongin apa, Hun? Kalau ini soal kejadian di Bandung kemarin, lebih baik nggak usah dibahas lagi, oke! Kita lupain soal itu dan anggep nggak pernah terjadi apa-apa. Aku ngerti kok kalau kamu belum siap," ucap Kemal mengawali obrolan mereka berdua.

Keduanya baru kembali dari nonton bioskop dan makan malam berdua. Dan saat ini, mereka masih berada di dalam mobil Kemal yang terparkir di basement gedung apartemen Vian.

Keduanya bahkan belum keluar dari mobil saat memulai obrolan, karena Kemal sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya ingin Vian bicarakan dengannya.

Sepanjang perjalanan mengantarkan Vian pulang ke apartemennya tadi, mereka juga tak banyak bicara dan hanya sesekali membahas persiapan rencana pertunangan Arman. Itu pun hanya basa-basi Vian saja agar tidak terlihat tegang saat berada di dalam mobil.

Padahal sejatinya, Vian sedang berusaha mengalihkan kegelisahan di hatinya tentang apa yang ingin dia sampaikan pada Kemal.

Sebelum membalas ucapan Kemal, Vian terlihat menarik napas panjang. Perasaan gugup tiba-tiba menyerangnya. Untuk menelan ludahnya saja dia merasa kesulitan. Seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya saat ini.

"Sayangnya, aku nggak bisa lupain kejadian itu begitu aja, Kè," jawab Vian dengan tatapan sedih. "Aku udah buat kamu merasa bersalah. Padahal, kamu sama sekali nggak salah. Aku yang kasih kesempatan sama kamu dan biarin keadaan ini terus berlarut-larut," ucapnya lagi.

Kemal mengerutkan keningnya karena merasa tak paham dengan maksud perkataan Vian padanya.

"Kamu ngomong apa sih, Hun? Aku sama sekali nggak ngerti. Apanya yang berlarut-larut? Kita nggak ada masalah apa-apa 'kan dari seminggu kemarin?" tanya Kemal kebingungan.

"Bukannya dari kemarin kita juga ngobrol kayak biasanya, dan ketemu pun nggak berantem. Ya ..., biarpun aku tahu kalau kamu sedikit lebih pendiam sejak pulang dari Bandung. Tapi aku sama sekali nggak marah sama kamu. Aku beneran udah lupain kejadian malam itu. Jadi, aku anggap semuanya baik-baik aja. Nggak ada masalah," ujar Kemal yang tetap saja mengira jika Vian masih kepikiran dengan kejadian di Bandung.

Lagi-lagi Vian harus menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia butuh banyak keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Kemal. Tidak mudah bagi Vian karena Kemal sepertinya tak mau ambil pusing dengan kegelisahan yang dirasakannya saat ini.

"Aku minta maaf, Kè. Aku rasa, aku nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi. Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini," ucap Vian lirih.

Kalimat itu akhirnya terlontar juga dari bibir Vian setelah dia berhasil mengumpulkan semua keberaniannya. Dia tahu jika Kemal sangat terkejut mendengar ucapannya. Namun Vian berusaha bersikap tenang dan tak terpengaruh dengan keterkejutan Kemal.

"Maksud kamu?" tanya Kemal bingung.

"Aku ... mau kita putus, Kè. Maafin aku."

Kemal menggeleng tak setuju. Dia juga terlihat gusar setelahnya. Dadanya bergemuruh hanya karena mendengar satu kata yang tak ingin didengarnya dari Vian.

Selama ini, hanya hal itulah yang dia takutkan dari Vian. Dia tidak ingin laki-laki itu memutuskannya. Susah-payah Kemal meyakinkan Vian agar mau menerimanya dan tak ingin perjuangannya sia-sia hanya karena satu kata 'putus' dari Vian.

"Nggak, Hun. Kamu pasti nggak serius, 'kan? Kamu pasti cuma merasa bersalah sama aku, makanya kamu ngomong gitu?" ucap Kemal yang sudah memiringkan badannya menghadap Vian dan mengguncangkan bahu laki-laki itu.

"Aku serius, Kè!" tegas Vian.

Kemal menggelengkan kepalanya. Dia tetap tak percaya dengan kata-kata Vian--lebih tepatnya, tak ingin memercayainya. Dia berusaha keras untuk menyangkal keinginan Vian yang minta putus darinya.

"Tapi, apa alasannya? Bukannya masalah yang kemarin itu udah clear?" tanya Kemal bingung.

Vian terdiam sesaat dan mengalihkan tatapannya pada Kemal dan tak ingin memandang laki-laki itu. Ada rasa tak kuasa melihat kesedihan di mata Kemal dan sedikit kekecewaan di sana. Vian takut jika hatinya kembali luluh dan membuat semuanya lebih rumit lagi.

"Aku minta maaf, Kè. Aku nggak mau terus ngasih kamu harapan palsu. Kamu berhak dapetin seseorang yang lebih baik dari aku," ucap Vian lirih.

"Nggak, Hun. Aku nggak mau. Bagiku, yang terbaik buat aku sekarang ini ya cuma kamu. Aku nggak mau yang lain!" tolak Kemal.

"Tapi aku nggak bisa cinta sama kamu, Kè! Aku udah coba, tapi tetep nggak bisa!" jawab Vian sedikit membentak. Dia merasa kesulitan untuk meyakinkan Kemal agar mau mengerti dengan keputusannya.

Kemal menggeleng tak setuju dan tetap berkeras dengan keinginannya untuk mempertahankan hubungannya dengan Vian.

"Hun, please ... jangan minta kita putus! Aku nggak akan maksa kamu buat cinta sama aku sekarang. Suatu saat kamu pasti bisa. Aku udah janji buat bahagiain kamu. Kasih aku satu kesempatan lagi. Mungkin usahaku kemarin buat kamu jatuh cinta sama aku masih kurang keras. Besok-besok, aku akan berusaha lebih keras lagi. Aku janji," bujuk Kemal.

Vian menarik napas dalam-dalam. Suasana semakin terasa tak nyaman bagi Vian. Apalagi sejak tadi, mereka masih berada di dalam mobil dan belum keluar dari sana semenjak setengah jam yang lalu.

"Tapi, buat apa kita memaksakan sesuatu yang jelas-jelas nggak bisa kita lakuin, Kè? Usahamu akan sia-sia nantinya. Cinta itu nggak bisa dipaksa, Kè. Kamu pasti tahu itu," sanggah Vian.

"Iya, Hun, aku tahu. Tapi, apa salahnya kita berusaha? Aku sama sekali belum mau menyerah buat dapetin cinta kamu. Nggak penting gimana masa lalu kamu atau dengan siapa kamu dulu pacaran, aku akan tetap cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu, Hun. Aku nggak mau kita putus hanya karena masalah kecil. Kamu pikirin lagi keputusan kamu itu. Aku yakin kamu cuma emosi sesaat karena kejadian kemarin. Sebelum ini, kita masih baik-baik aja dan nggak ada sesuatu yang buat hubungan kita berdua renggang. Jadi, jangan minta aku buat putusin kamu. Karena sampai kapan pun nggak akan pernah aku kabulin," ucap Kemal yang terus meyakinkan Vian agar tak meminta putus darinya.

Vian tak lagi mampu berkata-kata. Dia pun tak sanggup memberitahu Kemal jika sampai kapan pun, dia tidak akan pernah bisa mencintai Kemal. Karena seluruh hatinya, telah dia berikan pada Dito seorang.

"Tapi, Kè--"

"Sst ... udah, jangan bahas lagi. Keputusanku bulat. Aku tetep nggak mau kita putus. Sekarang ayo, aku akan antar kamu sampai apartemen!" potong Kemal yang segera membuka pintu mobilnya lalu berputar ke sisi sebaliknya dan membukakan pintu untuk Vian.

Vian hanya bisa menghela napas pasrah karena kekeraskepalaan Kemal. Dia juga tak bisa mencegah Kemal saat laki-laki itu menggandeng tangannya keluar dari mobil dan mengantarnya sampai masuk ke dalam lift menuju kamar apartemennya.

Selama berada di dalam lift, Kemal sama sekali tak ingin melepaskan genggaman tangannya. Raut wajahnya juga terlihat sangat tegang sampai Vian tak berani mengusiknya.

"Kè--"

"Hun, udah! Aku mohon, jangan mulai lagi! Aku nggak mau dengar apa pun dan bahas masalah ini lagi!" potong Kemal sebelum Vian kembali membahas tentang keinginannya untuk meminta putus.

Vian kembali menghela napasnya. Dia bungkam dan tak ingin lagi menambah kemarahan di wajah Kemal yang dia tahu akan segera meledak jika dia terus mendesaknya.

Vian juga tahu, jika sejak tadi Kemal menahan amarahnya dan tetap bersikap lembut padanya serta tak ingin jika dirinya semakin merasa bersalah.

Padahal jelas-jelas, Vian bisa melihat raut kesedihan dan terluka di mata laki-laki itu, tetapi terus saja disangkal oleh diri Kemal sendiri.

Sesampainya di depan pintu apartemen Vian, Kemal melepaskan genggaman tangannya dan membantu Vian membuka pintunya.

Setelah pintunya terbuka, Kemal segera membukanya lebar-lebar dan menyuruh Vian masuk dengan isyarat kepalanya. Vian menurut, lalu melangkah masuk ke dalam.

"Kamu nggak ikut masuk juga, Kè?" tanya Vian yang kemudian berbalik, begitu dia menyadari jika Kemal masih tetap berdiri di ambang pintu.

Kemal tersenyum dan menggelengkan kepalanya pada Vian lalu meraih kedua tangan Vian untuk digenggamnya. Tatapan matanya juga berubah sayu ketika menatap Vian.

"Aku langsung pulang aja. Aku tahu kamu butuh waktu sendiri buat mikirin semua ini dengan kepala dingin," ucap Kemal lembut seraya mengusap pipi Vian.

Vian mengangguk ragu-ragu, meski dia yakin jika tak ada lagi yang harus dia pikirkan karena dia sudah mengambil langkah yang benar.

Hanya saja, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Kemal setelah ini. Karena laki-laki itu jelas tidak setuju dengan keputusannya.

"Kalau gitu, hati-hati di jalan," ucap Vian. Kemal mengangguk lalu tersenyum lembut padanya.

"Sekalian aku mau pamit. Besok pagi aku mau berangkat ke Bengkulu selama tiga hari buat cek pekerjaan Bang Arman. Dia minta aku ke sana buat lihat perkembangan pembangunan rumah sakit yang dia kerjain. Soalnya, minggu ini Bang Arman sibuk ngurus persiapan pertunangannya," ucap Kemal.

"Iya, kamu hati-hati. Tadi Bang Arman juga udah kasih tahu aku di kantor. Jaga kesehatan selama di sana. Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu," balas Vian. Kemal mengangguk dan tersenyum lembut padanya.

"It's okey, Hunny. Aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Aku juga mau kasih waktu selama tiga hari itu buat kita break dan saling introspeksi diri. Setelah aku pulang nanti, aku harap semuanya bisa kembali seperti awal lagi dan melupakan semua obrolan kita malam ini. Aku sayang banget sama kamu, Hun. Aku nggak mau kehilangan orang terbaik dalam hidupku," ujar Kemal yang kembali mengusap pipi Vian.

"Aku nggak sebaik yang kamu pikir, Kè. Aku ini orang jahat. Aku udah nyakitin kamu dan gantungin perasaan kamu selama ini," gumam Vian lirih.

"Sst ... udah. Aku sama sekali nggak anggep kamu begitu. Aku tulus cinta sama kamu, Hun. Jadi jangan salahin diri kamu sendiri. Sampai kapan pun, aku akan tetap sabar nunggu kamu buka pintu hati kamu buat aku. Dan jika saat itu tiba, aku janji. Aku akan jadi pria terbaik dalam hidup kamu."

Vian tersenyum kecut dan hanya bisa mengangguk lirih atas perkataan Kemal. Vian merasa jika dirinya begitu jahat karena telah menyia-nyiakan orang sebaik dan setulus Kemal.

Tapi sekali lagi, cintanya pada Dito tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Nama Dito terlalu kuat tertanam di hatinya dan tidak ada siapa pun yang mampu mencabutnya dari sana.

"Makasih, Kè," jawab Vian akhirnya.

Hanya kalimat itu saja yang mampu dia ucapkan di antara rasa sesak di dadanya karena menahan tangis.

"Ya udah, aku pulang dulu. Besok pagi, anterin aku ke Bandara, ya? Aku nggak mau pergi sebelum lihat senyuman kamu," pinta Kemal.

"Iya, besok aku anter," jawab Vian tersenyum tulus.

Kemal mengangguk lalu mendekatkan dirinya pada Vian, kemudian mencium kening Vian lama. Vian pun memejamkan matanya saat menerima kecupan lembut itu.

"Kamu istirahat sana. Besok pagi aku bangunin. Jangan mikir yang macem-macem, oke! Aku pulang dulu. Love you," pamit Kemal seraya menangkup kedua pipi Vian. Vian mengangguk dan tersenyum pada Kemal.

"Hati-hati!" pesan Vian sebelum Kemal pergi tanpa menjawab ungkapan cinta Kemal.

"Always, Hunny."

Setelah berucap demikian dan tersenyum sekali lagi pada Vian, Kemal pun berbalik menuju pintu. Langkah kakinya terasa berat, seolah enggan meninggalkan Vian seorang diri malam ini. Tapi Kemal tak ingin membuat suasana hati Vian semakin keruh.

"Kè ...!" panggil Vian sebelum Kemal keluar dari pintu apartemennya.

Kemal membalikkan badannya dan memandang Vian dengan tatapan bingung. Apalagi saat melihat raut kesedihan di wajah Vian, membuatnya semakin khawatir dan enggan pergi dari sana.

"Ada ap--"

Belum sempat Kemal menyelesaikan kalimat tanya-nya, dia sudah dikejutkan dengan pelukan Vian yang tiba-tiba berhambur ke arahnya.

Laki-laki itu memeluknya dengan erat seolah mereka tak akan pernah bertemu lagi setelah ini.

"Hun, kamu kenapa?" tanya Kemal bingung, karena Vian hanya diam seraya memeluknya.

Kemal pun akhirnya ikut diam dan membiarkan Vian memeluknya sampai puas dan lega.

Kemal tahu jika ada banyak hal yang mengganjal di hati Vian. Itu sebabnya dia membiarkan Vian memeluknya dan dia pun balas memeluk punggung tegap Vian agar bisa lebih tenang.

"Hun ...?" panggil Kemal setelah lima menit berlalu dan Vian belum juga melepaskan pelukannya.

Vian yang sejak tadi memejamkan matanya saat memeluk Kemal, kini mulai membuka matanya dan melepaskan diri dari pelukan Kemal lalu tersenyum pada laki-laki itu.

"Maaf ...," ucap Vian lirih dengan kepala tertunduk.

Kemal menaikkan satu alisnya karena merasa tak paham mengapa Vian meminta maaf padanya.

"Maaf buat apa, Hun?"

Vian mendongakkan kepalanya dan menatap tepat di kedalaman mata Kemal.

"Maaf buat semuanya," jawabnya penuh arti.

Kemal mengerutkan keningnya seolah berpikir. Tetapi tak lama, dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum lembut pada Vian.

"Aku udah maafin kamu, bahkan sebelum kamu minta sekalipun," ujar Kemal.

"Terima kasih."

Kemal kembali mengangguk lalu menepuk pipi Vian dengan lembut seraya menyunggingkan senyum terbaiknya.

"Ya udah, bobok sana! Aku pulang dulu. Good night," ucap Kemal lalu mencium pipi Vian.

"Night too," balas Vian tersenyum lirih.

Setelah itu, Kemal pun beranjak pergi dari apartemen Vian tanpa berbalik lagi dan membiarkan laki-laki itu terpaku seorang diri.

Sepeninggalnya Kemal, Vian hanya bisa menarik napas berat dan dalam karena menyadari jika hubungannya dengan Kemal ke depan akan semakin berat dan semakin bertambah rumit. Tak semudah yang Vian bayangkan sebelumnya.

"Kamu mungkin nggak akan bisa maafin aku, kalau tahu siapa sebenarnya orang yang udah membuatku nggak bisa terima cinta kamu, Kè," gumam Vian sebelum akhirnya dia menutup pintu apartemennya, kemudian mematikan seluruh lampu ruangan.

Menyisakan kegelapan di setiap sudut apartemennya serta membiarkan kesunyian menemani malamnya.

⚫⚫⚫


TBC


Hai ... Apa kabar semua?

Maaf ya, lagi-lagi Lona telat update.

Mumpung masih dalam suasana Idul Fitri (moga-moga belum telat) Lona mau ucapin Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H, buat semua readers yang merayakannya.

Taqabballahu minna waminkum taqabbal Ya Kariim. Ja'alanallahu minal aidzin wal faidzin.

Thank you 😊

Continue Reading

You'll Also Like

658K 46.7K 63
September 8th, 2019 #1 FantasiRomance #1 Pemberontakan #1 Kerajan #1 Kudeta #1 Emperor #1 Ambisi [WARNING ⚠ BACALAH SELAGI ON-GOING, KARENA APABILA C...
63.4K 10.7K 40
Edisi BeckFreen...
1.4K 71 21
Rival bercerita tentang seorang siswa teladan bernama Rizal yang harus terlibat konflik dengan seorang siswa baru bernama Adam. Konflik tersebut dise...
44.7K 4.5K 22
Judul asli : 白蓮女配她翻車了 Penulis : 穿越重生 Status : Selesai *** Dalam novel "The Ruthless Love of Giants and CEOs", protagonis pria Jiang Qianchen memiliki...