Tulisan di Waktu Luang

By svklepious

434 74 95

Dibuat sejak 24 Juni 2017 dan semoga diperlancar untuk terus membuat cerita. More

Menanti Matahari Terbit

dia kembali untuk pergi lagi

236 43 56
By svklepious

Perevisi Cerita: Farah Arista Manda
Pembuat Cover: Carrisa Nurani

" Selamanya aku secangkir kopi susu, satu-satunya yang kamu perlu sekalipun hatimu pilu."

[.]

Kemarin aku bertemu gadis berambut hitam pekat yang tergerai hingga punggung dengan ujung yang sedikit ikal. Gadis itu tiba-tiba meminta izin kepadaku untuk menikmati candy vanilla milkshakenya di meja yang aku tempati.

Aku bertanya dia siapa, dia bilang namanya Kadisa. Aku mengangguk mengerti sebelum Ia mengajakku mengobrol lebih lama.

Empat puluh lima menit aku dan Kadisa saling berbagi cerita, aku baru sadar, kalau Ia mirip Renatha. Dari caranya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, menarik kepalanya sedikit ke belakang saat tertawa, menopang dagu dengan tangan kanannya saat aku bercerita, dan aku baru sadar. Kadisa juga menyukai candy vanilla milkshake.

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, menepis pikiranku yang menyamakan Kadisa dengan Renatha. Renatha sudah tidak ada di sini, aku harus belajar mengerti.

Tepat saat sang senja menampakkan jingga kebanggaannya, Kadisa melambaikan tanggannya sembari menyerukan sampai jumpa padaku. Ia mengajakku bertemu lagi hari ini dan aku menyetujui.

[.]

Kadisa baru saja mengirim pesan lewat ponsel (kemarin kami memang sempat bertukar ID Line), Ia memberitahuku agar dia saja yang menjemput kemari dan aku hanya perlu menunggu.

Jam dinding di ruang makan baru menunjukkan pukul 13.00, Kadisa akan datang pukul 13.30, jadi aku bisa menyempatkan diri untuk menyesap secangkir kopi susu serta menikmati beberapa irisan kue brownies.

Aku menuang air panas dari dalam teko merah kesayangan ibu. Dentingan kecil sendok dan cangkir terdengar ketika aku mengaduk air panas dengan bubuk kopi yang aku racik sendiri.

Sebenarnya aku tidak suka perpaduan pahit dan manis seperti cokelat dan kue brownies. Renatha yang menyukainya. Renatha yang membuat aku turut menyukainya.

Ucapan Renatha tentang pahit manis kue brownies diibaratkan bak bahagia dan lara yang sepaket dengan kehidupan. Namun sekarang aku sedang menelan pahitnya saja, manis di dalam brownies bahkan aku tak merasa.

Semuanya pahit tanpa kamu, Ren.

Aku hanya bisa terus bertanya tanpa ada jawabnya kapan aku sanggup melupakan Renatha.

Wanita yang aku kenal begitu baik. Aku mengenalnya sekitar dua tahun kurang dua bulan yang lalu. Pertama kali melihatnya adalah pada saat menghadiri acara makan malam perusahaan ayahku, keluarga Renatha ternyata turut diundang, Renatha begitu cantik dengan gaun hitam selutut dan polesan make up yang sederhana. Ayah dan ibuku menyuruh aku untuk berkenalan dengan anak-anak teman ayah yang hadir di situ, tetapi yang menarik perhatianku hanya Renatha.

Aku mengobrol sekitar satu setengah jam lamanya dengan Renatha, tetapi dari percakapan itu, Ia bisa membawaku mengenalnya sampai sejauh ini, menyayanginya sedalam ini. Aku masih ingat, di tengah percakapan, kami sempat membicarakan grup musik indie rock yang berasal dari Manchester. Wow, aku tidak menyangka, perempuan anggun seperti dirinya menyukai grup musik aliran indie rock.

Esoknya adalah pertemuan keduaku dengan gadis bernama Renatha Angela. Kami menonton konser The 1975 berdua, dan hari berikutnya kami menjadi semakin dekat karena kami memiliki banyak kesamaan yang membuat arah pembicaraan kami saling berkaitan.

Menonton konser The 1975, berkali-kali menonton kisah Jack dan Rose di laptop milik Renatha, membeli buku best seller karya J.K Rowling dan penulis terkenal lainnya, sampai makan siang sekaligus aku memutuskan untuk menyatakan rasa sayangku kepada Renatha di sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari bilangan Jakarta Timur. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari Renatha yang ternyata juga memiliki perasaan sama denganku.

Seperti pasangan lain pada umumnya, hubungan kami tidak selalu berjalan mulus, tetapi satu kuncinya yang membuat kami belum pernah mengucap kata pisah, kami tidak pernah lelah untuk belajar mengerti satu sama lain dan menyelesaikan setiap aral dengan kepala dingin.

Namun sulit rasanya dengan masalah yang satu ini, saat itu aku benar-benar bingung harus berbuat apa, aku kacau. Tubuhku seperti kehilangan tulang dan engsel yang membuat aku hampir terjatuh. Pada 15 Februari, aku mengangkat panggilan yang masuk ke ponselku, dari ibu Renatha, memberitahu jika satu jam yang lalu Renatha mengalami kecelakaan parah dan dia sedang koma.

Dari aku mendengar kabar itu, setiap hari aku selalu menemani Renatha yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Aku selalu menggenggam tangannya yang dingin agar Ia tak perlu merasa sendiri di dimensi yang lain. Aku sering membisikkan lantunan ayat suci berharap Tuhan dengan mudahnya mau membantu Renatha terbangun. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk berada di sampingnya sampai Ia sembuh nanti.

Namun aku kecewa pada diriku sendiri, mengapa janji itu tidak bisa aku tepati. Renatha pergi saat aku tidak berada di sampingnya, saat aku sedang mengikuti perlombaan sepakbola yang mengharuskan aku untuk ikut, tadinya aku sudah bersikeras menolak, tetapi pelatih tetap menyuruh aku karena aku memang diposisikan menjadi seorang captain. Aku pikir kalau aku menang, aku bisa membuat Renatha langsung tersenyum saat Ia terbangun nanti. Tapi apa? Dia pergi untuk selamanya. Tanpa mau mendengarkan aku yang mencetak tiga gol yang kupersembahkan hanya untuknya.

Dia pergi tanpa pamit. Itu sangat membuatku sakit. Sakit yang belum aku temukan apa obatnya.

Kadisa Alya: Aku udah di depan, Fi.

Pikiranku buyar setelah baru saja ponselku menyala menandakan ada pesan masuk. Aku bisa langsung membacanya karena bubble text dari Kadisa terpampang di layar lockscreen.

Aku mengetikkan balasan untuk Kadisa, tunggu sebentar, aku akan menghabiskan kopi susu dan browniesku lalu aku turun ke bawah.

[.]

Setelah di sepanjang jalan aku mendengarkan alunan lagu The 1975 dan ditutup dengan lagu dalam film Titanic yang dipopulerkan Celine Dion, Kadisa membawaku ke sini.

Aku tidak mengerti, mengapa Kadisa tau playlist lagu favorit aku dan Renatha. Aku tidak mengerti ketika dia bilang dia juga menyukai The 1975 dan Celine Dion. Aku tidak mengerti mengapa dia mirip sekali dengan gadis yang sampai saat ini aku cintai.

Kadisa membawaku ke suatu tempat dengan banyak gundukan tanah dan batu nisan bertuliskan nama orang-orang yang tak lagi berada di dunia.

Tunggu, aku mengenali tempat ini. Rumah Renatha. Aku belum berkunjung ke rumahnya selama lima hari, tetapi aku tak pernah berhenti menyapanya dalam do'a.

Satu lagi yang aku tidak mengerti, mengapa Kadisa membawaku ke sini? Mengapa ia tau rumah Renatha? Aku tidak pernah memberitahu sebelumnya.

"Kamu tau?" Aku bertanya padanya setelah kami sudah berada di depan rumah Renatha.

Kadisa mengangguk, lalu tersenyum. "Aku akan memberitahu, aku tidak mengada-ada namun kamu harus percaya."

"Apa?" Aku menunggu jawaban selanjutnya.

"Aku ingin kamu belajar dan mengerti, bahwa yang hidup tak selamanya abadi, aku ingin melihat kamu tertawa lagi, aku ingin melihat kamu memasukkan bola ke gawang dan kamu akan berteriak kegirangan, aku ingin melihat kamu menyanyi dan bermain gitar lagi dengan tersenyum bukan menangis, walau kamu menyanyikan lagu itu bukan lagi untukku."

Mendengar penjelasannya, aku hanya bisa menganga, dia berbicara seolah dia adalah Renatha. Dia tau semuanya.

"Aku sampai meminjam raga seseorang untuk berjumpa lagi dengan kamu, untuk memberi kamu semangat bahwa kamu bisa hidup bahagia meski tanpa aku. Jangan pikir aku tenang di sana selama kamu sedih di sini."

Ini halusinasi atau nyata? Aku melihat Renatha sedang menahan air mata.

"Ren, ini ... ini kam ... u?"

Kadisa sekarang adalah Renatha. Wajahnya semakin cantik, dengan gaun selutut yang membalut tubuh mungilnya, rambutnya masih seperti dulu, tergerai indah sampai ke punggung, kulitnya putih pucat, bibirnya yang dulu merah muda sekarang sedikit pucat.

Dia mengangguk. "Aku Renatha."

Kadisa yang mirip Renatha dari banyak segi, Kadisa yang tau playlist favorit aku dan Renatha, dan Kadisa yang ... ah, aku baru sadar, Kadisa yang menjemputku ke rumah, Kadisa tau alamat rumahku padahal sebelumnya dia tidak bertanya dan aku belum sempat memberitahu.

Tubuhku serasa membeku, lidahku kelu. Bagaimana bisa? Ternyata semua itu bukan kemiripan belaka, namun memang benar bahwa Kadisa adalah Renatha.

"Aku tau ini di luar akal manusia, tapi ini nyata. Aku ingin kamu nggak sedih dan kembali tertawa, dengan seperti itu aku juga bisa ikut bahagia di sana, sekalipun kamu tidak bersamaku saat tertawa,

"Fi, kamu harus percaya. Selamanya aku udara, satu-satunya yang kamu perlu sekalipun pengap. Selamanya aku cahaya, satu-satunya yang kamu perlu sekalipun gelap. Selamanya aku secangkir kopi susu, satu-satunya yang kamu perlu sekalipun hatimu pilu. Selamanya aku ada, sekalipun aku sudah tiada. Tolong kabulkan apa yang aku mau, lupakan aku dan berbahagia."

Aku tidak berdusta, detik itu juga aku menitikkan air mata, menangis lagi yang kesekian kalinya, aku benar-benar melupakan di mana jati diriku sebagai seorang lelaki.

Kami menangis berdua di antara berjuta rasa, di dalam gerimis yang datang tiba-tiba. Kening kami bertemu yang tanpa sadar menyalurkan kehangatan dalam diriku meski hujan lebat membasahi tubuh.

"Percayalah, aku selalu ada. Maka kamu harus berjanji, kamu harus tetap bahagia. Meski tanpa aku."

Aku menangis sejadi-jadinya, ketika aku memeluk tubuh mungilnya, namun tak terasa apa-apa. Aku memeluk angin dan dia meninggalkanku lagi.

[.]

Aku benar-benar tak menyangka kalau kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi. Keringat keluar dari seluruh tubuhku. Mimpi itu terasa begitu nyata. Bahkan terasa sesak sampai dada.

Aku duduk sejenak, meletakkan punggung di senderan tempat tidur. Kuraih segelas air putih di meja nakas dan mencoba mengumpulkan kembali nafasku yang sempat hilang.

Namun pikiranku tak bisa langsung melupakan mimpi semalam. Aku merasa sangat bersalah, membuat tidur Renatha di alam sana jadi terganggu karena aku yang tidak bisa mengikhlaskannya.

Mungkin ini waktunya, untuk aku tidak terlalu lama tenggelam dalam lautan air mata dan kembali tersenyum seperti sedia kala.

Aku tersenyum kecil, mengingat janji Renatha, meskipun dalam mimpi. Janjinya akan jiwanya yang selalu berada di sini, meskipun raganya telah jauh dariku.

Terimakasih Renatha, dimanapun engkau berada, bahkan suatu alam yang entah-- aku tidak mengetahuinya, engkau adalah permata. Dan permata tetaplah permata, yang menyinari gelapku dengan cahaya - cahaya setia dan bahagia. Bersamamu lah ku ukir makna cahaya yang engkau berikan. Ragamu memang telah pergi, tapi tidak dengan jiwamu, ia selamanya dihatiku.

Setelah itu, semerbak minyak wangi vanilla yang biasa dipakai Renatha tercium begitu jelas, memaksa ilusi untuk terus berhalusinasi seolah Renatha ada disini.

[.]

a/n

Woaahh geeZzz, akhirnya aku punya cerita yang sampe ending:"))) aku terharu sangaaaattt!!! dan maaf ini menye, tp aku lagi belajar bikin ending yang nggak terduga. Gimana? Tebakan kalian selama baca cerita ini bener/salah? Terus kalau boleh kasih kritik&saran, karena aku tau tanda bacanya banyak yg salah. Makasih banyak yaaa yang udah bacaa!:)💖💕

Makasih juga untuk perevisi handal yang sangat baik sama aku, Farah arista Manda dan editor yang baik sekaligus tante yang mukanya cantik mirip Raya Anak Jalanan, Carrisa Nurani. Thankyouuu!!!:"))))

Love,
Syifa penggemar cokelat, keju, dan nasi jagung.

Continue Reading

You'll Also Like

336K 1.3K 5
ONE SHOOT 21+ If you found this story, u clearly identified as a horny person. So find ur wildest fantasy here and just let's fvck, yall. Underage ki...
633K 48.1K 38
Perpindahan jiwa musim 4 🌼follow akun author untuk membaca🌼 Karalina yang meninggal dunia, tiba-tiba terbangun di tubuh Elisa Karaline. Si antagon...
131K 11.9K 50
No Deskripsi. Langsung baca aja Taekook Vkook Bxb 🔞🔞 *** Start : 15 Januari 2024 End : -
302K 3.2K 4
Oneshoot gay tentang Daniel yang memiliki memek dengan bermacam macam dominan. Jangan salah lapak-!!!