SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

10

3.9K 388 18
By SophieAntoni

Ava Argani

Mataku masih terpaku pada jam beker tua yang terletak di atas nakas, detak jarumnya mengisi keheningan malam dan membuatku serasa ikut menghitung setiap detik yang berlalu. Namun usaha menghitung detik ini tidak mempan membuai mataku, mungkin aku harus kembali pada kebudayaan sebagian besar orang yaitu menghitung domba agar mampu tertidur. Tapi jurus yang lebih tepat seharusnya adalah menyingkirkan segala bentuk bayangan Rama dari benakku. Ya, aku akui aku menyukai laki-laki itu. Sejak kapan? Sejak...entahlah aku tidak bisa memastikan. Aku tahu dia punya seseorang di Jakarta, seseorang yang tidak pernah kutahu namanya. Seseorang yang kadang membuatnya tersenyum tapi akhir-akhir ini lebih banyak membuat ia termenung.

Aku mencoba memejamkan mata dan mengubah posisi tidurku menghadap tembok namun bayangan Rama dan segala perlakuannya padaku semakin membuat aku sulit larut dalam mimpi. Aku memang tidak menganggapnya memperlakukanku jauh lebih istimewa dibanding ia memperlakukan teman-temanku yang lain, hanya saja perasaanku selalu mengatakan bahwa Rama akan selalu mencari kesempatan untuk bersama denganku.

"Jangan biarkan perasaan suka itu terus tumbuh, Va." Aku menggumam sendiri dengan mata yang terus terpejam dan berkali-kali meyakinkan bahwa rasa ini hanya sementara, hanya imbas dari sebuah kenangan lama. Rama pun akan kembali ke Jakarta dalam dua minggu ini jadi aku rasa aku akan mampu mengendalikan perasaanku yang pastinya akan dengan mudah terkikis setelah ia tidak ada lagi dalam jarak pandangku.

Aku bangun dengan kepala cukup berat dan sedikit terlonjak saat melihat jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Aku berlari ke kamar mandi secepat kilat dan menyiapkan diri dengan sedikit tergesa. Setelah dekat dengan Rama aku memang rajin masuk lebih pagi untuk bisa menemaninya melakukan visit ke bangsal dan diam-diam mengagumi interaksi manisnya dengan pasien-pasien kecilnya.

"Kamu ikut ya nanti ke Kelimutu." Rama berkata saat kami keluar dari bangsal anak.

"Kapan dok?"

"Jumat nanti. Aku harus kesana sebelum balik Jakarta." Dia tersenyum kecil kearahku dan langsung membuat aku berpikir sejenak. "Aku tahu minggu ini kamu yang dapat jatah libur. Makanya aku menyesuaikan." Sambungnya lagi dan membuatku terpana sejenak. Oke aku akan jelaskan di sini, di Rumah Sakit ini ada empat dokter internship dengan pembagian jatah libur mingguan 1-3, yang artinya tiap minggu satu orang bisa mengambil libur sedang yang tiganya tetap bertugas. Sejak kepulanganku ke Jakarta kemarin aku belum mengambil jatah liburku mengingat sepanjang minggu itu salah satu dari tiga temanku tidak mengambil jatah liburnya. Aku sendiri bahkan belum berembuk dengan mereka kapan aku bisa kembali mendapat jatah libur setelah cutiku kemarin. Dan entah kenapa Rama justru lebih dulu tahu dibanding aku mengenai hal ini.

"Temani aku ya. Kamu sudah pernah ke sana kan?"

Aku mengangguk. Dulu saat memutuskan untuk melakukan internship di Flores, salah satu tujuanku adalah bisa menikmati keindahan alam pulau ini secara gratis dan salah satunya adalah berkunjung ke danau Kelimutu. Itu yang aku dan tiga temanku lakukan pertama kali sejak kami menginjakkan kaki di Ende, kami mencuri waktu di akhir pekan di saat masa orientasi, masa kami masih mempelajari seluk beluk Rumah Sakit, alur-alurnya dan SOP.

"So?"

Entahlah aku masih belum bisa mengeluarkan sepatah kata, bahkan untuk menjawab 'ya' atas ajakan ini meskipun segenap inchi tubuhku seperti sedang berseru kegirangan. Pergi hanya berdua dengannya?

"Oke." Aku hanya menjawab singkat dengan nada yang sangat pelan sangat berlawanan dengan suara hatiku untung saja dia kedap suara jadi Rama tidak perlu mendengarnya.

"Aku minta ditemani karena kamu bisa jadi guide-ku." Dia tersenyum lebar saat menyelesaikan kalimatnya lalu menepuk punggungku pelan dan beranjak dari hadapanku. Aku mengulum senyum sambil menatap bayangannya yang melangkah menjauh. Aku tidak perlu berkecil hati mendengar kata-kata ini karena aku tahu alasan yang sebenarnya bahwa ia hanya ingin pergi denganku. Itu saja. Aku tertawa kecil sendiri dan saat aku berbalik aku cukup terkejut mendapati Dian berdiri hanya berjarak beberapa senti dari hadapanku.

"Kamu juga suka sama Rama kan? Jangan bohong! Aku udah nggak mempan sama alasan-alasan kamu." Dian menyipitkan kedua matanya memandangku penuh selidik. "Ini skandal." Desisnya dengan sedikit didramatisir.

"Apaan sih." Gerutuku sambil berlalu dari hadapannya.

"Kamu sadar kan kalau semua orang tahu dengan kedekatan kalian. Bahkan para perawat itu taunya kalian pacaran." Dian mencoba mensejajarkan langkahnya denganku.

"Aku sadar." Jawabku ringan dan membuat Dian mendengus tidak puas.

"Kamu tahu Rama punya pacar kan?"

Aku menghentikan langkah dan memandang Dian. Aku sendiri tidak tahu apa hubungan Rama dengan perempuan yang sering meneleponnya. Entah itu pacarnya atau seseorang yang dekat dengannya dengan status hubungan yang tidak jelas, ya seperti pernah dibilang Rama sendiri. Complicated. Meski aku tidak bisa mendefinisikan complicated sebagai 'dia belum punya pacar' karena banyak makna dibalik kata itu.

"Aku nggak pacaran sama Rama." Tegasku. "Kami seperti...teman lama yang bertemu kembali." Dian menghela napas yang memberi kesan tak percaya dengan kata-kataku.

"Dan Rama sebentar lagi balik ke Jakarta, dia kembali ke kehidupannya jadi aku rasa kamu nggak perlu menduga yang terlalu berlebihan Yan." Kataku lagi.

"Bukannya kita sebentar lagi balik ke Jakarta juga?"

"Kami nggak pacaran, Yan." Aku berkata sekali lagi.

"Oke, aku percaya Va. Hanya saja aku dengar rumor kalau perempuan yang dekat dengan Rama itu seorang artis. Aku hanya nggak pengen kamu kecewa kalau kamu terlanjur suka sama dia. Artis loh Va! Artis! Dan kita ini...siapa?" Dian mulai bersikap dramatis lagi. Aku tidak akan terkejut dengan label apapun yang melekat pada perempuan yang saat ini dekat dengan Rama. Artis? Oke aku akui aku sedikit terkejut dengan rumor ini.

"Kita dokter Yan. Pekerjaan kita jauh lebih bermanfaat bagi banyak orang." Aku menjawab sedikit ketus. Emang apa hebatnya seorang artis? Harga diriku tiba-tiba saja terusik dengan ungkapan Dian tadi.

"Oke maksudku bukan masalah kerjaannya. Maksudku...ummm..." Dian menggaruk keningnya yang aku yakin tidak gatal. "Penampilan artis kan kamu tahu sendiri kayak gimana. Kita memang dokter tapi liat dong." Entah aku harus tersinggung atau tidak saat melihat Dian menatapku dari kepala ke ujung kakiku saat ia berkata tadi.

"Emang siapa artis itu?" Aku mulai penasaran karena Dian sudah berani membandingkanku secara terang-terangan yang artinya dia sudah tahu siapa manusia yang berkilau itu yang 'katanya' bukanlah sainganku.

"Ayana Jayanti." Dian berbisik.

"Ayana yang penyanyi itu?" Dian mengangguk. "Kamu tahu dari mana?" aku mencoba mengabaikan informasi ini karena pada kenyataannya aku ngefans dengan perempuan bersuara bagus itu. Dan kalau misalnya dia adalah si penelepon misterius itu maka benar kata Dian bahwa aku tidak boleh dengan suka rela masuk dalam persaingan yang tidak imbang ini. Ayana bisa dibilang kesayangan semua orang saat ini. Segala hal yang menyangkut perempuan ini pasti menarik perhatian. Ia tidak pernah absen dari pemberitaaan media online, meski itu hanya hal sepele seperti ia tertangkap kamera sedang memakai sandal jepit ke pasar tradisional. Helooo?! Dan pengikutnya di Instagram sudah mencapai belasan juta, dan salah satunya adalah AKU.

"Kakaknya si Vandi kan kerja di TV dan semua orang yang berkecimpung di dunia entertainment sudah tahu tentang hubungan mereka hanya saja Ayana bertahan dengan image single-nya karena memang itu yang dijual."

Aku menelan ludah mendengar informasi ini. Dan kalau memang ini semua benar aku tidak perlu berkecil hati karen pada dasarnya aku yang mengenal Rama lebih dahulu. Aku yang tidak dilupakan oleh laki-laki itu meski tiga belas tahun telah berlalu. Ada sedikit rasa jumawa dalam hatiku saat aku menyadari bahwa dokter lusuh ini masih mampu mengalihkan perhatian seorang Rama.

"Jangan jadi orang ketiga. Kamu bakal dibahas di akun-akun gosip dan jadi sasaran empuk para netizen yang buas-buas itu." Aku melirik Dian yang saat ini menunjukkan senyum antagonisnya meski aku tahu itu hanya bagian dari aksi dramatisnya. Dian memang drama queen dalam kelompok kami.

"Bagaimana aku bisa jadi sasaran empuk Netizen kalau selama ini Ayana selalu mengatakan dia nggak punya pacar." Aku balas memberikan senyum antagonisku pada Dian kemudian melangkah cepat menuju ruang IGD.

***

Entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktu menatap satu persatu foto dalam akun instagram Ayana. Dan tidak ada satu foto pun yang memberi petunjuk kalau Rama adalah orang terdekatnya. Ah....kenapa aku harus repot-repot mencari petunjuk toh aku bisa menanyakan langsung pada Rama. Tapi tentu saja aku tidak sanggup melakukannya, karena aku terlalu takut kalau itu benar. Aku melirik jam yang sudah menunjuk pukul 10 malam lalu turun dari ranjang dan kembali memastikan ranselku sudah berisi semua yang kubutuhkan dalam perjalananku ke Kelimutu. Kami akan berangkat pukul 2 pagi karena tujuan utama ke danau gunung Kelimutu adalah menyaksikan keindahan tiga danau itu berlatar sunrise. Rama akan menjemputku bersama Hengki, ponakan dari keluarga tempat Rama tinggal, yang akan menjadi supir dalam perjalanan kami.

Aku masih berjongkok di depan ranselku saat ponselku bergetar di atas nakas. Aku membaca nama Tania di sana.

"Kenapa lo nggak cerita kalau lo ketemu Erick di Bali." Tania tidak memberi kesempatan padaku untuk menyapannya terlebih dahulu.

"Ummm..."

"Lo udah ketemu dia? Terus gimana menurut lo? Dia baik kan? Iya kan?" Tania terus membombardirku dengan pertanyaannya.

"Ummm...." aku masih tak punya kata untuk kukeluarkan.

"Va! Gimana?"

"Iya kak. Dia baik." Aku meringis saat merasakan kakiku kesemutan karena baru saja bangkit setelah cukup lama berjongkok. Aku naik ke atas ranjang. "Aku hanya lupa cerita sama kakak."

"Dia bilang apa aja?"

"Dia...dia bilang kalian berteman." Aku mencoba mengingat kembali kata-kata Erick saat aku sempat menanyakan padanya apakah ia dan Kak Tania punya hubungan istimewa. Dan aku masih mengingat jelas jawaban Erick saat itu yang tentu saja tidak akan aku beberkan pada Tania.

"Terus?"

"Kita nggak bicara banyak kak. Dia tiba-tiba nyebut namaku dan aku tanya dari mana dia tahu aku dan dia cerita kalau dia taunya dari kak Tania. Itu aja."

Aku mendengar Tania mendesah di ujung sana. Ia seperti tidak puas dengan jawabanku.

"Kakak suka dia?"

Tania terdiam tidak seperti sebelumnya dia begitu menggebu.

"Dia seperti sudah menarik garis batas di antara kami. Sampai detik ini dia masih menyebut gue teman yang baik. Tapi memang gue harus belajar untuk memulai sebuah hubungan yang wajar. Lo tahu kan selama ini gimana gue memulai sebuah hubungan dengan laki-laki? Dan gue suka cerita gue sama Erick. Gue mau hubungan kami berkembang secara alami. Jadi untuk sekarang gue nggak keberatan dia nyebut gue hanya teman." Aku terdiam beberapa detik mencoba mencerna semua kata-kata Tania yang kurasa sangat berbeda kali ini. Aku seperti sedang tidak berbicara dengan kakakku yang terkenal blak-blakan itu.

"Lo dengar gue kan Va?"

"Iya aku dengar."

"Lo tau nggak lo udah bikin gue cemburu karena Erick bisa dengan jelas mengingat nama lo, padahal gue sendiri lupa kapan pernah menyebut nama lengkap lo di depan dia. Gue akan lebih cemburu lagi kalau misalnya ternyata lo udah pernah ketemu dia dulu sebelum gue...tapi itu nggak mungkin kan?" Tania tertawa diujung sana seakan-akan menyangsikan kalimat terakhirnya. Aku menggigit bibirku saat kenyataan sudah dengan telak membenarkan dugaan Tania.

Setelah Tania memutuskan pembicaraan kami, aku mengeluarkan buku Siddharta dari laci nakas. Membuka lembar pertama buku itu, membaca setiap baris kata yang dituliskan seorang perempuan bernama Dara di sana. Apakah Kak Tania tahu siapa Dara? Perempuan ini pasti sangat penting untuk Erick dan aku hanya tidak mau Kak Tania kecewa. Aku menarik napas panjang dan kembali memasukkan buku itu ke dalam laci dan mencoba tidur sejenak.

Mama Bunga dan Bapak Frans ikut terbangun pukul 2 pagi dan menemaniku menunggu Rama menjemput. Kira-kira setengah tiga Rama tiba di rumah. Kedua orangtua angkatku terus berpesan agar kami berhati-hati mengingat perjalanan ke Kelimutu itu berkelok-kelok dengan jalan yang tidak terlalu lebar dan seringkali terjadi longsor di beberapa titik.

Perjalanan kami lebih banyak diisi dengan musik jenis EDM yang diputar Hengki, kami tidak protes karena musik itu bisa membuat dia terus terjaga. Rama duduk di depan sedang aku sendirian di bangku tengah. Kami hanya sesekali bertukar cerita karena tidak banyak yang bisa kami bahas mengingat tidak ada pemandangan yang bisa kami nikmati selama perjalanan.

Kami tiba di desa Moni, desa yang berada di kaki gunung Kelimutu, menjelang pukul empat. Ada beberapa wisatawan yang kami temui di sana yang punya tujuan sama yaitu mendaki ke gunung Kelimutu. Empat puluh lima menit kemudian kami sampai di lahan parkir dan menjadi awal trekking kami. Aku mengenakan jaket tebal karena memang suhu udaranya sangat dingin. Rama menyiapkan ranselnya dan mengeluarkan senter besar karena memang tidak ada penerangan dalam perjalanan ini. Hengki memilih tidak ikut karena memang Kelimutu bukan sesuatu yang 'istimewa' lagi buat dia. Dia memilih tidur di mobil menunggu kami pulang.

Aku melihat Rama begitu bersemangat. Untung jalur trekking ini sudah dibuat begitu nyaman bagi wisatawan dengan beberapa perhentian untuk istirahat di beberapa titik. Kami sama sekali tidak mengobrol karena setengah perjalanan ini cukup menguras energi dan membuat kami ngos-ngosan.

"Sini kubawakan ranselmu."

"Aku masih kuat kok, Dok."

"Jangan panggil aku Dok. Panggil Rama saja."

Aku hanya tertawa kecil mendengar permintaannya.

"Kak Rama. Mas Rama. Bang Rama. Terserah kamu." Katanya di antara tarikan napasnya yang berat. Aku tidak menjawab kata-katanya karena sibuk mencari karet dari laci ranselku untuk mengikat rambutku yang menjadi korban kencangnya angin di dini hari ini. Namun ide itu terdengar manis di telingaku.

Setelah perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, kami pun tiba di salah satu puncak Kelimutu. Rama memandang takjub kawah gunung yang berisi air dengan warna yang berbeda. Mereka tampak seperti danau ajaib di negeri dongeng.

"This is amazing." Rama langsung mengeluarkan kameranya dan mendekati pagar pembatas danau. Sedang aku memilih mendatangi ibu-ibu yang menjual minuman dan memasan dua cangkir teh panas. Aku mendekati Rama dan memberikan satu cangkir padanya.

"Wow....it's perfect!" gumamnya sambil menerima cangkir dari tanganku. Sepertinya ia tidak tahu kalau ada yang menjual minuman panas di sekitar sini. Cakrawala mulai memerah dan Rama sudah siap dengan kameranya. Ini kali kedua aku menikmati pagi yang menakjubkan. Danau dengan warna hijau toska berlatar langit biru dan sinar mentari kekuningan menjadi sebuah paduan warna yang memukau. Rama terdiam di depan danau itu, entah dia sedang mengagumi atau dia sedang melamun memikirkan sesuatu.

"Untuk lihat danau yang satu lagi kita perlu mendaki sedikit." Aku mendekatinya sekaligus mencoba mengusik diamnya.

"Kamu pasti pernah menjadi seseorang yang istimewa buat orang lain." Rama berkata tanpa melepaskan pandangannya dari pemandangan di hadapannya. Pertanyaannya sangat mudah kujawab karena aku sedang merasakannya saat ini. Ingatan Rama padaku membuatku selalu membuatku merasa sangat istimewa.

"Ya tentu saja." Rama menoleh ke arahku. Kami berpandangan sebentar. Angin yang bertiup kencang dari hutan pinus menjadi musik latar perbincangan ini. "Ingatanmu tentang aku adalah hal yang istimewa." Aku mencoba berkata jujur. Dia menaikan kedua alisnya kemudian tersenyum, mungkin dia tidak menyangka dengan jawabanku. Namun kejujuranku diiringi dengan debar pelan di dadaku, karena aku sadar obrolan ini bisa menjadi awal rasa yang aku khawatirkan. Ah..aku memang harus menerima kenyataan apapun itu.

"Ini berkaitan dengan si complicated?" tanyaku setelah aku melihat Rama seperti tidak punya niat untuk membahas masalah 'istimewa' ini lebih lanjut.

"Ah...dia." Perutku tiba-tiba terasa mulas saat mendengar Rama menyebut kata 'dia.' Aku merasa penyebutan itu terkesan misterius dan....istimewa. "Dia istimewa buat aku tetapi entahlah aku buat dia..." Kami kembali berpandangan dan kali ini jantungku bergetar jauh lebih cepat. Aku harus segera keluar dari atmosfir ini. Aku tahu kalau dia sedang tidak berbicara tentang AKU, tapi aku tidak bisa lama berada di bawah tatapannya.

"Ah....suasana ini sepertinya cocok dengan lagu Mentari Pagi-nya Ayana." Aku merentangkan kedua tanganku, menghirup napas dalam-dalam, sekaligus menjadi caraku untuk keluar dari atmosfir aneh yang aku rasakan.

"Kamu tahu lagu itu kan?" Aku menoleh cepat ke arah Rama. Dia bergeming. "Kamu nggak tahu Ayana?" aku memang sedang berusaha keluar dari atmosfir aneh tadi namun aku sekarang sedang menciptakan skenario baru yang mungkin sama mendebarkannya dengan cerita karangan Syahmalan. Wajah Rama begitu datar, tak ada ekspresi saat aku menyebut nama Ayana. Bisa jadi rumor itu tidak benar.

"Kamu tahu sesuatu tentang aku?" dia tiba-tiba bertanya.

"Ya?" aku mencoba memahami pertanyaannya.

Dia memandangku lalu tersenyum sedikit.

"Ayana." Dia menyebut nama itu. "Bukan sesuatu yang nggak disengaja kan kamu menyebut dia? Apakah kamu tahu sesuatu tentang aku dan Ayana?"

Aku meneguk ludah, menelan semua kelegaanku yang sempat tercipta tadi.

Lanjut baca di Storial.co ya...thank u

Continue Reading

You'll Also Like

5.5K 355 32
Shan menerima wasiat dari Ayahnya yang terbaring koma bahwa dirinya harus menikah dengan Kallen, nemesisnya yang setengah mati Shan benci. Shan dan K...
10.1K 1.3K 23
Meet Khandra - anak pertama dari pasangan Dafa Gajendra Putra dan Aretha Raynelle Putra. Tidak memiliki keinginan untuk menggantikan posisi ayahnya s...
2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
3.9K 349 55
Ketika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. ...