The Ex [Completed]

By rafixp

770K 64.9K 2.1K

"Masih doyan flashback? Norak. Kenangan itu adanya di belakang. Kalau kangen, lirik aja lewat spion. Nggak us... More

It's Over
Luna is....
Double Ex
Move On
Ask.fm
(Ir)replaceable
Once Upon A Day
Chemistry
Fall For Somebody Else
Holiday
Artara's 41th (1)
Artara's 41st (2)
Artara's 41st (3)
Sticky Notes
Love Will Find Its Way
There He Goes
One Step Closer
With You
Behind the Camera
Bike
Disaster
Flashlight
Here We Are
Is it too late now to say sorry?
Firework
The More I Try to Stay, The More My Heart Bleed
Strange
A Piece of Cake
Against All Odds
Rollercoaster
How Are You?
It's not The End, It's The Ex
Extra Part
From The Very First
Fuschia
Can't Help Falling in Love
Between Us

The End?

15.2K 1.3K 149
By rafixp


When you're dreaming with a broken heart
The waking up is the hardest part
You roll outta bed and down on your knees
And for a moment you can hardly breathe
Wondering, "Was she really here?
Is she standing in my room?"
No she's not, 'cause she's gone, gone, gone, gone, gone

Dreaming with a Broken Heart - John Mayer

*****


Lantai satu tampak sepi. Beberapa anak kelas dua belas yang datang hanya untuk mengurus berkas-berkas untuk masuk Universitas, sisanya sekedar ingin mengenang masa-masa SMA. Salah satunya Juna. Pagi itu, ia melihat perpustakaan yang baru buka dan buru-buru mencari sesuatu. Sebuah novel, lebih tepatnya. Setelah hampir satu bulan tidak melihat batang hidung Luna, rasanya Juna kangen. Cewek itu tidak mengaktifkan ponselnya, akun-akun sosial medianya mendadak tenggelam. Seolah Luna benar-benar ingin dilupakan oleh seluruh dunia.

Sebenarnya Juna tidak tahu persis duduk permasalahannya. Tahu-tahu ada kabar tentang orangtua Luna yang bercerai. Bahkan ada saja gosip yang mengabarkan Luna bunuh diri, yang tentu saja cukup membuatnya khawatir.

Dibukanya halaman terakhir sambil mencari tempat duduk paling strategis karena beberapa anak kelas sepuluh dan sebelas mulai bermunculan. Juna mengusapnya. Di buku ini, kisahnya dengan Luna berawal. Masa-masa cinta monyet yang konyol, tapi juga yang paling ingin ia kenang sekarang. Sejak kapan, ya, tepatnya ia menyadari bahwa Luna masih tersimpan rapi di hatinya?

Mungkin, waktu Juna memilih untuk meninggalkan Luna, bukan karena cewek itu yang overprotektif. Bukan karena sikap centilnya yang kadang membuat Juna risih. Bukan karena ia otak Luna yang kosong dan kadang bertingkah bodoh. Tapi, karena ia belum tahu ternyata kehilangan Luna bisa sesulit ini. Ia belum tahu bahwa setiap bagian dirinya membutuhkan cewek seperti Luna untuk mengimbangi langkahnya. Kalau saja waktu itu ia lebih bersabar menghadapi cewek itu....

Menolak untuk terus berandai-andai sesuatu yang tidak mungkin terulang, Juna memilih untuk mencoba menata ulang perasaannya. Ia menyobek
lembar terakhir novel itu diam-diam. Melipatnya hati-hati dan memasukkannya ke saku celana. Malam ini, ia harus mencoba membujuk Luna lagi untuk keluar dari kamarnya. Meskipun harus dilempari dengan buku, vas bunga, atau makian sekalipun, ia mau. Asalkan dia orang yang bisa membuat Luna keluar. Sekali saja, dia ingin berada di depan Adrian. Dan kalau Luna menanyakan Adrian, maka dengan senang hati ia akan mencarikan cowok itu, menyeretnya untuk menemui Luna. Adrian, cowok brengsek yang mungkin belum mencoba membujuk Luna. Kemana saja, sih, dia?

Baru saja langkahnya keluar dari perpustakaan, seseorang menepuk bahunya. Juna belum sempat menoleh, ketika orang itu secepat kilat berdiri di hadapannya.

"Juna."

Ia hampir tidak mempercayai matanya sampai cewek di depannya kini melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Cewek itu, Luna, tampak baik-baik saja. Tidak kurang suatu apa pun. Rambut yang dikuncir satu itu masih menyisakan anak-anak rambutnya di sekeliling wajahnya yang tampak berseri-seri. Senyumnya melebar dengan pandangan heran menatap Juna yang terpaku.

Juna bahkan tidak bisa mengedipkan mata. Tidakkah mimpi ini terlalu indah? Kalau ini benar-benar mimpi, Juna berharap tidak ada yang membangunkannya.




*****




Rama tampak gusar, kakinya bergerak-gerak gelisah. Sesekali menyesap secangkir kopi di hadapannya untuk menenangkan diri, tapi sia-sia. Lalu, melihat Anastasia menuruni anak tangga, punggungnya kembali tegak. Matanya menangkap Raka dan Zahira yang mengekor di belakang Anastasia. Ia mendesah kecewa. Sudah pasti Luna tidak akan sudi melihat wajahnya sekarang.

"Papa mau pamit. Besok Papa berangkat," ujarnya setelah keheningan beberapa saat.

Raka yang pertama kali merespon dengan anggukan. "Raka sama Kak Zahira bisa nganter Papa. Jam berapa?"

Rama menggeleng. "Nggak usah. Kalian-"

"Nggak papa, Mas," potong Anastasia. "Tapi, maaf aku nggak bisa ikut," tambahnya.

Ditatapnya wanita itu lekat-lekat. Sebisa mungkin merekam tiap detailnya. Bisa saja ini yang terakhir kali. Bisa saja ketika ia kembali ke Jakarta, wanita itu sudah punya penggantinya. Atau, meskipun tidak ada, mungkin Anastasia tidak akan mau lagi melihat wajahnya. Rama  mengusap wajahnya kasar, baru menyadari sudah lama sekali sejak terakhir bercukur gara-gara sibuk mengurusi perceraiannya.

Kesalahannya delapan belas tahun silam memang tidak akan termaafkan. Delapan belas tahun ini, Anastasia hidup dalam bayang-bayang masa lalu demi melindungi anak-anak mereka, dan setelah anak-anak mereka sudah tumbuh dengan baik, keputusan untuk berpisah adalah keputusan terbaik. Setidaknya untuk Anastasia.

"Kalau begitu, Papa balik ke hotel, ya. Baik-baik kalian. Jaga Mama, ya," pamitnya.

Belum sempat Rama beranjak dari sofa, sebuah suara memanggilnya sehingga ia mendongak menatap ke lantai atas. Luna tampak bersandar di railing tangga.

"Bentar lagi, Pa," ujarnya tergesa-gesa lalu kembali ke kamarnya.

Bentar lagi? Bentar lagi untuk apa? Rama menoleh, meminta jawaban  pada ketiga orang di hadapannya yang kini hanya menatapnya lurus-lurus dengan sudut bibir sedikit terangkat.

"Bentar lagi packingnya selesai. Raka udah beli tiket untuk Luna kemarin, jadi Luna bisa ikut Papa ke hotel dulu, supaya besok bisa bareng!" teriak Luna dari kamarnya. "Gila banyak banget kopernya!" pekiknya lagi.

Rama terkejut. Ia mencoba memproses kalimat Luna. Tapi, sebelum ia menyimpulkan, Anastasia sudah menyela.

"Dia sendiri yang memilih bersama kamu. Jadi, aku titip Luna, ya. Jangan kecewakan aku lagi."

Kalimat Anastasia itu tanpa sadar mengalirkan sesuatu yang hangat. Yang selama ini belum pernah ia rasakan kembali setelah delapan belas tahun rumah tangganya berantakan. Rasanya ingin memeluk Anastasia, mengatakan bahwa ia masih mencintainya, mencintai keluarga ini. Bahwa sejak delapan belas tahun yang lalu, hal terakhir yang Rama inginkan adalah kehilangannya.

Setelah Anastasia dengan terang-terangan meminta cerai, ia pikir akan kehilangan segalanya. Kehilangan hidupnya. Jadi, karena itulah ia memutuskan untuk pergi. Sejauh mungkin, supaya tidak ada keinginkan untuk kembali lagi.

Tapi, sekarang, setelah melihat Luna kerepotan menuruni tangga dengan beberapa kopernya, ia tahu ia tidak akan sendiri. Selama Luna ada di sisinya, ia tidak kehilangan apa pun. Ia masih punya alasan untuk tidak berhenti mencintai Anastasia. Untuk tetap mengingat dan merasakan keberadaan Anastasia dalam diri Luna.




*****



Iya, Manchester. Udah saatnya gue memulai hidup dari awal, kan?

Kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepala Juna sampai rasanya ia telah merapalkannya berkali-kali. Pun jawaban Luna waktu Juna menanyakan berapa lama ia akan di sana.

Nggak tau, belum tau. Yang jelas, nggak cuma satu atau dua tahun.

Rasanya ingin menahan cewek itu, jika saja ia tidak melontarkan alasan yang membuat Juna mengerti. Alasan yang membuat Juna tahu... hidup Luna sudah cukup berat. Tanpa perlu direpotkan dengan kisah percintaannya yang melibatkan Juna. Selama ini, Luna tampak begitu desperate ternyata bukan semata-mata karena patah hatinya.

Papa meninggalkan semua yang dia punya di sini untuk Mama, Zahira, Raka, dan gue. Satu-satunya yang bisa gue lakukan untuk menebus dosa gue ke Papa selama ini, ya, dengan mendampingi Papa dari nol. Memastikan Papa nggak melampiaskan kekecewaannya pada hal lain....

Hari ini, adalah hari yang membuat Juna sadar, dia tidak cukup mengenal Luna. Selama ini... Adrian kah? Adrian yang selalu menjadi tempat bersandar Luna tiap sedih karena masalah di rumah yang tidak pernah Juna tahu itu? Jadi Adrian tidak hanya menggantikan Juna, tapi lebih dari itu?

Ditatapnya sobekan kertas di tangannya. Sobekan kertas yang menjadi saksi bisu kisahnya dengan Luna. Yang tadinya ingin ia berikan pada cewek itu, setidaknya untuk mengenang masa-masa SMA mereka.

Seperti Luna, Juna juga ingin memulai hidup dari awal. Tapi, ternyata definisi memulai hidup dari awal mereka sama sekali berbeda.

Bagi Luna, memulai hidup dari awal adalah menghindar dari orang-orang yang ada di masa lalunya, lalu mencari apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup.

Sedangkan bagi Juna... memulai hidup dari awal adalah sesederhana bangun di pagi hari dengan perasaan telah melupakan masa lalu dan menyusun masa depan. Yang ingin ia lakukan bersama Luna. Setelah mendapat maaf dan kesempatan kedua dari cewek itu, sekalipun harus berlutut dan memohon, dengan beralaskan harga dirinya.

Juna mendengus mendengar ponselnya berdering, mengganggu. Hampir saja dimatikannya sampai ia melihat nama Arvin yang tertera di layar ponselnya. Tumben?

"Luna... berangkat besok?" tanya Juna memastikan, meskipun sebenarnya ia tahu. Bahkan detail pukul keberangkatannya ia hafal karena Luna juga mengatakannya.

"Kayanya gue nggak bisa. Sibuk untuk ngurusin berkas-berkas SNMPTN, Vin. Gue nitip sesuatu aja ya?" bohongnya sambil menimbang-nimbang kertas sobekan di tangannya.

Ia tidak ingin melihat Luna pergi. Tidak ingin terlihat masih membutuhkan cewek itu sehingga nantinya malah memberatkannya. Atau lebih menakutkan lagi jika semakin membuat Luna ingin ditelan bumi demi menghindarinya.

Lebih dari itu... ia sendiri tidak yakin, bisakah Juna menopang Luna seperti Adrian selama ini? Atau ia hanya mencari-cari alasan karena tidak siap jika harus kalah lagi?

Juna menendang pintu kamarnya sampai tertutup dan menimbulkan suara yang keras. Lalu merebahkan tubuhnya dengan kedua tangan dilipat sebagai bantal.

Ia membuang jauh-jauh pikirannya untuk berlutut dan memohon, sedangkan untuk sekadar mencicit mengucapkan selamat jalan saja ia tidak berani.

Juna terkekeh pelan, menertawakan dirinya yang sepengecut ini.


*****

Luna melihat sekeliling, mengamati bandara yang sibuk, lalu kembali menatap orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang dicintainya. Mungkin, ia tidak akan pulang untuk waktu yang lama, tiga tahun? Empat tahun? Yang jelas, ia akan pulang hanya dengan Papanya. Itu berarti, kecil kemungkinan karena bahkan kampung halaman Papanya bukan di Jawa. Lagipula, ia ingin memulai semuanya dari awal, seperti yang ia katakan pada Juna. Satu-satunya faktor untuk perubahan sekarang adalah waktu. Ia butuh waktu.

"Lo masih tanggung jawab gue dan Kak Zahira. Awas aja kalo nggak pulang-pulang. Gue nggak nerima alasan apapun, meskipun cuman sempat sehari, pulang," tegur Raka dengan suara yang rendah.

Raka menepuk-nepuk puncak kepalanya pelan. Zahira hanya bisa menghambur memeluk Luna. "Sum-sumpah dokter kakak bulan depan, datang, ya," pintanya terbata-bata. Luna membalas pelukan itu sama eratnya. Menyalurkan isyarat untuk kembali ke Jakarta, menemani Mama setelah menyelesaikan perkuliahannya.

Satu lagi alasan yang membuat Luna tidak bisa sering-sering pulang ke Jakarta. Ia tidak siap melihat Mama yang nantinya akan menangisinya terus seperti kemarin. Waktu dengan mantap Luna memutuskan untuk bersama Papanya. Jadi, katakanlah kali ini ia egois, lebih memilih membiarkan Mamanya menangis merindukannya, daripada menangis kehilangan di depannya langsung yang akan menggoyahkan keputusannya.

"Papa juga," ujar Raka dengan suara seraknya. "Sering-sering ke rumah."

Papa mengangguk ragu, lalu memeluk Raka. Melihat mereka tampak ingin berbicara, Luna beralih pada Sheila, Kania, Arvin, dan Rian lalu memeluk mereka satu persatu. Matanya mencari lebih jauh, tapi ia tidak menemukan siapa-siapa lagi. Ia bahkan tidak pamit pada Adrian dan Sasha. Rasanya takut... takut kalau cowok itu hanya mengangguk tidak peduli. Lebih parah lagi kalau Adrian menatapnya dengan sorot itu lagi. Sorot yang tidak bisa Luna baca sama sekali.

"Cepet gede, ya, Lun. Jangan lupa rajin video call sama gue. Awas aja kalo cuman chat dan telepon doang. Gue nggak akan mau ketemu lagi meskipun lo ngemis-ngemis di depan rumah gue," ujar Kania dengan mata berlinang. Luna hanya mengangguk-angguk, takut suaranya pecah jika mengucapkan sesuatu.

"Lo harus cepet balik karena gue belum maafin keputusan lo untuk pergi." Sheila membuang muka lalu mendengus. "Gue nggak bisa jadi ratu kecantikan nomer satu kalo juara duanya nggak ada."

Luna mendesis, tapi tak urung ia meraih rambut Sheila dan mengacak-acaknya.

"Yah, lo baik-baik aja, deh. Kalo nggak balik-balik, jangan salahin gue kalo lupa sama lo, ya." Rian mengucapkannya tanpa menatap Luna. Mungkin, baginya akan aneh karena cewek itulah satu-satunya diantara ketiga sahabatnya yang lain yang selalu membutuhkan tebengan. Membutuhkannya.

Dua belas tahun, mereka berempat bersama-sama dan kali ini Luna harus pergi. Rasanya akan sulit, tidak melihat wajah mereka tiap hari seperti biasanya. Pasti akan sulit, melalui malam-malam galau tanpa Kania dan Sheila di sisinya. Atau menelepon Arvin dan Rian jika butuh tumpangan mendadak. Sekali lagi, Luna meyakinkan. Beberapa tahun di Manchester nanti, tidak akan lebih lama dari kebersamaan mereka.

"Juna nggak bisa dateng karena ngurus berkas buat SNMPTN," ujar Arvin ketika Luna mengalihkan pandangan padanya. Arvin mengalihkan pandangan, seolah menolak untuk mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia mengulurkan sebuah kotak kecil. "Dia nitip ini."

Belum sempat Luna membuka kotaknya, ponselnya berdering. Menampilkan caller ID Jun- Juna?! Hampir saja Luna melempar ponselnya persis seperti jantungnya yang terlonjak tadi. Padahal, kemarin, dengan segenap jiwa raga menahan degup jantung, ia berpamitan pada cowok itu. Mau tak mau Luna mengangkat teleponnya.

Gue nggak bisa menjanjikan apa-apa. Gue nggak akan nunggu apalagi nahan lo. Gue bahkan pengecut banget karena nggak berani ngomong ini langsung.

Hening. Luna dapat mendengar tarikan napas Juna yang berat.

Tapi, sekarang, kalo lo ingin tau gimana perasaan gue, gue masih sayang lo. Seenggaknya, sampe detik ini. Makasih buat tiga tahunnya, Aluna.

Luna mematikan sambungan telepon.

"Gue juga. Makasih."


*****


Akhirnyaaahhh

Terimakasih untuk yang sudah ngikutin Juna-Luna dari mereka putus sampe lulusss
Mohon maaf untuk akhir yang tidak sesuai harapan yaaa karena mereka remaja labil yang belum nemu jati diri setelah tiga taun di SMA

maaf juga untuk juna yang nggak cuman brengsek tapi juga pengecuttt

jadi untuk memperbaiki karakter Juna, does this story need an epilogue???

Continue Reading

You'll Also Like

135K 8.8K 41
Naraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupa...
43K 2.8K 27
Hyuga Hinata, seorang gadis yang berprofesi sebagai Agent FBI yang ahli dalam menembak, memanah, berpesang, bertarung dan Hinata adalah agent terbaik...
2.2M 191K 37
"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pe...
158K 8.6K 42
Berawal dari ketidaksengajaan Dara yang melihat akun kakak kelas ganteng bernama Alzeno, dia menjadi terfokus pada misinya yang tiba-tiba melintas da...